Frani uring-uringan. Sepanjang hari setelah bertemu dengan Gani, rasa penasarannya muncul. Apakah Gani baik-baik saja dengan Celia? Apakah Celia bisa hamil? Kalau memang benar Celia hamil, apakah artinya dirinya yang benar-benar tidak bisa memberikan keturunan? Tubuhnya seketika memanas, takut jika apa yang dia takutkan benar-benar terjadi. Andai benar, dia tidak sanggup menghadapi dunia. Meskipun dia sudah mengajukan pertanyaan tentang anak pada Rendi, tetap saja dia berharap masih ada setitik harapan. Kalau dia tidak bisa memberikan keturunan, apakah mertuanya akan diam saja?"Ada apa, Fran? Ada yang kamu pikirkan?" gumam Rendi dengan suara seraknya. Dia sudah tidur, tapi mendengar suara derit ranjang yang tidak biasa, dia kembali membuka mata. Ternyata istrinya belum tidur. Dilihatnya jam dinding yang menunjukkan pukul dua belas malam. Apa yang sedang dipikirkan Frani? Frani tersentak, dia menoleh pada Rendi. Tatapannya jelas tidak tentu arah. "Nggak, Mas. Hanya belum bisa tidur
"Mas Rendi kenapa wajah kamu begitu?" pekik Frani ketika melihat suaminya pulang dari kantor dalam keadaan yang kacau. Tidak sepenuhnya kacau karena hanya wajahnya saja yang terluka. Di ujung bibirnya terlihat membiru dan berdarah. Area pipi dan pelipis juga tidak jauh berbeda. Ada apa ini? "Kamu berkelahi, Mas? Ya Tuhan, Mas, kamu seperti anak kecil saja. Duduklah! Aku obati dulu."Rendi hanya tersenyum menanggapi serentetan kalimat panjang dari istrinya. Melihat Frani cemas saja sudah membuat dia senang apalagi mendengar omelannya? Tidak ada yang lebih menyenangkan dari pada mendengar suara Frani. Setelah mendapat pukulan dari Gani sebanyak tiga kali, dia memutuskan untuk pulang. Dia tidak membalas ataupun berusaha menyelamatkan diri karena dengan itu orang-orang tahu bahwa dia adalah korban. Biarkan Gani kalang kabut. Pria itu marah pada ucapannya yang tidak mungkin hanya isapan jempol. Semua selingkuhan itu sama niatnya. Merusak rumah tangga orang, lalu tidak bahagia dengan selin
Fitri emosi. Dalam hati dia bersyukur karena harus menjenguk Marlin --teman sejawatnya-- yang tiba-tiba masuk rumah sakit untuk menjalani operasi cesar. Kehamilannya yang diusia separuh senja membuat dia tidak bisa melahirkan normal.Sepanjang lorong rumah sakit, dia tidak mau repot-repot memusatkan perhatian pada orang-orang yang sibuk menunggu nomor antrian. Tapi ketika dia melihat sekelebat bayangan Rendi dari arah samping, dia penasaran. Lorong tersebut dikhususkan untuk orang-orang yang berkepentingan dalam masalah kandungan dan sebagainya. Fitri juga pernah mendengar nama dokter yang menjadi dokter spesialis handal di rumah sakit itu. Melihat gelagat Frani yang agak gugup, Fitri semakin curiga. Kenapa mereka harus ada di sana kalau tidak ada kepentingan? Kenapa juga mereka harus periksa ke dokter obgyn kalau memang tidak ada keluhan? Dari sanalah, Fitri melebarkan asumsi bahwa Frani mengalami permasalahan yang tidak dia ketahui. Dengan marah, dia mendatangi dua orang yang sudah
Inilah ujian yang sesungguhnya. Frani harus bolak-balik dari satu tempat ke tempat lainnya hanya untuk mengikuti kemauan sang mertua. Entah sengaja atau tidak, Fitri tidak henti-hentinya menyuruh dirinya mengambil barang ini, lalu pindah ke tempat lain untuk membuatkan sesuatu. Tidak ada waktu istirahat. Lima menit berikutnya, dia tidak boleh keluar kamar Fitri kecuali ada perintah. Frani menghembuskan nafas berulangkali, setidaknya hanya itu yang bisa dia lakukan. Rumah Fitri yang sangat besar dan luas menyulitkan Frani. Langkah pendeknya semakin membuat naik darah kalau dia harus berjalan cepat. Sepersekian detik, Frani menguap tanpa dia sadari. "Bosan?" tanya Fitri keki. Begitu saja menguap, pikirnya kesal. Frani mengoleksi cepat, "Mengantuk, Ma. Semalaman kurang tidur."Kalimat itu terasa memiliki makna yang lain. Frani seakan menyindir bahwa pasangan yang baru saja menikah tidak pernah bisa tidur dengan waktu yang cukup. Kenyataannya memang begitu. "Mengantuk? Hah! Memangny
