Dengan sepasang manik hitam yang menghipnotis berada di hadapannya, Valency tak elak menelan ludah. Aroma maskulin tubuh Jayden yang mengurung dirinya membuat darah gadis itu berdesir. Jantung yang berdebar cepat membuat napas Valency agak sesak.
“Lency? Kamu masih mendengarku ‘kan? Lency!”
Kali ini suara Felix berhasil membuyarkan keterkejutan Valency, buru-buru dia menormalkan ekspresi wajahnya dan memalingkan pandangannya dari Jayden.
“A-ah iya. Aku akan datang ke sana besok, tenang aja.”
“Jangan besok! Bagaimana kalau hari ini sa—”
Belum sempat Felix menyelesaikan ucapannya, Jayden sudah lebih dulu merampas ponsel itu dari tangan Valency dan mematikan panggilan mereka secara sepihak.
Gerakan Jayden yang secepat kilat membuat Valency tak punya kesempatan untuk mengelak.
Sementara Itu, di sisi lain, Felix yang mengira panggilannya dimatikan oleh Valency merasa harga dirinya tersentil. Tangannya memukul kesal setir mobil.
“Sial! Kamu kira kamu siapa sudah berani mematikan panggilanku duluan?! Kalau bukan karena otakmu itu aku juga tak sudi meneleponmu.”
Cecilia yang sejak tadi sibuk menggulir sosial medianya dibuat menoleh bingung melihat Felix yang memaki ponselnya. “Ada apa? Kenapa marah-marah begitu?”
“Valency bodoh itu sudah berani mematikan panggilanku, padahal aku belum selesai bicara!” balas Felix.
Cecilia mengusap lengan Felix manja dan menggoda. “Ayolah Sayang, jangan marah hanya karena hal sepele seperti itu. Mungkin jaringannya lagi jelek makanya tiba-tiba putus,” ucapnya menenangkan sang kekasih.
Felix menghembuskan napas kasar. “Aku merasa ada yang aneh dengannya,” ucap pria itu tiba-tiba.
Kening Cecilia mengernyit bingung. “Aneh bagaimana?”
“Saat bicara di telepon tadi, dia seperti nggak sesemangat biasanya. Bahkan beberapa kali dia balas singkat, gak seperti Lency yang biasanya,” ucap Felix merasa janggal. Dia kembali mengingat-ingat percakapannya dengan Valency dulu. “Kamu tahu sendiri kan kalau biasanya Lency bakal merengek buat teleponan lebih lama denganku? Ini dia bahkan seperti nggak minat bicara sama sekali!”
Sejenak keduanya terdiam, membuat suasana hening.
“Jangan-jangan dia selingkuh lagi?!” tebak Felix asal.
Sontak tawa Cecilia meledak mendengar tebakan Felix.
“Astaga! Kamu lucu deh, Lix,” balas Cecilia.
“Cecil, aku serius!”
Cecilia menghapus air mata yang di pojok matanya akibat merasa omongan Felix terlalu lucu. Dia pun berkata, “Mana ada sih cowok yang mau sama dia? Udah dekil, miskin, culun, gampang dibegoin lagi. Bahkan cowok paling culun di kampus pun gak bakal naksir sama dia!” Gadis itu melambaikan tangannya dengan acuh tak acuh. “Kalaupun ada yang nembak dia, paling karena taruhan atau mau manfaatin dia doang. Ya kayak kamu!”
Felix memutar bola matanya mendengar balasan Cecilia. “Tapi tetap saja, aku merasa ada yang janggal sama sikap dia.”
Wajah Cecilia kembali serius karena kekasihnya itu bersikeras dengan perasaannya. Akhirnya, gadis itu pun teringat dengan pertemuannya bersama Valency di asrama.
“Tapi iya sih. Bahkan ketika tadi bicara sama aku aja, dia jadi sedikit dingin.” Cecilia mengangkat kedua bahunya. “Tapi, aku tidak peduli karena di akhir dia masih dengan bodohnya mengkhawatirkanku.”
