Saras tengah duduk bersantai di teras rumah. Seketika ia bangkit saat melihat mobil putranya memasuki halaman rumah.
Wanita itu memicingkan mata melihat sepasang pengantin baru yang seharusnya masih berada di hotel untuk tiga hari kedepan.Tapi anehnya mereka sudah kembali. Tak ada raut bahagia yang terpancar dari pasangan pengantin baru itu. Tak seperti pada umumnya, dimana kebanyakan orang akan mengumbar kemesraan atau paling tidak terlihat lebih romantis. Tak seperti yang Saras lihat saat ini.Wajah mereka terlihat datar. Apalagi ekspresi yang terpancar dari Nadine, cukup menarik perhatian Saras. Kantung mata wanita yang kini menjadi menantunya itu tampak bengkak. Sedangkan wajah putranya yang bernama Sadam pun tak kalah membuatnya heran. Anak itu tampak datar wajahnya seperti banyak pikiran.Mereka berdua tak terlihat romantis seperti layaknya pengantin baru. Mengundang banyak tanya di hati Saras. Terlebih seharusnya pasangan pengantin itu masih berada di hotel untuk berbulan madu. Namun baru semalam menginap di hotel, mereka sudah kembali ke rumah."Loh kenapa kalian sudah pulang? Bukankah seharusnya kalian masih di hotel?" tanya Saras heran.Dua sejoli itu tampak berhenti melangkah, mereka berdiri di depan Saras sesekali saling lirik satu sama lain. Seperti ada hal yang sedang mereka sembunyikan."Aku capek Bu, mau istirahat di rumah saja." Sadam menjawab singkat lantas melengos masuk begitu saja melewati ibunya yang masih kebingungan.Saras memicingkan mata tatkala melihat Nadine kesulitan mengangkat koper pakaian mereka yang mungkin cukup berat. Apalagi saat Nadine berusaha mengangkat koper itu ke tangga teras yang terdiri dari tiga anak tangga, ia terlihat kesulitan.Hal itu memancing rasa penasaran Saras. Kenapa Nadine yang membawa koper pakaian seberat itu? Kenapa tidak Sadam? Saras bertanya-tanya dalam hati.Nadine menyimpan sejenak koper di sampingnya. Menjulurkan tangan berniat menyalami sang ibu mertua yang sedari tadi menatapnya heran.Bukan mendapatkan sambutan dari Saras, malah tangan Nadine ditepis kasar oleh mertuanya itu."Jangan berani sentuh aku! Kamu pikir aku akan menerima kamu sebagai menantu setelah kamu berhasil menikah dengan Sadam? TIDAK! Sampai kapanpun aku tak akan merestui pernikahan kalian. Kalau bukan karena Sadam mengancam kabur dari rumah, aku tak akan membiarkan pesta pernikahan kalian terjadi." Saras membalik badan berniat pergi dari teras dan meninggalkan Nadine yang menundukkan kepala.Baru beberapa langkah dia kembali menolehkan wajahnya ke belakang."Hampir saja aku lupa. Selamat datang di neraka! Semoga kamu kuat, jika tidak kuat kamu boleh pergi kapan saja tapi ingat, tanpa membawa serta putraku," ucapnya lantas kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.Perlahan Nadine mengangkat wajah, menatap nanar punggung ibu mertuanya. Kembali dia menitikkan air mata, segera ia usap dengan kasar wajahnya.Mencoba berdamai dengan takdir yang membuatnya terlanjur terperangkap dalam sebuah pernikahan yang rumit.Nadine terus menguatkan diri. Dia yakin jika suatu saat Sadam akan menyadari kesalahpahaman antara mereka. Dan ibu mertuanya pun suatu saat akan menerimanya sebagai menantu. Ya, Nadine terus memupuk keyakinan yang entah sampai kapan waktu itu tiba.Dimana Sadam akan kembali menyayanginya, dan ibu mertuanya akan menerima dia apa adanya."Kamu pasti bisa, Nad. Ya, kamu harus