“Manis sekali,” ucap seorang pria tanpa malu sembari menghirup aroma tubuh Zeva di bagian pundak sebelah kanan yang hanya terbalut oleh selimut.
Sesekali Zeva menarik tubuhnya untuk sedikit menjauh. Sedang tangan pria tersebut tengah asik menggaruk lembut pinggang Zeva.
Karena merasa risih, spontan tubuhnya bergeser hingga pandangan Zeva dengan jelas menatap raut wajah seorang predator penuh birahi.
“Ini sudah lebih dari jam kesepakatan.” Zeva menunduk dan berucap dengan perasaan takut.
Pria itu terkekeh kecil. “Baiklah. Aku tidak akan mencuri,” lirihnya terus menggoda sembari beralih menjauhi ranjang.
Sesaat kemudian, Zeva menghembuskan napas yang sudah lama ia tahan. Ini memang bukan yang pertama kali. Akan tetapi, perasaan takut masih mencekam dengan cara yang sama. Jika bukan karena tidak ada pilihan lain, Zeva mungkin sudah nekat melarikan diri.
Siapa pun pasti berpikir, mengapa Zeva tak menolak? Mengapa Zeva tidak bertindak lebih berani untuk menentang semuanya? Mengapa Zeva hanya terdiam tanpa bantahan?
‘Mengapa aku tak bunuh diri saja?’ batin Zeva masih dengan kepala tertunduk penuh sesal.
Semua terjadi karena tekanan yang tak berujung. Tidak ada satu hari pun di mana Zeva membayangkan kehidupan yang demikian. Masa depan yang ia dambakan bukanlah semacam ini. Kehidupan layak, tubuh yang sehat, mental yang stabil, itu semua hanyalah harapan yang sudah lama terkubur. Atau bahkan sudah menghilang.
Bukan atas kemauan sendiri. Segala aktivitas hina yang ia lakukan adalah tuntutan dari seseorang yang seharusnya melindungi dan mengayomi Zeva sebagai keluarga, namun ia malah berlaku sebaliknya. Seseorang yang dengan sengaja menjajankan istrinya kepada rekan-rekan kerja, hingga siapa pun yang bersedia memberikan upah sebesar mungkin.
TING! Terdengar notifikasi pesan dari ponsel yang ada di dekat perempuan itu.
[ Deren : Aku pulang terlambat hari ini. Selamat menikmati jamuanmu sayang ]
Tubuh Zeva bergetar haru membaca pesan dari seseorang yang secara sah menjadi suami. Dialah, laki-laki yang dengan tega menjual istrinya sendiri demi pundi-pundi rupiah di atas tuntutan pelunasan hutang keluarga Zeva.
Deren yang selama ini membumbui kehidupan Zeva penuh dengan seruan tangis, erangan kencang yang hanya sebatas amarah tak bermakna, bahkan hingga luka fisik yang menghiasi sekujur tubuh.
Namun, pernyataan tersebut tidak akan mengubah apa pun. Siapa saja yang mengetahui kondisi tersebut juga akan diam tak bergeming.
Siapa yang akan peduli dengan siapa? Tidak ada. Sekencang apa pun Zeva berteriak, suaranya tidak akan pernah sampai. Seolah semua orang sibuk menutup telinga, karena menganggap Zeva itu siapa? Jelas bukan siapa-siapa.
“Katakan pada suamimu bahwa aku sangat menikmati jamuan hari ini,” kekeh pria itu sebelum beralih pergi meninggalkan Zeva sendiri.
“Sampai bertemu kembali sayang,” tambahnya disambung dengan suara pintu tertutup.
Kepergian predator mengerikan itu memberikan ketenangan yang luar biasa bagi Zeva. Matanya sibuk memandang ke arah tubunya sendiri. Melihat banyak bekas luka lama yang Zeva sendiri tak yakin bisa sembuh dalam hitungan tahun. Hari-hari yang Deren sebut sebagai perjamuan akan menjadi trauma permanen yang tidak akan pernah hilang dari memori Zeva.
