Gemerlap lampu berwarna-warni menghiasi ruangan diskotik yang dipenuhi banyak orang bergerak meliuk bebas di lantai disko.
Di sudut ruangan nampak Sadam sedang minum di temani temannya yang bernama Arya.Hampir tiga botol minuman yang dia habiskan sendiri, sementara Arya hanya minum segelas kecil saja. Arya tak mau mabuk apalagi saat ini Sadam mabuk parah dan tentu dia yang harus mengantarkan Sadam pulang agar tak terjadi hal buruk pada sahabatnya itu."Sudah cukup! Kita pulang sekarang," cegah Aryo saat Sadam kembali menuangkan minuman beralk*hol ke dalam gelas.Mata Sadam sudah merah, gerak tubuhnya pun sudah keleyengan tampaknya dia mabuk parah dan harus dihentikan."Sebentar lagi, tanggung. Ini juga belum habis, kamu gak mau? Ya udah aku aja yang minum," ucap Sadam sambil menepis lengan Arya dan kembali menenggak minuman itu.Ponsel Sadam yang tergeletak di atas meja tampak berkedip-kedip menandakan ada telepon masuk.Arya membaca nama yang tertera pada layar ponsel, rupanya itu telepon dari Nadine, istri Sadam."Bro, istrimu telepon tuh! Dia pasti nungguin kamu pulang. Kasihan, angkat teleponnya," titah Arya."Istri? Istri yang mana, huh?" ujar Sadam dengan mata teler dan meracau aneh."Istri mana lagi? Emang kamu punya berapa bini? Itu Nadine nelepon, angkat gih!" gerutu Arya mulai kesal.Sadam malah terkekeh, mendengar nama Nadine rasanya membuat kuping pria itu panas. Kemarahan kembali bergejolak dalam dada saat nama Nadine di sebut-sebut.Bukannya mengangkat telepon, dia malah tertawa tak jelas. Dalam tawanya penuh kebencian."Nadine? Cewek penipu!" kekeh Sadam membuat Arya tak mengerti maksud perkataannya."Cewek penipu gimana maksudnya?" tanya Arya tak mengerti."Dia memang penipu. Menikahi Nadine sama seperti membeli kucing dalam karung, kamu tau kenapa? Dia tak sebaik dan selugu yang kamu pikir. Dia hanya wanita j*lang yang menutupi aibnya dengan berpura-pura menjadi wanita baik, padahal zonk!" Sadam kembali meneguk minuman yang hanya tinggal sedikit lagi dalam gelasnya.Mengusap sudut bibir dengan kasar saat air yang dia minum menetes sedikit di bibirnya.Sementara Arya hanya terdiam tak mengerti kemana arah pembicaraan Sadam. Yang ia tau, Nadine adalah wanita baik yang sangat lembut dan merupakan istri idaman bagi pria manapun. Selain itu dia juga cantik, banyak nilai plus yang dimiliki Nadine. Tapi kenapa Sadam berkata demikian? Apa mungkin karena pengaruh alk*hol dia jadi seperti itu? Bicara ngelantur tak jelas.Arya tak percaya begitu saja. Dia tau betul jika Sadam begitu mencintai Nadine, bahkan Sadam sampai rela menentang ibunya yang tak pernah merestui hubungan mereka. Bisa menikah pun karena Sadam mengancam pergi dari rumah dan memutuskan untuk putus hubungan dari keluarga Prasetyo. Sementara Sadam merupakan anak semata wayang dari pasangan Prasetyo dan Saras.Oleh karena itu, kedua orang tua Sadam terpaksa mengikuti keinginan putra mereka yang ingin memperistri Nadine yang berasal dari keluarga sederhana. Biar bagaimanapun Sadam merupakan pewaris tunggal harta kekayaan mereka, jika Sadam tidak ada lantas siapa yang akan meneruskan usaha yang telah Prasetyo rintis sejak lama?Sebenarnya hanya Saras yang tak merestui hubungan Sadam dengan Nadine, alasannya karena Nadine katanya tak sekelas dengan keluarga mereka. Sementara Prasetyo membebaskan Sadam untuk memilih pendamping hidupnya sendiri.Seketika muncul seorang wanita berpakaian seksi menghampiri tempat Sadam dan Arya duduk. Wanita itu mencoba menggoda Sadam dengan duduk di pangkuan Sadam yang tengah mabuk berat. Dengan harapan dia bisa membawa Sadam ke