Di saat itu, Cecilia mengingat satu informasi penting. “Oh iya, dia juga bilang kalau kemarin sempat mau ke apartemen kamu buat kasih kejutan hari jadian kalian, tapi gak sempat karena tiba-tiba ada urusan kampus.”
Mendadak ekspresi Felix berubah, perasaannya campur aduk mendengar cerita Cecilia. Seperti ada ketakutan di dalam hatinya.
“Apa mungkin dia tahu kita main di belakang?”
Cecilia menaikkan alisnya. “Nggak mungkin. Kalau dia tahu, pasti dia sudah menangis dan marah sama kita, atau bahkan kemarin dia sudah langsung masuk dan mengamuk di apartemen kamu. Nggak mungkin dia diam saja dan bersikap sama bodohnya seperti sekarang dong?”
Kemudian, sebuah senyuman mengejek terpampang di wajah Cecilia.
“Ya, kecuali dia memang sebodoh itu,” imbuh gadis tersebut.
Melihat Felix masih menampakkan kekhawatiran, Cecilia pun mengaitkan lengannya dengan lengan Felix yang terbebas dari setir.
“Sudahlah, Lix. Jangan dipikirin. Hanya satu minggu lagi, semua sandiwara ini bisa kamu selesaikan,” ujar Cecilia. “Kamu bisa bilang kamu menemukan dia selingkuh dengan pria lain, lalu memutuskannya biar orang-orang nggak salahin kamu.”
Semuanya sudah direncanakan dengan matang oleh Cecilia. Dia sudah tidak tahan lagi melihat Felix bersama dengan Valency, bahkan bila tahu pria itu bersandiwara. Ada rasa jijik bagi Cecilia melihat prianya bersanding dengan Valency, seakan dirinya di level yang sama dengan gadis culun itu.
Memikirkan bagaimana wajah menangis Valency akan terlihat satu minggu lagi, Cecilia memasang wajah puas.
‘Ah … aku tidak sabar untuk pertunjukan ….’
Selagi rubah licik itu membayangkan kemenangannya atas Valency, Valency sendiri sedang sibuk menghadapi sosok Jayden.
Dengan posisi tubuh yang masih begitu dekat, Valency memandang Jayden dengan wajah bingung. “Ada apa, Jay?” Dia bertanya-tanya kenapa pria itu tampak marah.
Jayden menegaskan, “Walaupun pernikahan ini didasari sebuah perjanjian, tapi kamu telah menikah denganku. Aku minta agar kamu menjaga komitmenmu sebagai istriku. Kamu mengerti?”
Valency mengerjapkan mata. Apa ini karena dia masih berhubungan dengan Felix?
“Tentunya aku akan menjaga komitmenku, tapi … apa kamu marah karena telepon tadi?” tanya Valency.
Jayden terdiam, matanya memandangi lekat wajah istrinya, sejenak Valency bisa melihat keraguan dari matanya.
“Kamu … cemburu?” tebak Valency sembari menatap lurus sosok Jayden.
Ditanya seperti itu, Jayden tampak sedikit terkejut. Pria itu mengalihkan pandangan ke tempat lain. Samar-samar, daun telinga pria itu memerah.
“Omong kosong,” elak Jayden dengan suara rendah.
Tidak sadar Jayden berbohong, Valency juga menghela napas dalam hati. Tentu saja Jayden tidak cemburu padanya, mereka hanya menikah berdasarkan perjanjian, bukan perasaan sungguhan. Untuk apa pria itu cemburu?!
Akan tetapi, apa pun alasan Jayden, Valency tahu pria itu terganggu dengan keberadaan Felix.
“Aku tidak memiliki hubungan apa-apa lagi dengan pria itu,” jawab Valency tegas. “Hanya ada dendam yang perlu kuselesaikan dengannya.”
Ucapan Valency membuat Jayden kembali memandang gadis di hadapan.
