***
Zeva berjalan menelusuri lorong hotel untuk mencari nomor kamar dari secarik kertas yang Deren berikan. Di sepanjang kakinya melangkah, Zeva hanya terdiam dengan tatapan kosong. Membayangkan baru semalam ia harus melakukan pekerjaan itu dan hari ini ketakutannya akan terulang kembali.Merasa dirinya telah sampai pada tujuan, Zeva mengangkat kepala sejenak untuk memastikan bahwa ruang di hadapannya adalah kamar yang benar.“237,” lirihnya mengulang angka yang tercatat pada kertas yang ia bawa. Zeva sedikit ragu ketika tangannya harus bergerak untuk mengetuk pintu.“Lakukan saja seperti biasanya,” tuturnya berbisik meyakinkan diri sendiri.Sesaat setelah ketukan yang ketiga, pintu itu ternyata tak dikunci. Dengan sedikit keraguan yang tertinggal, Zeva membuka daun pintu dan memutuskan untuk masuk ke dalam.Setelah pintunya kembali tertutup, ia mendengar suara percikan air dari arah kamar mandi. Melihat baju kerja yang berserakan di atas kasur, Zeva segera merapikan tempat tidurnya dan melipat pakaian-pakaian itu dengan rapi.Saat lipatan terakhir selesai dilakukan, muncul seorang pria dari kamar mandi dengan sebuah handuk yang hanya dililit untuk menutupi bagian pentingnya.“Terima kasih sudah dirapikan,” ucapnya mengejutkan Zeva.Perempuan itu terperanjat kecil dengan kepala menunduk dan sedikit menepi untuk memberikan pria tersebut jalan.“Duduklah sebentar. Aku akan memakai bajuku di kamar mandi,” sambungnya meraih lipatan baju bersih yang ia letakkan di atas meja.Setelah memastikan laki-laki itu memasuki bilik mandi, Zeva mengangkat kepalanya dan melihat punggung seorang pria yang tampak sempurna.Sesekali dahinya mengerut. Seolah matanya kembali menangkap gestur tubuh yang pernah ia lihat.Sejenak memori Zeva berkelana pada seorang pria yang tidak sengaja bertemu di warung makan tempo hari. Matanya samar-samar terus memperhatikan postur tubuh tersebut dari balik kaca dan membenarkan semua ingatannya.“Rupanya itu kamu? Senang bertemu kembali,” girang pria tersebut membuyarkan lamunan Zeva.‘Senyum itu’ batin Zeva ketika menatap pria tampan di hadapannya.Dengan perasaan penuh kegirangan, sosok pria itu berjalan ke arah Zeva dan memperkenalkan diri. “Aksa,” tuturnya dengan senyuman merekah.Zeva mengikuti lekukan senyum Aksa dengan baik. Entah dari mana ketenangan itu datang. Yang jelas, kali ini Zeva tidak merasakan tekanan hebat seperti yang ia rasakan ketika harus melayani rekan kerja suaminya.***“Jadi Deren itu suamimu?”Kini mereka berdua memilih untuk duduk bersanding di tepi kasur. Kemudian Zeva mengangguk mengiyakan pertanyaan itu.“Jika kamu istrinya, mengapa ia membiarkanmu tidur dengan laki-laki lain?” Aksa terus bertanya.Zeva menoleh ke arah Aksa dengan senyuman kecil. Ia hanya menyampaikan bagian yang perlu ia ceritakan.Zeva menyebut bahwa apa yang ia lakukan adalah sebagai seseorang yang tidak mempunyai pilihan dalam hidupnya. Sekeras apa pun Zeva mengelak, nasibnya akan tetap berhenti di tempat yang sama.Di sepanjang cerita itu dibeberkan, Aksa hanya bisa mendengar dengan penuh perhatian. Yang ia lihat, perempuan di hadapannya adalah seorang istri yang terbuang meskipun baktinya begitu kuat.Aksa melihat cinta yang Zeva miliki untuk Deren sangatlah besar. Hanya saja setiap orang juga memiliki batas kesabaran masing-masing.Berulang kali Zeva menyeka air mata yang selama ini tidak pernah ia keluarkan. Bukan tangis karena siksaan Deren, melainkan tangis karena kehadiran Aksa yang masih menunjukkan kepeduliannya meskipun mereka bukan siapa-siapa.