room, dengan begitu dia bisa mendapatkan bayaran dari Sadam."Tampan, kamu sudah sangat mabuk. Aku akan membuatmu melayang bersamaku jika kamu mau," goda wanita itu mengelus rambut Sadam yang sedikit basah.Sadam memicingkan mata, mendorong kasar wanita itu hingga berdiri dengan wajah kesal.Untung saja tak sampai jatuh, dengan sigap berdiri saat Sadam mendorongnya."Aku gak suka wanita seperti kamu! Pergi sana!" usir Sadam."Bilang saja gak punya duit, dasar cowok kere! Tampangnya saja yang mirip orang tajir nyatanya gak mampu bayar wanita secantik aku, pake acara nolak segala lagi," gerutu wanita itu namun tak terdengar jelas oleh Sadam yang mabuk.Sadam anteng saja minum, tak peduli ocehan wanita yang berlabel kupu-kupu malam itu.Arya hanya menyaksikan mereka berdua. Merasa di perhatikan oleh Arya, wanita itu pun kini beralih menggoda Arya. Demi bisa mendapat upah malam ini, dia rela menjatuhkan harga dirinya sebagai perempuan.Baru saja wanita itu akan melangkah mendekat pada Arya.Arya sudah lebih dulu mengibaskan tangannya. Wanita seksi itu menghentakkan kaki dengan kesal lantas berlalu pergi dengan mulut mengerucut dan muka ditekuk."Sadam, kasihan istrimu pasti menunggumu pulang. Lagian kamu ini penganten baru, ngapain coba berada di sini. Kalau Nadine tau kasihan dia. Seharusnya kamu menghabiskan malam bersama istrimu, bukan di sini," ucap Arya mengingatkan."Jangan sebut nama wanita itu lagi! Aku muak mendengarnya." Sadam menyimpan kasar gelas di atas meja.Dia benar-benar sudah mabuk parah, bahkan sesekali menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi sambil memijit keningnya yang pusing juga mata yang berkunang-kunang."Jangan ngaco! Ayo kita pulang, kamu sudah mabuk!" Arya bangkit dan membantu Sadam untuk bangun.Sedikit heran melihat Sadam mabuk parah seperti sekarang. Sudah lama Sadam tak pernah menyentuh minuman beralk*hol.Tapi saat ini Sadam sudah menghabiskan hampir banyak botol minuman. Membuat Arya sedikit heran dan penasaran. Berbagai dugaan menggelembung dalam pikirannya.Apakah Sadam sedang punya masalah dengan Nadine? Tapi apa? Bukankah seharusnya mereka menikmati masa bulan madu, secara mereka ini adalah pengantin baru. Bahkan baru kemarin akad dan pesta berlangsung.Arya memapah Sadam masuk ke dalam mobil. Dia harus mengantarkan temannya itu ke rumahnya.Di kediaman Prasetyo.Nadine memeluk lututnya saat hawa dingin menerpa tubuh. Dia menunggu suaminya yang tak kunjung pulang sedari siang tadi. Tak pula ada kabar dari Sadam. Entah dimana suaminya itu hingga larut begini belum juga pulang.Nadine melirik jam dinding yang menempel di salah satu tembok. Jarum jam hampir menyentuh angka 12, tandanya sudah mulai tengah malam namun Sadam suaminya belum juga datang.Ada rasa khawatir juga gelisah memenuhi hati Nadine. Sebagai istri, dia takut terjadi hal buruk terhadap suaminya. Hingga ia tak bisa tidur sebelum Sadam datang.Suara mobil terdengar dari bawah sana. Nadine bangkit dan berlari kecil membuka tirai jendela kamarnya.Nampak mobil milik Sadam memasuki halaman rumah Senyuman terbit dari bibirnya saat mengetahui bahwa suaminya telah datang.Nadine menyambar kimono yang di letakan sembarang di atas sofa, melangkah turun ke lantai dasar untuk membukakan pintu.Para penghuni rumah tampak sudah tidur kecuali dirinya.Betapa terkejutnya Nadine saat mendapati suaminya sedang dalam keadaan mabuk berat dan di antar oleh Arya."Mas Sadam?" desis Nadine menahan suaranya agar tidak membangunkan mertuanya."Dia mabuk, bawa dia masuk," ucap Arya.Dengan sigap Nadine melingkarkan lengan suaminya di pundak. Berniat