“Salah paham ya? Memangnya kamu menyukaiku?” Pertanyaan Isa sukses membuat Dina terbatuk, karena tersedak makanannya.Melihat tidak ada air putih di meja itu, Isa pun segera berlari dan mengambil beberapa gelas air mineral.“Ini, minumlah.” Isa memberikan satu gelas air mineral yang sudah dia bukakan untuk Dina.Dina akhirnya bisa sedikit menetralkan kembali kerongkongannya yang terasa panas akibat makanan pedas.“Kenapa kamu bereaksi seperti itu? Benar kamu menyukaiku?” tanya Isa dengan wajah datar membuat Dina bertambah kesal.“Apa maksudmu? Kenapa kamu percaya diri sekali, Bang?” tanya Dina.Wanita itu cukup pandai menyembunyikan rasa dengan ekspresi kesalnya.“Orang tidak akan salah paham dengan kebaikanku kalau tidak memiliki rasa apa-apa padaku. Orang hanya akan menganggapku orang baik, sudah sampai di situ saja, tidak berpikir akan salah paham atau tidak,” terang Isa.Wajah Dina langsung merona, dia kesal mengapa pria datar itu terlalu banyak bicara.Melihat Dina yang hanya di
Isa dan Dina kembali ke gedung pernikahan Damaira dan Mahesa, dengan hati yang sama-sama kacau.Isa berjalan lebih dulu dan meninggalkan Dina begitu saja saat mereka sudah turun dari mobil. Tak sedikitpun Isa menoleh pada Dina.Dina menarik nafas pelan, kemudian memutar tubuhnya, memilih untuk tidak kembali ke dalam gedung dan berjalan tanpa arah.Memutuskan untuk memakai sepatu dengan hak pendek ternyata pilihan yang terbaik. Dina juga bersyukur baju bridesmaid yang dikenakannya juga cukup sederhana dan tidak terlalu mencolok, jadi dia tidak terlalu menjadi pusat perhatian.Pikiran Dina benar-benar kacau. Kenapa tadi dia tidak menanyakan alasan Isa menanyakan hal itu, sekarang dia justru merasa penasaran.“Bodoh kamu, Dina.”Isa tidak sadar jika Dina tidak mengikuti langkahnya, hingga Negan bertanya.“Mana Dina? Kenapa sendirian?” Negan celingukan mencari adik bungsunya itu.Sontak Isa melihat ke belakang, barulah pria itu sadar.“Hah? Tadi dia ada di belakangku, Bang.”“Di belaka
Semesta seperti mendukung Isa. Dia melihat Dina yang duduk di kursi taman. Cukup jauh dari gedung yang tadi dipergunakan untuk acara pernikahan Damaira dan Mahesa. Pas sekali, mengapa tadi dia memilih melalui jalan itu.Isa memarkirkan mobilnya, lalu berjalan sedikit memutar agar Dina tidak menyadarinya. Kemudian duduk di belakang wanita itu. Mereka saling membelakangi.Dalam benak Isa penuh tanya, apakah Dinda sejak tadi berada di sini, duduk berjam-jam seorang diri? Kalau memang begitu hebat sekali wanita ini. Setelah duduk kurang lebih selama seperempat jam bisa akhirnya bereaksi.Isa sedikit memutar tubuhnya, kemudian mengalungkan tangannya ke leher Dina. Sontak wanita itu berteriak dan menjerit histeris.Dina pikir ada orang jahat yang akan berbuat jahat kepadanya.“Bang Isa!” Pekik Dina dengan ekspresi yang terkejut sembari memegang dadanya, karena efek terkejut itu sangat luar biasa. Jantungnya seperti ingin melompat dari rongga dada.Beberapa saat kemudian Dina berjongkok dan
Isa tak juga menjabat tangan Dina dan hanya terus menatapnya.“Kenapa hanya menatapku seperti itu?” Dina kembali angkat suara.“Ayo kita berjabat tangan dan kita kembali seperti dulu.” Dengan segenap jiwa dan hatinya Dina menahan sakit. Wanita itu terus memberi sugesti positif pada dirinya sendiri bahwa pasti rasa sakit itu hanya akan menyelimuti berlangsung untuk beberapa waktu saja. Asalkan mengalihkan semuanya pada pekerjaan dan hal lainnya pasti akan segera sirna dengan sendirinya.Dina tersenyum samar dan mulai menarik tangannya. Dia sungguh tidak mengerti kemauan pria yang ada di depannya.Dina menarik nafas dengan maksud menarik ingusnya agar tidak keluar. Dia menahan tangis sekuat tenaga.“Ya sudah ayo kita pulang. Orang-orang pasti menganggapku orang gila karena duduk di sini berjam-jam.Dina meraih tangan Isa dan menarik pria itu agar segera beranjak dari duduknya. Tapi Isa justru menahan tangan Dina.“Ayo kita menikah!” seru Isa.Ucapan Isa sontak membuat Dina membulatkan