“Kemarilah,” pinta Aksa agar Zeva mau lebih dekat lagi kepadanya. Zeva hanya menurut.Kedua tangan Aksa kemudian dilayangkan hingga menyentuh kepala Zeva. Ia menatap perempuan itu dengan penuh kasih. Sesekali tangan Aksa mengusap lembut kepala perempuan tersebut dari pangkal hingga ujung rambut.Aksa tersenyum hangat. “Tidak seorang pun yang bisa merasakan dan memahami luka-lukamu dengan baik. Tapi, bukan berarti kamu harus menyakiti diri sendiri dengan bertahan untuk sesuatu yang tidak diperlukan,” tutur Aksa membuat Zeva tak kuasa menahan haru.“Aku tidak punya pilihan lain, Aksa. Aku ha—,”“Cobalah untuk berani dan membuat pilihanmu sendiri,” sahut Aksa segera memotong ucapan Zeva.“Orang lain tidak memiliki hak atas kehidupan siapa pun, kecuali dirinya sendiri. Zeva, kamu hanya butuh keberanian untuk keluar dari kurungan itu,” sambungnya.Semua kata-kata Aksa membuat Zeva terhipnotis dengan keberanian yang sedikit bisa ia rasakan. Pria di hadapannya mungkin benar. Jika suaminya tak memberikan pilihan, maka Zeva hanya butuh menjadi berani untuk menentukan pilihannya sendiri.Perlahan tatapan mereka berdua kini saling bertemu. Zeva melihat kebaikan Aksa begitu tulus. Begitupun dengan Aksa yang melihat Zeva benar-benar membutuhkan dukungan meskipun tak seberapa.“Bolehkah aku meminta sesuatu?” pinta Zeva penuh ragu di tengah desakan kuat dari keinginannya.Aksa mengangguk. Menyanggupi permintaan yang bahkan belum Zeva sampaikan.Namun, sejenak Zeva menyadari bahwa apa yang ingin ia katakan mungkin akan merusak segalanya. Meski baru kali ini Zeva mengobrol dengan Aksa, pria itu bahkan tidak segan-segan memberikan pengertiannya. Demi alasan itu, Zeva tidak ingin kehilangan satu-satunya orang yang bisa mengerti dirinya dengan baik.Ia menggeleng yakin. “Ah, tidak. Lain kali saja,” ucapnya membatalkan permintaan dengan sedikit rasa kecewa.Kekecewaan itu hadir karena Zeva tak sengaja menginginkan Aksa untuk tetap berada di sisinya.“Katakan saja. Ingat jika kamu harus berani untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan.” Aksa mendesak Zeva untuk mengungkapkan permintaannya.Lagi-lagi Aksa berhasil membangkitkan rasa berani yang selama ini telah lama hilang. Jika bukan hari ini, Zeva mungkin tidak akan memiliki kesempatan lain untuk bertemu dengan Aksa.Perempuan tersebut memposisikan tubuh agar lebih dekat dengan lawan bicara. Kepalanya harus sedikit terangkat untuk ikut menatap kepedulian seorang pria yang tak sengaja ia temui.“Aksa, mungkinkah aku bisa menjadi seorang istri yang sesungguhnya jika bukan dengan Deren?” lirih Zeva dengan tatapan serius untuk pertanyaannya.Aksa terdiam. Memang benar bahwa ia hanyalah orang baru di kehidupan Zeva. Tapi, sekarang Aksa seperti mengerti betul betapa sengsaranya Zeva yang harus memaksa diri untuk tetap mempertahankan Deren.Tangan Aksa kemudian mengelus kepala Zeva pelan. “Kenapa?” singkatnya untuk mengulik alasan di balik pertanyaan itu.“Karena bersama Deren rasanya berat sekali.” Zeva tak lagi menutupi apa yang ia rasakan selama ini.Aksa terus melayangkan senyum untuk meredakan keresahan perempuan itu.