Inilah ujian yang sesungguhnya. Frani harus bolak-balik dari satu tempat ke tempat lainnya hanya untuk mengikuti kemauan sang mertua. Entah sengaja atau tidak, Fitri tidak henti-hentinya menyuruh dirinya mengambil barang ini, lalu pindah ke tempat lain untuk membuatkan sesuatu. Tidak ada waktu istirahat. Lima menit berikutnya, dia tidak boleh keluar kamar Fitri kecuali ada perintah. Frani menghembuskan nafas berulangkali, setidaknya hanya itu yang bisa dia lakukan. Rumah Fitri yang sangat besar dan luas menyulitkan Frani. Langkah pendeknya semakin membuat naik darah kalau dia harus berjalan cepat. Sepersekian detik, Frani menguap tanpa dia sadari. "Bosan?" tanya Fitri keki. Begitu saja menguap, pikirnya kesal. Frani mengoleksi cepat, "Mengantuk, Ma. Semalaman kurang tidur."Kalimat itu terasa memiliki makna yang lain. Frani seakan menyindir bahwa pasangan yang baru saja menikah tidak pernah bisa tidur dengan waktu yang cukup. Kenyataannya memang begitu. "Mengantuk? Hah! Memangny
Hilang? Siapa yang bicara? Rendi? Pria itu terlalu cemas. Padahal Frani sedang asyik berbelanja bersama Fitri. Fitri datang bersama Irwan karena pria itu ngotot ingin bekerja --selama Rendi ada di luar kota-- padahal Fitri sudah memberikan keringan seharian penuh ada di kantor kemarin. Hari ini, Irwan masih tetap ngotot ingin masuk kantor tapi Fitri menolak ide itu. Kondisi Irwan belum sembuh benar. Kalau kepalanya diharuskan banyak berpikir, bisa-bisa kondisinya kembali ke grade semula, parah.Berangkat dari rumah pagi, belum ada setengah hari mereka sudah sampai. Irwan mendapat informasi dimana hotel Rendi menginap, lalu dia datang untuk menjemput mereka. Fitri mempunyai hunian di daerah itu tapi hampir tidak pernah ditempati kecuali waktu-waktu tertentu. Semisal sekarang. Ketika mereka datang, Rendi belum pulang dari rapat. Makanya Fitri mengajak Frani untuk berbelanja sedikit. Mereka akan mengadakan pesta barbeque di halaman samping. Frani mengeluh samar. Jika Fitri bicara soal
Frani mengeluh samar. Bukannya dia baru saja berbaikan dengan sang mertua? Kenapa tiba-tiba harus ada wanita lain? "Bukan aku, Fran. Untuk apa aku mengundangnya?" ucap Rendi. Dia juga cemas kalau Sonya berada di tengah-tengah mereka. Frani tidak bisa berbuat banyak. Dia tidak mungkin mengusir tamu mertuanya bukan? Apakah Fitri sudah kembali ke mode asalnya? Mode ingin merusak hubungan pernikahan mereka? Rendi menggenggam jari istrinya, memasuki area pelataran rumah dengan muka yang tidak bersahabat. "Kenapa kamu bisa ada di sini? Kamu tahu ini liburan antar keluarga?"Sonya dengan arogannya menyunggingkan senyum kegilaannya. "Aku diundang oleh seseorang, Rendi. Biar lebih ramai menurutnya.""Empat orang sudah cukup ramai untuk mengisi tempat ini. Kalau kamu nggak keberatan, bisakah kamu kembali ke Jakarta? Aku akan meminta asistenku untuk mengantar kamu pulang," tegas Rendi, lebih mirip mengusir secara halus. Dia tidak mau Frani merasa tersisihkan karena adanya Sonya.Sonya mengang
