Sejak Valency memasuki rumah Jayden, dia tak bisa berhenti berdecak kagum pada segala hal yang dilihatnya. Sepanjang mata Valency memandang hanya ada kemewahan yang elegan, tidak terlalu mencolok dan norak menurut Valency. Dari melihat isi rumahnya saja Valency bisa tahu bahwa Jayden adalah penikmat seni.
Apalagi melihat foto-foto yang terpajang di dinding memiliki bingkai khusus yang belum pernah Valency lihat. Sepanjang sisi bingkainya dihiasi batu permata yang indah.
Jayden yang menyadari tatapan berbinar Valency dan ketertarikannya pada bingkai-bingkai di rumahnya membuat Jayden tersenyum tanpa sadar.
“Bingkai-bingkai itu semuanya dibuat khusus dan edisi terbatas dari Diamant Corp, biasanya diberikan ke pelanggan VIP sebagai hadiah,” ucap Jayden menjelaskan. “Bagaimana menurutmu? Bagus?”
Valency menoleh, mengangguk penuh semangat. “Sangat bagus dan indah!” ucap Valency menggebu-gebu.
“Kamu suka?” tanya Jayden lagi.
Lagi-lagi Valency menjawabnya dengan anggukan penuh semangat.
“Kalau kamu suka, aku akan memesankan khusus untukmu.”
Sontak Valency terdiam. “Tidak, tidak perlu, Jay! Aku hanya suka melihatnya. Lagi pula, ke depannya aku bisa melihat bingkai-bingkai ini setiap hari dan pasti aku akan bosan sendiri,” tolak Valency halus.
Dia tak berani menerima hadiah semewah itu. Valency bisa menebak jika harganya pasti sangat mahal, apalagi dia melihat bingkai itu memakai beberapa jenis batu permata yang sudah langka.
Mendengar Valency berkata bisa melihat bingkai-bingkai itu setiap hari di rumah tersebut membuat Jay kembali tersenyum. Benar juga, gadis tersebut mulai dari sekarang adalah bagian dari rumah ini.
Dengan kepala mengangguk, Jayden pun berkata, “Aku menurutimu.”
Ucapan Jayden membuat Valency agak canggung. Pria itu seakan memperjelas bahwa dirinya tidak memaksakan karena patuh kepada permintaan Valency.
Menepiskan percakapan tersebut, keduanya kembali melanjutkan langkah mereka yang sempat tertunda. Sesampainya di ruang tamu, seorang wanita paruh baya berdiri tegap dengan senyum ramah menyambut mereka. Wanita itu memakai seragam hitam putih.
“Selamat datang Tuan dan Nyonya,” sapanya ramah.
“Ini May, kepala pelayan di rumah ini. Kamu bisa memanggilnya jika butuh bantuan apa pun,” ucap Jayden.
Valency mengangguk pelan dan menyunggingkan senyum tak kalah ramah pada wanita itu.
“May, antar Valency ke kamar dan bantu dia membereskan barang-barangnya.” Jayden berbalik menatap Valency. “Aku masih punya sedikit pekerjaan di ruang kerja. Setelah selesai, aku akan langsung menyusulmu."
“Terima kasih,” balas Valency dengan kepala mengangguk dan senyuman manis.
Melihat hal itu, Jayden terdiam sesaat. Pria tersebut mengusap kepala Valency, lalu berbalik meninggalkan tempat itu.
Selama sesaat, Valency terbengong sembari menyentuh kepalanya.
Sentuhan Jayden … begitu hangat.
“Mari Nyonya, saya antar ke atas.”
Ucapan May memecah lamunan Valency seiring dirinya mengambil alih koper gadis tersebut.
Selagi memimpin jalan nyonya barunya itu naik ke lantai dua rumah, May menjelaskan, “Seluruh kamar di rumah ini berada di lantai dua, baik kamar utama maupun kamar tamu.”
May membawa Valency memasuki sebuah kamar. Begitu masuk, Valency dibuat terperangah dengan kamarnya yang begitu luas, bahkan tiga kali lipat dari luas kamar asramanya. Interior kamar itu didominasi dengan warna abu-abu.
“Ini kamar Anda, Nyonya. Saya akan menata barang-barang Anda di lemari ini,” ucap May seraya membuka sebuah lemari kayu besar di sudut kamar.