“Dari awal, dia memang tidak berniat untuk memilikimu. Jika kamu bersama dengan seseorang yang bersamamu adalah sebuah tujuan, maka hatimu tidak akan mempertanyakan keraguan itu,”“Lalu, apakah salah jika sekarang aku menginginkan orang lain?” bola mata Zeva mulai berkaca-kaca.Jemari yang mulanya sibuk mengelus kepala Zeva, kini Aksa tarik dan beralih memegang kedua tangan perempuan itu.Aksa memperhatikan jari-jemari yang terlihat begitu mungil, namun pemiliknya harus memikul beban terlalu berat.Sepasang matanya kemudian tertarik pada warna biru di pergelangan tangan kanan. Pelan tapi pasti, Aksa mengangkat sedikit kain yang menutupi lengan Zeva hingga tampak jelas bahwa luka lebam dari amarah Deren semalam sudah semakin memburuk.“Lakukan saja. Aksa harap kamu bisa bertemu dengan laki-laki itu,” ucapnya sembari mengusap luka tanpa melihat ke arah Zeva.“Aksa.” Zeva menyebut nama lawan bicaranya dengan nada bergetar.“Kemarilah,” tuturnya meraih tubuh perempuan itu dalam dekapannya. Aksa tidak ingin Zeva turut melihat kesedihan yang ia rasakan.Zeva memejamkan mata merasakan pelukan dari lawan jenis yang benar-benar terasa berbeda dari sebelumnya. Setiap usapan yang Aksa lakukan pada punggungnya memberikan ketenangan luar biasa bagi Zeva. Bahkan jika diperbolehkan, Zeva tidak ingin melepas pelukan itu sampai kapan pun.***“Hari ini kita wujudkan keinginanmu untuk memiliki pekerjaan lain.”Ucapan Aksa membuat Zeva tersenyum penuh harapan. Setelah bangun tidur, laki-laki itu menyiapkan baju baru untuk Zeva yang akan bekerja sebagai sekretaris pribadinya. Aksa berniat memunculkan kembali keberanian Zeva yang selama ini sulit ditemukan lagi.“Aku akan memberimu gaji setiap hari untuk cicilan hutang yang harus kamu lunasi. Sebagai gantinya, bekerjalah dengan baik dan layani aku sebagai atasanmu,” tutur Aksa ramah sembari memegang pundak Zeva sebelah kanan.Senyum haru terlukis di bibirnya. Entah ia harus merasakan sedih ataukah senang. Sedangkan Aksa juga melihat setitik keraguan yang mengganggu pikiran Zeva.“Apakah ada hal lain yang kamu inginkan?” Aksa bertanya hingga lamunan itu sirna.“Aku belum menyiapkan baju kerja dan sarapan pagi untuk Deren,” jawab Zeva berterus terang.Aksa tertawa. “Apakah dia tidak bisa mengurus dirinya sendiri?”Zeva menggeleng. “Selama ini aku yang menyiapkan segala keperluan Deren. Jika tidak, dia pasti akan memukuli tanganku dengan benda apa pun itu,”Mendengar kenyataan yang begitu menyakitkan, Aksa menurunkan senyuman dari sisa gelak tawanya. Ia baru mengerti jika Deren sudah benar-benar tidak masuk akal selama ini.“Jangan khawatir. Dia pasti memiliki orang lain untuk menggantikan pekerjaanmu,”Sejenak Zeva teringat pada seorang wanita yang malam itu ia temui. Mungkin Aksa benar. Deren sering membawa perempuan lain ke rumah. Jika bukan Zeva, setidaknya ada orang lain yang bisa ia repotkan untuk itu semua.***Di sisi lain, Deren dengan segala amarahnya menggerutu menunggu Zeva yang tak kunjung datang hingga pukul tujuh pagi.Tubuhnya kini tengah asik berjalan kesana kemari untuk menghubungi seseorang yang sedari tadi tak sudi menjawab panggilan.“Sialan! Awas saja jika aku melihat keberadaanmu hari ini,” geramnya dengan tangan mengepal penuh dendam.