bisa." Dengan penuh keyakinan dia melangkah masuk ke dalam.Sebuah koper dia seret, menimbulkan suara gesekan antara roda dengan keramik licin rumah mewah itu.Seketika muncul seorang pria berwajah teduh. Pria berusia sekitar 50 tahun itu mengernyitkan keningnya yang sudah keriput."Kamu kesini sama siapa? Mana Sadam?" tanya Prasetyo ayah dari Sadam atau mertua laki-laki Nadine.Prasetyo celingukan mencari-cari anaknya."Mas Sadam sudah masuk duluan," jawab Nadine.Prasetyo bengong melihat koper ditangan Nadine, kenapa wanita yang harus membawa koper itu? Kenapa tidak Sadam?"Sini biar Ayah yang bawa kopernya, Sadam itu gimana sih? Masa iya istrinya suruh bawa koper sendirian?" Prasetyo hendak mengambil koper itu meski Nadine sudah melarangnya."Biarkan dia sendiri yang bawa kopernya!" tiba-tiba Sadam muncul di atas tangga.Pria itu menatap Nadine dengan tatapan penuh kebencian, bisa Nadine rasakan hal itu. Kini tak ada lagi tatapan lembut dan penuh kasih sayang yang terpancar dari wajah suaminya. Hanya kebencian yang dia rasakan."Saya bisa sendiri, Yah, makasih. Lagi pula gak berat kok," ujar Nadine menyeret koper dan mulai naik ke atas tangga dimana Sadam berdiri dan kini membalik badan kembali melangkah ke kamarnya.Sementara Nadine mengekor dibelakang dengan napas tak beraturan karena berat membawa koper hingga ke lantai dua ini.Langkah mereka sampai di depan pintu kamar. Seketika Sadam berhenti dan membalik badan."Kita satu kamar agar orang tua gak curiga, bukan berarti kita akan satu ranjang, paham?'' sergah Sadam mengingatkan.Nadine menatap miris manik mata Sadam yang penuh dengan kebencian. Tak menyangka Sadam pria yang dia cintai akan berubah 180 derajat dalam satu malam saja. Hanya karena hal yang sama sekali bukan suatu kesalahan, semua ini hanya salah paham saja."Kenapa diam? Atau kamu ingin tidur di luar?" suara Sadam mengecil tak ingin terdengar oleh orang tuanya.Nadine menggelengkan kepala cepat."Aku bersedia tidur di sofa," ucap Nadine."Sayangnya kamu harus tidur di bawah, tapi jangan khawatir. Ada karpet yang bisa kamu pakai untuk alas tidur," ucap Sadam membuka pintu kamar lebar-lebar.Mereka melangkah masuk ke dalam. Mata Nadine mengedar ke sekeliling ruangan yang luas itu.Seharusnya kamar ini menjadi tempat spesial untuk mereka berdua, tapi sepertinya semua di luar ekspektasi. Sadam sudah salah paham dan menyimpan rasa benci padanya. Kamar bernuansa hijau segar ini akan menjadi tempat menyimpan rapat rahasia antara mereka berdua. Jika ternyata hubungan sepasang suami istri ini tidak baik-baik saja namun harus terlihat normal saat mereka berada di luar sana.Nadine tetap pada pendiriannya, prinsipnya adalah menikah sekali seumur hidup. Maka dari itu masalah yang sedang dia hadapi saat ini, dia anggap sebagai masalah rumah tangga yang mungkin akan terjadi pada siapapun.Menjalin rumah tangga tentu butuh kesabaran dan pengorbanan. Dia akan melakukan semua itu sebagai pengabdiannya menjadi seorang istri yang baik. Lambat laun dia yakin kebenaran akan terungkap, Sadam pasti akan menerimanya kembali sebagai wanita satu-satunya yang ia pilih dan ia cintai.Meski kebencian kerap kali terpancar dari wajah Sadam, namun Nadine yakin jika pria itu masih mencintainya. Karena tak semudah itu cinta akan hilang dalam hati Sadam. Karena cinta Nadine bertahan hingga saatnya tiba nanti, Sadam akan kembali menjadi Sadam yang baik