“Sampai kapan aku harus terkurung seperti ini?” lirihnya menyesali nasib.
***
Sepulang dari hotel, Zeva menyempatkan diri untuk mengisi perut. Kakinya berhenti di sebuah warung makan yang setengah jam lagi akan ditutup.
Di sudut lain, seorang wanita paruh baya mendekati meja Zeva dengan semangkuk soto ayam sembari bertanya, “Baru pulang kerja, Nduk?”
“Begitulah, Bu," singkatnya.
“Memang selarut ini?”
Zeva tersenyum ringan. “Ada tugas lembur yang harus saya selesaikan malam ini juga, Bu.” sebutnya berbohong
Beliau mengangguk. Menganggap perkataan tersebut adalah sebuah kebenaran.
“Lantas suamimu di mana, Nduk? Tak sepantasnya dia membiarkanmu sendirian,” terang beliau.
Spontan Zeva menggerakkan bola mata melirik ke arah sang penjual yang sesekali juga memperhatikan cincin di jari manisnya.
Zeva diam. Baginya tidak ada hari di mana ia bisa membahas kepedulian dari seorang suami.
“Beruntung sekali, Nduk. Suamimu akhirnya datang menjemput,” ucap beliau sekenanya sambil membawa beberapa piring kotor yang kemudian dibawa ke dalam.
Sontak Zeva berbalik ke arah belakang.
Pandangannya menangkap seseorang sedang berjalan menghampiri di tengah gelapnya malam. Samar-samar perawakan pria tersebut lain dari perawakan Deren. Zeva melihat postur tubuhnya begitu gagah dan bidang. Tinggi badannya mungkin berkisar pada angka satu koma tujuh meter. Dari caranya berjalan, Zeva juga semakin yakin bahwa itu bukan Deren.
Ia segera menggelengkan kepala untuk menepis semua dugaan. ‘Apa gunanya aku mengharapkan kehadiran Deren’ batinnya sembari memposisikan tubuh menghadap makanan yang sudah harus segera ia habiskan.
Tak lama kemudian, sang penjual kembali muncul dengan sapaan ramah ke arah seseorang yang sekarang sudah tepat di belakang Zeva. “Mau jemput istrinya ya, Mas?” goda sang Ibu.
Mata Zeva terbuka lebar mendengar pertanyaan yang secara terang-terangan menanyakan sesuatu tanpa mengetahui kebenarannya.
Namun, samar ia juga mendengar tawa dari pria tersebut yang seolah menyetujui pertanyaan sang ibu.
“Bungkus nasi sotonya tiga porsi ya, Bu,” ucap seorang pria yang tengah duduk di samping Zeva.
Mendadak suasana menjadi canggung. Mengingat pertanyaan sang ibu beberapa menit lalu membuat Zeva bergidik sendirian. Lehernya kini berubah mematung seolah tidak ingin menoleh ke arah pria di sampingnya.
Sepuluh menit berlalu, tidak ada percakapan di antara mereka berdua. Zeva bahkan tidak berniat untuk membuka percakapan yang entah harus dimulai darimana. Diam mungkin lebih baik daripada harus menguras energi.
Lima menit kemudian, satu kantong plastik pesanan pria tersebut telah diberikan. Selanjutnya adalah ucapan terima kasih untuk menjeda pertemuan hingga waktu yang tidak ditentukan.
“Terima kasih, Bu.” Pria itu berucap dengan penuh santun.
Hal yang tak Zeva duga adalah ketika pria tersebut menundukkan badannya tepat di samping wajah sembari berucap, “Apakah makanmu sudah selesai?”
Semua bisa menebak bawa jantung Zeva kemungkinan berhenti sejenak. Ia mengangguk kecil di tengah rasa canggung dan ketidaktahuan.
“Mari! Saya antar kamu pulang,”ajak pria itu dengan lembut.
“Pulanglah, Nduk. Sebentar lagi tokonya juga mau saya tutup,” sahut sang penjual memberi keyakinan.