“Seperti permintaanmu, aku akan menghormati pernikahan kita,” ucap Valency. “Akan tetapi, kamu harus tahu. Kalau suatu saat nanti kamu menemukan perempuan yang kamu sukai, beri tahu padaku. Kita bisa akhiri hubungan ini dan aku akan pergi.”
Pandangan Jayden kembali berubah gelap. Pria itu tampak tersinggung akibat kalimat Valency.
“Dalam sejarah keluarga Spencer, tidak pernah ada yang namanya perceraian. Para pria keluarga Spencer hanya memiliki satu istri dan satu pernikahan.”
Pernyataan Jayden membuat Valency kaget. “Apa? Tapi, pernikahan kita–”
Tubuh Jayden yang semakin mendekat membuat Valency bungkam. Tangan kiri kekar pria tersebut dibuat menahan di tembok selagi tangan kanannya mengangkat dagu Valency, membuat pandangan gadis itu terpaku lurus pada dirinya.
“Bagaimanapun awalnya, istri seorang Jayden Spencer juga hanya satu,” tegas Jayden, “Valency Lambert Spencer.”
Wajah tampan pria itu memenuhi pandangan Valency, membuat jantung gadis itu berdebar. Aroma mint yang menyegarkan bercampur dengan aroma maskulin tubuh Jayden membuat pikiran Valency mulai meliar dan wajahnya pun merona. Dia menggigit bibir untuk mengusir pikiran buruknya.
Tanpa Valency sadari, Jayden tampak mengepalkan tangan kirinya melihat hal itu. Pria itu mendekatkan wajahnya, mengikis jarak yang ada.
Mengira akan dicium, Valency menutup mata.
Namun, beberapa detik berlalu, Valency tidak merasakan apa pun.
Tidak ada yang terjadi.
Valency membuka mata dan mendapati Jayden telah jauh berjalan meninggalkan ruangan.
Sebelum sepenuhnya menghilang ke balik pintu, Jayden menoleh untuk menatap Valency. “Segeralah mandi. Aku akan menunggumu di ruang makan.”
Setelah Jayden keluar dan pintu tertutup, tubuh Valency langsung merosot ke lantai. Napasnya agak terengah-engah dan jantungnya berdebar. Rona merah menyelimuti wajahnya.
‘Astaga … apa yang baru saja kulakukan!? Menutup mata? Kenapa kamu menutup mata Valency!?’
Tidak bisa tergambarkan betapa malunya Valency karena sempat berpikir Jayden akan menciumnya!
Mencoba menepiskan rasa malu itu, Valency berdiri perlahan dan mengepalkan dua tangannya.
“Mandi! Aku harus mandi!” ucap gadis itu kepada dirinya sendiri seiring berlari kecil ke kamar mandi.
Di sisi lain, di depan pintu kamar Valency, Jayden menyandarkan punggungnya dan menyisir rambutnya dengan frustrasi. Samar-samar, pancaran matanya mencerminkan keinginannya yang berhasil dikendalikan.
‘Hampir saja….’
Ehem ... mikir apa tadi Jayden? Mau diapain tadi Valency hayoo?? Terima kasih untuk kalian yang sudah baca sampai akhir! Kalau kalian suka karya ini, jangan lupa untuk berikan like, vote, dan comment yaa! Biar author tahu tanggapan kalian terhadap karya ini, terima kasih!
