Meskipun kondisi luka belum membaik, Zeva masih sempat memikirkan sang suami yang menurutnya akan datang untuk mencari. Seolah ia lupa tentang siapa yang membuat luka dari mulanya tidak ada menjadi ada.
Aksa menghela napas pelan di samping perempuan itu. “Haruskah aku memberitahu tentang keberadaanmu padanya?” tanya Aksa dengan nada terpaksa.
Sebagai manusia yang memiliki akal, Aksa merasa kesal ketika Zeva menanyakan perhatian Deren yang jelas-jelas sangat mencurigakan untuk dipercaya.
“Setidaknya seseorang butuh waktu tiga hari untuk bisa berubah. Sekarang apa yang kamu harapkan dari seorang suami yang kemarin baru menyiksamu seburuk ini?”
Zeva mengikuti kemana arah tubuh Aksa dibawa beranjak dari posisinya. Sekilas ia memperhatikan raut wajah Aksa yang terkesan kecewa.
“Jika butuh bantuan, panggil saja. Aku ada di lantai bawah,” kata Aksa meninggalkan Zeva tanpa menoleh sekalipun.
Mendapat perlakuan itu, Zeva merasakan ada sesuatu yang hilang. Entah perasaan macam apa yang ia terka-terka. Namun, satu hal yang pasti. Zeva tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan apa yang ia rasakan ketika sedang bersama dengan Aksa.
Zeva menjulurkan kedua tangannya ke depan. Memandangi lilitan perban yang menyelimuti seluruh luka di jari-jemarinya. Ia ingat betul amarah dari sang suami ketika melayangkan pukulan itu berkali-kali. Zeva yakin, kemarin adalah kali pertama ia melihat Deren benar-benar menunjukkan emosi liarnya.
Di sisi lain, ia menatap tubuh mungil itu di depan kaca yang menyatu dengan almari. Matanya menangkap seorang perempuan yang sekarang terlihat jauh lebih baik berkat bantuan tanpa pamrih dari seseorang.
DUGH! Sesaat kemudian Zeva sengaja memukuli kepalanya sendiri.
“Keluarlah dari pikiranku!” erangnya tanpa memikirkan perban di tangan yang perlahan lilitannya mulai terlepas.
Kepala itu akhirnya tertunduk begitu dalam. Pundaknya tampak bergerak ke atas dan ke bawah, sesekali diselingi oleh gerakan lengan untuk mengusap tangis.
Ia menyesali apa yang membuat Aksa menjadi kecewa. Zeva sengaja menggetok kepalanya sendiri dengan harapan pukulan itu mampu menjauhkan pikirannya dari nama seseorang yang selama ini hanya menebar rasa sakit tanpa mau mengobati.
“Apa yang kamu lakukan?” suara Aksa tiba-tiba mengejutkan seorang perempuan yang sedari tadi hanya sibuk menunduk.
Spontan Zeva mengangkat kepala dengan tatapan senang. Namun, senyum itu mulai memudar ketika Aksa muncul dan menatap tanpa ekspresi.
Pria tersebut kemudian berjalan mendekati Zeva. Ia mengambil kotak kesehatan di atas meja kerja dan membawanya berlutut di hadapan Zeva.
“Setelah ini istirahatlah dan berhenti menyusahkan orang lain,” ucap Aksa sembari memperbaiki lilitan perban yang rusak karena kelakuan Zeva.
Kalimat tersebut terdengar sedikit menyakitkan. “Kamu membenciku?” lirihnya ingin tahu.
Sedikit pun Aksa tak berniat untuk menatap mata perempuan itu. Ia hanya menggeleng menandakan bahwa ia tidak membencinya.
Beberapa saat kemudian, luka itu akhirnya selesai diobati. Aksa merapikan kembali kotak tersebut tanpa berbicara sepatah kata pun.
“Aksa,” serunya menghentikan aktivitas pemilik nama.
Laki-laki itu menoleh masih dengan ekspresi datar. Ia menatap ke arah Zeva untuk menunggu kelanjutan dari seruannya.