membantu Sadam masuk ke dalam."Bisa sendiri atau mau aku bantu?" tanya Arya melihat Nadine kerepotan karena Sadam sempoyongan."Bisa kok, makasih ya, Mas," ucap Nadine dan Arya pun pamit pada akhirnya.Perlahan Nadine memapah suaminya menaiki anak tangga. Cukup sulit apalagi Sadam berjalan sempoyongan dan Nadine harus menahan bobot tubuh suaminya yang cukup berat. Tapi akhirnya Nadine berhasil membawa Sadam ke kamar. Sadam dibaringkan di atas tempat tidur. Dengan telaten Nadine membuka beberapa kancing kemeja yang di pakai suaminya, tak lupa sepatunya pun dia lepas.Nadine duduk di samping Sadam. Menatap suaminya dengan tatapan miris. Tangannya mengusap rambut Sadam yang basah karena keringat. "Maafkan aku, Mas. Gara-gara aku, kamu jadi seperti ini. Asal kamu tau Mas, aku tak pernah melakukan hubungan intim dengan siapapun sebelumnya. Kamu adalah orang pertama yang melepas kesucianku. Masalah darah yang keluar atau tidak, bukanlah tolak ukur untuk menentukan apakah seseorang itu masih perawan atau bukan. Dan hal seperti itu seharusnya kamu juga tau, jangan jadikan masalah kecil menjadi pemicu hancurnya hubungan kita, Mas," lirih Nadine lantas menyandarkan kepalanya pada bahu Sadam
"Salah sendiri pilih dia jadi istrimu," ucap Saras mendelik pada Nadine."Bu ...." Prasetyo menoleh pada istrinya, seolah matanya mengatakan agar istrinya tak ikut campur urusan rumah tangga mereka.Mbak Nur nampak iba pada Nadine. Kasihan karena baru sehari saja menginjakkan kaki di rumah ini sudah dijadikan bahan pergunjingan mertua dan suaminya."Maaf, Mas, Bu. Nanti saya akan minta diajarin sama Mbak Nur, gimana bikin kopi yang sesuai selera Mas Sadam," ucap Nadine bersuara pada akhirnya."Kalau perlu bantu beres-beres sama masak di dapur. Kamu lebih cocok dijadikan pembantu kok daripada jadi istrinya Sadam," pungkas Saras sambil melempar sapu tangan putih dengan kasar ke atas meja. Ia bangkit dan melengos pergi meninggalkan ruang makan."Ya ampun, Ibu ... mulutmu itu loh!" Prasetyo berdiri menyusul langkah istrinya.Kini hanya ada Sadam dan Nadine di sana, sedang Mbak Nur buru-buru pergi ke belakang ke dapur kotor untuk mencuci piring bekas sarapan. Mbak Nur tak mau mendengar hi
"Barusan teman sekolah mengundangku ke acara reuni, dia juga minta agar aku ajak kamu, sekalian mengenalkan kamu sama teman-temanku. Kalau kamu keberatan aku gak akan ikut," ucap Nadine ragu-ragu menyampaikannya."Kapan?" tanya Sadam tanpa menoleh ke arah Nadine lawan bicaranya."Lusa." Nadine merasa lega saat Sadam merespon perkataannya."Aku akan menemani kamu ke acara itu." Sadam menoleh sekilas lalu kembali sibuk dengan layar laptopnya.Senyuman terbit di sudut bibir Nadine, hatinya makin terasa lega. Dia pikir Sadam akan menolak pergi bersamanya ke acara reuni nanti, tapi ternyata Sadam mau ikut dengannya. "Ngapain masih berdiri di situ?" Sadam membuyarkan lamunan Nadine yang terlihat tersenyum-senyum sendiri."Jangan ge-er dulu karena aku mau mengantarmu ke acara reuni. Aku hanya tak ingin orang lain curiga dengan hubungan kita yang kacau. Biarkan mereka menganggap kita ini sepasang suami istri yang harmonis," oceh Sadam sambil tersenyum miring.Baru saja Nadine merasa bahagia
