Sejak Valency memasuki rumah Jayden, dia tak bisa berhenti berdecak kagum pada segala hal yang dilihatnya. Sepanjang mata Valency memandang hanya ada kemewahan yang elegan, tidak terlalu mencolok dan norak menurut Valency. Dari melihat isi rumahnya saja Valency bisa tahu bahwa Jayden adalah penikmat seni.
Apalagi melihat foto-foto yang terpajang di dinding memiliki bingkai khusus yang belum pernah Valency lihat. Sepanjang sisi bingkainya dihiasi batu permata yang indah.
Jayden yang menyadari tatapan berbinar Valency dan ketertarikannya pada bingkai-bingkai di rumahnya membuat Jayden tersenyum tanpa sadar.
“Bingkai-bingkai itu semuanya dibuat khusus dan edisi terbatas dari Diamant Corp, biasanya diberikan ke pelanggan VIP sebagai hadiah,” ucap Jayden menjelaskan. “Bagaimana menurutmu? Bagus?”
Valency menoleh, mengangguk penuh semangat. “Sangat bagus dan indah!” ucap Valency menggebu-gebu.
“Kamu suka?” tanya Jayden lagi.
Lagi-lagi Valency menjawabnya dengan anggukan penuh semangat.
“Kalau kamu suka, aku akan memesankan khusus untukmu.”
Sontak Valency terdiam. “Tidak, tidak perlu, Jay! Aku hanya suka melihatnya. Lagi pula, ke depannya aku bisa melihat bingkai-bingkai ini setiap hari dan pasti aku akan bosan sendiri,” tolak Valency halus.
Dia tak berani menerima hadiah semewah itu. Valency bisa menebak jika harganya pasti sangat mahal, apalagi dia melihat bingkai itu memakai beberapa jenis batu permata yang sudah langka.
Mendengar Valency berkata bisa melihat bingkai-bingkai itu setiap hari di rumah tersebut membuat Jay kembali tersenyum. Benar juga, gadis tersebut mulai dari sekarang adalah bagian dari rumah ini.
Dengan kepala mengangguk, Jayden pun berkata, “Aku menurutimu.”
Ucapan Jayden membuat Valency agak canggung. Pria itu seakan memperjelas bahwa dirinya tidak memaksakan karena patuh kepada permintaan Valency.
Menepiskan percakapan tersebut, keduanya kembali melanjutkan langkah mereka yang sempat tertunda. Sesampainya di ruang tamu, seorang wanita paruh baya berdiri tegap dengan senyum ramah menyambut mereka. Wanita itu memakai seragam hitam putih.
“Selamat datang Tuan dan Nyonya,” sapanya ramah.
“Ini May, kepala pelayan di rumah ini. Kamu bisa memanggilnya jika butuh bantuan apa pun,” ucap Jayden.
Valency mengangguk pelan dan menyunggingkan senyum tak kalah ramah pada wanita itu.
“May, antar Valency ke kamar dan bantu dia membereskan barang-barangnya.” Jayden berbalik menatap Valency. “Aku masih punya sedikit pekerjaan di ruang kerja. Setelah selesai, aku akan langsung menyusulmu."
“Terima kasih,” balas Valency dengan kepala mengangguk dan senyuman manis.
Melihat hal itu, Jayden terdiam sesaat. Pria tersebut mengusap kepala Valency, lalu berbalik meninggalkan tempat itu.
Selama sesaat, Valency terbengong sembari menyentuh kepalanya.
Sentuhan Jayden … begitu hangat.
“Mari Nyonya, saya antar ke atas.”
Ucapan May memecah lamunan Valency seiring dirinya mengambil alih koper gadis tersebut.
Selagi memimpin jalan nyonya barunya itu naik ke lantai dua rumah, May menjelaskan, “Seluruh kamar di rumah ini berada di lantai dua, baik kamar utama maupun kamar tamu.”
May membawa Valency memasuki sebuah kamar. Begitu masuk, Valency dibuat terperangah dengan kamarnya yang begitu luas, bahkan tiga kali lipat dari luas kamar asramanya. Interior kamar itu didominasi dengan warna abu-abu.