Aksa menerka bahwa ada sesuatu yang sangat ingin disampaikan, namun sulit untuk disuarakan. Ia akhirnya menurunkan ego dan berlutut sekali lagi di depan perempuan tersebut.
Aksa meraih kedua tangan Zeva pelan. “Katakan saja,” tuturnya meyakinkan.
Susah payah Zeva menelan ludah sendiri yang sedari tadi menyangkut di tenggorokan. Ia mengingat seberapa banyak kepedulian Aksa terhitung sejak kejadian itu. Yang mana tanpa Zeva sadari bahwa mengingat atau menyebut tentang Deren membuat Aksa tak suka.
Namun, di luar itu semua Zeva perlu menuntaskan sesuatu terkait perasaannya.
“Aku ingin bertemu dengan Deren,” kata Zeva membuat Aksa sontak melepas sentuhannya pada perempuan itu.
Zeva menunduk menyesali apa yang ia katakan. Tapi, sekali lagi ia hanya ingin memastikan sesuatu yang selama ini mengganggu pikirannya.
“Ada apa? Untuk apa membuang-buang waktu dengan menemui seseorang yang sudah jelas telah menghancurkan kehidupanmu?”
Memahami keresahan Aksa, Zeva menyadari jika apa ia lakukan pasti akan sangat mengecewakan. Tapi jika tidak demikian, Zeva akan terus terbelenggu oleh kegelisahannya sendiri.
“Aku hanya ingin meyakinkan diriku sendiri,” jawabnya tanpa ragu. Sedangkan Aksa masih tetap menolak .
“Aksa…” Zeva segera berdiri menghadap laki-laki yang berniat untuk berpaling.
Kini posisi mereka sudah terlalu dekat untuk hanya saling menatap. Aksa sedikit menunduk memperhatikan raut wajah seorang perempuan yang nampak berusaha meyakinkannya.
“Kumohon. Sekali ini saja,” tutur Zeva penuh harap.
Jika bukan Deren yang ingin ia temui, Aksa tidak harus berpikir beribu kali untuk membiarkannya melakukan apa yang ia inginkan. Aksa sudah benar-benar tak sanggup jika ia melihat Zeva terlibat dengan kekerasan itu sekali lagi. Entah apa yang merasuki ruang kosong di dalam hatinya. Melihat Zeva menangis sepanjang malam membuat Aksa nekat berjaga hingga melupakan waktu istirahat.
“Berbaringlah, aku akan memberi keputusan besok pagi,” kata Aksa membantu Zeva untuk kembali beristirahat. Mengingat bahwa sekarang sudah pukul delapan malam.
Zeva menurut dengan senyum kecil di bibir. Senang rasanya mendengar Aksa ingin mempertimbangkan apa yang ia inginkan.
***
Seorang pria dengan kaos hitam dan celana panjang kini tengah asik menuntaskan pekerjaan kantor. Aksinya terlihat seperti orang super sibuk, karena banyak kertas dokumen berjajar di atas meja. Hingga sesuatu mengejutkan terjadi ketika ia merasakan sentuhan lembut dari seseorang yang tak lain adalah Zeva.
“Apakah kamu memerlukan sesuatu ?” Aksa bertanya sembari sedikit memundurkan bangku.
Zeva hanya terdiam dengan kedua tangan berada di samping kedua kakinya.
“Katakan saja,” desak Aksa agar perempuan tersebut mau membuka mulut.
“Maafkan aku,” sesalnya dengan penuh harap agar Aksa memaafkan kesalahan yang ia lakukan.
Aksa terkekeh kecil tak mengerti. “Untuk apa?”
“Karena aku menginginkanmu,”
Sejenak Aksa langsung termangu. Ia masih mencerna apa yang ia dengar dengan apa yang mungkin Zeva coba jelaskan setelah pernyataan itu disebut.
