"Mau apa dia, Mas?" tanya Frani sedikit menuntut ketika Rendi sudah menyelesaikan panggilannya. Sepanjang menit tadi, wanita itu tampak serius melihat wajah Rendi. Tidak ada yang aneh, tapi dia merasa ada sesuatu yang tidak akan beres kalau menyangkut Gani.Frani ingin bertemu Gani disaat yang tepat. Dia ingin membuktikan bahwa dia juga bisa bahagia tanpa mantan suaminya itu. Sejujurnya Frani memiliki ambisi untuk membanggakan hidupnya pada keluarga mantan suaminya --termasuk Celia-- pasca bercerai, apalagi kalau dia bisa memiliki anak. Sungguh hal itu yang menjadi kunci utama dia bisa membanggakan dirinya. Kalau dia berhasil punya anak dan dia bukan wanita yang memiliki kekurangan. Namun sayang, alasan paling terakhir yang paling memberatkannya.Rendi berdehem, tidak tampak terintimidasi sama sekali. "Minta bertemu nanti setelah pulang kantor."Jangan, Mas!" ucap Frani tiba-tiba membuat Rendi menoleh bingung. Wanita itu kemudian mengoreksi ucapannya, "maksudnya, kita nggak tahu apa y
Frani sudah pasrah ketika dia harus menghadapi Gani. Dia berharap tidak ada ucapan pria itu yang membuat Rendi sakit hati. Lengkungan bibir Frani sudah ditarik hingga membentuk sebuah senyuman tapi begitu langkah Gani mendekat, senyum wanita itu seolah luluh lantak. Tidak berbekas sama sekali.Pria yang dulu menjadi tambatan hatinya kini kembali hadir. Pria yang membuat dia sakit hati kini muncul tanpa bisa dia cegah. Ya, mungkin saat ini bukan waktu yang tepat tapi dia yakin jika pernikahannya dengan Rendi tidak ada kaitannya dengan Gani. Apapun yang terjadi padanya, sudah bukan urusan Gani.Belum juga duduk, Gani sudah memborbardir Rendi dengan serentetan ancaman. Frani bisa menangkap jika yang diinginkan Gani bukan pertanggungjawaban sesungguhnya melainkan uang. Apa dia masih kesulitan keuangan? Apa Celia mengeruk keuntungan dari perceraian mereka? Tentu saja. Celia tidak akan mau hidup miskin. Pasti dia sudah menguasai ruko miliknya dan mengemban tugas sebagai si pemilik yang sah.
"Dapat duitnya?" tanya Celia. Wanita itu sedang memoles kuku-kukunya dengan cat warna ungu muda sesuai dengan warna rambutnya. Kemarin, seharian dia pergi ke salon hanya untuk merubah penampilan. Tentu saja uang yang dia gunakan adalah uang Gani. Usaha laundry yang dirintis oleh Frani telah habis terjual karena paksaan dari Celia karena dia enggan mengurus bisnis kecil-kecilan. Belum genap satu minggu, uang penjualan ruko laundry sudah habis karena Celia memutuskan untuk membuka bisnis warung makan. Namun sayang, wanita yang sama sekali tidak berniat untuk bekerja itu malah membuat kerugian yang cukup besar untuk suaminya. Motor hasil jerih payah Frani terjual untuk menutupi hutang dan menyisakan motor butut yang bahkan tidak layak jual.Apakah Gani berhasil hidup sukses setelah semua kekacauan yang dilakukan istrinya? Oh, tidak. Tuhan tentu Maha Adil. Dia masih mencoba menguji kesabaran Gani. Lagi-lagi karena paksaan Celia, dia harus berhutang pada rentenir untuk membeli motor baru
Frani uring-uringan. Sepanjang hari setelah bertemu dengan Gani, rasa penasarannya muncul. Apakah Gani baik-baik saja dengan Celia? Apakah Celia bisa hamil? Kalau memang benar Celia hamil, apakah artinya dirinya yang benar-benar tidak bisa memberikan keturunan? Tubuhnya seketika memanas, takut jika apa yang dia takutkan benar-benar terjadi. Andai benar, dia tidak sanggup menghadapi dunia. Meskipun dia sudah mengajukan pertanyaan tentang anak pada Rendi, tetap saja dia berharap masih ada setitik harapan. Kalau dia tidak bisa memberikan keturunan, apakah mertuanya akan diam saja?"Ada apa, Fran? Ada yang kamu pikirkan?" gumam Rendi dengan suara seraknya. Dia sudah tidur, tapi mendengar suara derit ranjang yang tidak biasa, dia kembali membuka mata. Ternyata istrinya belum tidur. Dilihatnya jam dinding yang menunjukkan pukul dua belas malam. Apa yang sedang dipikirkan Frani? Frani tersentak, dia menoleh pada Rendi. Tatapannya jelas tidak tentu arah. "Nggak, Mas. Hanya belum bisa tidur