*** Semua pasang mata dari karyawan di sebuah perusahaan ternama memandang ke arah Zeva yang tengah bersama dengan pemilik perusahaan tersebut. Ia merasa tak nyaman, karena semua terlihat seolah memiliki tujuan lain. Sesekali mereka juga berbisik satu sama lain dengan lirikan tak suka dan penuh rasa dengki. Aksa merangkul pundak Zeva dengan tangan kirinya tanpa menghadap ke arah perempuan tersebut. Ia yakin bawa perempuan di sampingnya pasti merasa tidak nyaman dengan lingkungan baru. Namun, Aksa tidak ingin hal itu membuat Zeva mundur untuk melupakan keberanian yang harus ia kumpulkan. “Apakah kamu merasa buruk?” tanya Aksa sembari tetap berjalan beriringan menuju ruang utama untuk sapaan pagi. Zeva kemudian mendekatkan tubuhnya pada Aksa dengan arah pandang masih tertuju pada seluruh karyawan yang tak kunjung reda memperhatikannya. “Aku rasa mereka ingin membunuhku,” bisik Zeva santai mengundang gelak tawa bos barunya. Tak berapa lama, Aksa meminta Zeva ikut bersamanya untuk di
*** Dari kejauhan, Aksa dengan empatinya memandang ke arah seorang perepuan yang sedari tadi hanya menangis di atas tempat tidur. Setelah kejadian itu, Aksa segera membawa Zeva ke rumah sakit untuk pengobatan luka fisiknya. Bahkan di sepanjang jalan Zeva hanya terdiam dengan tangis yang terus mengalir. Aksa menjadi tak tega melihat kondisi Zeva semakin meprihatinkan. Ia tidak tahu betul apa yang sedang terjadi, karena keterlambatannya untuk mengetahui bagaimana Deren menyiksa Zeva dengan sangat keji. Sejurus kemudian, Aksa melihat sebuah nampan masih lengkap berisi makan dan minum yang sedari tadi tidak disentuh oleh Zeva. Selangkah demi langkah pria itu berjalan mendekat ke arah ranjang. Ketika tubuhnya berdiri tepat di belakang perempuan tersebut, Aksa kemudian ikut membaringkan tubuh di sebelah Zeva. Aksa menghadapkan tubuhnya ke atas dengan kedua tangan saling memegang di atas perut. “Kamu boleh tinggal di sini selama yang kamu mau,” Mengingat kejadian mengerikan itu, Aksa
Meskipun kondisi luka belum membaik, Zeva masih sempat memikirkan sang suami yang menurutnya akan datang untuk mencari. Seolah ia lupa tentang siapa yang membuat luka dari mulanya tidak ada menjadi ada.Aksa menghela napas pelan di samping perempuan itu. “Haruskah aku memberitahu tentang keberadaanmu padanya?” tanya Aksa dengan nada terpaksa.Sebagai manusia yang memiliki akal, Aksa merasa kesal ketika Zeva menanyakan perhatian Deren yang jelas-jelas sangat mencurigakan untuk dipercaya.“Setidaknya seseorang butuh waktu tiga hari untuk bisa berubah. Sekarang apa yang kamu harapkan dari seorang suami yang kemarin baru menyiksamu seburuk ini?”Zeva mengikuti kemana arah tubuh Aksa dibawa beranjak dari posisinya. Sekilas ia memperhatikan raut wajah Aksa yang terkesan kecewa.“Jika butuh bantuan, panggil saja. Aku ada di lantai bawah,” kata Aksa meninggalkan Zeva tanpa menoleh sekalipun.Mendapat perlaku
***Senang rasanya melalui malam yang begitu panjang dengan penuh ketenangan. Setidaknya, ada sedikit celah bagi seorang Zeva untuk berdamai dengan rasa sakit.Di sisi lain, kejadian tak terduga yang semalam masih meragnkul ingatannya erat-erat. Sentuhan lembut dari seorang pria yang tak sengaja bertemu berhasil meninggalkan kesan tak biasa di lubuk hatinya. “Aku ingin ikut denganmu,”Suara itu berhasil menghentikan langkah seorang pria tengah merapikan baju kerjanya. “Tunggu saja di sini. Sore nanti aku akan membawamu pergi,” ucap Aksa melanjutkan aktivitasnya.