Nadine bergegas melangkah ke dekat meja kompor dimana mertuanya berdiri di tempat yang sama.Beruntung api belum merambat ke atas wajan penggorengan hingga tak terjadi kebakaran. Hanya saja makanan yang sedang dimasak menjadi berwarna hitam dan gosong. Sudah pasti tak bisa di konsumsi, lalu Nadine mengambil lap dan membuang makanan gosong itu ke tong sampah."Bagus ya, buang-buang makanan seenaknya. Kamu pikir makanan itu hasil mungut? Itu aku beli loh pake uang bukan pake daon!" geram Saras."Maaf, Bu. Tadi aku gak sengaja bikin makanannya gosong, aku ngangkat telepon dari bapak sebentar, lupa matiin kompor." Nadine tertunduk."Dasar ceroboh! Ambil lagi makanan itu, cepat!" titah Saras membentak."Tapi, Bu. Makanannya udah gak layak makan, buat apa diambil lagi," ucap Nadine."Buat makan malam kamu karena sudah buang-buang makanan. Pokoknya malam ini gak ada makan malam buat kamu! Kalau mau makan, pungut tuh dari tong sampah. Lebih cocok untuk gembel seperti kamu," bentak Saras.Kemu
"Apa kamu mencintai Nadine?" Pertanyaan itu terlontar dari mulut Prasetyo ketika Sadam menghampirinya di taman belakang dimana terlihat permukaan air kolam renang yang begitu tenang dan berwarna biru gelap."Kenapa Ayah menanyakan hal itu?" Sadam malah balik bertanya bukannya menjawab pertanyaan ayahnya tadi.Pria berusia 60 tahun itu menoleh pada putra semata wayangnya. Pewaris tunggal dari perusahaan yang dulu dia kelola dari nol hingga sekarang sudah menjadi perusahaan cukup besar dan ternama."Jawab saja, apa susahnya," tukas pria berkumis itu menatap tajam manik mata putranya."Dulu iya, aku sangat mencintainya tapi sekarang setelah aku tau jika ternyata aku menikahi wanita yang salah. Cinta itu sudah terkubur bersama kekecewaan dan rasa sakit hatiku," jawab Sadam."Semudah itu cintamu luntur hanya karena Nadine diduga tidak perawan lagi? Jika memang kamu sudah tidak mencintai Nadine, maka lebih baik kamu ceraikan saja dia, kembalikan dia pada orang tuanya. Seburuk apapun Nadine
"Jangan lama-lama jabatan tangannya, itu laki orang loh, May!" tiba-tiba muncul Rena masih sahabat kami juga.Nadine baru menyadari jika sedari tadi Maya belum melepaskan tangannya dari Sadam.Spontan Maya melepaskan setelah mendapat teguran dari Rena."Maaf," ucap Maya mengukir senyum terbaiknya pada Sadam.Pria itu membalas senyuman yang tak kalah maut, membuat siapapun yang melihat akan meleleh dibuatnya."Mari kita duduk di sana," ajak Maya menunjuk ke arah sebuah kursi yang melingkar di sudut ruangan.Nadine dan Sadam melangkah mengikuti Maya dengan Rena yang berjalan lebih dulu.Mereka duduk disana sambil mengobrol banyak hal. Mengenang keseruan mereka saat bersekolah, maupun menceritakan keseharian dan kesibukan mereka saat ini."Ngomong-ngomong ini tempat punya dia. Maya sedang sibuk bisnis cafe dan karaoke, sudah buka cabang dimana-mana. Hebat kan?" tutur Rena."Hebat sekali. Kamu wanita karir yang sukses," puji Nadine."Oh jadi ini tempat kamu?" Sadam mengedarkan pandangan k
Plaaak!Satu tamparan keras mendarat di pipi Nadine hingga tubuh wanita itu terhuyung.Kulit putih itu bersemu merah akibat cap jari yang dilayangkan suaminya. Tak seberapa sakit jika dibandingkan dengan hatinya yang kini terluka namun tak berdarah. Dipermalukan di depan umum seperti ini tak ada satu wanita pun yang mau, apalagi yang mempermalukan dirinya tak lain adalah suaminya sendiri."Berani kasar pada istrimu sendiri? Pria macam apa kamu ini?" Tiba-tiba terdengar suara seorang pria mendekat ke arah mereka."Aksan?" gumam Nadine cukup kaget dengan kemunculan pria itu yang secara tiba-tiba dan tak terduga. Sadam menoleh ke arah sumber suara, menatap tajam pria yang kini sudah berada tepat di hadapannya."Bukan urusanmu, mau aku apakan dia terserahku, dia istriku!" tegas Sadam."Ya, dia memang istrimu. Tapi kelakuan kamu itu tidak mencerminkan perilaku seorang suami terhadap istrinya. Karena ini tempat umum, dan aku berhak mencegah tindakan kasar pria terhadap seorang perempuan."