“Ini kamar Anda, Nyonya. Saya akan menata barang-barang Anda di lemari ini,” ucap May seraya membuka sebuah lemari kayu besar di sudut kamar.
Saat pintu lemari dibuka, Valency bisa melihat sudah ada banyak pakaian pria yang mengisi dan tersusun di dalam, membuat Valency mengernyitkan kening bingung.
“Itu ... pakaian siapa di dalam sana?” tanya Valency.
May menoleh, menghentikan kegiatannya menyusun pakaian Valency ke dalam lemari. “Tentu saja milik Tuan Jayden, Nyonya,” jawabnya santai.
Mata Valency membulat kaget. “Apa?”
“Ada apa Nyonya?” tanya May, dia berbalik bingung melihat tingkah nyonya barunya.
“Kenapa baju Jayden juga ada di sini?” Valency menautkan alis.
May mengerjapkan mata. “Tentu saja karena ini juga kamar Tuan Jayden, Nyonya.” Dia menggelengkan kepala, sadar salah bicara. “Lebih tepatnya, kamar ini kamar kalian berdua.”
Sadar dengan Valency yang tampak kaget, May lanjut bertanya, “Memangnya ada apa Nyonya?”
May agak bertanya-tanya dalam hati. Bukankah sudah wajar suami-istri tidur bersama dalam satu kamar?
“Ah, y-ya. May benar. Aku hanya belum terbiasa saja,” sahut Valency dengan tawa canggung. “Bukankah ini hanya pernikahan kontrak saja? Apa perlu sampai tidur bersama juga?” batin Valency dengan agak panik.
Tak membutuhkan waktu lama, May telah selesai menyusun pakaian Valency ke dalam lemari. “Pekerjaan saya sudah selesai, Nyonya. Saya pamit kembali ke bawah, jika butuh sesuatu Nyonya bisa panggil saya,” pamitnya.
“Terima kasih, May.”
Begitu May hendak keluar dari kamar, mereka dikejutkan dengan sosok Jayden yang ternyata sedang bersandar di pintu entah sejak kapan. May membungkuk hormat sebelum berakhir melenggang meninggalkan keduanya.
“Sejak kapan kamu di sana?” tanya Valency canggung.
“Pakaianmu terlalu sedikit,” ucap Jayden yang sama sekali tak menjawab pertanyaan Valency. Maniknya memerhatikan baju Valency yang hanya mengisi seperempat bagian lemari mereka. “Aku akan buat janji temu dengan salah satu desainer untukmu.”
Valency terbelalak. “Aku rasa … itu tidak perlu.”
Jayden menatap Valency, lalu tersadar. “Tidak hari ini, Valency. Janji itu untuk besok.” Melihat keraguan Valency, Jayden kembali bersuara, “Ah, mungkin kamu lelah? Kalau begitu, kupanggil mereka ke sini saja.”
Sontak Valency menggeleng cepat. “Jangan! Tidak perlu, Jay. Pakaian yang kubawa sudah cukup!” Gadis itu agak panik melihat Jayden sungguh siap menelepon seseorang. “Aku jarang bepergian, jadi aku tidak membutuhkan banyak pakaian,” ucap Valency beralasan.
Valency merasa tak enak hati jika harus menerima segala pemberian dari Jayden. Mendapat bantuan pria itu dalam balas dendamnya saja dia sudah bersyukur, tidak mungkin sekarang dia hanya secara cuma-cuma menerima pakaian yang dibelikan pria itu!
“Kamu memerlukannya,” ucap Jayden bersikeras. “Di setiap acara yang harus kudatangi, tentunya kamu perlu hadir di sisiku.”
“Apa?”
“Kamu istriku, jadi tentu saja kamu harus selalu berada di sampingku, bukan begitu?”
Jayden tak tahu saja jika ucapannya itu berhasil memporak-porandakan hati Valency. Gadis itu tidak menyangka pria tersebut bisa memasang wajah begitu datar ketika mengucapkan hal seperti itu!
“Tapi ….”
“Jangan menolak, Valency.” Jayden menambahkan, “Jangan lupa bahwa di kontrak tertulis dirimu harus menjadi istri sesuai yang kuinginkan. Anggap ini bagian dari tanggung jawabmu.”