Selesai mandi, Valency turun ke lantai bawah dan masuk ke ruang makan. Dia melihat sosok Jayden yang menunggu sembari memerhatikan tablet kerjanya. “Maaf. Aku takut membuatmu menunggu lama.” Suara Valency membuat Jayden mengangkat pandangan dan menyingkirkan kerjaannya. “Duduklah.” Valency menatap bingung deretan kursi yang begitu banyak. Di mana dirinya harus duduk? “Duduklah di sebelahku,” ucap Jayden seakan bisa membaca pikiran gadis tersebut. Valency mengangguk, menarik kursi di sebelah kanan Jayden, lalu duduk di sana. Selagi menunggu para pelayan menghidangkan makanan, Valency diam-diam curi pandang ke kanan. Dari jarak sedekat ini, dia baru sadar bahwa ada yang beda dengan penampilan Jayden. Tanpa balutan kemeja dan jas formal seperti sebelumnya, Jayden terlihat lebih segar dan santai dengan kaos putih sederhana beserta celana jogger hitam. Rambut setengah kering pria itu entah kenapa membuat penampilan Jayden lebih muda dibandingkan biasanya. Kalau ada orang yang mel
“Mmh … ahh!” Suara decakan lidah yang bercampur desahan memenuhi ruangan. Punggung Valency menempel di dinding, sedangkan dadanya menempel dengan dada bidang Jayden. Tidak ada lagi jarak di antara mereka, bahkan bibir mereka tengah sibuk berpagutan panas dan mengecap rasa satu sama lain. “Jayden … Jayden hentikan ….” Permintaan itu terlontar dari bibir Valency ketika dirinya merasakan tangan pria itu menelusup masuk ke dalam bajunya, membuat lenguhan Valency terdengar semakin keras. “Perempuan murahan! Aku tidak mengira kamu serendah itu sampai bisa jual diri!” Suara tawa diikuti cacian membuat Valency membuka mata. Dia menoleh cepat dan melihat sosok Felix yang berdiri selagi menatapnya dengan wajah merendahkan. “Berkali-kali memintamu untuk melakukannya, kamu malah menolak. Sekarang, kamu malah melebarkan kedua kakimu untuk seorang asing dengan sukarela? Kenapa? Apa yang pria itu berikan untukmu? Uang? Harta? Atau mungkin … bantuan untuk balas dendam?” Seringai Felix dan t
“Felix ...!” ringis Valency kesakitan, memberontak kecil dan berusaha melepaskan cengkraman Felix pada pergelangan tangannya yang sangat erat. Tangan besar Felix berbanding terbalik dengan pergelangan tangan Valency yang kurus, membuat Valency kesusahan terlepas dari genggaman pria itu. Tenaga mereka tak sebanding. “Dari mana saja hah?! Jangan berani bermain-main denganku, Lency! Kamu tahu sendiri akibatnya karena telah membuatku marah,” ancam Felix, matanya menggelap menatap Valency penuh amarah. Genggamannya semakin mengerat seiring dengan emosinya yang meledak-ledak. “L-lepaskan tanganku, Lix.” Ringisan kesakitan Valency membuat Felix tersadar jika yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Sontak tangannya melepaskan cengkraman pada Valency, membuat Valency buru-buru menarik tangannya dan mengelus bekas kemerahan yang terlihat jelas melingkar. ‘Sial, jika tangannya terluka, dia tidak akan bisa aku manfaatkan mengerjakan desain lagi,’ batin Felix merutuki dirinya. Felix