"Jangan, Mas Ampun!" pekik Nadine saat Sadam mengambil sabuk yang tergantung pada gagang pintu lemari.Sudah bisa dia duga, apa yang akan dilakukan sang suami dengan menggunakan sabuk di tangannya itu.Saat tangan Sadam terangkat dengan menggenggam sabuk yang hendak dilayangkan pada tubuh mulus istrinya, saat itu juga Nadine gegas bersimpuh pada kaki suaminya."Ampun! Jangan lakukan itu padaku. Aku mohon!" Tangis wanita itu memecah heningnya malam."Aku berani bersumpah demi apapun, aku tidak pernah punya hubungan apa-apa dengan Aksan. Pria itu memang sudah lama menyukaiku, tapi aku tidak pernah menyukainya. Sumpah demi Tuhan!" lirih Nadine.Pria itu menurunkan tangan yang menggenggam sabuk. Lemah seketika tubuh Sadam saat mendengar sumpah dari mulut istrinya. Dia memang sudah keterlaluan memperlakukan Nadine. Tak seharusnya dia berlaku seperti ini. Bertindak kasar pada perempuan bukanlah tabiat yang biasa dilakukannya.Bahkan baru sekali ini dia mengotori tangannya dengan menampar wa
Baru saja sembuh dari sakit Saras sudah menyuruh Nadine melakukan pekerjaan rumah yang seharusnya menjadi pekerjaan Mbak Nur saja.Nadine tak bisa menolak, hanya pekerjaan rumah saja baginya memang tak berat. Dia menuruti apapun perintah ibu mertuanya, berharap agar Saras bisa bersikap lebih baik lagi dari sebelumnya. Namun semua itu hanyalah mimpi belaka bagi Nadine. Karena sampai kapanpun Saras tak akan pernah menerima dia jadi menantunya."Bu … stok makanan di kulkas habis," papar Mbak Nur menghampiri majikannya yang tengah duduk di ruang keluarga."Suruh Nadine kesini, biar dia yang pergi belanja!" titah Saras.Mbak Nur terdiam sebentar, dia tau betul jika saat ini Nadine masih lemah tubuhnya karena baru saja sembuh dari sakit."Kenapa masih di situ?" Saras menatap heran melihat Mbak Nur masih berdiri mematung di tempat."Biar saya saja yang belanja, Bu," ucap Mbak Nur."Kamu mau bantah aku? Cepat panggil Nadine!" sentak Saras nada suaranya tinggi."Ba-baik, Bu." Mbak Nur tergopoh
"Nadine!" teriak Sadam saat melihat istrinya tergeletak di lantai kamar mandi dengan pakaian basah, wajah pucat dan bibir membiru.Mbak Nur yang berdiri di depan pintu tampak menutup mulut dengan kedua tangannya.Segera Sadam membopong tubuh Nadine, membawa wanita itu ke kamar. "Mbak Nur, ambilkan air hangat dan bawa ke kamarku!""Baik, Tuan." Mbak Nur segera menuruti perintah majikannya.Saat Sadam hendak melangkah naik ke atas tangga, seketika Saras dan Prastyo menghampiri."Kenapa Nadine? Apa yang terjadi sama dia?" tanya Prasetyo heran.Saras tampak terdiam, mendelik sinis tanpa merasa berdosa sama sekali.Sadam melirik ke arah ibunya dan berkata, "tanya saja Ibu, apa yang sudah Ibu lakukan pada istriku."Sadam melanjutkan langkahnya menuju kamar. Dia teramat kesal pada ibunya yang sudah berani mengurung Nadine di kamar mandi. Sadam memang membenci Nadine tapi dia juga tak mau melihat istrinya tak berdaya seperti ini. Kalaupun harus Nadine menderita, tapi bukan begini caranya. Sam