dan penuh perhatian.Lama terdiam membuat Sadam geram melihat Nadine yang hanya bengong melamun."Ngapain bengong di situ? Bereskan pakaian dan bantu masak di dapur bersama Mbak Nur." Sadam memintanya untuk membantu pekerjaan Mbak Nur, asisten rumah tangga di rumah itu."Baik, Mas." Nadine bergegas menyeret koper ke dekat lemari dan memasukan pakaian bersih ke dalam lemari tersebut.Sadam melangkah keluar kamar."Mas, mau kemana?" tanya Nadine menoleh pada Sadam yang kini sudah sampai di ambang pintu kamar."Bukan urusanmu," tukas Sadam melanjutkan langkahnya berlalu dari kamar itu.Gemerlap lampu berwarna-warni menghiasi ruangan diskotik yang dipenuhi banyak orang bergerak meliuk bebas di lantai disko.Di sudut ruangan nampak Sadam sedang minum di temani temannya yang bernama Arya.Hampir tiga botol minuman yang dia habiskan sendiri, sementara Arya hanya minum segelas kecil saja. Arya tak mau mabuk apalagi saat ini Sadam mabuk parah dan tentu dia yang harus mengantarkan Sadam pulang agar tak terjadi hal buruk pada sahabatnya itu."Sudah cukup! Kita pulang sekarang," cegah Aryo saat Sadam kembali menuangkan minuman beralk*hol ke dalam gelas.Mata Sadam sudah merah, gerak tubuhnya pun sudah keleyengan tampaknya dia mabuk parah dan harus dihentikan."Sebentar lagi, tanggung. Ini juga belum habis, kamu gak mau? Ya udah aku aja yang minum," ucap Sadam sambil menepis lengan Arya dan kembali menenggak minuman itu.Ponsel Sadam yang tergeletak di atas meja tampak berkedip-kedip menandakan ada telepon masuk. Arya membaca nama yang tertera pada layar ponsel, rupanya it
Perlahan Nadine memapah suaminya menaiki anak tangga. Cukup sulit apalagi Sadam berjalan sempoyongan dan Nadine harus menahan bobot tubuh suaminya yang cukup berat. Tapi akhirnya Nadine berhasil membawa Sadam ke kamar. Sadam dibaringkan di atas tempat tidur. Dengan telaten Nadine membuka beberapa kancing kemeja yang di pakai suaminya, tak lupa sepatunya pun dia lepas.Nadine duduk di samping Sadam. Menatap suaminya dengan tatapan miris. Tangannya mengusap rambut Sadam yang basah karena keringat. "Maafkan aku, Mas. Gara-gara aku, kamu jadi seperti ini. Asal kamu tau Mas, aku tak pernah melakukan hubungan intim dengan siapapun sebelumnya. Kamu adalah orang pertama yang melepas kesucianku. Masalah darah yang keluar atau tidak, bukanlah tolak ukur untuk menentukan apakah seseorang itu masih perawan atau bukan. Dan hal seperti itu seharusnya kamu juga tau, jangan jadikan masalah kecil menjadi pemicu hancurnya hubungan kita, Mas," lirih Nadine lantas menyandarkan kepalanya pada bahu Sadam
"Salah sendiri pilih dia jadi istrimu," ucap Saras mendelik pada Nadine."Bu ...." Prasetyo menoleh pada istrinya, seolah matanya mengatakan agar istrinya tak ikut campur urusan rumah tangga mereka.Mbak Nur nampak iba pada Nadine. Kasihan karena baru sehari saja menginjakkan kaki di rumah ini sudah dijadikan bahan pergunjingan mertua dan suaminya."Maaf, Mas, Bu. Nanti saya akan minta diajarin sama Mbak Nur, gimana bikin kopi yang sesuai selera Mas Sadam," ucap Nadine bersuara pada akhirnya."Kalau perlu bantu beres-beres sama masak di dapur. Kamu lebih cocok dijadikan pembantu kok daripada jadi istrinya Sadam," pungkas Saras sambil melempar sapu tangan putih dengan kasar ke atas meja. Ia bangkit dan melengos pergi meninggalkan ruang makan."Ya ampun, Ibu ... mulutmu itu loh!" Prasetyo berdiri menyusul langkah istrinya.Kini hanya ada Sadam dan Nadine di sana, sedang Mbak Nur buru-buru pergi ke belakang ke dapur kotor untuk mencuci piring bekas sarapan. Mbak Nur tak mau mendengar hi