"Mas Rendi kenapa wajah kamu begitu?" pekik Frani ketika melihat suaminya pulang dari kantor dalam keadaan yang kacau. Tidak sepenuhnya kacau karena hanya wajahnya saja yang terluka. Di ujung bibirnya terlihat membiru dan berdarah. Area pipi dan pelipis juga tidak jauh berbeda. Ada apa ini? "Kamu berkelahi, Mas? Ya Tuhan, Mas, kamu seperti anak kecil saja. Duduklah! Aku obati dulu."Rendi hanya tersenyum menanggapi serentetan kalimat panjang dari istrinya. Melihat Frani cemas saja sudah membuat dia senang apalagi mendengar omelannya? Tidak ada yang lebih menyenangkan dari pada mendengar suara Frani. Setelah mendapat pukulan dari Gani sebanyak tiga kali, dia memutuskan untuk pulang. Dia tidak membalas ataupun berusaha menyelamatkan diri karena dengan itu orang-orang tahu bahwa dia adalah korban. Biarkan Gani kalang kabut. Pria itu marah pada ucapannya yang tidak mungkin hanya isapan jempol. Semua selingkuhan itu sama niatnya. Merusak rumah tangga orang, lalu tidak bahagia dengan selin
Fitri emosi. Dalam hati dia bersyukur karena harus menjenguk Marlin --teman sejawatnya-- yang tiba-tiba masuk rumah sakit untuk menjalani operasi cesar. Kehamilannya yang diusia separuh senja membuat dia tidak bisa melahirkan normal.Sepanjang lorong rumah sakit, dia tidak mau repot-repot memusatkan perhatian pada orang-orang yang sibuk menunggu nomor antrian. Tapi ketika dia melihat sekelebat bayangan Rendi dari arah samping, dia penasaran. Lorong tersebut dikhususkan untuk orang-orang yang berkepentingan dalam masalah kandungan dan sebagainya. Fitri juga pernah mendengar nama dokter yang menjadi dokter spesialis handal di rumah sakit itu. Melihat gelagat Frani yang agak gugup, Fitri semakin curiga. Kenapa mereka harus ada di sana kalau tidak ada kepentingan? Kenapa juga mereka harus periksa ke dokter obgyn kalau memang tidak ada keluhan? Dari sanalah, Fitri melebarkan asumsi bahwa Frani mengalami permasalahan yang tidak dia ketahui. Dengan marah, dia mendatangi dua orang yang sudah
Inilah ujian yang sesungguhnya. Frani harus bolak-balik dari satu tempat ke tempat lainnya hanya untuk mengikuti kemauan sang mertua. Entah sengaja atau tidak, Fitri tidak henti-hentinya menyuruh dirinya mengambil barang ini, lalu pindah ke tempat lain untuk membuatkan sesuatu. Tidak ada waktu istirahat. Lima menit berikutnya, dia tidak boleh keluar kamar Fitri kecuali ada perintah. Frani menghembuskan nafas berulangkali, setidaknya hanya itu yang bisa dia lakukan. Rumah Fitri yang sangat besar dan luas menyulitkan Frani. Langkah pendeknya semakin membuat naik darah kalau dia harus berjalan cepat. Sepersekian detik, Frani menguap tanpa dia sadari. "Bosan?" tanya Fitri keki. Begitu saja menguap, pikirnya kesal. Frani mengoleksi cepat, "Mengantuk, Ma. Semalaman kurang tidur."Kalimat itu terasa memiliki makna yang lain. Frani seakan menyindir bahwa pasangan yang baru saja menikah tidak pernah bisa tidur dengan waktu yang cukup. Kenyataannya memang begitu. "Mengantuk? Hah! Memangny
Hilang? Siapa yang bicara? Rendi? Pria itu terlalu cemas. Padahal Frani sedang asyik berbelanja bersama Fitri. Fitri datang bersama Irwan karena pria itu ngotot ingin bekerja --selama Rendi ada di luar kota-- padahal Fitri sudah memberikan keringan seharian penuh ada di kantor kemarin. Hari ini, Irwan masih tetap ngotot ingin masuk kantor tapi Fitri menolak ide itu. Kondisi Irwan belum sembuh benar. Kalau kepalanya diharuskan banyak berpikir, bisa-bisa kondisinya kembali ke grade semula, parah.Berangkat dari rumah pagi, belum ada setengah hari mereka sudah sampai. Irwan mendapat informasi dimana hotel Rendi menginap, lalu dia datang untuk menjemput mereka. Fitri mempunyai hunian di daerah itu tapi hampir tidak pernah ditempati kecuali waktu-waktu tertentu. Semisal sekarang. Ketika mereka datang, Rendi belum pulang dari rapat. Makanya Fitri mengajak Frani untuk berbelanja sedikit. Mereka akan mengadakan pesta barbeque di halaman samping. Frani mengeluh samar. Jika Fitri bicara soal