Saat pintu lemari dibuka, Valency bisa melihat sudah ada banyak pakaian pria yang mengisi dan tersusun di dalam, membuat Valency mengernyitkan kening bingung.
“Itu ... pakaian siapa di dalam sana?” tanya Valency.
May menoleh, menghentikan kegiatannya menyusun pakaian Valency ke dalam lemari. “Tentu saja milik Tuan Jayden, Nyonya,” jawabnya santai.
Mata Valency membulat kaget. “Apa?”
“Ada apa Nyonya?” tanya May, dia berbalik bingung melihat tingkah nyonya barunya.
“Kenapa baju Jayden juga ada di sini?” Valency menautkan alis.
May mengerjapkan mata. “Tentu saja karena ini juga kamar Tuan Jayden, Nyonya.” Dia menggelengkan kepala, sadar salah bicara. “Lebih tepatnya, kamar ini kamar kalian berdua.”
Sadar dengan Valency yang tampak kaget, May lanjut bertanya, “Memangnya ada apa Nyonya?”
May agak bertanya-tanya dalam hati. Bukankah sudah wajar suami-istri tidur bersama dalam satu kamar?
“Ah, y-ya. May benar. Aku hanya belum terbiasa saja,” sahut Valency dengan tawa canggung. “Bukankah ini hanya pernikahan kontrak saja? Apa perlu sampai tidur bersama juga?” batin Valency dengan agak panik.
Tak membutuhkan waktu lama, May telah selesai menyusun pakaian Valency ke dalam lemari. “Pekerjaan saya sudah selesai, Nyonya. Saya pamit kembali ke bawah, jika butuh sesuatu Nyonya bisa panggil saya,” pamitnya.
“Terima kasih, May.”
Begitu May hendak keluar dari kamar, mereka dikejutkan dengan sosok Jayden yang ternyata sedang bersandar di pintu entah sejak kapan. May membungkuk hormat sebelum berakhir melenggang meninggalkan keduanya.
“Sejak kapan kamu di sana?” tanya Valency canggung.
“Pakaianmu terlalu sedikit,” ucap Jayden yang sama sekali tak menjawab pertanyaan Valency. Maniknya memerhatikan baju Valency yang hanya mengisi seperempat bagian lemari mereka. “Aku akan buat janji temu dengan salah satu desainer untukmu.”
Valency terbelalak. “Aku rasa … itu tidak perlu.”
Jayden menatap Valency, lalu tersadar. “Tidak hari ini, Valency. Janji itu untuk besok.” Melihat keraguan Valency, Jayden kembali bersuara, “Ah, mungkin kamu lelah? Kalau begitu, kupanggil mereka ke sini saja.”
Sontak Valency menggeleng cepat. “Jangan! Tidak perlu, Jay. Pakaian yang kubawa sudah cukup!” Gadis itu agak panik melihat Jayden sungguh siap menelepon seseorang. “Aku jarang bepergian, jadi aku tidak membutuhkan banyak pakaian,” ucap Valency beralasan.
Valency merasa tak enak hati jika harus menerima segala pemberian dari Jayden. Mendapat bantuan pria itu dalam balas dendamnya saja dia sudah bersyukur, tidak mungkin sekarang dia hanya secara cuma-cuma menerima pakaian yang dibelikan pria itu!
“Kamu memerlukannya,” ucap Jayden bersikeras. “Di setiap acara yang harus kudatangi, tentunya kamu perlu hadir di sisiku.”
“Apa?”
“Kamu istriku, jadi tentu saja kamu harus selalu berada di sampingku, bukan begitu?”
Jayden tak tahu saja jika ucapannya itu berhasil memporak-porandakan hati Valency. Gadis itu tidak menyangka pria tersebut bisa memasang wajah begitu datar ketika mengucapkan hal seperti itu!
“Tapi ….”
“Jangan menolak, Valency.” Jayden menambahkan, “Jangan lupa bahwa di kontrak tertulis dirimu harus menjadi istri sesuai yang kuinginkan. Anggap ini bagian dari tanggung jawabmu.”