‘Mungkinkah … mungkinkah Jayden telah mengenal dekat Felix dan mereka sebenarnya bekerja sama untuk menjebakku?!’ Sesaat berpikir, Valency berujung menggelengkan kepalanya. Seharusnya tidak demikian. Seorang Jayden Spencer mati-matian ingin menjebaknya sampai menjadikan status pernikahannya sebagai permainan? Kenapa? Atas dasar apa? Ada dendam apa di antara mereka? Hanya untuk membantu Felix? Seharusnya Jayden tidak sedermawan itu, bukan? Namun, satu ucapan sang ibunda di masa lalu membuat Valency waspada. ‘Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, Valey.’ Menepiskan semua itu dan berusaha tegar, Valency kembali berjalan menghampiri kedua pria tersebut. Sementara itu, Felix yang sedang sibuk mengobrol dengan Jayden tak sengaja menangkap sosok perempuan dengan pakaian yang cukup mencolok, sangat indah dan menarik perhatiannya di antara ratusan tamu lainnya. Tanpa sadar dia terpaku di tempat, tak menjawab pertanyaan yang dilayangkan Jayden. Matanya seakan dikunci melihat pada
Pertanyaan yang dilayangkan Valency dengan cukup lantang dan nada dipenuhi amarah berhasil mengundang perhatian dari sejumlah tamu. Sebagian besar dari mereka menghentikan kegiatan dan berlomba-lomba untuk melihat apa yang terjadi. Bisikan-bisikan cemoohan mulai terdengar dari para tamu. Ada yang menatap jijik pada Felix dan Cecilia, ada pula yang menatap kasihan pada Valency. “Bukankah itu putri tunggal dari keluarga Owen, Cecilia Owen? Apa dia berselingkuh dengan kekasih orang lain sampai membuat gadis itu terlihat sangat marah?” “Astaga, mereka memalukan sekali! Bagaimana bisa mereka menodai acara yang penting ini?” Celetukan-celetukan pedas penuh hinaan membuat Felix tak mampu lagi mengangkat wajah, dia hanya menunduk dengan wajah memerah malu sekaligus marah karena perbuatan Valency membuat mereka disudutkan. Tak jauh dari tempat mereka, ada sepasang mata yang tak mengalihkan pandangannya sejak tadi, menonton drama yang sedang berlangsung. Jayden duduk di kursinya denga
“Baiklah tamu undangan kami yang terhormat, sebentar lagi kami akan menampilkan karya-karya jenius dan luar biasa milik para peserta kami. Saksikanlah dan berikan penilaian kalian!” Suara pembawa acara membuat perasaan marah dan dongkol Felix tergantikan dengan perasaan panik. Apalagi karena peserta pertama telah dipanggil naik untuk mempresentasikan karya mereka. “Bagaimana ini ... sebentar lagi giliran kita dan di depan sana ada Lency yang menonton,” gumam Cecilia panik. “Dia bisa saja kembali membuat keributan saat melihat karya kita dan membuat kita bertambah malu. Aku tidak ingin kembali dicemooh orang-orang, Lix!” Felix menggelengkan kepala. “Tidak, Valency bukan orang yang seperti itu.” Dia menambahkan, “Paling dia hanya akan menggerutu setelah lomba selesai.” Cecilia mendelik kesal. “Oh wow. Sepertinya kamu sangat mengenal kekasihmu itu, ya? Apa jaminannya dia tidak akan membuat kita malu lagi di hadapan tamu penting lainnya? Reputasi keluargaku akan benar-benar hancur ka
Pertanyaan sang Juri membuat Cecilia mematung dengan mata membulat. Jantungnya berdebar keras karena informasi mengejutkan itu. “T-tidak! Ini pasti sebuah kesalahan!” “Kesalahan? Apa secara tak langsung kamu mengatakan kalau Diamant Corp yang telah menyontek desain yang baru saja kamu buat?” sergah sang juri sedikit sarkas. Batin Cecilia berteriak tak setuju, desain yang Cecilia pakai itu milik Valency, jadi dia yakin desain itu asli, bukan dari Diamant Corp! Oleh karena itu, jelas asal-usul desain milik Diamant Corp yang bermasalah! Namun, tidak mungkin ‘kan Cecilia menuduh Diamant Corp secara terang-terangan, perusahaan terkenal dan sebesar itu, sebagai pencuri desain asli yang dibuat oleh Valency!? Siapa yang akan percaya?! Apalagi di hadapannya sekarang juga berdiri direktur utamanya. Cecilia menggigit bibir. “Aku tidak tahu bagaimana Diamant Corp bisa membuat desain yang sama dengan milikku, tapi yang jelas desain di tanganku ini asli dan bukan hasil mencontek.” Cecilia