“Bagaimana dengan permintaanku semalam?” ragu Zeva menanyakan ketersediaan Aksa untuk memberinya izin bertemu dengan sang suami.Aksa masih berharap jika ingatan perempuan tersebut bisa dengan mudah menyingkirkan bahasan tentang suaminya. Namun, Aksa juga paham jika semua itu belum terjadi, maka permintaan akan terus disampaikan hinggag disetujui.“Aksa…”“Kita bahas nanti sore saja,” sahut Aksa meraih tas kerjanya.Sesaat s
CEKLEK!Gagang pintu pun berbunyi ketika Aksa menarik benda tersebut ke bawah agar terbuka.Sesaat kemudian, terlihat seorang perempuan dengan baju miliknya sedang menyiapkan hidangan di atas meja makan tak jauh dari kamar.Zeva segera melempar senyuman ramah ketika Aksa muncul tiba-tiba. “Maafkan aku karena memakai kaos dan celana panjangmu,” ucapnya sesekali menengok ke arah lawan bicara.“Bukan masalah. Pakai saja selagi kamu nyaman,” jawab Aksa sembari berjalan mendekati Zeva.Semula menghadap perempuan itu, Aksa memalingkan pandangannya pada sebuah mangkuk besar berisikan sup buntut yang terlihat segar dan mengundang lapar.“Karena hidanganmu, hidungku menjadi lebih peka soal makanan,” guraunya di tepi meja.Zeva tertawa kecil. “Silakan,” ramahnya menawari Aksa untuk segera menyantap makan siang.Sebelum Zeva mengambilkan makanan untuk Aksa, pria tersebut meraih tangan kanan Zeva pelan. “Ze, bisakah kamu bertahan denganku saja?”Mendengar pertanyaan itu membuat Zeva hanya bisa me
***Aksa masih tidak menyangka jika Zeva akan melakukan cumbuan itu tepat di depan kamera yang ia gunakan untuk memberi Deren pelajaran. Ia yakin sekali bahwa saat ini Deren tengah berusaha meredakan emosi dengan meluapkan tekanan itu semua.Saat perempuan tersebut memundurkan tubuh sedikit menjauh, ia menunduk malu karena perbuatannya sendiri.“Rasanya aneh ketika kamu mengizinkan aku untuk kembali dengan suamiku,” lirihnya memberikan konfirmasi.“Bukankah itu yang kamu mau selama ini? Untuk apa masih menanyakan seorang suami biadab jika kamu tidak berharap kembali kepadanya?”Mendadak mulut Zeva seola tak mampu berbicara. Ia bakan menjadi ragu dengan perasaannya sendiri.Terkadang lubuk hati kecilnya merindukan masa-masa bersama Deren meskipun tak pernah tercatat memori bahagia di sana. Namun, Zeva juga merasakan pedih ketika mendengar Aksa memperbolehkan dirinya kembali pada sang suami.Aksa kemudian menautkan jari jemari tangan kiri di atas tangan kanan Zeva yang disatukan dengan
“Manis sekali,” ucap seorang pria tanpa malu sembari menghirup aroma tubuh Zeva di bagian pundak sebelah kanan yang hanya terbalut oleh selimut.Sesekali Zeva menarik tubuhnya untuk sedikit menjauh. Sedang tangan pria tersebut tengah asik menggaruk lembut pinggang Zeva.Karena merasa risih, spontan tubuhnya bergeser hingga pandangan Zeva dengan jelas menatap raut wajah seorang predator penuh birahi.“Ini sudah lebih dari jam kesepakatan.” Zeva menunduk dan berucap dengan perasaan takut.Pria itu terkekeh kecil. “Baiklah. Aku tidak akan mencuri,” lirihnya terus menggoda sembari beralih menjauhi ranjang.Sesaat kemudian, Zeva menghembuskan napas yang sudah lama ia tahan. Ini memang bukan yang pertama kali. Akan tetapi, perasaan takut masih mencekam dengan cara yang sama. Jika bukan karena tidak ada pilihan lain, Zeva mungkin sudah nekat melarikan diri.Siapa pun pasti berpikir, mengapa Zeva tak menolak? Mengapa Zeva tidak bertindak lebih berani untuk menentang semuanya? Mengapa Zeva han