Belum menghabiskan banyak waktu bersama, tapi Jayden bisa mengerti jalan pikiran Valency. Gadis itu paling takut berutang budi, jadi hanya dengan mengatakan bahwa membeli baju adalah bagian dari tanggung jawab barulah Jayden bisa meyakinkan Valency untuk menerima.
“Aku … mengerti.”
Selagi Jayden mengirimkan pesan kepada salah satu bawahannya untuk menghubungi desainer terbaik demi Valency, ponsel gadis tersebut mendadak berdering, membuat Valency buru-buru mengambil ponselnya. Ekspresi cerah Valency mendadak luntur melihat nama Felix yang tertera di layar.
Padahal dia sengaja tidak membalas pesan Felix sejak kemarin, tetapi sekarang pria itu malah menerornya dengan panggilan. Valency menghela nafas panjang.
Kalau Valency tidak menjawab panggilan Felix, pria itu pasti curiga, terutama setelah tahu dari Cecilia bahwa dirinya pindah dari asrama. Seperti kata pepatah, baiknya jangan menakuti mangsa sebelum yakin tertangkap. Oleh karena itu, Valency pun mengangkat panggilan.
“Valency! Kamu dari mana saja, sih?! Aku chat dari kemarin gak dibalas! Aku telepon juga baru diangkat. Ada apa? Kamu sudah nggak cinta sama aku lagi?! Aku khawatir sama kamu, tahu?!”
Valency sontak mengernyitkan wajahnya. Kekhawatiran Felix penuh dengan kepura-puraan. Sungguh memuakkan!
“Bateraiku habis dan aku sibuk mengerjakan tugas akhir semester,” jelas Valency singkat. “Ada apa?” tanyanya, menghilangkan embel-embel panggilan sayang yang biasa dia gunakan.
Di ujung telepon yang lain, Felix mengerutkan dahi, merasa ada yang berbeda dari Valency. Akan tetapi, karena tidak terbiasa memerhatikan gadis tersebut, pria itu tidak tahu jelas apa yang berbeda.
Tidak penting, Felix masih ada hal lain yang perlu diurus!
“Kamu masih tanya kenapa? Aku rindu lah, Sayang. Udah dua hari loh kita gak ketemu. Kamu di asrama kan? Aku jemput ya? Kita jalan-jalan, sekalian ganti hadiah hari jadian kita kemarin.”
Tubuh Valency merinding mendengar suara dan kata-kata menjijikkan yang keluar dari mulut Felix. Jika dulu dia akan sangat senang dengan panggilan sayang Felix dan perhatiannya, kini Valency merasa mual mendengarnya.
Sedetik pun dia tak pernah melupakan bagaimana Felix mengkhianatinya.
“Kudengar dari Cecilia kamu sibuk, jadi seharusnya kamu jangan membuang-buang waktu denganku,” ujar Valency dengan tegas. “Atau mungkin, ada sesuatu yang kamu perlukan?” tebak Valency.
Felix tertawa di ujung telepon yang lain. “Kok kamu gitu sih tebakannya. Tapi, memang aku ada perlu bantuan kamu untuk membahas proyek baru. Kamu ada waktu, ‘kan?” Merasa bujukannya kurang, pria itu menambahka, “Ini juga untuk tabungan biaya kita nikah kan, jadi kamu harus datang ya! Please!”
Senyum sarkastis menghiasi bibir Valency.
Kan, benar dugaannya. Felix memang ada mau.
Seperti biasa, jika Felix mengucapkan kalimat sayang seperti itu, sudah pasti ada udang di balik batu. Jelas keinginan pria tersebut tak jauh-jauh dari masalah desain perhiasan.
Felix benar-benar tahu cara memanfaatkan talenta Valency bagai parasit.
Valency mendesis dan memutar bola matanya malas. Iming-iming yang selalu Felix berikan padanya kini menjadi omong kosong memuakkan baginya.
“Aku–”
Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Valency tersentak saat matanya menangkap ekspresi Jayden yang menggelap. Rahang pria itu mengetat dan matanya menatap Valency tajam, membuat Valency menciut sekaligus kaget.
‘A-apa yang salah?’ batin Valency bertanya-tanya.
Seakan bisa membaca pikiran Valency, perlahan Jayden menghampiri gadis itu. Kemudian, pria itu memojokkan gadis tersebut ke lemari.