“Rasanya memang tak pantas jika aku menginginkan seseorang sepertimu. Jika bukan karena Aksa, mungkin aku akan terus terjerat lebih dalam lagi di lubang kesengsaraan,”
“Zeva,” lirih Aksa memposisikan dirinya ikut berdiri mengimbangi. Namun, Zeva malah memundurkan langkah hingga tak sengaja menubruk pinggir kasur yang letaknya memang tak jauh dari meja kerja.
Ia menggeleng dengan rasa khawatir. “Aksa, aku sudah bukan gadis lagi. Meskipun tidak dengan suamiku, aku pernah melakukannya dengan orang lain,”
Aksa perlahan mendatangi Zeva yang tak berkutik sedikit pun ketika tangan pria tersebut mempersilakan tubuhnya untuk duduk dengan nyaman di atas kasur. Sedang tubuh Aksa setengah membungkuk sembari memegang tepi kasur agar tidak terjatuh. Posisi mereka kini sudah saling menghadap dan hanya terpisah jarak satu jengkal.
“Apakah itu alasan mengapa kamu ingin menemui Deren?”
Zeva mengangguk kecil. “Aku hanya ingin memastikan jika aku bisa melupakan satu tahun kebersamaan yang selama ini tidak pernah aku tinggalkan,” terangnya.
Pria itu tersenyum ringan. “Lalu, apa saja yang sudah kamu lakukan dengan orang lain?” tanya Aksa lembut sembari meringkukkan badannya hingga tubuh Zeva ikut tergeser ke belakang.
Perempuan itu hanya menggeleng dua kali. Saat tubuhnya hampir benar-benar terjatuh di atas kasur, tangan kiri Aksa segera menopangnya. Sedangkan tangan kanannya diatur untuk menopang tubuhnya sendiri.
“Aksa,” lirih Zeva pelan membuat Aksa sejenak memejamkan mata dengan kekehan di ujung.
Sesaat kemudian, Aksa langsung mebuka mata dan mendekatkan bibirnya tepat di telinga Zeva. “Sekarang beri tahu, apa yang tidak mereka rasakan darimu?” Aksa berbisik.
“Itu—,”
“Bagaimana dengan ini?” tanya Aksa sembari tangan kanannya mengusap lembut kedua bibir Zeva.
Saat sekaan sudah semakin jelas, Zeva memejamkan mata seolah menyukai apa yang Aksa lakukan. Mendapati respons semacam itu,tentu saja Aksa merasa tersambut dengan hangat oleh perempuan di hadapannya.
Sentuhan lain akhirnya mendarat tepat mengenai sasaran. Perlahan tangan kanan Aksa ikut bergeser memegangi leher Zeva dan keduanya menikmati apa yang sedang terjadi.
Setelah sapuan bibir yang terakhir, Aksa menambahkan satu sentuhan lembut di area dahi. “Apakah aku menjadi yang pertama untuk bagian ini?” goda Aksa membuat Zeva mengangguk menahan malu. Aksa tertawa kecil menyadari kemenangannya.
Ia kemudian membaringkan tubuh miring tepat di samping kiri Zeva dengan posisi tangan menyangga kepalanya. Sedangkan tangan yang lain Aksa gunakan untuk mengusap lembut pipi perempuan itu sembari berucap, “Sekarang berhentilah meminta maaf. Aku sudah memutuskan untuk menerima kekuranganmu di hari pertama kamu berterus terang.”