*** “Makan malam dulu, Mas,” ramah sang istri ketika melihat suaminya sudah terbangun dari pengaruh minuman keras. Deren membisu. Sedangkan tangannya sibuk memijat-mijat kepala di atas sofa ruang keluarga. Melihat suaminya mendesis tak nyaman, Zeva beralih dari dapur dan mendekat ke arah Deren untuk menawarkan bantuan. Saat tubuhnya bersiap untuk mengusap kepala, Deren berteriak lantang ingin menolak. “Jangan menyentuhku!” bentaknya. Seketika dada Zeva terasa seperti tertusuk duri. Seribu perhatian yang ingin ia tunjukkan selalu dibalas dengan bantahan. Sekali lagi, semua yang seperti ini bukanlah kali pertama bagi Zeva. Rasa sakit yang ia terima juga masih sama rasanya. Bahkan suara lantang itu juga sudah berulang kali melukai gendang telinga. Namun, sekalipun Zeva tidak pernah berniat untuk membantah sebagai seorang istri. “Tadi aku masak sop buntut kesukaan Mas Deren. Aku ambilkan ya, Mas?” lembutnya tetap menunjukkan bakti. Deren menggeleng dengan yakin. Bukannya memberik
***Aksa masih tidak menyangka jika Zeva akan melakukan cumbuan itu tepat di depan kamera yang ia gunakan untuk memberi Deren pelajaran. Ia yakin sekali bahwa saat ini Deren tengah berusaha meredakan emosi dengan meluapkan tekanan itu semua.Saat perempuan tersebut memundurkan tubuh sedikit menjauh, ia menunduk malu karena perbuatannya sendiri.“Rasanya aneh ketika kamu mengizinkan aku untuk kembali dengan suamiku,” lirihnya memberikan konfirmasi.“Bukankah itu yang kamu mau selama ini? Untuk apa masih menanyakan seorang suami biadab jika kamu tidak berharap kembali kepadanya?”Mendadak mulut Zeva seola tak mampu berbicara. Ia bakan menjadi ragu dengan perasaannya sendiri.Terkadang lubuk hati kecilnya merindukan masa-masa bersama Deren meskipun tak pernah tercatat memori bahagia di sana. Namun, Zeva juga merasakan pedih ketika mendengar Aksa memperbolehkan dirinya kembali pada sang suami.Aksa kemudian menautkan jari jemari tangan kiri di atas tangan kanan Zeva yang disatukan dengan
CEKLEK!Gagang pintu pun berbunyi ketika Aksa menarik benda tersebut ke bawah agar terbuka.Sesaat kemudian, terlihat seorang perempuan dengan baju miliknya sedang menyiapkan hidangan di atas meja makan tak jauh dari kamar.Zeva segera melempar senyuman ramah ketika Aksa muncul tiba-tiba. “Maafkan aku karena memakai kaos dan celana panjangmu,” ucapnya sesekali menengok ke arah lawan bicara.“Bukan masalah. Pakai saja selagi kamu nyaman,” jawab Aksa sembari berjalan mendekati Zeva.Semula menghadap perempuan itu, Aksa memalingkan pandangannya pada sebuah mangkuk besar berisikan sup buntut yang terlihat segar dan mengundang lapar.“Karena hidanganmu, hidungku menjadi lebih peka soal makanan,” guraunya di tepi meja.Zeva tertawa kecil. “Silakan,” ramahnya menawari Aksa untuk segera menyantap makan siang.Sebelum Zeva mengambilkan makanan untuk Aksa, pria tersebut meraih tangan kanan Zeva pelan. “Ze, bisakah kamu bertahan denganku saja?”Mendengar pertanyaan itu membuat Zeva hanya bisa me