Tanpa suara, bibir pria itu bergerak seolah mengatakan, “Akhiri panggilannya.” Dia menambahkan, “Sekarang.”
**
Waduh, cemburu kahh? Gimana nih guys?? Terima kasih untuk kalian yang sudah baca sampai akhir! Kalau kalian suka karya ini, jangan lupa untuk berikan like, vote, dan comment yaa! Biar author tahu tanggapan kalian terhadap karya ini, terima kasih!
Dengan sepasang manik hitam yang menghipnotis berada di hadapannya, Valency tak elak menelan ludah. Aroma maskulin tubuh Jayden yang mengurung dirinya membuat darah gadis itu berdesir. Jantung yang berdebar cepat membuat napas Valency agak sesak. “Lency? Kamu masih mendengarku ‘kan? Lency!” Kali ini suara Felix berhasil membuyarkan keterkejutan Valency, buru-buru dia menormalkan ekspresi wajahnya dan memalingkan pandangannya dari Jayden. “A-ah iya. Aku akan datang ke sana besok, tenang aja.” “Jangan besok! Bagaimana kalau hari ini sa—” Belum sempat Felix menyelesaikan ucapannya, Jayden sudah lebih dulu merampas ponsel itu dari tangan Valency dan mematikan panggilan mereka secara sepihak. Gerakan Jayden yang secepat kilat membuat Valency tak punya kesempatan untuk mengelak. Sementara Itu, di sisi lain, Felix yang mengira panggilannya dimatikan oleh Valency merasa harga dirinya tersentil. Tangannya memukul kesal setir mobil. “Sial! Kamu kira kamu siapa sudah berani mematikan
Selesai mandi, Valency turun ke lantai bawah dan masuk ke ruang makan. Dia melihat sosok Jayden yang menunggu sembari memerhatikan tablet kerjanya. “Maaf. Aku takut membuatmu menunggu lama.” Suara Valency membuat Jayden mengangkat pandangan dan menyingkirkan kerjaannya. “Duduklah.” Valency menatap bingung deretan kursi yang begitu banyak. Di mana dirinya harus duduk? “Duduklah di sebelahku,” ucap Jayden seakan bisa membaca pikiran gadis tersebut. Valency mengangguk, menarik kursi di sebelah kanan Jayden, lalu duduk di sana. Selagi menunggu para pelayan menghidangkan makanan, Valency diam-diam curi pandang ke kanan. Dari jarak sedekat ini, dia baru sadar bahwa ada yang beda dengan penampilan Jayden. Tanpa balutan kemeja dan jas formal seperti sebelumnya, Jayden terlihat lebih segar dan santai dengan kaos putih sederhana beserta celana jogger hitam. Rambut setengah kering pria itu entah kenapa membuat penampilan Jayden lebih muda dibandingkan biasanya. Kalau ada orang yang mel
“Mmh … ahh!” Suara decakan lidah yang bercampur desahan memenuhi ruangan. Punggung Valency menempel di dinding, sedangkan dadanya menempel dengan dada bidang Jayden. Tidak ada lagi jarak di antara mereka, bahkan bibir mereka tengah sibuk berpagutan panas dan mengecap rasa satu sama lain. “Jayden … Jayden hentikan ….” Permintaan itu terlontar dari bibir Valency ketika dirinya merasakan tangan pria itu menelusup masuk ke dalam bajunya, membuat lenguhan Valency terdengar semakin keras. “Perempuan murahan! Aku tidak mengira kamu serendah itu sampai bisa jual diri!” Suara tawa diikuti cacian membuat Valency membuka mata. Dia menoleh cepat dan melihat sosok Felix yang berdiri selagi menatapnya dengan wajah merendahkan. “Berkali-kali memintamu untuk melakukannya, kamu malah menolak. Sekarang, kamu malah melebarkan kedua kakimu untuk seorang asing dengan sukarela? Kenapa? Apa yang pria itu berikan untukmu? Uang? Harta? Atau mungkin … bantuan untuk balas dendam?” Seringai Felix dan t