Pandangan Zeva melirik ke area kanan dan kiri. Ia menyadari bahwa pulang sendirian di tengah malam mungkin akan lebih merugikan.
“Baiklah,” singkatnya menoleh ke arah pria tersebut yang sedari tadi tersenyum manis menunggu jawaban.
***
“Tolong berhenti di depan saja.” Untuk pertama kalinya Zeva berucap setelah mobil melaju jauh menelusuri jalan pulang.
Mobil pun dihentikan. Tanpa menoleh lagi ke arah pria tersebut, Zeva menunduk mengucap terima kasih.
“Tunggu!” seru pria itu menghentikan aksi Zeva membuka pintu mobil. Ia terdiam menunggu kalimat selanjutnya.
“Senang bertemu denganmu,” sambungnya membuat dada perempuan itu kembali berdebar.
Zeva tersenyum senang untuk pertama kali di sepanjang hari. “Terima kasih atas tumpangannya.”
Kali ini Zeva sudah benar-benar berada di tepi jalan. Matanya memperhatikan sekitar untuk memastikan jika ada seseorang yang mungkin melihat gerak-geriknya. Hingga tak lama kemudian, mobil itu pergi meninggalkannya sendiri.
Lagi-lagi helaan napas terdengar. Hanya saja kali ini penuh dengan ketenangan yang mungkin hanya bertahan untuk sesaat.
“Aku harus sudah berada di rumah sebelum Deren datang,” lirih Zeva sembari melangkah menyebrangi jalan.
***
Saat pergelangan tangan diputar untuk membuka kunci pintu, terdengar suara mobil mendekat ke arah Zeva. Itu adalah pemandangan mobil milik Deren.
Namun, kali ini Deren tak sendiri. Ia juga melihat seorang wanita tengah sibuk membopong tubuh seorang pria yang tak sadarkan diri.
“Cepat bukakan pintu!” seru wanita itu dengan nada membentak.
Segera setelah lengkingan terdengar, pergelangan tangan Zeva langsung memutar dengan sendirinya.
BUGH! Akhirnya tubuh Deren berhasil dibaringkan di atas sofa.
Tatapan wanita itu menusuk tajam ke arah Zeva yang hanya terdiam dengan pikiran kosong. “Di sini ada air kelapa?” ketus perempuan itu membuyarkan lamunan Zeva.
Tak ingin menjawab, Zeva langsung mengangkat kaki untuk mengambil sebotol minuman yang dibutuhkan.
“Lain kali urus suamimu dengan benar!” Wanita itu berucap tegas sembari menyahut botol minum dari tangan Zeva.
Ia hanya terdiam dengan senyuman kecil. Memandangi seorang perempuan di hadapan yang tengah sibuk membangunkan suaminya. Senyum Zeva semakin melebar ketika perempuan itu menyerah dengan air kelapa yang tak kunjung membangunkan Deren.
Tanpa berucap, Zeva langsung menggantikan posisi wanita itu sembari meraih tubuh Deren dan memukul punggungnya sekali dengan keras.
“Uhuk!” Deren terbatuk diiringi dengan keluarnya cairan alkohol bercampur air kelapa.
“Sekarang jangan mengajari aku cara untuk mengurus suamiku sendiri,” jelas Zeva tanpa ekspresi di tengah keheningan tepat menghadap ke arah perempuan asing di hadapanya.