"Barusan teman sekolah mengundangku ke acara reuni, dia juga minta agar aku ajak kamu, sekalian mengenalkan kamu sama teman-temanku. Kalau kamu keberatan aku gak akan ikut," ucap Nadine ragu-ragu menyampaikannya."Kapan?" tanya Sadam tanpa menoleh ke arah Nadine lawan bicaranya."Lusa." Nadine merasa lega saat Sadam merespon perkataannya."Aku akan menemani kamu ke acara itu." Sadam menoleh sekilas lalu kembali sibuk dengan layar laptopnya.Senyuman terbit di sudut bibir Nadine, hatinya makin terasa lega. Dia pikir Sadam akan menolak pergi bersamanya ke acara reuni nanti, tapi ternyata Sadam mau ikut dengannya. "Ngapain masih berdiri di situ?" Sadam membuyarkan lamunan Nadine yang terlihat tersenyum-senyum sendiri."Jangan ge-er dulu karena aku mau mengantarmu ke acara reuni. Aku hanya tak ingin orang lain curiga dengan hubungan kita yang kacau. Biarkan mereka menganggap kita ini sepasang suami istri yang harmonis," oceh Sadam sambil tersenyum miring.Baru saja Nadine merasa bahagia
Nadine bergegas melangkah ke dekat meja kompor dimana mertuanya berdiri di tempat yang sama.Beruntung api belum merambat ke atas wajan penggorengan hingga tak terjadi kebakaran. Hanya saja makanan yang sedang dimasak menjadi berwarna hitam dan gosong. Sudah pasti tak bisa di konsumsi, lalu Nadine mengambil lap dan membuang makanan gosong itu ke tong sampah."Bagus ya, buang-buang makanan seenaknya. Kamu pikir makanan itu hasil mungut? Itu aku beli loh pake uang bukan pake daon!" geram Saras."Maaf, Bu. Tadi aku gak sengaja bikin makanannya gosong, aku ngangkat telepon dari bapak sebentar, lupa matiin kompor." Nadine tertunduk."Dasar ceroboh! Ambil lagi makanan itu, cepat!" titah Saras membentak."Tapi, Bu. Makanannya udah gak layak makan, buat apa diambil lagi," ucap Nadine."Buat makan malam kamu karena sudah buang-buang makanan. Pokoknya malam ini gak ada makan malam buat kamu! Kalau mau makan, pungut tuh dari tong sampah. Lebih cocok untuk gembel seperti kamu," bentak Saras.Kemu
"Apa kamu mencintai Nadine?" Pertanyaan itu terlontar dari mulut Prasetyo ketika Sadam menghampirinya di taman belakang dimana terlihat permukaan air kolam renang yang begitu tenang dan berwarna biru gelap."Kenapa Ayah menanyakan hal itu?" Sadam malah balik bertanya bukannya menjawab pertanyaan ayahnya tadi.Pria berusia 60 tahun itu menoleh pada putra semata wayangnya. Pewaris tunggal dari perusahaan yang dulu dia kelola dari nol hingga sekarang sudah menjadi perusahaan cukup besar dan ternama."Jawab saja, apa susahnya," tukas pria berkumis itu menatap tajam manik mata putranya."Dulu iya, aku sangat mencintainya tapi sekarang setelah aku tau jika ternyata aku menikahi wanita yang salah. Cinta itu sudah terkubur bersama kekecewaan dan rasa sakit hatiku," jawab Sadam."Semudah itu cintamu luntur hanya karena Nadine diduga tidak perawan lagi? Jika memang kamu sudah tidak mencintai Nadine, maka lebih baik kamu ceraikan saja dia, kembalikan dia pada orang tuanya. Seburuk apapun Nadine