***Senang rasanya melalui malam yang begitu panjang dengan penuh ketenangan. Setidaknya, ada sedikit celah bagi seorang Zeva untuk berdamai dengan rasa sakit.Di sisi lain, kejadian tak terduga yang semalam masih meragnkul ingatannya erat-erat. Sentuhan lembut dari seorang pria yang tak sengaja bertemu berhasil meninggalkan kesan tak biasa di lubuk hatinya. “Aku ingin ikut denganmu,”Suara itu berhasil menghentikan langkah seorang pria tengah merapikan baju kerjanya. “Tunggu saja di sini. Sore nanti aku akan membawamu pergi,” ucap Aksa melanjutkan aktivitasnya.“Bagaimana dengan permintaanku semalam?” ragu Zeva menanyakan ketersediaan Aksa untuk memberinya izin bertemu dengan sang suami.Aksa masih berharap jika ingatan perempuan tersebut bisa dengan mudah menyingkirkan bahasan tentang suaminya. Namun, Aksa juga paham jika semua itu belum terjadi, maka permintaan akan terus disampaikan hinggag disetujui.“Aksa…”“Kita bahas nanti sore saja,” sahut Aksa meraih tas kerjanya.Sesaat s
CEKLEK!Gagang pintu pun berbunyi ketika Aksa menarik benda tersebut ke bawah agar terbuka.Sesaat kemudian, terlihat seorang perempuan dengan baju miliknya sedang menyiapkan hidangan di atas meja makan tak jauh dari kamar.Zeva segera melempar senyuman ramah ketika Aksa muncul tiba-tiba. “Maafkan aku karena memakai kaos dan celana panjangmu,” ucapnya sesekali menengok ke arah lawan bicara.“Bukan masalah. Pakai saja selagi kamu nyaman,” jawab Aksa sembari berjalan mendekati Zeva.Semula menghadap perempuan itu, Aksa memalingkan pandangannya pada sebuah mangkuk besar berisikan sup buntut yang terlihat segar dan mengundang lapar.“Karena hidanganmu, hidungku menjadi lebih peka soal makanan,” guraunya di tepi meja.Zeva tertawa kecil. “Silakan,” ramahnya menawari Aksa untuk segera menyantap makan siang.Sebelum Zeva mengambilkan makanan untuk Aksa, pria tersebut meraih tangan kanan Zeva pelan. “Ze, bisakah kamu bertahan denganku saja?”Mendengar pertanyaan itu membuat Zeva hanya bisa me
***Aksa masih tidak menyangka jika Zeva akan melakukan cumbuan itu tepat di depan kamera yang ia gunakan untuk memberi Deren pelajaran. Ia yakin sekali bahwa saat ini Deren tengah berusaha meredakan emosi dengan meluapkan tekanan itu semua.Saat perempuan tersebut memundurkan tubuh sedikit menjauh, ia menunduk malu karena perbuatannya sendiri.“Rasanya aneh ketika kamu mengizinkan aku untuk kembali dengan suamiku,” lirihnya memberikan konfirmasi.“Bukankah itu yang kamu mau selama ini? Untuk apa masih menanyakan seorang suami biadab jika kamu tidak berharap kembali kepadanya?”Mendadak mulut Zeva seola tak mampu berbicara. Ia bakan menjadi ragu dengan perasaannya sendiri.Terkadang lubuk hati kecilnya merindukan masa-masa bersama Deren meskipun tak pernah tercatat memori bahagia di sana. Namun, Zeva juga merasakan pedih ketika mendengar Aksa memperbolehkan dirinya kembali pada sang suami.Aksa kemudian menautkan jari jemari tangan kiri di atas tangan kanan Zeva yang disatukan dengan
“Manis sekali,” ucap seorang pria tanpa malu sembari menghirup aroma tubuh Zeva di bagian pundak sebelah kanan yang hanya terbalut oleh selimut.Sesekali Zeva menarik tubuhnya untuk sedikit menjauh. Sedang tangan pria tersebut tengah asik menggaruk lembut pinggang Zeva.Karena merasa risih, spontan tubuhnya bergeser hingga pandangan Zeva dengan jelas menatap raut wajah seorang predator penuh birahi.