*** “Makan malam dulu, Mas,” ramah sang istri ketika melihat suaminya sudah terbangun dari pengaruh minuman keras. Deren membisu. Sedangkan tangannya sibuk memijat-mijat kepala di atas sofa ruang keluarga. Melihat suaminya mendesis tak nyaman, Zeva beralih dari dapur dan mendekat ke arah Deren untuk menawarkan bantuan. Saat tubuhnya bersiap untuk mengusap kepala, Deren berteriak lantang ingin menolak. “Jangan menyentuhku!” bentaknya. Seketika dada Zeva terasa seperti tertusuk duri. Seribu perhatian yang ingin ia tunjukkan selalu dibalas dengan bantahan. Sekali lagi, semua yang seperti ini bukanlah kali pertama bagi Zeva. Rasa sakit yang ia terima juga masih sama rasanya. Bahkan suara lantang itu juga sudah berulang kali melukai gendang telinga. Namun, sekalipun Zeva tidak pernah berniat untuk membantah sebagai seorang istri. “Tadi aku masak sop buntut kesukaan Mas Deren. Aku ambilkan ya, Mas?” lembutnya tetap menunjukkan bakti. Deren menggeleng dengan yakin. Bukannya memberik
*** Zeva berjalan menelusuri lorong hotel untuk mencari nomor kamar dari secarik kertas yang Deren berikan. Di sepanjang kakinya melangkah, Zeva hanya terdiam dengan tatapan kosong. Membayangkan baru semalam ia harus melakukan pekerjaan itu dan hari ini ketakutannya akan terulang kembali. Merasa dirinya telah sampai pada tujuan, Zeva mengangkat kepala sejenak untuk memastikan bahwa ruang di hadapannya adalah kamar yang benar. “237,” lirihnya mengulang angka yang tercatat pada kertas yang ia bawa. Zeva sedikit ragu ketika tangannya harus bergerak untuk mengetuk pintu. “Lakukan saja seperti biasanya,” tuturnya berbisik meyakinkan diri sendiri. Sesaat setelah ketukan yang ketiga, pintu itu ternyata tak dikunci. Dengan sedikit keraguan yang tertinggal, Zeva membuka daun pintu dan memutuskan untuk masuk ke dalam. Setelah pintunya kembali tertutup, ia mendengar suara percikan air dari arah kamar mandi. Melihat baju kerja yang berserakan di atas kasur, Zeva segera merapikan tempat tidu
*** Semua pasang mata dari karyawan di sebuah perusahaan ternama memandang ke arah Zeva yang tengah bersama dengan pemilik perusahaan tersebut. Ia merasa tak nyaman, karena semua terlihat seolah memiliki tujuan lain. Sesekali mereka juga berbisik satu sama lain dengan lirikan tak suka dan penuh rasa dengki. Aksa merangkul pundak Zeva dengan tangan kirinya tanpa menghadap ke arah perempuan tersebut. Ia yakin bawa perempuan di sampingnya pasti merasa tidak nyaman dengan lingkungan baru. Namun, Aksa tidak ingin hal itu membuat Zeva mundur untuk melupakan keberanian yang harus ia kumpulkan. “Apakah kamu merasa buruk?” tanya Aksa sembari tetap berjalan beriringan menuju ruang utama untuk sapaan pagi. Zeva kemudian mendekatkan tubuhnya pada Aksa dengan arah pandang masih tertuju pada seluruh karyawan yang tak kunjung reda memperhatikannya. “Aku rasa mereka ingin membunuhku,” bisik Zeva santai mengundang gelak tawa bos barunya. Tak berapa lama, Aksa meminta Zeva ikut bersamanya untuk di
*** Dari kejauhan, Aksa dengan empatinya memandang ke arah seorang perepuan yang sedari tadi hanya menangis di atas tempat tidur. Setelah kejadian itu, Aksa segera membawa Zeva ke rumah sakit untuk pengobatan luka fisiknya. Bahkan di sepanjang jalan Zeva hanya terdiam dengan tangis yang terus mengalir. Aksa menjadi tak tega melihat kondisi Zeva semakin