"Kenapa, Fran?" tanya Rendi panik. Dia berlari ketika mendengar istrinya memekik. Frani meniup lengannya yang terasa terbakar karena siraman kopi. Sementara si tersangka tampak tidak merasa bersalah sama sekali. Dia yang menumpahkan kopi itu tapi tingkahnya lebih mirip boneka barbie yang polos. "Maaf, Fran. Aku nggak sengaja. Tadinya aku pikir sudah di atas meja, ternyata masih belum. Maaf ya?" ucap Sonya dengan muka yang dibuat menyesal karena melihat Ciara menghampiri.Rendi menatap tajam pada Sonya, tidak rela istrinya jadi bahan kekejaman wanita itu. "Punya mata nggak?""Ren, kalau ngomong disaring dulu deh. Sonya kan sudah bilang maaf. Mungkin waktu naruh tadi, dia nggak lihat sudah benar belum posisinya," kilah Ciara. Dia bukannya membela, hanya saja masalah siraman kopi bukan perkara penting. Sonya sudah minta maaf, keadaan Frani juga tidak terlalu parah. Kali ini Ciara yang mendapat tatapan menusuk dari pria yang sekarang ini sedang menyentuh lengan istrinya. "Maaf gampang,
Frani terbangun setelah mimpi buruk. Mimpi itu terasa sangat nyata, bahkan dalam mimpi itu dia menangis ketika Rendi benar-benar meninggalkannya seorang diri. Rendi pergi bersama wanita lain yang tidak dia ketahui. Saat dirinya histeris, dia tiba-tiba terbangun. Sebenarnya dia kesulitan tidur tadi, tapi entah kenapa kelopak matanya meredup dalam hitungan jam. Frani panik, pikirannya sudah tidak tentu arah. Dia bangun, berjalan ke luar kamar dan mencari dimana suaminya. Ketika dia turun ke lantai bawah, langkahnya terhenti di depan sebuah pintu yang bercat sama seperti yang lain. Pintu kamar itu ditempati oleh Sonya dan Ciara. Ah, iya, Frani lupa jika ada Ciara bersama mereka. Secercah harapan bahwa suaminya tidak akan masuk ke dalam kamar Sonya. Gertakan Sonya perlahan sudah memudar di kepalanya. Hanya saja dia tidak tahu dimana Rendi.Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Detak jam dinding menggema dengan perlahan, mengisi kekosongan di dalam rumah itu. Semua orang pasti sudah
"Apa perlu, Ma? Bukannya malah akan membuat asumsi lain? Aku yakin semua rumah tangga pasti punya permasalahan. Nggak ada rumah tangga yang bebas dari masalah. Kalau boleh aku menolak, sebaiknya aku nggak menceritakannya. Apalagi yang keluarga hanya aku, mama, dan Ciara. Sonya bukan keluarga kita, Ma. Aku nggak mau timbul gosip lain yang membuat hubunganku dan Mas Rendi menjadi renggang. Aku harap mama dan Ciara mengerti," jelas Frani. Dia mencoba mencari kata-kata sopan yang tidak akan menyinggung perasaan ketiga orang itu. Frani menatap satu persatu orang-orang di hadapannya. Fitri tampaknya tidak ingin mendebat pendapatnya, begitu juga Ciara. Berbeda dengan Sonya yang tidak bisa mengakhiri pembicaraan mereka. Dia tersinggung karena secara tidak langsung dianggap sebagai orang yang bisa menyebarkan gosip."Mama mengerti. Lagi pula mama juga sudah tahu alasannya," tukas Fitri. Hatinya benar-benar sudah mencair. Frani lega. "Kalau aku juga nggak ingin tahu sih sebenarnya. Mau bagai
Sonya melirik ke belakang, dia sempat melihat sebuah motor yang tadinya ada di belakang mobilnya berhenti ketika melihat Frani. Dia juga tahu kalau ponsel Frani diambil paksa, tapi dia tidak peduli. Meskipun perjalanan masih panjang dia tidak berniat untuk menghentikan mobilnya atau menolong Frani. Salah sendiri siapa yang menyuruh sombong? Menikah dengan Rendi bukan berarti wanita itu bisa menginjak harga dirinya. Hanya di depan Fitri dia bisa merendahkan diri tapi di belakangnya, jangan harap semuanya bisa terkendali.°°°Panggilan tidak tersambung.Kesekian kalinya Rendi menghubungi Frani tapi wanita itu tidak menjawab. Dia akhirnya menghubungi Fitri untuk memastikan kalau Frani tidak kembali ke hunian itu."Nggak kok, Ren. Bukannya Frani berangkat sama Sonya tadi? Harusnya sudah setengah perjalanan," jelas Fitri. "Nomornya nggak aktif, Ma," tukas Rendi resah."Kalau begitu, biar mama hubungi Sonya saja.""Iya, Ma. Tolong kabari aku kalau ada kabar."Rendi menutup panggilannya, di