“Ini sudah lebih dari jam kesepakatan.” Zeva menunduk dan berucap dengan perasaan takut.Pria itu terkekeh kecil. “Baiklah. Aku tidak akan mencuri,” lirihnya terus menggoda sembari beralih menjauhi ranjang.Sesaat kemudian, Zeva menghembuskan napas yang sudah lama ia tahan. Ini memang bukan yang pertama kali. Akan tetapi, perasaan takut masih mencekam dengan cara yang sama. Jika bukan karena tidak ada pilihan lain, Zeva mungkin sudah nekat melarikan diri.Siapa pun pasti berpikir, mengapa Zeva tak menolak? Mengapa Zeva tidak bertindak lebih berani untuk menentang semuanya? Mengapa Zeva han
*** “Makan malam dulu, Mas,” ramah sang istri ketika melihat suaminya sudah terbangun dari pengaruh minuman keras. Deren membisu. Sedangkan tangannya sibuk memijat-mijat kepala di atas sofa ruang keluarga. Melihat suaminya mendesis tak nyaman, Zeva beralih dari dapur dan mendekat ke arah Deren untuk menawarkan bantuan. Saat tubuhnya bersiap untuk mengusap kepala, Deren berteriak lantang ingin menolak. “Jangan menyentuhku!” bentaknya. Seketika dada Zeva terasa seperti tertusuk duri. Seribu perhatian yang ingin ia tunjukkan selalu dibalas dengan bantahan. Sekali lagi, semua yang seperti ini bukanlah kali pertama bagi Zeva. Rasa sakit yang ia terima juga masih sama rasanya. Bahkan suara lantang itu juga sudah berulang kali melukai gendang telinga. Namun, sekalipun Zeva tidak pernah berniat untuk membantah sebagai seorang istri. “Tadi aku masak sop buntut kesukaan Mas Deren. Aku ambilkan ya, Mas?” lembutnya tetap menunjukkan bakti. Deren menggeleng dengan yakin. Bukannya memberik
*** Zeva berjalan menelusuri lorong hotel untuk mencari nomor kamar dari secarik kertas yang Deren berikan. Di sepanjang kakinya melangkah, Zeva hanya terdiam dengan tatapan kosong. Membayangkan baru semalam ia harus melakukan pekerjaan itu dan hari ini ketakutannya akan terulang kembali. Merasa dirinya telah sampai pada tujuan, Zeva mengangkat kepala sejenak untuk memastikan bahwa ruang di hadapannya adalah kamar yang benar. “237,” lirihnya mengulang angka yang tercatat pada kertas yang ia bawa. Zeva sedikit ragu ketika tangannya harus bergerak untuk mengetuk pintu. “Lakukan saja seperti biasanya,” tuturnya berbisik meyakinkan diri sendiri. Sesaat setelah ketukan yang ketiga, pintu itu ternyata tak dikunci. Dengan sedikit keraguan yang tertinggal, Zeva membuka daun pintu dan memutuskan untuk masuk ke dalam. Setelah pintunya kembali tertutup, ia mendengar suara percikan air dari arah kamar mandi. Melihat baju kerja yang berserakan di atas kasur, Zeva segera merapikan tempat tidu
*** Semua pasang mata dari karyawan di sebuah perusahaan ternama memandang ke arah Zeva yang tengah bersama dengan pemilik perusahaan tersebut. Ia merasa tak nyaman, karena semua terlihat seolah memiliki tujuan lain. Sesekali mereka juga berbisik satu sama lain dengan lirikan tak suka dan penuh rasa dengki. Aksa merangkul pundak Zeva dengan tangan kirinya tanpa menghadap ke arah perempuan tersebut. Ia yakin bawa perempuan di sampingnya pasti merasa tidak nyaman dengan lingkungan baru. Namun, Aksa tidak ingin hal itu membuat Zeva mundur untuk melupakan keberanian yang harus ia kumpulkan. “Apakah kamu merasa buruk?” tanya Aksa sembari tetap berjalan beriringan menuju ruang utama untuk sapaan pagi. Zeva kemudian mendekatkan tubuhnya pada Aksa dengan arah