meprihatinkan. Ia tidak tahu betul apa yang sedang terjadi, karena keterlambatannya untuk mengetahui bagaimana Deren menyiksa Zeva dengan sangat keji. Sejurus kemudian, Aksa melihat sebuah nampan masih lengkap berisi makan dan minum yang sedari tadi tidak disentuh oleh Zeva. Selangkah demi langkah pria itu berjalan mendekat ke arah ranjang. Ketika tubuhnya berdiri tepat di belakang perempuan tersebut, Aksa kemudian ikut membaringkan tubuh di sebelah Zeva. Aksa menghadapkan tubuhnya ke atas dengan kedua tangan saling memegang di atas perut. “Kamu boleh tinggal di sini selama yang kamu mau,” Mengingat kejadian mengerikan itu, Aksa
Meskipun kondisi luka belum membaik, Zeva masih sempat memikirkan sang suami yang menurutnya akan datang untuk mencari. Seolah ia lupa tentang siapa yang membuat luka dari mulanya tidak ada menjadi ada.Aksa menghela napas pelan di samping perempuan itu. “Haruskah aku memberitahu tentang keberadaanmu padanya?” tanya Aksa dengan nada terpaksa.Sebagai manusia yang memiliki akal, Aksa merasa kesal ketika Zeva menanyakan perhatian Deren yang jelas-jelas sangat mencurigakan untuk dipercaya.“Setidaknya seseorang butuh waktu tiga hari untuk bisa berubah. Sekarang apa yang kamu harapkan dari seorang suami yang kemarin baru menyiksamu seburuk ini?”Zeva mengikuti kemana arah tubuh Aksa dibawa beranjak dari posisinya. Sekilas ia memperhatikan raut wajah Aksa yang terkesan kecewa.“Jika butuh bantuan, panggil saja. Aku ada di lantai bawah,” kata Aksa meninggalkan Zeva tanpa menoleh sekalipun.Mendapat perlaku
***Senang rasanya melalui malam yang begitu panjang dengan penuh ketenangan. Setidaknya, ada sedikit celah bagi seorang Zeva untuk berdamai dengan rasa sakit.Di sisi lain, kejadian tak terduga yang semalam masih meragnkul ingatannya erat-erat. Sentuhan lembut dari seorang pria yang tak sengaja bertemu berhasil meninggalkan kesan tak biasa di lubuk hatinya. “Aku ingin ikut denganmu,”Suara itu berhasil menghentikan langkah seorang pria tengah merapikan baju kerjanya. “Tunggu saja di sini. Sore nanti aku akan membawamu pergi,” ucap Aksa melanjutkan aktivitasnya.“Bagaimana dengan permintaanku semalam?” ragu Zeva menanyakan ketersediaan Aksa untuk memberinya izin bertemu dengan sang suami.Aksa masih berharap jika ingatan perempuan tersebut bisa dengan mudah menyingkirkan bahasan tentang suaminya. Namun, Aksa juga paham jika semua itu belum terjadi, maka permintaan akan terus disampaikan hinggag disetujui.“Aksa…”“Kita bahas nanti sore saja,” sahut Aksa meraih tas kerjanya.Sesaat s
CEKLEK!Gagang pintu pun berbunyi ketika Aksa menarik benda tersebut ke bawah agar terbuka.Sesaat kemudian, terlihat seorang perempuan dengan baju miliknya sedang menyiapkan hidangan di atas meja makan tak jauh dari kamar.Zeva segera melempar senyuman ramah ketika Aksa muncul tiba-tiba. “Maafkan aku karena memakai kaos dan celana panjangmu,” ucapnya sesekali menengok ke arah lawan bicara.“Bukan masalah. Pakai saja selagi kamu nyaman,” jawab Aksa sembari berjalan mendekati Zeva.Semula menghadap perempuan itu, Aksa memalingkan pandangannya pada sebuah mangkuk besar berisikan sup buntut yang terlihat segar dan mengundang lapar.“Karena hidanganmu, hidungku menjadi lebih peka soal makanan,” guraunya di tepi meja.Zeva tertawa kecil. “Silakan,” ramahnya menawari Aksa untuk segera menyantap makan siang.Sebelum Zeva mengambilkan makanan untuk Aksa, pria tersebut meraih tangan kanan Zeva pelan. “Ze, bisakah kamu bertahan denganku saja?”Mendengar pertanyaan itu membuat Zeva hanya bisa me