"Kenapa, Mas? Ada masalah di kantor?" tanya Frani. Dia mengambil jas Rendi, lalu menyampirkan di lengannya.Rendi berusaha tersenyum, "Nggak ada, Sayang.""Mau aku buatin kopi, Mas?"Frani hendak berjalan ke dapur tapi Rendi memanggilnya. "Sini sebentar, Fran!"Frani mengangguk patuh. Dia duduk di samping suaminya, di atas sofa berwarna coklat muda yang baru-baru ini diganti warnanya. "Ada apa, Mas?"Tak disangka, Rendi langsung memeluk istrinya dari samping, mencari kenyamanannya sendiri. Padahal mereka ada di ruang keluarga, dimana masih banyak asisten rumah tangga yang mondar-mandir. Sepertinya Rendi memang sedang memiliki masalah. Frani ingin bertanya tapi dia takut salah bicara. "Aku kangen kamu, Fran. Seharian di kantor membuatku bosan."Cess!!!Hati Frani menghangat. Rasanya tidak terkira. "Aku juga kangen kamu, Mas.""Malam ini makan di luar ya?""Emangnya Mas mau makan apa?"Rendi menggeleng, "Apapun yang kamu mau aku juga pasti suka.""Kalau begitu gimana kalau makanan Kor
"Secara nggak langsung aku memang khawatirkan keadaan kamu, Gani. Dari awal menikah kita selalu berjuang untuk membahagiakan orang tua kamu tapi mereka nggak pernah sekalipun mengerti bahwa kamu juga butuh untuk dibahagiakan. Mungkin jika sekarang aku masih menjadi istri kamu, aku nggak akan pernah tahu bagaimana rasanya hidup sebebas ini," ucap Frani lemah. Jeda sejenak kemudian dia melanjutkan, "bukan karena aku sudah memiliki Mas Rendi dan harta yang nggak pernah aku bayangkan sebelumnya, tapi lebih pada bersyukur karena orang-orang di sekitarku nggak pernah memaksaku untuk bekerja keras. Mereka menghargaiku meskipun statusku, ya kamu pasti tahu. Terkadang aku berfikir, mungkin benar kebahagiaan akan datang setelah kita larut dalam kesedihan. Tuhan itu adil dan aku yakin kamu juga akan mendapatkan keadilanNya."Gani merasa dirinya menjadi suami yang paling bodoh sedunia karena tidak memahami kesulitan Frani selama menikah dengannya. Pria itu menundukkan kepalanya, sebelum air matan
Gani mendesis, "Nggak. Aku lihat lowongan pekerjaan ini di media sosial. Aku juga nggak tahu kalau laundry ini milik kamu, Fran."Frani tidak ingin percaya tapi memang benar dia membuka lowongan pekerjaan di media sosial. Lantas siapa yang harus disalahkan? Gani hanya berjuang untuk menghidupi hidupnya. Sementara Frani, dia juga membutuhkan karyawan baru. Untuk sementara ini, Frani tidak akan mengusik Gani."Ini camilan untuk kalian, Pak kurir yang baik," ucap Tanti sembari meletakkan beberapa bungkus makanan di meja kecil di pojok ruangan. Frani tergagap, dia buru-buru pergi dari sana sebelum Tanti mengetahui dia bertemu dengan pria lain. Apa dia perlu menceritakannya pada Rendi? Kira-kira respon apa yang akan diperlihatkan suaminya? Ya Tuhan, Frani takut sesuatu yang buruk terjadi pada mereka.°°°Gani membawa helm miliknya ke meja ruang tamu, dia duduk di sana dengan perasaan tidak karuan. Lelah rasanya. Bukan pekerjaan yang melelahkan tapi bertemu dengan Frani yang membuat dia e