“Perlu kalian semua ingat bahwa Diamant Corp tidak akan pernah mengeluarkan desain tanpa pengecekan yang detail, bahkan satu desain saja memerlukan persiapan hampir satu tahun untuk diluncurkan. Ke depannya pastikan asumsimu tidak membuatmu tampak seperti orang bodoh.” Di saat ini, Jayden melemparkan sebuah tatapan ke arah Felix. Dia tidak mengatakan apa pun, tapi Felix bisa membaca makna tatapan itu. ‘Kamu mengecewakanku.’ Hal tersebut membuat Felix langsung mengepalkan tangannya. Usai mengatakan hal tersebut Jayden langsung meninggalkan ruang perlombaan, membuat orang-orang semakin kebingungan dan bertanya-tanya. Ucapannya terlalu ambigu. “Jadi bagaimana keputusannya? Siapa yang mencontek siapa sekarang?” Pertanyaan yang diluncurkan salah satu tamu membuat ruangan seketika ricuh dan saling melempar jawaban berdasarkan asumsi masing-masing. “Bukankah perginya Tuan Spencer dapat diartikan bahwa desain Tuan Smith dan Nona Owen lah yang bermasalah?” celetuk tamu lainnya yang
"Kecelakaan itu. Jangan bilang ... kalau ada hubungannya dengan adikmu?"Poin pertama. Lalu Verena menggali lagi ingatannya yang tidak terlalu jauh, tentang ucapan Keith sebelum ini.Adik tirinya itu kesal karena Verena tidak bisa dihubungi. Namun, kalimatnya menunjukkan bahwa pertengkaran dengan Kimberly karena provokasi Verena adalah sebuah kelanjutan dari kecelakaan beberapa waktu yang lalu.Ya. Verena tidak salah.Keith yang tidak menjawab pun sudah merupakan jawaban yang jelas untuk Verena."Begitu." Verena mengangguk. Sampai pada sebuah kesimpulan.Pantas saja. Mencari tersangka kasus tabrak lari seharusnya tidak sulit, apalagi untuk keluarga berkuasa seperti Miller. Namun, itu jika memang pelakunya orang biasa yang kedudukannya di bawah keluarga Miller.Apabila kedudukan pelaku setara dengan keluarga Miller atau lebih tinggi, hasilnya hanya akan ada dua; pihak Verena akan kesulitan mencari tersangka atau ia bisa menemukannya, tapi tidak bisa melakukan apa pun.Apakah itu berart
Ketika Verena sampai di rumah yang ia huni hanya dengan seorang asisten rumah tangga, rupanya Keith tengah menunggu di ruang tamu."Dari mana saja?" Pria itu bertanya. Keith kemudian berdiri dan menghampiri Verena.Ekspresi pria itu tampak kesal dan terusik, yang Verena duga karena Keith sudah menunggu lama di sana."Rumah Ashton. Kenapa?" tanya Verena kembali. "Kamu kapan datang?"Keith berdecak kesal. Bibirnya cemberut dengan sangat kentara, sama sekali tidak menyembunyikan perasaannya. "Ponselmu mati?" Adik tiri Verena itu kembali bertanya.Mendengar itu, Verena mengeluarkan ponselnya yang memang sudah tidak bisa dinyalakan."Ah, iya. Kamu menghubungiku?" Verena melangkah ke tengah ruang tamu. "Ada apa? Soal pekerjaan?"Tidak ada jawaban dari Keith sampai-sampai Verena harus kembali fokus pada sang adik itu."Kalau mau merajuk, jangan sekarang, Keith," ucap Verena.Selain dengan Ashton, hubungan Verena dan Keith bisa dibilang tidak buruk. Apalagi memang kadang mereka bertemu dan s