Belum menghabiskan banyak waktu bersama, tapi Jayden bisa mengerti jalan pikiran Valency. Gadis itu paling takut berutang budi, jadi hanya dengan mengatakan bahwa membeli baju adalah bagian dari tanggung jawab barulah Jayden bisa meyakinkan Valency untuk menerima.
“Aku … mengerti.”
Selagi Jayden mengirimkan pesan kepada salah satu bawahannya untuk menghubungi desainer terbaik demi Valency, ponsel gadis tersebut mendadak berdering, membuat Valency buru-buru mengambil ponselnya. Ekspresi cerah Valency mendadak luntur melihat nama Felix yang tertera di layar.
Padahal dia sengaja tidak membalas pesan Felix sejak kemarin, tetapi sekarang pria itu malah menerornya dengan panggilan. Valency menghela nafas panjang.
Kalau Valency tidak menjawab panggilan Felix, pria itu pasti curiga, terutama setelah tahu dari Cecilia bahwa dirinya pindah dari asrama. Seperti kata pepatah, baiknya jangan menakuti mangsa sebelum yakin tertangkap. Oleh karena itu, Valency pun mengangkat panggilan.
“Valency! Kamu dari mana saja, sih?! Aku chat dari kemarin gak dibalas! Aku telepon juga baru diangkat. Ada apa? Kamu sudah nggak cinta sama aku lagi?! Aku khawatir sama kamu, tahu?!”
Valency sontak mengernyitkan wajahnya. Kekhawatiran Felix penuh dengan kepura-puraan. Sungguh memuakkan!
“Bateraiku habis dan aku sibuk mengerjakan tugas akhir semester,” jelas Valency singkat. “Ada apa?” tanyanya, menghilangkan embel-embel panggilan sayang yang biasa dia gunakan.
Di ujung telepon yang lain, Felix mengerutkan dahi, merasa ada yang berbeda dari Valency. Akan tetapi, karena tidak terbiasa memerhatikan gadis tersebut, pria itu tidak tahu jelas apa yang berbeda.
Tidak penting, Felix masih ada hal lain yang perlu diurus!
“Kamu masih tanya kenapa? Aku rindu lah, Sayang. Udah dua hari loh kita gak ketemu. Kamu di asrama kan? Aku jemput ya? Kita jalan-jalan, sekalian ganti hadiah hari jadian kita kemarin.”
Tubuh Valency merinding mendengar suara dan kata-kata menjijikkan yang keluar dari mulut Felix. Jika dulu dia akan sangat senang dengan panggilan sayang Felix dan perhatiannya, kini Valency merasa mual mendengarnya.
Sedetik pun dia tak pernah melupakan bagaimana Felix mengkhianatinya.
“Kudengar dari Cecilia kamu sibuk, jadi seharusnya kamu jangan membuang-buang waktu denganku,” ujar Valency dengan tegas. “Atau mungkin, ada sesuatu yang kamu perlukan?” tebak Valency.
Felix tertawa di ujung telepon yang lain. “Kok kamu gitu sih tebakannya. Tapi, memang aku ada perlu bantuan kamu untuk membahas proyek baru. Kamu ada waktu, ‘kan?” Merasa bujukannya kurang, pria itu menambahka, “Ini juga untuk tabungan biaya kita nikah kan, jadi kamu harus datang ya! Please!”
Senyum sarkastis menghiasi bibir Valency.
Kan, benar dugaannya. Felix memang ada mau.
Seperti biasa, jika Felix mengucapkan kalimat sayang seperti itu, sudah pasti ada udang di balik batu. Jelas keinginan pria tersebut tak jauh-jauh dari masalah desain perhiasan.
Felix benar-benar tahu cara memanfaatkan talenta Valency bagai parasit.
Valency mendesis dan memutar bola matanya malas. Iming-iming yang selalu Felix berikan padanya kini menjadi omong kosong memuakkan baginya.
“Aku–”
Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Valency tersentak saat matanya menangkap ekspresi Jayden yang menggelap. Rahang pria itu mengetat dan matanya menatap Valency tajam, membuat Valency menciut sekaligus kaget.
‘A-apa yang salah?’ batin Valency bertanya-tanya.