Byurrr!Nadine reflek terbangun saat wajahnya basah di siram oleh seseorang.Posisinya yang semula terbaring kini langsung terduduk. Kedua tangan mengusap wajahnya yang basah."Enak banget jam segini masih tidur! Kamu pikir ini rumahmu bisa enak-enakan tidur sampe siang, hah?" bentak Saras."Maaf, Bu, tapi kepalaku pusing. Aku mau istirahat sebentar boleh ya, nanti aku bangun kok," pinta Nadine memelas. Air minum yang diguyurkan ke wajahnya membuat Nadine menggigil kedinginan."Jangan manja! Bangun dan cepat bekerja! Kalau sampai gak turun juga, aku siram kamu pakai air panas, mau?" ancam Saras."Tapi, Bu. Aku sakit." Nadine memeluk tubuhnya yang kedinginan."Dasar perempuan jal*ng!" Saras menyeret tubuh Nadine, menarik lengannya hingga Nadine tersungkur ke bawah lantai."Ampun, Bu. Lepaskan aku!" Nadine memohon."Kalau gak mau aku seret ya kamu bangun dong! Baju udah numpuk belum di gosok jadi cepat sekarang juga bereskan semuanya!" Saras melepas kasar lengan Nadine."Aku izin cuci m
"Jangan, Mas Ampun!" pekik Nadine saat Sadam mengambil sabuk yang tergantung pada gagang pintu lemari.Sudah bisa dia duga, apa yang akan dilakukan sang suami dengan menggunakan sabuk di tangannya itu.Saat tangan Sadam terangkat dengan menggenggam sabuk yang hendak dilayangkan pada tubuh mulus istrinya, saat itu juga Nadine gegas bersimpuh pada kaki suaminya."Ampun! Jangan lakukan itu padaku. Aku mohon!" Tangis wanita itu memecah heningnya malam."Aku berani bersumpah demi apapun, aku tidak pernah punya hubungan apa-apa dengan Aksan. Pria itu memang sudah lama menyukaiku, tapi aku tidak pernah menyukainya. Sumpah demi Tuhan!" lirih Nadine.Pria itu menurunkan tangan yang menggenggam sabuk. Lemah seketika tubuh Sadam saat mendengar sumpah dari mulut istrinya. Dia memang sudah keterlaluan memperlakukan Nadine. Tak seharusnya dia berlaku seperti ini. Bertindak kasar pada perempuan bukanlah tabiat yang biasa dilakukannya.Bahkan baru sekali ini dia mengotori tangannya dengan menampar wa
Plaaak!Satu tamparan keras mendarat di pipi Nadine hingga tubuh wanita itu terhuyung.Kulit putih itu bersemu merah akibat cap jari yang dilayangkan suaminya. Tak seberapa sakit jika dibandingkan dengan hatinya yang kini terluka namun tak berdarah. Dipermalukan di depan umum seperti ini tak ada satu wanita pun yang mau, apalagi yang mempermalukan dirinya tak lain adalah suaminya sendiri."Berani kasar pada istrimu sendiri? Pria macam apa kamu ini?" Tiba-tiba terdengar suara seorang pria mendekat ke arah mereka."Aksan?" gumam Nadine cukup kaget dengan kemunculan pria itu yang secara tiba-tiba dan tak terduga. Sadam menoleh ke arah sumber suara, menatap tajam pria yang kini sudah berada tepat di hadapannya."Bukan urusanmu, mau aku apakan dia terserahku, dia istriku!" tegas Sadam."Ya, dia memang istrimu. Tapi kelakuan kamu itu tidak mencerminkan perilaku seorang suami terhadap istrinya. Karena ini tempat umum, dan aku berhak mencegah tindakan kasar pria terhadap seorang perempuan."