"Verena. Jawab aku. Apakah kamu tertarik pada pria itu?"Verena tertegun. Selain karena pertanyaan Ashton, ekspresi kakak sepupunya yang tampak serius itu membuatnya bertanya-tanya.Kenapa pria itu bertanya demikian?"Jangan mengada-ada, Ash." Verena akhirnya merespons, tanpa menjawab pertanyaan Ashton."Siapa yang mengada-ada?" sahut Ashton. "Aku hanya bertanya.""Kenapa bertanya seperti itu? Aku dan dia tidak ada apa-apa.""Bukan itu yang kutanyakan, Ve. Tapi apakah kamu tertarik pada Eric Gray itu."Verena cemberut. Kepalanya mendadak sakit sebelah.Ia baru saja lolos dari Eric yang suka mendebat dan membuatnya sakit kepala. Verena tidak mau interaksinya dengan Ashton juga menyusahkan dirinya seperti ini.Tapi merajuk hanya akan membuatnya seperti anak kecil. Sekalipun hubungan Verena dan Ashton sekarang sudah membaik, ia tidak mau dianggap remeh oleh kakak sepupunya itu.Apalagi dimanjakan.Karenanya, Verena akhirnya berkata, "Dibandingkan tertarik, aku lebih ke menjaga hubungan b
"Alamat ini...." Eric mengernyit membaca alamat itu. Selama beberapa saat ia terdiam, sebelum kemudian bertanya, "Rumahmu?" Pria itu mengenali alamat itu sebagai kawasan perumahan elit tidak jauh dari rumahnya. "Apakah itu penting?" Verena justru balik bertanya. Eric berdecak pelan. "Kenapa kamu sulit sekali langsung menjawab pertanyaanku, hm?" katanya. "Apakah kamu suka sekali berdebat denganku?" Verena memutar bola matanya. "Itu kediaman asistenku." Wanita itu akhirnya menjawab. "Oh. Pria itu?" "Hm." "Ada urusan apa?" "Lebih baik kamu mulai menjalankan mobilnya sebelum kutendang keluar, Eric Gray." Nada suara Verena sudah mulai terdengar kesal, tidak lagi datar. Dan itu membuat Eric terkekeh. Memancing reaksi wanita ini selalu menyenangkan. Dengan sigap, ia menjalankan mobilnya sesuai rute yang disarankan oleh GPS. Obrolan di dalam mobil tidak sepenuhnya berlangsung dua arah karena Verena selalu menjawab dengan singkat, seperti memang sengaja memutus pemb
"Kenapa kamu selalu memaksa?""Karena kamu selalu kabur, Verena.""Itu berarti aku tidak nyaman, Eric Gray. Apakah untuk hal yang seperti ini saja, aku harus mengatakannya keras-keras?"Pada akhirnya, Verena mengatakan itu karena tidak punya alasan lain untuk menolak.Eric terdiam menatapnya. Sorot mata biru itu entah kenapa mengingatkan Verena pada pagi ketika pria itu melamarnya mendadak.Verena jadi merasa seperti ia telah melukai seekor anak anjing lucu yang tidak bersalah."Maksudku--"Akan tetapi, sebelum Verena meralat atau melembutkan maksud ucapannya, sorot mata terluka itu kembali berubah tajam."Bukankah seharusnya kamu tahu, bahwa satu kali penolakan itu membuatku berusaha lebih keras untuk mendapatkan apa yang kumau?" Eric berkata. "Masa aku harus mengatakan ini keras-keras, Nona Miller?"Verena mendengus. "Ya sudah, usaha saja besok. Hari ini cukup, biarkan aku sendiri.""Oh?" Eric tertawa kecil, lalu mengangkat tangannya. Seperti akan menyerah."Lalu bagaimana dengan pe
"Mau ke mana kamu!? Kembali ke sini, Verena! Hadapi aku!"Verena berpikir bahwa itu adalah ocehan biasa atau sekadar gertakan kosong dari adik tirinya. Menganggap bahwa Kimberly akhirnya gila karena dibakar cemburu buta.Ia sama sekali tidak menyangka kalau setelahnya, Eric Gray akan bergerak cepat menarik tubuh Verena dan membawanya beberapa jengkal lebih jauh sebelum kemudian terdengar suara pecahan kaca beradu dengan lantai, tak jauh darinya."Astaga, Kimberly!""Eric! Kamu baik-baik saja!?"Teriakan dari dua wanita paruh baya di sana terdengar hampir bersamaaan.Sementara itu, pandangan Verena terjatuh pada pecahan kaca tak jauh darinya. Ada beberapa yang kemudian terlempar dan menggores sisi kakinya yang tidak tertutup sepatu.Jika saja Eric tidak menolongnya, lemparan gelas itu pasti mengenai kepala Verena.Ah, iya, Eric--"Perempuan gila," bisik Eric, yang bisa didengar Verena dengan jelas.Nyaris saja ia berpikir kalau sebutan itu tertuju padanya. Apalagi karena kedua tangan E