***Senang rasanya melalui malam yang begitu panjang dengan penuh ketenangan. Setidaknya, ada sedikit celah bagi seorang Zeva untuk berdamai dengan rasa sakit.Di sisi lain, kejadian tak terduga yang semalam masih meragnkul ingatannya erat-erat. Sentuhan lembut dari seorang pria yang tak sengaja bertemu berhasil meninggalkan kesan tak biasa di lubuk hatinya. “Aku ingin ikut denganmu,”Suara itu berhasil menghentikan langkah seorang pria tengah merapikan baju kerjanya. “Tunggu saja di sini. Sore nanti aku akan membawamu pergi,” ucap Aksa melanjutkan aktivitasnya.“Bagaimana dengan permintaanku semalam?” ragu Zeva menanyakan ketersediaan Aksa untuk memberinya izin bertemu dengan sang suami.Aksa masih berharap jika ingatan perempuan tersebut bisa dengan mudah menyingkirkan bahasan tentang suaminya. Namun, Aksa juga paham jika semua itu belum terjadi, maka permintaan akan terus disampaikan hinggag disetujui.“Aksa…”“Kita bahas nanti sore saja,” sahut Aksa meraih tas kerjanya.Sesaat s
Meskipun kondisi luka belum membaik, Zeva masih sempat memikirkan sang suami yang menurutnya akan datang untuk mencari. Seolah ia lupa tentang siapa yang membuat luka dari mulanya tidak ada menjadi ada.Aksa menghela napas pelan di samping perempuan itu. “Haruskah aku memberitahu tentang keberadaanmu padanya?” tanya Aksa dengan nada terpaksa.Sebagai manusia yang memiliki akal, Aksa merasa kesal ketika Zeva menanyakan perhatian Deren yang jelas-jelas sangat mencurigakan untuk dipercaya.“Setidaknya seseorang butuh waktu tiga hari untuk bisa berubah. Sekarang apa yang kamu harapkan dari seorang suami yang kemarin baru menyiksamu seburuk ini?”Zeva mengikuti kemana arah tubuh Aksa dibawa beranjak dari posisinya. Sekilas ia memperhatikan raut wajah Aksa yang terkesan kecewa.“Jika butuh bantuan, panggil saja. Aku ada di lantai bawah,” kata Aksa meninggalkan Zeva tanpa menoleh sekalipun.Mendapat perlaku
*** Dari kejauhan, Aksa dengan empatinya memandang ke arah seorang perepuan yang sedari tadi hanya menangis di atas tempat tidur. Setelah kejadian itu, Aksa segera membawa Zeva ke rumah sakit untuk pengobatan luka fisiknya. Bahkan di sepanjang jalan Zeva hanya terdiam dengan tangis yang terus mengalir. Aksa menjadi tak tega melihat kondisi Zeva semakin meprihatinkan. Ia tidak tahu betul apa yang sedang terjadi, karena keterlambatannya untuk mengetahui bagaimana Deren menyiksa Zeva dengan sangat keji. Sejurus kemudian, Aksa melihat sebuah nampan masih lengkap berisi makan dan minum yang sedari tadi tidak disentuh oleh Zeva. Selangkah demi langkah pria itu berjalan mendekat ke arah ranjang. Ketika tubuhnya berdiri tepat di belakang perempuan tersebut, Aksa kemudian ikut membaringkan tubuh di sebelah Zeva. Aksa menghadapkan tubuhnya ke atas dengan kedua tangan saling memegang di atas perut. “Kamu boleh tinggal di sini selama yang kamu mau,” Mengingat kejadian mengerikan itu, Aksa
*** Semua pasang mata dari karyawan di sebuah perusahaan ternama memandang ke arah Zeva yang tengah bersama dengan pemilik perusahaan tersebut. Ia merasa tak nyaman, karena semua terlihat seolah memiliki tujuan lain. Sesekali mereka juga berbisik satu sama lain dengan lirikan tak suka dan penuh rasa dengki. Aksa merangkul pundak Zeva dengan tangan kirinya tanpa menghadap ke arah perempuan tersebut. Ia yakin bawa perempuan di sampingnya pasti merasa tidak nyaman dengan lingkungan baru. Namun, Aksa tidak ingin hal itu membuat Zeva mundur untuk melupakan keberanian yang harus ia kumpulkan. “Apakah kamu merasa buruk?” tanya Aksa sembari tetap berjalan