"Jangan lama-lama jabatan tangannya, itu laki orang loh, May!" tiba-tiba muncul Rena masih sahabat kami juga.Nadine baru menyadari jika sedari tadi Maya belum melepaskan tangannya dari Sadam.Spontan Maya melepaskan setelah mendapat teguran dari Rena."Maaf," ucap Maya mengukir senyum terbaiknya pada Sadam.Pria itu membalas senyuman yang tak kalah maut, membuat siapapun yang melihat akan meleleh dibuatnya."Mari kita duduk di sana," ajak Maya menunjuk ke arah sebuah kursi yang melingkar di sudut ruangan.Nadine dan Sadam melangkah mengikuti Maya dengan Rena yang berjalan lebih dulu.Mereka duduk disana sambil mengobrol banyak hal. Mengenang keseruan mereka saat bersekolah, maupun menceritakan keseharian dan kesibukan mereka saat ini."Ngomong-ngomong ini tempat punya dia. Maya sedang sibuk bisnis cafe dan karaoke, sudah buka cabang dimana-mana. Hebat kan?" tutur Rena."Hebat sekali. Kamu wanita karir yang sukses," puji Nadine."Oh jadi ini tempat kamu?" Sadam mengedarkan pandangan k
"Apa kamu mencintai Nadine?" Pertanyaan itu terlontar dari mulut Prasetyo ketika Sadam menghampirinya di taman belakang dimana terlihat permukaan air kolam renang yang begitu tenang dan berwarna biru gelap."Kenapa Ayah menanyakan hal itu?" Sadam malah balik bertanya bukannya menjawab pertanyaan ayahnya tadi.Pria berusia 60 tahun itu menoleh pada putra semata wayangnya. Pewaris tunggal dari perusahaan yang dulu dia kelola dari nol hingga sekarang sudah menjadi perusahaan cukup besar dan ternama."Jawab saja, apa susahnya," tukas pria berkumis itu menatap tajam manik mata putranya."Dulu iya, aku sangat mencintainya tapi sekarang setelah aku tau jika ternyata aku menikahi wanita yang salah. Cinta itu sudah terkubur bersama kekecewaan dan rasa sakit hatiku," jawab Sadam."Semudah itu cintamu luntur hanya karena Nadine diduga tidak perawan lagi? Jika memang kamu sudah tidak mencintai Nadine, maka lebih baik kamu ceraikan saja dia, kembalikan dia pada orang tuanya. Seburuk apapun Nadine
Nadine bergegas melangkah ke dekat meja kompor dimana mertuanya berdiri di tempat yang sama.Beruntung api belum merambat ke atas wajan penggorengan hingga tak terjadi kebakaran. Hanya saja makanan yang sedang dimasak menjadi berwarna hitam dan gosong. Sudah pasti tak bisa di konsumsi, lalu Nadine mengambil lap dan membuang makanan gosong itu ke tong sampah."Bagus ya, buang-buang makanan seenaknya. Kamu pikir makanan itu hasil mungut? Itu aku beli loh pake uang bukan pake daon!" geram Saras."Maaf, Bu. Tadi aku gak sengaja bikin makanannya gosong, aku ngangkat telepon dari bapak sebentar, lupa matiin kompor." Nadine tertunduk."Dasar ceroboh! Ambil lagi makanan itu, cepat!" titah Saras membentak."Tapi, Bu. Makanannya udah gak layak makan, buat apa diambil lagi," ucap Nadine."Buat makan malam kamu karena sudah buang-buang makanan. Pokoknya malam ini gak ada makan malam buat kamu! Kalau mau makan, pungut tuh dari tong sampah. Lebih cocok untuk gembel seperti kamu," bentak Saras.Kemu
"Barusan teman sekolah mengundangku ke acara reuni, dia juga minta agar aku ajak kamu, sekalian mengenalkan kamu sama teman-temanku. Kalau kamu keberatan aku gak akan ikut," ucap Nadine ragu-ragu menyampaikannya."Kapan?" tanya Sadam tanpa menoleh ke arah Nadine lawan bicaranya."Lusa." Nadine merasa lega saat Sadam merespon perkataannya."Aku akan menemani kamu ke acara itu." Sadam menoleh sekilas lalu kembali sibuk dengan layar laptopnya.Senyuman terbit di sudut bibir Nadine, hatinya makin terasa lega. Dia pikir Sadam akan menolak pergi bersamanya ke acara reuni nanti, tapi ternyata Sadam mau ikut dengannya. "Ngapain masih berdiri di situ?" Sadam membuyarkan lamunan Nadine yang terlihat tersenyum-senyum sendiri."Jangan ge-er dulu karena aku mau mengantarmu ke acara reuni. Aku hanya tak ingin orang lain curiga dengan hubungan kita yang kacau. Biarkan mereka menganggap kita ini sepasang suami istri yang harmonis," oceh Sadam sambil tersenyum miring.Baru saja Nadine merasa bahagia