Seakan bisa membaca pikiran Valency, perlahan Jayden menghampiri gadis itu. Kemudian, pria itu memojokkan gadis tersebut ke lemari.
Tanpa suara, bibir pria itu bergerak seolah mengatakan, “Akhiri panggilannya.” Dia menambahkan, “Sekarang.”
**
Waduh, cemburu kahh? Gimana nih guys?? Terima kasih untuk kalian yang sudah baca sampai akhir! Kalau kalian suka karya ini, jangan lupa untuk berikan like, vote, dan comment yaa! Biar author tahu tanggapan kalian terhadap karya ini, terima kasih!
Dengan sepasang manik hitam yang menghipnotis berada di hadapannya, Valency tak elak menelan ludah. Aroma maskulin tubuh Jayden yang mengurung dirinya membuat darah gadis itu berdesir. Jantung yang berdebar cepat membuat napas Valency agak sesak. “Lency? Kamu masih mendengarku ‘kan? Lency!” Kali ini suara Felix berhasil membuyarkan keterkejutan Valency, buru-buru dia menormalkan ekspresi wajahnya dan memalingkan pandangannya dari Jayden. “A-ah iya. Aku akan datang ke sana besok, tenang aja.” “Jangan besok! Bagaimana kalau hari ini sa—” Belum sempat Felix menyelesaikan ucapannya, Jayden sudah lebih dulu merampas ponsel itu dari tangan Valency dan mematikan panggilan mereka secara sepihak. Gerakan Jayden yang secepat kilat membuat Valency tak punya kesempatan untuk mengelak. Sementara Itu, di sisi lain, Felix yang mengira panggilannya dimatikan oleh Valency merasa harga dirinya tersentil. Tangannya memukul kesal setir mobil. “Sial! Kamu kira kamu siapa sudah berani mematikan
Selesai mandi, Valency turun ke lantai bawah dan masuk ke ruang makan. Dia melihat sosok Jayden yang menunggu sembari memerhatikan tablet kerjanya. “Maaf. Aku takut membuatmu menunggu lama.” Suara Valency membuat Jayden mengangkat pandangan dan menyingkirkan kerjaannya. “Duduklah.” Valency menatap bingung deretan kursi yang begitu banyak. Di mana dirinya harus duduk? “Duduklah di sebelahku,” ucap Jayden seakan bisa membaca pikiran gadis tersebut. Valency mengangguk, menarik kursi di sebelah kanan Jayden, lalu duduk di sana. Selagi menunggu para pelayan menghidangkan makanan, Valency diam-diam curi pandang ke kanan. Dari jarak sedekat ini, dia baru sadar bahwa ada yang beda dengan penampilan Jayden. Tanpa balutan kemeja dan jas formal seperti sebelumnya, Jayden terlihat lebih segar dan santai dengan kaos putih sederhana beserta celana jogger hitam. Rambut setengah kering pria itu entah kenapa membuat penampilan Jayden lebih muda dibandingkan biasanya. Kalau ada orang yang mel
“Mmh … ahh!” Suara decakan lidah yang bercampur desahan memenuhi ruangan. Punggung Valency menempel di dinding, sedangkan dadanya menempel dengan dada bidang Jayden. Tidak ada lagi jarak di antara mereka, bahkan bibir mereka tengah sibuk berpagutan panas dan mengecap rasa satu sama lain. “Jayden … Jayden hentikan ….” Permintaan itu terlontar dari bibir Valency ketika dirinya merasakan tangan pria itu menelusup masuk ke dalam bajunya, membuat lenguhan Valency terdengar semakin keras. “Perempuan murahan! Aku tidak mengira kamu serendah itu sampai bisa jual diri!” Suara tawa diikuti cacian membuat Valency membuka mata. Dia menoleh cepat dan melihat sosok Felix yang berdiri selagi menatapnya dengan wajah merendahkan. “Berkali-kali memintamu untuk melakukannya, kamu malah menolak. Sekarang, kamu malah melebarkan kedua kakimu untuk seorang asing dengan sukarela? Kenapa? Apa yang pria itu berikan untukmu? Uang? Harta? Atau mungkin … bantuan untuk balas dendam?” Seringai Felix dan t