beriringan menuju ruang utama untuk sapaan pagi. Zeva kemudian mendekatkan tubuhnya pada Aksa dengan arah pandang masih tertuju pada seluruh karyawan yang tak kunjung reda memperhatikannya. “Aku rasa mereka ingin membunuhku,” bisik Zeva santai mengundang gelak tawa bos barunya. Tak berapa lama, Aksa meminta Zeva ikut bersamanya untuk di
*** Zeva berjalan menelusuri lorong hotel untuk mencari nomor kamar dari secarik kertas yang Deren berikan. Di sepanjang kakinya melangkah, Zeva hanya terdiam dengan tatapan kosong. Membayangkan baru semalam ia harus melakukan pekerjaan itu dan hari ini ketakutannya akan terulang kembali. Merasa dirinya telah sampai pada tujuan, Zeva mengangkat kepala sejenak untuk memastikan bahwa ruang di hadapannya adalah kamar yang benar. “237,” lirihnya mengulang angka yang tercatat pada kertas yang ia bawa. Zeva sedikit ragu ketika tangannya harus bergerak untuk mengetuk pintu. “Lakukan saja seperti biasanya,” tuturnya berbisik meyakinkan diri sendiri. Sesaat setelah ketukan yang ketiga, pintu itu ternyata tak dikunci. Dengan sedikit keraguan yang tertinggal, Zeva membuka daun pintu dan memutuskan untuk masuk ke dalam. Setelah pintunya kembali tertutup, ia mendengar suara percikan air dari arah kamar mandi. Melihat baju kerja yang berserakan di atas kasur, Zeva segera merapikan tempat tidu
*** “Makan malam dulu, Mas,” ramah sang istri ketika melihat suaminya sudah terbangun dari pengaruh minuman keras. Deren membisu. Sedangkan tangannya sibuk memijat-mijat kepala di atas sofa ruang keluarga. Melihat suaminya mendesis tak nyaman, Zeva beralih dari dapur dan mendekat ke arah Deren untuk menawarkan bantuan. Saat tubuhnya bersiap untuk mengusap kepala, Deren berteriak lantang ingin menolak. “Jangan menyentuhku!” bentaknya. Seketika dada Zeva terasa seperti tertusuk duri. Seribu perhatian yang ingin ia tunjukkan selalu dibalas dengan bantahan. Sekali lagi, semua yang seperti ini bukanlah kali pertama bagi Zeva. Rasa sakit yang ia terima juga masih sama rasanya. Bahkan suara lantang itu juga sudah berulang kali melukai gendang telinga. Namun, sekalipun Zeva tidak pernah berniat untuk membantah sebagai seorang istri. “Tadi aku masak sop buntut kesukaan Mas Deren. Aku ambilkan ya, Mas?” lembutnya tetap menunjukkan bakti. Deren menggeleng dengan yakin. Bukannya memberik
“Manis sekali,” ucap seorang pria tanpa malu sembari menghirup aroma tubuh Zeva di bagian pundak sebelah kanan yang hanya terbalut oleh selimut.Sesekali Zeva menarik tubuhnya untuk sedikit menjauh. Sedang tangan pria tersebut tengah asik menggaruk lembut pinggang Zeva.Karena merasa risih, spontan tubuhnya bergeser hingga pandangan Zeva dengan jelas menatap raut wajah seorang predator penuh birahi.“Ini sudah lebih dari jam kesepakatan.” Zeva menunduk dan berucap dengan perasaan takut.Pria itu terkekeh kecil. “Baiklah. Aku tidak akan mencuri,” lirihnya terus menggoda sembari beralih menjauhi ranjang.Sesaat kemudian, Zeva menghembuskan napas yang sudah lama ia tahan. Ini memang bukan yang pertama kali. Akan tetapi, perasaan takut masih mencekam dengan cara yang sama. Jika bukan karena tidak ada pilihan lain, Zeva mungkin sudah nekat melarikan diri.Siapa pun pasti berpikir, mengapa Zeva tak menolak? Mengapa Zeva tidak bertindak lebih berani untuk menentang semuanya? Mengapa Zeva han