“Felix ...!” ringis Valency kesakitan, memberontak kecil dan berusaha melepaskan cengkraman Felix pada pergelangan tangannya yang sangat erat. Tangan besar Felix berbanding terbalik dengan pergelangan tangan Valency yang kurus, membuat Valency kesusahan terlepas dari genggaman pria itu. Tenaga mereka tak sebanding. “Dari mana saja hah?! Jangan berani bermain-main denganku, Lency! Kamu tahu sendiri akibatnya karena telah membuatku marah,” ancam Felix, matanya menggelap menatap Valency penuh amarah. Genggamannya semakin mengerat seiring dengan emosinya yang meledak-ledak. “L-lepaskan tanganku, Lix.” Ringisan kesakitan Valency membuat Felix tersadar jika yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Sontak tangannya melepaskan cengkraman pada Valency, membuat Valency buru-buru menarik tangannya dan mengelus bekas kemerahan yang terlihat jelas melingkar. ‘Sial, jika tangannya terluka, dia tidak akan bisa aku manfaatkan mengerjakan desain lagi,’ batin Felix merutuki dirinya. Felix
‘Mungkinkah … mungkinkah Jayden telah mengenal dekat Felix dan mereka sebenarnya bekerja sama untuk menjebakku?!’ Sesaat berpikir, Valency berujung menggelengkan kepalanya. Seharusnya tidak demikian. Seorang Jayden Spencer mati-matian ingin menjebaknya sampai menjadikan status pernikahannya sebagai permainan? Kenapa? Atas dasar apa? Ada dendam apa di antara mereka? Hanya untuk membantu Felix? Seharusnya Jayden tidak sedermawan itu, bukan? Namun, satu ucapan sang ibunda di masa lalu membuat Valency waspada. ‘Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, Valey.’ Menepiskan semua itu dan berusaha tegar, Valency kembali berjalan menghampiri kedua pria tersebut. Sementara itu, Felix yang sedang sibuk mengobrol dengan Jayden tak sengaja menangkap sosok perempuan dengan pakaian yang cukup mencolok, sangat indah dan menarik perhatiannya di antara ratusan tamu lainnya. Tanpa sadar dia terpaku di tempat, tak menjawab pertanyaan yang dilayangkan Jayden. Matanya seakan dikunci melihat pada
Pertanyaan yang dilayangkan Valency dengan cukup lantang dan nada dipenuhi amarah berhasil mengundang perhatian dari sejumlah tamu. Sebagian besar dari mereka menghentikan kegiatan dan berlomba-lomba untuk melihat apa yang terjadi. Bisikan-bisikan cemoohan mulai terdengar dari para tamu. Ada yang menatap jijik pada Felix dan Cecilia, ada pula yang menatap kasihan pada Valency. “Bukankah itu putri tunggal dari keluarga Owen, Cecilia Owen? Apa dia berselingkuh dengan kekasih orang lain sampai membuat gadis itu terlihat sangat marah?” “Astaga, mereka memalukan sekali! Bagaimana bisa mereka menodai acara yang penting ini?” Celetukan-celetukan pedas penuh hinaan membuat Felix tak mampu lagi mengangkat wajah, dia hanya menunduk dengan wajah memerah malu sekaligus marah karena perbuatan Valency membuat mereka disudutkan. Tak jauh dari tempat mereka, ada sepasang mata yang tak mengalihkan pandangannya sejak tadi, menonton drama yang sedang berlangsung. Jayden duduk di kursinya denga
“Baiklah tamu undangan kami yang terhormat, sebentar lagi kami akan menampilkan karya-karya jenius dan luar biasa milik para peserta kami. Saksikanlah dan berikan penilaian kalian!” Suara pembawa acara membuat perasaan marah dan dongkol Felix tergantikan dengan perasaan panik. Apalagi karena peserta pertama telah dipanggil naik untuk mempresentasikan karya mereka. “Bagaimana ini ... sebentar lagi giliran kita dan di depan sana ada Lency yang menonton,” gumam Cecilia panik. “Dia bisa saja kembali membuat keributan saat melihat karya kita dan membuat kita bertambah malu. Aku tidak ingin kembali dicemooh orang-orang, Lix!” Felix menggelengkan kepala. “Tidak, Valency bukan orang yang seperti itu.” Dia menambahkan, “Paling dia hanya akan menggerutu setelah lomba selesai.” Cecilia mendelik kesal. “Oh wow. Sepertinya kamu sangat mengenal kekasihmu itu, ya? Apa jaminannya dia tidak akan membuat kita malu lagi di hadapan tamu penting lainnya? Reputasi keluargaku akan benar-benar hancur ka