pandang masih tertuju pada seluruh karyawan yang tak kunjung reda memperhatikannya. “Aku rasa mereka ingin membunuhku,” bisik Zeva santai mengundang gelak tawa bos barunya. Tak berapa lama, Aksa meminta Zeva ikut bersamanya untuk di
*** Dari kejauhan, Aksa dengan empatinya memandang ke arah seorang perepuan yang sedari tadi hanya menangis di atas tempat tidur. Setelah kejadian itu, Aksa segera membawa Zeva ke rumah sakit untuk pengobatan luka fisiknya. Bahkan di sepanjang jalan Zeva hanya terdiam dengan tangis yang terus mengalir. Aksa menjadi tak tega melihat kondisi Zeva semakin meprihatinkan. Ia tidak tahu betul apa yang sedang terjadi, karena keterlambatannya untuk mengetahui bagaimana Deren menyiksa Zeva dengan sangat keji. Sejurus kemudian, Aksa melihat sebuah nampan masih lengkap berisi makan dan minum yang sedari tadi tidak disentuh oleh Zeva. Selangkah demi langkah pria itu berjalan mendekat ke arah ranjang. Ketika tubuhnya berdiri tepat di belakang perempuan tersebut, Aksa kemudian ikut membaringkan tubuh di sebelah Zeva. Aksa menghadapkan tubuhnya ke atas dengan kedua tangan saling memegang di atas perut. “Kamu boleh tinggal di sini selama yang kamu mau,” Mengingat kejadian mengerikan itu, Aksa
***Aksa masih tidak menyangka jika Zeva akan melakukan cumbuan itu tepat di depan kamera yang ia gunakan untuk memberi Deren pelajaran. Ia yakin sekali bahwa saat ini Deren tengah berusaha meredakan emosi dengan meluapkan tekanan itu semua.Saat perempuan tersebut memundurkan tubuh sedikit menjauh, ia menunduk malu karena perbuatannya sendiri.“Rasanya aneh ketika kamu mengizinkan aku untuk kembali dengan suamiku,” lirihnya memberikan konfirmasi.“Bukankah itu yang kamu mau selama ini? Untuk apa masih menanyakan seorang suami biadab jika kamu tidak berharap kembali kepadanya?”Mendadak mulut Zeva seola tak mampu berbicara. Ia bakan menjadi ragu dengan perasaannya sendiri.Terkadang lubuk hati kecilnya merindukan masa-masa bersama Deren meskipun tak pernah tercatat memori bahagia di sana. Namun, Zeva juga merasakan pedih ketika mendengar Aksa memperbolehkan dirinya kembali pada sang suami.Aksa kemudian menautkan jari jemari tangan kiri di atas tangan kanan Zeva yang disatukan dengan
CEKLEK!Gagang pintu pun berbunyi ketika Aksa menarik benda tersebut ke bawah agar terbuka.Sesaat kemudian, terlihat seorang perempuan dengan baju miliknya sedang menyiapkan hidangan di atas meja makan tak jauh dari kamar.Zeva segera melempar senyuman ramah ketika Aksa muncul tiba-tiba. “Maafkan aku karena memakai kaos dan celana panjangmu,” ucapnya sesekali menengok ke arah lawan bicara.“Bukan masalah. Pakai saja selagi kamu nyaman,” jawab Aksa sembari berjalan mendekati Zeva.Semula menghadap perempuan itu, Aksa memalingkan pandangannya pada sebuah mangkuk besar berisikan sup buntut yang terlihat segar dan mengundang lapar.“Karena hidanganmu, hidungku menjadi lebih peka soal makanan,” guraunya di tepi meja.Zeva tertawa kecil. “Silakan,” ramahnya menawari Aksa untuk segera menyantap makan siang.Sebelum Zeva mengambilkan makanan untuk Aksa, pria tersebut meraih tangan kanan Zeva pelan. “Ze, bisakah kamu bertahan denganku saja?”Mendengar pertanyaan itu membuat Zeva hanya bisa me