"Jangan lama-lama jabatan tangannya, itu laki orang loh, May!" tiba-tiba muncul Rena masih sahabat kami juga.Nadine baru menyadari jika sedari tadi Maya belum melepaskan tangannya dari Sadam.Spontan Maya melepaskan setelah mendapat teguran dari Rena."Maaf," ucap Maya mengukir senyum terbaiknya pada Sadam.Pria itu membalas senyuman yang tak kalah maut, membuat siapapun yang melihat akan meleleh dibuatnya."Mari kita duduk di sana," ajak Maya menunjuk ke arah sebuah kursi yang melingkar di sudut ruangan.Nadine dan Sadam melangkah mengikuti Maya dengan Rena yang berjalan lebih dulu.Mereka duduk disana sambil mengobrol banyak hal. Mengenang keseruan mereka saat bersekolah, maupun menceritakan keseharian dan kesibukan mereka saat ini."Ngomong-ngomong ini tempat punya dia. Maya sedang sibuk bisnis cafe dan karaoke, sudah buka cabang dimana-mana. Hebat kan?" tutur Rena."Hebat sekali. Kamu wanita karir yang sukses," puji Nadine."Oh jadi ini tempat kamu?" Sadam mengedarkan pandangan k
Plaaak!Satu tamparan keras mendarat di pipi Nadine hingga tubuh wanita itu terhuyung.Kulit putih itu bersemu merah akibat cap jari yang dilayangkan suaminya. Tak seberapa sakit jika dibandingkan dengan hatinya yang kini terluka namun tak berdarah. Dipermalukan di depan umum seperti ini tak ada satu wanita pun yang mau, apalagi yang mempermalukan dirinya tak lain adalah suaminya sendiri."Berani kasar pada istrimu sendiri? Pria macam apa kamu ini?" Tiba-tiba terdengar suara seorang pria mendekat ke arah mereka."Aksan?" gumam Nadine cukup kaget dengan kemunculan pria itu yang secara tiba-tiba dan tak terduga. Sadam menoleh ke arah sumber suara, menatap tajam pria yang kini sudah berada tepat di hadapannya."Bukan urusanmu, mau aku apakan dia terserahku, dia istriku!" tegas Sadam."Ya, dia memang istrimu. Tapi kelakuan kamu itu tidak mencerminkan perilaku seorang suami terhadap istrinya. Karena ini tempat umum, dan aku berhak mencegah tindakan kasar pria terhadap seorang perempuan."
Baru saja sembuh dari sakit Saras sudah menyuruh Nadine melakukan pekerjaan rumah yang seharusnya menjadi pekerjaan Mbak Nur saja.Nadine tak bisa menolak, hanya pekerjaan rumah saja baginya memang tak berat. Dia menuruti apapun perintah ibu mertuanya, berharap agar Saras bisa bersikap lebih baik lagi dari sebelumnya. Namun semua itu hanyalah mimpi belaka bagi Nadine. Karena sampai kapanpun Saras tak akan pernah menerima dia jadi menantunya."Bu … stok makanan di kulkas habis," papar Mbak Nur menghampiri majikannya yang tengah duduk di ruang keluarga."Suruh Nadine kesini, biar dia yang pergi belanja!" titah Saras.Mbak Nur terdiam sebentar, dia tau betul jika saat ini Nadine masih lemah tubuhnya karena baru saja sembuh dari sakit."Kenapa masih di situ?" Saras menatap heran melihat Mbak Nur masih berdiri mematung di tempat."Biar saya saja yang belanja, Bu," ucap Mbak Nur."Kamu mau bantah aku? Cepat panggil Nadine!" sentak Saras nada suaranya tinggi."Ba-baik, Bu." Mbak Nur tergopoh
"Nadine!" teriak Sadam saat melihat istrinya tergeletak di lantai kamar mandi dengan pakaian basah, wajah pucat dan bibir membiru.Mbak Nur yang berdiri di depan pintu tampak menutup mulut dengan kedua tangannya.Segera Sadam membopong tubuh Nadine, membawa wanita itu ke kamar. "Mbak Nur, ambilkan air hangat dan bawa ke kamarku!""Baik, Tuan." Mbak Nur segera menuruti perintah majikannya.Saat Sadam hendak melangkah naik ke atas tangga, seketika Saras dan Prastyo menghampiri."Kenapa Nadine? Apa yang terjadi sama dia?" tanya Prasetyo heran.Saras tampak terdiam, mendelik sinis tanpa merasa berdosa sama sekali.Sadam melirik ke arah ibunya dan berkata, "tanya saja Ibu, apa yang sudah Ibu lakukan pada istriku."Sadam melanjutkan langkahnya menuju kamar. Dia teramat kesal pada ibunya yang sudah berani mengurung Nadine di kamar mandi. Sadam memang membenci Nadine tapi dia juga tak mau melihat istrinya tak berdaya seperti ini. Kalaupun harus Nadine menderita, tapi bukan begini caranya. Sam