Pertanyaan sang Juri membuat Cecilia mematung dengan mata membulat. Jantungnya berdebar keras karena informasi mengejutkan itu. “T-tidak! Ini pasti sebuah kesalahan!” “Kesalahan? Apa secara tak langsung kamu mengatakan kalau Diamant Corp yang telah menyontek desain yang baru saja kamu buat?” sergah sang juri sedikit sarkas. Batin Cecilia berteriak tak setuju, desain yang Cecilia pakai itu milik Valency, jadi dia yakin desain itu asli, bukan dari Diamant Corp! Oleh karena itu, jelas asal-usul desain milik Diamant Corp yang bermasalah! Namun, tidak mungkin ‘kan Cecilia menuduh Diamant Corp secara terang-terangan, perusahaan terkenal dan sebesar itu, sebagai pencuri desain asli yang dibuat oleh Valency!? Siapa yang akan percaya?! Apalagi di hadapannya sekarang juga berdiri direktur utamanya. Cecilia menggigit bibir. “Aku tidak tahu bagaimana Diamant Corp bisa membuat desain yang sama dengan milikku, tapi yang jelas desain di tanganku ini asli dan bukan hasil mencontek.” Cecilia
"... Verena, kamu baik-baik saja?"Pertanyaan itu meluncur dari bibir Eric ketika Verena tanpa sadar menggenggam ujung jas pria itu dan meremasnya kuat-kuat. Wajah wanita itu kini agak pucat dan napasnya menjadi lebih berat."Kelelahan?" tanya Eric lagi. Bukan apa-apa. Bisa jadi memang wanitanya ini sedang kelelahan, bukan? Dengan segala kesibukan sebagai pengganti sang ayah, Verena sampai pada batasnya juga. Namun, Verena menggeleng. Ini jelas bukab kelelahan. Ia tidak selemah itu.Sejak dulu, Verena sudah terbiasa bekerja dan lembur. Mengurusi klien dan bersosialisasi juga sudah sering ia lakukan karena pekerjaannya. Jadi ia tidak akan tumbang semudah ini.Selain itu, kondisinya ini terlalu tiba-tiba.Tidak mungkin Verena yang normal dan sehat bisa menjadi seperti ini begitu saja?"Kita menyingkir--""Aku ke toilet dulu," ucap Verena, menepis lengan Eric sekarang. Di sini terlalu banyak orang. Pikirannya terasa kacau dan tidak nyaman. Mungkin sedikit udara segar bisa membersihkan
"Maaf, aku harus keluar lagi. Ada yang harus aku pastikan.""Mau ke mana?"Eric bertanya. Tidak seperti dugaan Verena, Eric tidak melepaskannya begitu saja. Padahal Verena pikir, pria itu akan mengiakan saja keputusan Verena seperti tadi."Ke luar. Sebentar. Kan sudah aku bilang.""Jawab dengan lebih spesifik, Verena." Eric berucap.Langsung saja, Verena menghela napas."Aku perlu memastikan beberapa tamu. Oke?""Kalau kamu memerlukan daftar tamu, bisa kuberikan.""Ya, tapi aku juga perlu menemui orang ini.""Siapa? Kutemani.""Tidak perlu. Ini acaramu. Kamu harus tetap di sini.""Tanpa tunanganku? Jangan bercanda."Verena berdecak. Merasa kesal.Karena tidak ingin kehilangan jejak seperti tadi, wanita itu nekat melangkah pergi----tapi ia justru berakhir terpenjara dalam tangan kekar Eric."Eric--""Kamu tahu," ucap Eric diikuti helaan napas. "Mengejarmu memerlukan kesabaran ekstra."Verena langsung merengut. Bukan karena ucapan Eric, melainkan karena posisi mereka. Si Presdir arogan