***Senang rasanya melalui malam yang begitu panjang dengan penuh ketenangan. Setidaknya, ada sedikit celah bagi seorang Zeva untuk berdamai dengan rasa sakit.Di sisi lain, kejadian tak terduga yang semalam masih meragnkul ingatannya erat-erat. Sentuhan lembut dari seorang pria yang tak sengaja bertemu berhasil meninggalkan kesan tak biasa di lubuk hatinya. “Aku ingin ikut denganmu,”Suara itu berhasil menghentikan langkah seorang pria tengah merapikan baju kerjanya. “Tunggu saja di sini. Sore nanti aku akan membawamu pergi,” ucap Aksa melanjutkan aktivitasnya.“Bagaimana dengan permintaanku semalam?” ragu Zeva menanyakan ketersediaan Aksa untuk memberinya izin bertemu dengan sang suami.Aksa masih berharap jika ingatan perempuan tersebut bisa dengan mudah menyingkirkan bahasan tentang suaminya. Namun, Aksa juga paham jika semua itu belum terjadi, maka permintaan akan terus disampaikan hinggag disetujui.“Aksa…”“Kita bahas nanti sore saja,” sahut Aksa meraih tas kerjanya.Sesaat s
Meskipun kondisi luka belum membaik, Zeva masih sempat memikirkan sang suami yang menurutnya akan datang untuk mencari. Seolah ia lupa tentang siapa yang membuat luka dari mulanya tidak ada menjadi ada.Aksa menghela napas pelan di samping perempuan itu. “Haruskah aku memberitahu tentang keberadaanmu padanya?” tanya Aksa dengan nada terpaksa.Sebagai manusia yang memiliki akal, Aksa merasa kesal ketika Zeva menanyakan perhatian Deren yang jelas-jelas sangat mencurigakan untuk dipercaya.“Setidaknya seseorang butuh waktu tiga hari untuk bisa berubah. Sekarang apa yang kamu harapkan dari seorang suami yang kemarin baru menyiksamu seburuk ini?”Zeva mengikuti kemana arah tubuh Aksa dibawa beranjak dari posisinya. Sekilas ia memperhatikan raut wajah Aksa yang terkesan kecewa.“Jika butuh bantuan, panggil saja. Aku ada di lantai bawah,” kata Aksa meninggalkan Zeva tanpa menoleh sekalipun.Mendapat perlaku
*** Dari kejauhan, Aksa dengan empatinya memandang ke arah seorang perepuan yang sedari tadi hanya menangis di atas tempat tidur. Setelah kejadian itu, Aksa segera membawa Zeva ke rumah sakit untuk pengobatan luka fisiknya. Bahkan di sepanjang jalan Zeva hanya terdiam dengan tangis yang terus mengalir. Aksa menjadi tak tega melihat kondisi Zeva semakin meprihatinkan. Ia tidak tahu betul apa yang sedang terjadi, karena keterlambatannya untuk mengetahui bagaimana Deren menyiksa Zeva dengan sangat keji. Sejurus kemudian, Aksa melihat sebuah nampan masih lengkap berisi makan dan minum yang sedari tadi tidak disentuh oleh Zeva. Selangkah demi langkah pria itu berjalan mendekat ke arah ranjang. Ketika tubuhnya berdiri tepat di belakang perempuan tersebut, Aksa kemudian ikut membaringkan tubuh di sebelah Zeva. Aksa menghadapkan tubuhnya ke atas dengan kedua tangan saling memegang di atas perut. “Kamu boleh tinggal di sini selama yang kamu mau,” Mengingat kejadian mengerikan itu, Aksa
*** Semua pasang mata dari karyawan di sebuah perusahaan ternama memandang ke arah Zeva yang tengah bersama dengan pemilik perusahaan tersebut. Ia merasa tak nyaman, karena semua terlihat seolah memiliki tujuan lain. Sesekali mereka juga berbisik satu sama lain dengan lirikan tak suka dan penuh rasa dengki. Aksa merangkul pundak Zeva dengan tangan kirinya tanpa menghadap ke arah perempuan tersebut. Ia yakin bawa perempuan di sampingnya pasti merasa tidak nyaman dengan lingkungan baru. Namun, Aksa tidak ingin hal itu membuat Zeva mundur untuk melupakan keberanian yang harus ia kumpulkan. “Apakah kamu merasa