***Aksa masih tidak menyangka jika Zeva akan melakukan cumbuan itu tepat di depan kamera yang ia gunakan untuk memberi Deren pelajaran. Ia yakin sekali bahwa saat ini Deren tengah berusaha meredakan emosi dengan meluapkan tekanan itu semua.Saat perempuan tersebut memundurkan tubuh sedikit menjauh, ia menunduk malu karena perbuatannya sendiri.“Rasanya aneh ketika kamu mengizinkan aku untuk kembali dengan suamiku,” lirihnya memberikan konfirmasi.“Bukankah itu yang kamu mau selama ini? Untuk apa masih menanyakan seorang suami biadab jika kamu tidak berharap kembali kepadanya?”Mendadak mulut Zeva seola tak mampu berbicara. Ia bakan menjadi ragu dengan perasaannya sendiri.Terkadang lubuk hati kecilnya merindukan masa-masa bersama Deren meskipun tak pernah tercatat memori bahagia di sana. Namun, Zeva juga merasakan pedih ketika mendengar Aksa memperbolehkan dirinya kembali pada sang suami.Aksa kemudian menautkan jari jemari tangan kiri di atas tangan kanan Zeva yang disatukan dengan
***Aksa masih tidak menyangka jika Zeva akan melakukan cumbuan itu tepat di depan kamera yang ia gunakan untuk memberi Deren pelajaran. Ia yakin sekali bahwa saat ini Deren tengah berusaha meredakan emosi dengan meluapkan tekanan itu semua.Saat perempuan tersebut memundurkan tubuh sedikit menjauh, ia menunduk malu karena perbuatannya sendiri.“Rasanya aneh ketika kamu mengizinkan aku untuk kembali dengan suamiku,” lirihnya memberikan konfirmasi.“Bukankah itu yang kamu mau selama ini? Untuk apa masih menanyakan seorang suami biadab jika kamu tidak berharap kembali kepadanya?”Mendadak mulut Zeva seola tak mampu berbicara. Ia bakan menjadi ragu dengan perasaannya sendiri.Terkadang lubuk hati kecilnya merindukan masa-masa bersama Deren meskipun tak pernah tercatat memori bahagia di sana. Namun, Zeva juga merasakan pedih ketika mendengar Aksa memperbolehkan dirinya kembali pada sang suami.Aksa kemudian menautkan jari jemari tangan kiri di atas tangan kanan Zeva yang disatukan dengan
CEKLEK!Gagang pintu pun berbunyi ketika Aksa menarik benda tersebut ke bawah agar terbuka.Sesaat kemudian, terlihat seorang perempuan dengan baju miliknya sedang menyiapkan hidangan di atas meja makan tak jauh dari kamar.Zeva segera melempar senyuman ramah ketika Aksa muncul tiba-tiba. “Maafkan aku karena memakai kaos dan celana panjangmu,” ucapnya sesekali menengok ke arah lawan bicara.“Bukan masalah. Pakai saja selagi kamu nyaman,” jawab Aksa sembari berjalan mendekati Zeva.Semula menghadap perempuan itu, Aksa memalingkan pandangannya pada sebuah mangkuk besar berisikan sup buntut yang terlihat segar dan mengundang lapar.“Karena hidanganmu, hidungku menjadi lebih peka soal makanan,” guraunya di tepi meja.Zeva tertawa kecil. “Silakan,” ramahnya menawari Aksa untuk segera menyantap makan siang.Sebelum Zeva mengambilkan makanan untuk Aksa, pria tersebut meraih tangan kanan Zeva pelan. “Ze, bisakah kamu bertahan denganku saja?”Mendengar pertanyaan itu membuat Zeva hanya bisa me