"Aku tidak mau kamu mati konyol, Verena. Tidak bisakah kamu memahami hal itu?"Ucapan yang meluncur dari bibir Keith itu tidak terlalu mengejutkan Verena. Namun, nada bicara dan ekspresi yang ditunjukkan oleh adik tirinya itu sukses membuat Verena terdiam.Ada yang asing dari tatap manik mata abu-abu itu.Sepasang warna abu-abu yang familiar itu--Apalagi bagaimana Keith membuang muka setelahnya, lalu mengusap tengkuk dengan kikuk sementara ujung telinganya memerah.Keanehan itu ... tidak bisa Verena pandang sebagai sebuah tingkah adiknya yang lucu.Bukan karena sikap Keith tidak lucu. Melainkan karena tingkahnya tidak seperti seorang adik pada umumnya.Seakan-akan--Tidak. Pasti Verena salah. Ia selalu salah dalam hal ini, kan?"Keith ... kamu--"Keith mengangkat tangannya sembari menghela napas."Sudahlah." Keith menukas. "Toh Ayah sudah merestui pertunanganmu, bukan? Lupakan saja.""Yah. Itu mustahil." Verena berusaha terdengar tegas, tapi ucapannya tak lebih dari sebuah gumaman.M
"Nona, Anda baik-baik saja?"Sosok itu adalah seorang pria paruh baya, dengan rambut hitam yang sudah banyak beruban. Namun, penampilannya tampak rapi, tidak serampangan. Mengindikasikan bahwa kemungkinan beliau adalah salah satu tamu undangan Eric Gray.Meski begitu, penampilannya tampak terlalu sederhana untuk dikatakan kaum sosialita.Namun, bukan itu yang membuat Verena tertegun. Mata abu-abu itu ... tampak familier bagi Verena. Di mana--"Nona?""Ah." Verena berkedip. "Maaf, Tuan. Saya tidak melihat ke depan." Verena buru-buru berkata setelahnya."Saya tidak masalah. Tapi apakah Anda baik-baik saja?""Saya tidak apa-apa. Permisi."Verena sedikit menunduk dan langsung pergi dari sana, ke arah yang dituju oleh Kimberly tadi.Namun, sayangnya, interupsi singkat tadi sudah cukup untuk melenyapkan jejak adik tirinya.Tanpa sadar, Verena menghela napas. Menyayangkan fokusnya yang sempat teralihkan tadi."Verena."Panggilan itu membuat Verena menoleh dan mendapati sosok Keith tengah ber
"Coba cari topik pembicaraan lain. Soal aku, misalnya. Putra ibu dan...." Verena mencoba memasang raut wajah biasa saja saat Eric mendekatkan bibirnya ke telinga Verena dan berbisik, "Calon suamimu."Baru setelah itu Verena menghela napas pelan. Lalu, wanita itu menoleh sedikit ke belakang, ke arah Eric."Kamu mau kami membicarakanmu di depanmu langsung?" tanyanya.Eric mengangkat bahu. "Silakan.""Tidak masalah kalau aku menyinggung soal kelakuanmu dulu?" Verena kembali bertanya. "Semua yang kamu lakukan saat kamu mengejar-ngejar--""Sini. Aku pasangkan lagi kalungnya." Eric Gray menyela. Tangannya terulur dan mengambil kalung di tangan Verena, sebelum kemudian memasangkannya. "Mau bicara soal Vera Jones lagi?""Tidak." Kali ini, Mia yang menjawab. "Meskipun rasanya menyenangkan, mengobrol dengan Verena. Tapi lebih baik kamu dan Verena sekarang kembali ke aula. Sapa para tamu."Lalu, pada Verena yang menatapnya, Mia menambahkan, "Senang bertemu denganmu, Verena. Lain kali, kita men
"Apakah kamu punya koneksi khusus pada Nona Jones, Verena?" Pertanyaan Mia itu membuat Verena tersenyum.Sama seperti semua sosialita di pesta amal keluarga Miller beberapa waktu yang lalu, tidak semuanya mengetahui mengenai identitas Verena sebagai Vera Jones.Mungkin memang ada pembicaraan dari mulut ke mulut setelah pesta, tapi informasi tersebut tidak mungkin sampai ke semua orang. Apalagi ini soal pencapaian Verena, si anak haram. Orang akan lebih senang bergosip soal dia yang tiba-tiba mendapatkan rezeki nomplok dan warisan dari sang ayah karena cara kotor.Bukan dengan pertimbangan bahwa Verena punya kemampuan.Di samping itu, tampaknya memang Mia tidak terlihat seperti wanita yang hobi bergosip. Karenanya, sebelum Eric sempat menyelesaikan kalimat tadi, Verena sudah bertanya, "Bagaimana menurut Anda soal desain-desain Vera Jones, Nyonya Gray?"Verena tahu sedikit banyak soal Mia Gray, ibunda Eric, dari informasi yang diselipkan oleh Ashton sebelum ia sepakat untuk datang ke