Byurrr!Nadine reflek terbangun saat wajahnya basah di siram oleh seseorang.Posisinya yang semula terbaring kini langsung terduduk. Kedua tangan mengusap wajahnya yang basah."Enak banget jam segini masih tidur! Kamu pikir ini rumahmu bisa enak-enakan tidur sampe siang, hah?" bentak Saras."Maaf, Bu, tapi kepalaku pusing. Aku mau istirahat sebentar boleh ya, nanti aku bangun kok," pinta Nadine memelas. Air minum yang diguyurkan ke wajahnya membuat Nadine menggigil kedinginan."Jangan manja! Bangun dan cepat bekerja! Kalau sampai gak turun juga, aku siram kamu pakai air panas, mau?" ancam Saras."Tapi, Bu. Aku sakit." Nadine memeluk tubuhnya yang kedinginan."Dasar perempuan jal*ng!" Saras menyeret tubuh Nadine, menarik lengannya hingga Nadine tersungkur ke bawah lantai."Ampun, Bu. Lepaskan aku!" Nadine memohon."Kalau gak mau aku seret ya kamu bangun dong! Baju udah numpuk belum di gosok jadi cepat sekarang juga bereskan semuanya!" Saras melepas kasar lengan Nadine."Aku izin cuci m
"Jangan, Mas Ampun!" pekik Nadine saat Sadam mengambil sabuk yang tergantung pada gagang pintu lemari.Sudah bisa dia duga, apa yang akan dilakukan sang suami dengan menggunakan sabuk di tangannya itu.Saat tangan Sadam terangkat dengan menggenggam sabuk yang hendak dilayangkan pada tubuh mulus istrinya, saat itu juga Nadine gegas bersimpuh pada kaki suaminya."Ampun! Jangan lakukan itu padaku. Aku mohon!" Tangis wanita itu memecah heningnya malam."Aku berani bersumpah demi apapun, aku tidak pernah punya hubungan apa-apa dengan Aksan. Pria itu memang sudah lama menyukaiku, tapi aku tidak pernah menyukainya. Sumpah demi Tuhan!" lirih Nadine.Pria itu menurunkan tangan yang menggenggam sabuk. Lemah seketika tubuh Sadam saat mendengar sumpah dari mulut istrinya. Dia memang sudah keterlaluan memperlakukan Nadine. Tak seharusnya dia berlaku seperti ini. Bertindak kasar pada perempuan bukanlah tabiat yang biasa dilakukannya.Bahkan baru sekali ini dia mengotori tangannya dengan menampar wa
Plaaak!Satu tamparan keras mendarat di pipi Nadine hingga tubuh wanita itu terhuyung.Kulit putih itu bersemu merah akibat cap jari yang dilayangkan suaminya. Tak seberapa sakit jika dibandingkan dengan hatinya yang kini terluka namun tak berdarah. Dipermalukan di depan umum seperti ini tak ada satu wanita pun yang mau, apalagi yang mempermalukan dirinya tak lain adalah suaminya sendiri."Berani kasar pada istrimu sendiri? Pria macam apa kamu ini?" Tiba-tiba terdengar suara seorang pria mendekat ke arah mereka."Aksan?" gumam Nadine cukup kaget dengan kemunculan pria itu yang secara tiba-tiba dan tak terduga. Sadam menoleh ke arah sumber suara, menatap tajam pria yang kini sudah berada tepat di hadapannya."Bukan urusanmu, mau aku apakan dia terserahku, dia istriku!" tegas Sadam."Ya, dia memang istrimu. Tapi kelakuan kamu itu tidak mencerminkan perilaku seorang suami terhadap istrinya. Karena ini tempat umum, dan aku berhak mencegah tindakan kasar pria terhadap seorang perempuan."