***Senang rasanya melalui malam yang begitu panjang dengan penuh ketenangan. Setidaknya, ada sedikit celah bagi seorang Zeva untuk berdamai dengan rasa sakit.Di sisi lain, kejadian tak terduga yang semalam masih meragnkul ingatannya erat-erat. Sentuhan lembut dari seorang pria yang tak sengaja bertemu berhasil meninggalkan kesan tak biasa di lubuk hatinya. “Aku ingin ikut denganmu,”Suara itu berhasil menghentikan langkah seorang pria tengah merapikan baju kerjanya. “Tunggu saja di sini. Sore nanti aku akan membawamu pergi,” ucap Aksa melanjutkan aktivitasnya.“Bagaimana dengan permintaanku semalam?” ragu Zeva menanyakan ketersediaan Aksa untuk memberinya izin bertemu dengan sang suami.Aksa masih berharap jika ingatan perempuan tersebut bisa dengan mudah menyingkirkan bahasan tentang suaminya. Namun, Aksa juga paham jika semua itu belum terjadi, maka permintaan akan terus disampaikan hinggag disetujui.“Aksa…”“Kita bahas nanti sore saja,” sahut Aksa meraih tas kerjanya.Sesaat s
Meskipun kondisi luka belum membaik, Zeva masih sempat memikirkan sang suami yang menurutnya akan datang untuk mencari. Seolah ia lupa tentang siapa yang membuat luka dari mulanya tidak ada menjadi ada.Aksa menghela napas pelan di samping perempuan itu. “Haruskah aku memberitahu tentang keberadaanmu padanya?” tanya Aksa dengan nada terpaksa.Sebagai manusia yang memiliki akal, Aksa merasa kesal ketika Zeva menanyakan perhatian Deren yang jelas-jelas sangat mencurigakan untuk dipercaya.“Setidaknya seseorang butuh waktu tiga hari untuk bisa berubah. Sekarang apa yang kamu harapkan dari seorang suami yang kemarin baru menyiksamu seburuk ini?”Zeva mengikuti kemana arah tubuh Aksa dibawa beranjak dari posisinya. Sekilas ia memperhatikan raut wajah Aksa yang terkesan kecewa.“Jika butuh bantuan, panggil saja. Aku ada di lantai bawah,” kata Aksa meninggalkan Zeva tanpa menoleh sekalipun.Mendapat perlaku
*** Dari kejauhan, Aksa dengan empatinya memandang ke arah seorang perepuan yang sedari tadi hanya menangis di atas tempat tidur. Setelah kejadian itu, Aksa segera membawa Zeva ke rumah sakit untuk pengobatan luka fisiknya. Bahkan di sepanjang jalan Zeva hanya terdiam dengan tangis yang terus mengalir. Aksa menjadi tak tega melihat kondisi Zeva semakin meprihatinkan. Ia tidak tahu betul apa yang sedang terjadi, karena keterlambatannya untuk mengetahui bagaimana Deren menyiksa Zeva dengan sangat keji. Sejurus kemudian, Aksa melihat sebuah nampan masih lengkap berisi makan dan minum yang sedari tadi tidak disentuh oleh Zeva. Selangkah demi langkah pria itu berjalan mendekat ke arah ranjang. Ketika tubuhnya berdiri tepat di belakang perempuan tersebut, Aksa kemudian ikut membaringkan tubuh di sebelah Zeva. Aksa menghadapkan tubuhnya ke atas dengan kedua tangan saling memegang di atas perut. “Kamu boleh tinggal di sini selama yang kamu mau,” Mengingat kejadian mengerikan itu, Aksa
*** Semua pasang mata dari karyawan di sebuah perusahaan ternama memandang ke arah Zeva yang tengah bersama dengan pemilik perusahaan tersebut. Ia merasa tak nyaman, karena semua terlihat seolah memiliki tujuan lain. Sesekali mereka juga berbisik satu sama lain dengan lirikan tak suka dan penuh rasa dengki. Aksa merangkul pundak Zeva dengan tangan kirinya tanpa menghadap ke arah perempuan tersebut. Ia yakin bawa perempuan di sampingnya pasti merasa tidak nyaman dengan lingkungan baru. Namun, Aksa tidak ingin hal itu membuat Zeva mundur untuk melupakan keberanian yang harus ia kumpulkan. “Apakah kamu merasa buruk?” tanya Aksa