"Kalian bertengkar?" tanya Septi di ujung telepon. Dia iseng menghubungi Frani tapi malah mendengar suara tidak biasa dari sahabatnya itu."Nggak kok. Kenapa kamu telepon? Ada masalah?" elak Frani. Dia selalu bisa menyembunyikan permasalahan dalam rumah tangganya."Yakin nggak apa-apa?""Yakin, Sep.""Oke kalau begitu. Aku telepon hanya ingin tanya apa kamu ingin sesuatu?""Sesuatu?" tanya Frani bingung."Hm. Sesuatu. Siapa tahu bumil ingin makan sesuatu."Frani sedang tidak berselera makan. Sejak Rendi pergi, dia hanya diam di dalam kamarnya. Bahkan ketukan di pintu yang memintanya untuk makan malam tidak dihiraukan. "Aku nggak ingin apa-apa, Sep. Thanks ya perhatiannya," ucap Frani pelan. "Ya sudah kalau begitu. Aku tutup dulu teleponnya. Kalau kamu butuh apa-apa bicara saja padaku. Kalau aku bisa, aku pasti belikan.""Iya. Selamat malam.""Malam."Frani menghembuskan napas dengan gelisah. Dia merindukan Rendi. Padahal baru beberapa jam mereka berpisah. Hanya saja rasa rindu itu t
"Tanti? Kenapa sendirian?" tanya Rendi bingung. Dia tidak sengaja melihat Tanti yang terduduk di depan ruko dengan mata sembab. Wanita itu mendongak begitu melihat Rendi."Nggak apa-apa, Pak. Kalau bapak cari Frani, dia sudah pulang dari tadi," elak Tanti sembari mengusap air matanya yang masih mengalir pelan. Dia meyakinkan Rendi bahwa dirinya baik-baik saja."Terjadi sesuatu? Saya dengar Rio menikah dengan salah satu staff kantor. Apa itu benar?" Tanti mengangguk lemas, "Dia bahkan nggak memberi saya kabar berbulan-bulan lamanya, Pak. Saya datang ke rumahnya juga nggak diterima baik oleh orangtuanya. Alasannya Rio pergi ke luar kota karena ada pekerjaan di sana. Saya mencoba percaya. Saya nggak pernah berpikir bahwa dia menjauh dari saya. Ketika saya datang untuk kesekian kalinya demi memberimu kabar tentang keguguran saya, saya melihat Rio pergi dengan wanita lain. Maafkan saya, Pak, kalau saya tiba-tiba bicara melantur. Saya permisi dulu."Rendi merasa ada sesuatu yang salah kala
"Tan," panggil Frani pelan.Tanti menunduk sedih, "Aku masih bisa mempertahankan kehamilanku, Fran. Aku yakin kalau bayiku masih ada."Rendi menyingkir dari sana karena beranggapan bahwa dia tidak memiliki kuasa untuk mendengarkan mereka. Mereka memiliki cara sendiri untuk menyelesaikan masalah mereka. Frani bangkit untuk duduk di sisi kanan Tanti. Dia menggenggam jemari Tanti, membiarkan Tanti mengerti apa yang dia khawatirkan. "Kata dokter gimana?"Begitu mendengar nama dokter disebut, air mata Tanti meluruh. Dia tidak yakin apakah dia sanggup menceritakan semuanya pada Frani. Beberapa jam lalu menjadi waktu yang paling menakutkan untuknya. Dia yang berharap semuanya akan indah harus merelakan bayinya pergi."Bayinya nggak bisa diselamatkan dan dia harus dikuret segera kalau nggak ingin ada bekas di dalam sana," seloroh Septi yang tidak sabar menunggu Tanti bicara."Kita harus lakukan prosedur itu, Tan," ucap Frani. Dia mempererat pelukan tangannya, "aku temani. Septi juga. Kita ha
"Kamu kenapa, Fran?" tanya Tanti cemas. Sejak berangkat ke pusat perbelanjaan, raut wajah Frani tidak sesantai itu. Ada sesuatu yang dipikirkan melihat bagaimana wanita itu menghela napas selama mereka sibuk memilih pakaian. Frani berusaha tersenyum, sungguh. Namun yang terlihat hanyalah seulas senyum tipis yang tidak berarti apa-apa. "Aku nggak apa-apa."Tanti meminta Frani untuk duduk lebih dulu di area sofa bundar yang digunakan untuk menjajal sepatu atau sandal di toko tersebut. Mereka sudah membeli banyak pakaian meskipun Tanti sudah menolaknya. Berbeda dengan Septi yang tidak bisa menjauhkan pandangan matanya dari barang-barang mahal itu.Tanti ikut duduk di samping Frani, lalu pertanyaan itu kembali muncul. "Ada apa? Kamu bertengkar dengan Pak Rendi gara-gara kami?"Frani agak terkejut karena Tanti sangat peka dengan keadaan. Kepalanya memberikan tanda penolakan. "Nggak. Siapa yang bilang? Kalau aku bertengkar mana mungkin aku bisa menemani kalian di sini?""Maaf ya kalau kami