buruk?” tanya Aksa sembari tetap berjalan beriringan menuju ruang utama untuk sapaan pagi. Zeva kemudian mendekatkan tubuhnya pada Aksa dengan arah pandang masih tertuju pada seluruh karyawan yang tak kunjung reda memperhatikannya. “Aku rasa mereka ingin membunuhku,” bisik Zeva santai mengundang gelak tawa bos barunya. Tak berapa lama, Aksa meminta Zeva ikut bersamanya untuk di
*** Zeva berjalan menelusuri lorong hotel untuk mencari nomor kamar dari secarik kertas yang Deren berikan. Di sepanjang kakinya melangkah, Zeva hanya terdiam dengan tatapan kosong. Membayangkan baru semalam ia harus melakukan pekerjaan itu dan hari ini ketakutannya akan terulang kembali. Merasa dirinya telah sampai pada tujuan, Zeva mengangkat kepala sejenak untuk memastikan bahwa ruang di hadapannya adalah kamar yang benar. “237,” lirihnya mengulang angka yang tercatat pada kertas yang ia bawa. Zeva sedikit ragu ketika tangannya harus bergerak untuk mengetuk pintu. “Lakukan saja seperti biasanya,” tuturnya berbisik meyakinkan diri sendiri. Sesaat setelah ketukan yang ketiga, pintu itu ternyata tak dikunci. Dengan sedikit keraguan yang tertinggal, Zeva membuka daun pintu dan memutuskan untuk masuk ke dalam. Setelah pintunya kembali tertutup, ia mendengar suara percikan air dari arah kamar mandi. Melihat baju kerja yang berserakan di atas kasur, Zeva segera merapikan tempat tidu
*** “Makan malam dulu, Mas,” ramah sang istri ketika melihat suaminya sudah terbangun dari pengaruh minuman keras. Deren membisu. Sedangkan tangannya sibuk memijat-mijat kepala di atas sofa ruang keluarga. Melihat suaminya mendesis tak nyaman, Zeva beralih dari dapur dan mendekat ke arah Deren untuk menawarkan bantuan. Saat tubuhnya bersiap untuk mengusap kepala, Deren berteriak lantang ingin menolak. “Jangan menyentuhku!” bentaknya. Seketika dada Zeva terasa seperti tertusuk duri. Seribu perhatian yang ingin ia tunjukkan selalu dibalas dengan bantahan. Sekali lagi, semua yang seperti ini bukanlah kali pertama bagi Zeva. Rasa sakit yang ia terima juga masih sama rasanya. Bahkan suara lantang itu juga sudah berulang kali melukai gendang telinga. Namun, sekalipun Zeva tidak pernah berniat untuk membantah sebagai seorang istri. “Tadi aku masak sop buntut kesukaan Mas Deren. Aku ambilkan ya, Mas?” lembutnya tetap menunjukkan bakti. Deren menggeleng dengan yakin. Bukannya memberik
“Manis sekali,” ucap seorang pria tanpa malu sembari menghirup aroma tubuh Zeva di bagian pundak sebelah kanan yang hanya terbalut oleh selimut.Sesekali Zeva menarik tubuhnya untuk sedikit menjauh. Sedang tangan pria tersebut tengah asik menggaruk lembut pinggang Zeva.Karena merasa risih, spontan tubuhnya bergeser hingga pandangan Zeva dengan jelas menatap raut wajah seorang predator penuh birahi.“Ini sudah lebih dari jam kesepakatan.” Zeva menunduk dan berucap dengan perasaan takut.Pria itu terkekeh kecil. “Baiklah. Aku tidak akan mencuri,” lirihnya terus menggoda sembari beralih menjauhi ranjang.Sesaat kemudian, Zeva menghembuskan napas yang sudah lama ia tahan. Ini memang bukan yang pertama kali. Akan tetapi, perasaan takut masih mencekam dengan cara yang sama. Jika bukan karena tidak ada pilihan lain, Zeva mungkin sudah nekat melarikan diri.Siapa pun pasti berpikir, mengapa Zeva tak menolak? Mengapa Zeva tidak bertindak lebih berani untuk menentang semuanya? Mengapa Zeva han