"Apakah itu mengubah kenyataan bahwa wanita itu adalah putri Tuan Aster Miller?"Semuanya terdiam dengan ucapan Eric Gray."Eric." Beatrice Gray menghela napas. Hatinya merasa dongkol karena ini jauh dari rencananya. Ia tidak ingin keponakan tampannya yang menjanjikan ini harus terjebak dengan putri tiri sahabatnya yang tidak ia sukai. "Jangan mengada-ada. Kita di sini--""Untuk mempererat hubungan dua keluarga, bukan, Bibi? Aku paham." Eric mengangguk. itu kemudian menoleh pada Verena."Duduklah. Ini ada kaitannya denganmu," ucap Eric setelahnya. Menyadarkan Verena.Wanita itu baru saja mencatat dalam kepalanya kalau kegilaan Eric Gray sudah naik satu tingkat."Aku ada urusan lain." Kali ini, ucapan Verena tidak terdengar formal seperti tadi. "Silakan lanjutkan makan malamnya. Aku permisi.""Kamu yakin?" Eric kembali berkata. "Apa pun keputusan yang kuambil, kamu setuju?"Verena tertawa kecil. "Eric," balasnya. "Buka matamu. Di sini, aku sependapat dengan semua orang kecuali kamu."
"Makan malamlah denganku sebelum kamu pulang."Kalimat dari sang ayah itu lebih terdengar seperti titah bagi Verena, alih-alih ajakan atau ungkapan keinginan.Meski begitu, Verena tidak ragu untuk menolak."Saya lebih nyaman makan di rumah.""Ini rumahmu juga."Verena diam sejenak, mengatur kata-kata yang ingin langsung keluar dari bibirnya agar terdengar lebih sopan.Tapi gagal.Pada akhirnya, wanita itu tetap berkata, "Saya tidak merasa demikian."Untungnya, Aster Miller tidak lagi melarang ataupun meminta aneh-aneh pada Verena selain makan malam. Pria itu hanya menyampaikan bahwa kondisi Ashton sudah membaik, jika Verena belum tahu. Dan pria itu sudah bisa kembali bekerja minggu depan.Setelah itu, sang ayah melanjutkan jika mereka harus makan bertiga saat Ashton sudah kembali bertugas. Kali ini, Aster dengan jelas menggunakan alasan pekerjaan.Sepertinya keinginan Aster Miller untuk membuat Verena makan dengannya sangat kuat.Jika saja Verena tahu, mungkin Verena akan menyanggupin
"Balas pesanku." Setelah terdiam beberapa saat, Verena lebih memilih untuk bereaksi biasa."Selamat malam, Tuan Gray. Saya tidak menyangka akan bertemu Anda di sini," ucap Verena sembari tersenyum sopan.Ia sama sekali tidak menyinggung perihal pesan teks ataupun rumah sakit ataupun malan malam bersama tempo hari.Sementara itu, Eric menatapnya dalam diam. Manik birunya bergerak memindai wajah Verena dengan saksama.Masih ada plester luka kecil di sudut pelipisnya. Namun, selain itu, wanita keras kepala di hadapannya tampak baik-baik saja."Aku sendiri terkejut kamu ada di sini," balas Eric kemudian. Perhatiannya tertuju lurus pada Verena tanpa menggubris keberadaan bibi dan keluarga tiri Verena. "Tapi, ini merupakan kejutan yang menyenangkan."Verena menanggapinya dengan sopan sebelum undur diri."Mohon maaf, Tuan Miller sudah menunggu. Permisi."Wanita itu melirik pada pandangan penuh permusuhan dari Olivia dan Kimberly, tapi tidak terlalu memusingkan ataupun membalasnya. Verena ha