Hilang? Siapa yang bicara? Rendi? Pria itu terlalu cemas. Padahal Frani sedang asyik berbelanja bersama Fitri. Fitri datang bersama Irwan karena pria itu ngotot ingin bekerja --selama Rendi ada di luar kota-- padahal Fitri sudah memberikan keringan seharian penuh ada di kantor kemarin. Hari ini, Irwan masih tetap ngotot ingin masuk kantor tapi Fitri menolak ide itu. Kondisi Irwan belum sembuh benar. Kalau kepalanya diharuskan banyak berpikir, bisa-bisa kondisinya kembali ke grade semula, parah.Berangkat dari rumah pagi, belum ada setengah hari mereka sudah sampai. Irwan mendapat informasi dimana hotel Rendi menginap, lalu dia datang untuk menjemput mereka. Fitri mempunyai hunian di daerah itu tapi hampir tidak pernah ditempati kecuali waktu-waktu tertentu. Semisal sekarang. Ketika mereka datang, Rendi belum pulang dari rapat. Makanya Fitri mengajak Frani untuk berbelanja sedikit. Mereka akan mengadakan pesta barbeque di halaman samping. Frani mengeluh samar. Jika Fitri bicara soal
Frani mengeluh samar. Bukannya dia baru saja berbaikan dengan sang mertua? Kenapa tiba-tiba harus ada wanita lain? "Bukan aku, Fran. Untuk apa aku mengundangnya?" ucap Rendi. Dia juga cemas kalau Sonya berada di tengah-tengah mereka. Frani tidak bisa berbuat banyak. Dia tidak mungkin mengusir tamu mertuanya bukan? Apakah Fitri sudah kembali ke mode asalnya? Mode ingin merusak hubungan pernikahan mereka? Rendi menggenggam jari istrinya, memasuki area pelataran rumah dengan muka yang tidak bersahabat. "Kenapa kamu bisa ada di sini? Kamu tahu ini liburan antar keluarga?"Sonya dengan arogannya menyunggingkan senyum kegilaannya. "Aku diundang oleh seseorang, Rendi. Biar lebih ramai menurutnya.""Empat orang sudah cukup ramai untuk mengisi tempat ini. Kalau kamu nggak keberatan, bisakah kamu kembali ke Jakarta? Aku akan meminta asistenku untuk mengantar kamu pulang," tegas Rendi, lebih mirip mengusir secara halus. Dia tidak mau Frani merasa tersisihkan karena adanya Sonya.Sonya mengang
"Kenapa, Fran?" tanya Rendi panik. Dia berlari ketika mendengar istrinya memekik. Frani meniup lengannya yang terasa terbakar karena siraman kopi. Sementara si tersangka tampak tidak merasa bersalah sama sekali. Dia yang menumpahkan kopi itu tapi tingkahnya lebih mirip boneka barbie yang polos. "Maaf, Fran. Aku nggak sengaja. Tadinya aku pikir sudah di atas meja, ternyata masih belum. Maaf ya?" ucap Sonya dengan muka yang dibuat menyesal karena melihat Ciara menghampiri.Rendi menatap tajam pada Sonya, tidak rela istrinya jadi bahan kekejaman wanita itu. "Punya mata nggak?""Ren, kalau ngomong disaring dulu deh. Sonya kan sudah bilang maaf. Mungkin waktu naruh tadi, dia nggak lihat sudah benar belum posisinya," kilah Ciara. Dia bukannya membela, hanya saja masalah siraman kopi bukan perkara penting. Sonya sudah minta maaf, keadaan Frani juga tidak terlalu parah. Kali ini Ciara yang mendapat tatapan menusuk dari pria yang sekarang ini sedang menyentuh lengan istrinya. "Maaf gampang,
Frani terbangun setelah mimpi buruk. Mimpi itu terasa sangat nyata, bahkan dalam mimpi itu dia menangis ketika Rendi benar-benar meninggalkannya seorang diri. Rendi pergi bersama wanita lain yang tidak dia ketahui. Saat dirinya histeris, dia tiba-tiba terbangun. Sebenarnya dia kesulitan tidur tadi, tapi entah kenapa kelopak matanya meredup dalam hitungan jam. Frani panik, pikirannya sudah tidak tentu arah. Dia bangun, berjalan ke luar kamar dan mencari dimana suaminya. Ketika dia turun ke lantai bawah, langkahnya terhenti di depan sebuah pintu yang bercat sama seperti yang lain. Pintu kamar itu ditempati oleh Sonya dan Ciara. Ah, iya, Frani lupa jika ada Ciara bersama mereka. Secercah harapan bahwa suaminya tidak akan masuk ke dalam kamar Sonya. Gertakan Sonya perlahan sudah memudar di kepalanya. Hanya saja dia tidak tahu dimana Rendi.Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Detak jam dinding menggema dengan perlahan, mengisi kekosongan di dalam rumah itu. Semua orang pasti sudah