Suasana di pemukiman yang padat penduduk itu berubah lebih ricuh dari biasanya. Para tetangga sibuk menimba air berusaha sekuat tenaga agar api tidak menyebar hingga rumah mereka. Mobil pemadam kebakaran sedang dalam perjalanan, begitu kendaraan merah itu datang, bunyi sirine benar-benar memekakkan telinga.Frani ingin beranjak dari tempatnya sekarang, tapi Rendi mewanti-wanti dirinya agar tetap di dalam mobil sementara suaminya sibuk menyelematkan teman-temannya. Jari-jari gemetar Frani saling bertautan, menunggu instruksi dari si pemilik untuk segera melakukan sesuatu. Arah pandang Frani tertuju pada gang. Jarak parkir mobilnya lumayan jauh dari sana, jadi dia kesulitan menerka. Hanya saja gang itu kini sudah beralih fungsi menjadi tempat tontonan warga. Jika saja gang tersebut tidak lebih besar dari mobil yang sedang dia tempati saat ini, pasti pemadam kebakaran akan kesulitan menangani situasi.Kalimat-kalimat doa yang tidak pernah putus diucapkan oleh wanita itu berbuah manis. S
Irwan mendengus, setiap kali istrinya mengadu pasti pada akhirnya ucapannya melantur kemana-mana. "Mama nggak berpikir kalau mama akhir-akhir sering plin-plan? Sebentar-sebentar baik pada Frani, menerimanya dengan lapang dada seolah Frani memang berhasil menjadi menantu yang baik. Beberapa hari kemudian berubah menjadi mertua yang jahat yang ingin mengusir menantunya. Lalu jadi baik lagi, belum juga beberapa bulan sudah kembali jahat. Memangnya kalau mama minta Rendi menceraikan Frani, anak kita akan terima? Apa mama nggak pernah berpikir kalau anak mereka nanti yang juga cucu kita, akan jadi bahan bully karena punya orangtua broken home? Apa mama nggak kasihan?"Hati Fitri tertohok begitu mendengar ucapan suaminya. "Tapi mama nggak bisa kalau harus berurusan dengan masa lalu Frani, Pa. Mama benci pada mantan mertuanya itu. Heran kenapa dia harus muncul di sana? Apa jangan-jangan dia membuntuti kita?"Irwan harus mulai menggunakan rayuannya agar Fitri mau berusaha lebih keras lagi unt
Suasana di kantor satpam tidak jauh berbeda. Mereka bukan bertikai secara fisik tapi dengan bibir. Adu mulut yang tidak lagi sekedar menyumpahi secara halus terdengar di sana-sini. Frani terkejut karena Fitri ternyata bisa menyumpahi orang. Dia pikir orang yang memiliki status tinggi tidak akan pernah mengutarakan hal buruk pada sembarang orang. Frani mungkin lupa bahwa dia pernah jadi bahan makian Fitri waktu itu. Kalau Sarah tidak perlu diragukan lagi. Dia lebih bisa menyalurkan emosinya dengan mulut ketimbang perbuatan. Makanya Frani tidak heran sama sekali. Justru yang heran dan tidak bisa berkata apa-apa adalah Rendi. Rendi datang karena Frani menelponnya. Frani tidak bisa mengatasi mereka sendiri. Supir mereka hanya bisa mengambil jalur tengah dengan mengorbankan tubuhnya untuk jadi kambing hitam, tapi yang namanya para wanita sedang menyalurkan bakat terpendam tidak akan mudah dialihkan. Ada-ada saja cara agar keduanya bisa saling menarik rambut lawan.Rendi mendekati mamanya,