Verena dengan segera membetulkan posisinya dan berdiri untuk menyapa orang tua Eric Gray tersebut.Dalam hati, ia merasa seolah diselamatkan oleh kehadiran Mia dan Beatrice, terlepas dari posisinya yang agak memalukan dan bagaimana Beatrice tampak ingin sekali langsung menghakiminya detik itu juga.Akan tetapi, Verena langsung mengalihkan fokusnya pada Mia. Sepasang mata ibu Eric tersebut kini menatapnya dengan penuh perhatian."Ibu," Eric menyapa dengan nada yang masih tenang, seakan pertemuan itu adalah hal biasa. "Perkenalkan, ini Verena."Sikap pria itu seolah mereka tidak berada dalam posisi yang patut dipertanyakan sebelumnya. "Ya. Itulah wanita yang dipilih oleh putramu," ucap Beatrice pada Mia, iparnya. Kemudian, wanita paruh baya itu mendengus. "Sudah bagus aku kenalkan pada putri bungsu keluarga Miller untuk dijodohkan. Dia malah memilih wanita ini."Beatrice mengalihkan pandangannya pada Verena dan melihat wanita itu dari atas sampai bawah, sebelum kemudian melirik Eric ya
"Ada apa? Katakan."Akan tetapi, alih-alih menjawab pertanyaan Eric Gray, respons pertama Verena selain menahan napas adalah memundurkan badannya. Sekalipun sudah tidak ada ruang yang cukup di balik punggungnya.Setelah itu, baru Verena menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Meskipun, tampaknya sia-sia. Entah kenapa otak Verena terasa macet karena posisi mereka saat ini.Apakah ini berarti Verena sedang terintimidasi? Wanita itu berpikir.Karena makin dekat Eric berada, semakin sulit baginya untuk berpikir jernih.Apalagi ketika Eric kembali memangkas jarak di antara mereka."Hm?" Pria itu tersenyum miring, menikmati situasi saat ini.Sementara itu, pandangan Verena terpaku pada wajah pria itu yang kini hanya terpisah beberapa inci darinya. Bau parfum Eric yang khas semakin menambah kerumunan dalam pikirannya tanpa bisa dicegah. Diam-diam, Verena merutuk dalam hati."Mundur," ucap wanita itu pada akhirnya. Ia enggan mengakui bahwa posisi ini mengusiknya. "Sofa di be
"Aku hanya sedikit mengingatkan saja, Sayang. Semua yang dilakukan, akan ada dampaknya."Hening sejenak. Verena dalam diam mengamati ekspresi kedua saudara tirinya. Wajah Keith tetap datar senantiasa. Pria itu tidak tampak tersinggung atau marah pada sindiran Eric. Berbeda dengan Kimberly yang saat ini tengah menatapnya.Iya. Menatap Verena."Saya setuju dengan Anda, Tuan Gray. Memang semua perbuatan itu ada dampaknya. Setiap akibat, pasti ada sebabnya," ucap Kimberly. Gadis itu mengalihkan pandangan pada Eric dan tersenyum manis. "Ah ya. Selamat ulang tahun, Tuan Eric Gray. Semoga Anda menikmati malam yang indah ini."Senyum Kimberly menjadi lebih lebar setelah mengucapkan kalimat terakhir tersebut.Sejujurnya, Eric tengah menahan diri agar tidak berekspresi terkejut atau heran dengan reaksi Kimberly tersebut. Ini adalah pertama kalinya Kimberly menunjukkan sisinya yang berbeda.Sebelumnya, gadis yang merupakan putri bungsu Aster Miller tersebut selalu menampilkan sikap malu-malu d