Tak hanya Indra yang meluapkan emosi pada Nindi tapi juga Linda. Nindi terpojok sebagai tersangka. Janda itu menangis tersedu. Indra seakan belum puas dan terus memarahi anaknya.Ketegangan itu masih terus terjadi hingga bel rumah itu berbunyi mengalihkan perhatian semua orang yang ada di dalam rumah itu.Dengan kesal Indrawan membuka pintu, melihat siapa yang datang sontak membuat pria paruh baya itu kembali naik darah.“Ini biang keroknya datang, dasar pria tak bertanggung jawab, brengsek!” Indra langsung memaki Dion yang tak tahu apa-apa.Pria itu hanya mengerutkan kedua alisnya, mencoba menelaah apa yang sebenarnya terjadi.“Ada apa, Yah? Siapa biang kerok.” Linda dan Nindi datang menyusul Indra ke ruang tamu.“Ngapain kamu datang ke sini? Bosan hidup, hah?” Sama halnya dengan suaminya, Linda pun langsung menghardik Dion.Nindi sendiri masih berusaha menenangkan diri setelah mendapat amarah dari kedua orang tuanya.Dion menatap iba pada mantan istrinya, entah apa yang baru saja te
Pagi ini Mahesa disibukan dengan serangkaian pekerjaan, padahal saat ini waktu subuh baru saja berlalu dan matahari belum terbit. Beberapa hari ini pria itu sedikit kurang tidur. Setelah menikah entah mengapa rezeki terus mengalir tiada henti. Proyek sana-sini.“Ini, Mas.” Damaira memberi secangkir kopi sebagai penyemangat lagi.“Terima kasih, Sayang.” Mahesa menarik tangan istrinya, kemudian memberi kecupan hangat sebagai doping.Damaira selalu saja diberi kejutan dengan sikap manis Mahesa. Pria itu benar-benar membuatnya seperti ratu yang spesial.Tak ingin kalah, Damaira pun membalas serangan Mahesa. Sebulan bersama pria itu membuat hidupnya semakin berwarna.“Kalau begitu aku keluar dulu, masak.” Mahesa mengangguk.Damaira menyerah beberapa hal tentang kerumahtanggaan seperti bersih-bersih, laundry, dan lain sebagainya, kecuali masak.Memasak baginya harus dilakukan sendiri, agar kelak anak-anak dan suaminya selalu merindukan masakannya.Meski tinggal bersama mertua, sudah pasti
“Mbak, apa di depan atau di sekitar sini ada Pak Negan?” tanya seorang dokter kepada perawat.“Sebentar saya lihat dulu, dok.”“Kalau misal ada bilang, suruh ke ruangan, dokter Maulana mencari,” kata dokter Maulana.“Baik, dok.”Perawat itu keluar dari ruangan kemudian mengedarkan pandangan mencari Negan.Negan cukup cukup terkenal di karangan dokter, perawat, orang-orang penting di rumah sakit, dan juga marketing yang lainnya. Apalagi setelah pria itu mengalami kecelakaan namanya making disebut-sebut.“Nah itu dia si duda keren,” monolog perawat itu setelah melihat keberadaan Negan.“Selamat siang menjelang sore Mas Negan,” sapa perawat itu.“Eh, Iya, Mbak. Ini masih siang bolong,” balas Negan. Wanita itu terkekeh pelan.“Mas Negan dicari sama dokter Maulana, ditunggu di ruangannya.”Negan mengernyitkan keningnya, kemudian bertanya, “ada apa ya, Mbak?”“Kurang tahu Mas, Mas datang saja ke ruangan beliau.”“Terima kasih Mbak informasinya.”“Sama-sama Mas, mari.” Negan mengangguk horma
Pertanyaan yang seperti memojokkan Citra, membuat dia sejenak berpikir untuk mencari kalimat yang tepat dan mematahkan tuduhan pria itu.“Apa aku ada hak menolak perjodohan ini?”Citra justru bertanya, bukan menjawab pertanyaan Ardi.“Kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanya Ardi seraya menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi.“Kamu mau jawaban jujur atau jawaban yang menyenangkan hatimu?” tanya Citra.Sepasang anak manusia itu terus saling melempar pertanyaan tanpa ada yang mau menjawab.“Jujur.”“Baiklah kalau begitu aku tidak akan sungkan,” kata Citra. Ardi pun mempersilakan Citra untuk mengatakan segala unek-uneknya.“Aku justru beranggapan Kak Ardi-lah yang menolak perjodohan ini. Kenapa? Seperti yang sudah sedikit aku singgung tadi, kamu tak pernah bersikap baik kepadaku, menyapaku pun hampir tidak pernah, ketika kita berpapasan lebih banyak kamu seperti menganggapku orang asing, kita tidak saling kenal, padahal aku selalu tersenyum padamu sebagaimana junior kepada seniornya.”