sembari tetap berjalan beriringan menuju ruang utama untuk sapaan pagi. Zeva kemudian mendekatkan tubuhnya pada Aksa dengan arah pandang masih tertuju pada seluruh karyawan yang tak kunjung reda memperhatikannya. “Aku rasa mereka ingin membunuhku,” bisik Zeva santai mengundang gelak tawa bos barunya. Tak berapa lama, Aksa meminta Zeva ikut bersamanya untuk di
*** Zeva berjalan menelusuri lorong hotel untuk mencari nomor kamar dari secarik kertas yang Deren berikan. Di sepanjang kakinya melangkah, Zeva hanya terdiam dengan tatapan kosong. Membayangkan baru semalam ia harus melakukan pekerjaan itu dan hari ini ketakutannya akan terulang kembali. Merasa dirinya telah sampai pada tujuan, Zeva mengangkat kepala sejenak untuk memastikan bahwa ruang di hadapannya adalah kamar yang benar. “237,” lirihnya mengulang angka yang tercatat pada kertas yang ia bawa. Zeva sedikit ragu ketika tangannya harus bergerak untuk mengetuk pintu. “Lakukan saja seperti biasanya,” tuturnya berbisik meyakinkan diri sendiri. Sesaat setelah ketukan yang ketiga, pintu itu ternyata tak dikunci. Dengan sedikit keraguan yang tertinggal, Zeva membuka daun pintu dan memutuskan untuk masuk ke dalam. Setelah pintunya kembali tertutup, ia mendengar suara percikan air dari arah kamar mandi. Melihat baju kerja yang berserakan di atas kasur, Zeva segera merapikan tempat tidu
*** “Makan malam dulu, Mas,” ramah sang istri ketika melihat suaminya sudah terbangun dari pengaruh minuman keras. Deren membisu. Sedangkan tangannya sibuk memijat-mijat kepala di atas sofa ruang keluarga. Melihat suaminya mendesis tak nyaman, Zeva beralih dari dapur dan mendekat ke arah Deren untuk menawarkan bantuan. Saat tubuhnya bersiap untuk mengusap kepala, Deren berteriak lantang ingin menolak. “Jangan menyentuhku!” bentaknya. Seketika dada Zeva terasa seperti tertusuk duri. Seribu perhatian yang ingin ia tunjukkan selalu dibalas dengan bantahan. Sekali lagi, semua yang seperti ini bukanlah kali pertama bagi Zeva. Rasa sakit yang ia terima juga masih sama rasanya. Bahkan suara lantang itu juga sudah berulang kali melukai gendang telinga. Namun, sekalipun Zeva tidak pernah berniat untuk membantah sebagai seorang istri. “Tadi aku masak sop buntut kesukaan Mas Deren. Aku ambilkan ya, Mas?” lembutnya tetap menunjukkan bakti. Deren menggeleng dengan yakin. Bukannya memberik
“Manis sekali,” ucap seorang pria tanpa malu sembari menghirup aroma tubuh Zeva di bagian pundak sebelah kanan yang hanya terbalut oleh selimut.Sesekali Zeva menarik tubuhnya untuk sedikit menjauh. Sedang tangan pria tersebut tengah asik menggaruk lembut pinggang Zeva.Karena merasa risih, spontan tubuhnya bergeser hingga pandangan Zeva dengan jelas menatap raut wajah seorang predator penuh birahi.“Ini sudah lebih dari jam kesepakatan.” Zeva menunduk dan berucap dengan perasaan takut.Pria itu terkekeh kecil. “Baiklah. Aku tidak akan mencuri,” lirihnya terus menggoda sembari beralih menjauhi ranjang.Sesaat kemudian, Zeva menghembuskan napas yang sudah lama ia tahan. Ini memang bukan yang pertama kali. Akan tetapi, perasaan takut masih mencekam dengan cara yang sama. Jika bukan karena tidak ada pilihan lain, Zeva mungkin sudah nekat melarikan diri.Siapa pun pasti berpikir, mengapa Zeva tak menolak? Mengapa Zeva tidak bertindak lebih berani untuk menentang semuanya? Mengapa Zeva han