"Jangan lama-lama jabatan tangannya, itu laki orang loh, May!" tiba-tiba muncul Rena masih sahabat kami juga.Nadine baru menyadari jika sedari tadi Maya belum melepaskan tangannya dari Sadam.Spontan Maya melepaskan setelah mendapat teguran dari Rena."Maaf," ucap Maya mengukir senyum terbaiknya pada Sadam.Pria itu membalas senyuman yang tak kalah maut, membuat siapapun yang melihat akan meleleh dibuatnya."Mari kita duduk di sana," ajak Maya menunjuk ke arah sebuah kursi yang melingkar di sudut ruangan.Nadine dan Sadam melangkah mengikuti Maya dengan Rena yang berjalan lebih dulu.Mereka duduk disana sambil mengobrol banyak hal. Mengenang keseruan mereka saat bersekolah, maupun menceritakan keseharian dan kesibukan mereka saat ini."Ngomong-ngomong ini tempat punya dia. Maya sedang sibuk bisnis cafe dan karaoke, sudah buka cabang dimana-mana. Hebat kan?" tutur Rena."Hebat sekali. Kamu wanita karir yang sukses," puji Nadine."Oh jadi ini tempat kamu?" Sadam mengedarkan pandangan k
"Apa kamu mencintai Nadine?" Pertanyaan itu terlontar dari mulut Prasetyo ketika Sadam menghampirinya di taman belakang dimana terlihat permukaan air kolam renang yang begitu tenang dan berwarna biru gelap."Kenapa Ayah menanyakan hal itu?" Sadam malah balik bertanya bukannya menjawab pertanyaan ayahnya tadi.Pria berusia 60 tahun itu menoleh pada putra semata wayangnya. Pewaris tunggal dari perusahaan yang dulu dia kelola dari nol hingga sekarang sudah menjadi perusahaan cukup besar dan ternama."Jawab saja, apa susahnya," tukas pria berkumis itu menatap tajam manik mata putranya."Dulu iya, aku sangat mencintainya tapi sekarang setelah aku tau jika ternyata aku menikahi wanita yang salah. Cinta itu sudah terkubur bersama kekecewaan dan rasa sakit hatiku," jawab Sadam."Semudah itu cintamu luntur hanya karena Nadine diduga tidak perawan lagi? Jika memang kamu sudah tidak mencintai Nadine, maka lebih baik kamu ceraikan saja dia, kembalikan dia pada orang tuanya. Seburuk apapun Nadine
Nadine bergegas melangkah ke dekat meja kompor dimana mertuanya berdiri di tempat yang sama.Beruntung api belum merambat ke atas wajan penggorengan hingga tak terjadi kebakaran. Hanya saja makanan yang sedang dimasak menjadi berwarna hitam dan gosong. Sudah pasti tak bisa di konsumsi, lalu Nadine mengambil lap dan membuang makanan gosong itu ke tong sampah."Bagus ya, buang-buang makanan seenaknya. Kamu pikir makanan itu hasil mungut? Itu aku beli loh pake uang bukan pake daon!" geram Saras."Maaf, Bu. Tadi aku gak sengaja bikin makanannya gosong, aku ngangkat telepon dari bapak sebentar, lupa matiin kompor." Nadine tertunduk."Dasar ceroboh! Ambil lagi makanan itu, cepat!" titah Saras membentak."Tapi, Bu. Makanannya udah gak layak makan, buat apa diambil lagi," ucap Nadine."Buat makan malam kamu karena sudah buang-buang makanan. Pokoknya malam ini gak ada makan malam buat kamu! Kalau mau makan, pungut tuh dari tong sampah. Lebih cocok untuk gembel seperti kamu," bentak Saras.Kemu
"Barusan teman sekolah mengundangku ke acara reuni, dia juga minta agar aku ajak kamu, sekalian mengenalkan kamu sama teman-temanku. Kalau kamu keberatan aku gak akan ikut," ucap Nadine ragu-ragu menyampaikannya."Kapan?" tanya Sadam tanpa menoleh ke arah Nadine lawan bicaranya."Lusa." Nadine merasa lega saat Sadam merespon perkataannya."Aku akan menemani kamu ke acara itu." Sadam menoleh sekilas lalu kembali sibuk dengan layar laptopnya.Senyuman terbit di sudut bibir Nadine, hatinya makin terasa lega. Dia pikir Sadam akan menolak pergi bersamanya ke acara reuni nanti, tapi ternyata Sadam mau ikut dengannya. "Ngapain masih berdiri di situ?" Sadam membuyarkan lamunan Nadine yang terlihat tersenyum-senyum sendiri."Jangan ge-er dulu karena aku mau mengantarmu ke acara reuni. Aku hanya tak ingin orang lain curiga dengan hubungan kita yang kacau. Biarkan mereka menganggap kita ini sepasang suami istri yang harmonis," oceh Sadam sambil tersenyum miring.Baru saja Nadine merasa bahagia