“Felix ...!” ringis Valency kesakitan, memberontak kecil dan berusaha melepaskan cengkraman Felix pada pergelangan tangannya yang sangat erat. Tangan besar Felix berbanding terbalik dengan pergelangan tangan Valency yang kurus, membuat Valency kesusahan terlepas dari genggaman pria itu. Tenaga mereka tak sebanding. “Dari mana saja hah?! Jangan berani bermain-main denganku, Lency! Kamu tahu sendiri akibatnya karena telah membuatku marah,” ancam Felix, matanya menggelap menatap Valency penuh amarah. Genggamannya semakin mengerat seiring dengan emosinya yang meledak-ledak. “L-lepaskan tanganku, Lix.” Ringisan kesakitan Valency membuat Felix tersadar jika yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Sontak tangannya melepaskan cengkraman pada Valency, membuat Valency buru-buru menarik tangannya dan mengelus bekas kemerahan yang terlihat jelas melingkar. ‘Sial, jika tangannya terluka, dia tidak akan bisa aku manfaatkan mengerjakan desain lagi,’ batin Felix merutuki dirinya. Felix
‘Mungkinkah … mungkinkah Jayden telah mengenal dekat Felix dan mereka sebenarnya bekerja sama untuk menjebakku?!’ Sesaat berpikir, Valency berujung menggelengkan kepalanya. Seharusnya tidak demikian. Seorang Jayden Spencer mati-matian ingin menjebaknya sampai menjadikan status pernikahannya sebagai permainan? Kenapa? Atas dasar apa? Ada dendam apa di antara mereka? Hanya untuk membantu Felix? Seharusnya Jayden tidak sedermawan itu, bukan? Namun, satu ucapan sang ibunda di masa lalu membuat Valency waspada. ‘Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, Valey.’ Menepiskan semua itu dan berusaha tegar, Valency kembali berjalan menghampiri kedua pria tersebut. Sementara itu, Felix yang sedang sibuk mengobrol dengan Jayden tak sengaja menangkap sosok perempuan dengan pakaian yang cukup mencolok, sangat indah dan menarik perhatiannya di antara ratusan tamu lainnya. Tanpa sadar dia terpaku di tempat, tak menjawab pertanyaan yang dilayangkan Jayden. Matanya seakan dikunci melihat pada
Pertanyaan yang dilayangkan Valency dengan cukup lantang dan nada dipenuhi amarah berhasil mengundang perhatian dari sejumlah tamu. Sebagian besar dari mereka menghentikan kegiatan dan berlomba-lomba untuk melihat apa yang terjadi. Bisikan-bisikan cemoohan mulai terdengar dari para tamu. Ada yang menatap jijik pada Felix dan Cecilia, ada pula yang menatap kasihan pada Valency. “Bukankah itu putri tunggal dari keluarga Owen, Cecilia Owen? Apa dia berselingkuh dengan kekasih orang lain sampai membuat gadis itu terlihat sangat marah?” “Astaga, mereka memalukan sekali! Bagaimana bisa mereka menodai acara yang penting ini?” Celetukan-celetukan pedas penuh hinaan membuat Felix tak mampu lagi mengangkat wajah, dia hanya menunduk dengan wajah memerah malu sekaligus marah karena perbuatan Valency membuat mereka disudutkan. Tak jauh dari tempat mereka, ada sepasang mata yang tak mengalihkan pandangannya sejak tadi, menonton drama yang sedang berlangsung. Jayden duduk di kursinya denga
“Baiklah tamu undangan kami yang terhormat, sebentar lagi kami akan menampilkan karya-karya jenius dan luar biasa milik para peserta kami. Saksikanlah dan berikan penilaian kalian!” Suara pembawa acara membuat perasaan marah dan dongkol Felix tergantikan dengan perasaan panik. Apalagi karena peserta pertama telah dipanggil naik untuk mempresentasikan karya mereka. “Bagaimana ini ... sebentar lagi giliran kita dan di depan sana ada Lency yang menonton,” gumam Cecilia panik. “Dia bisa saja kembali membuat keributan saat melihat karya kita dan membuat kita bertambah malu. Aku tidak ingin kembali dicemooh orang-orang, Lix!” Felix menggelengkan kepala. “Tidak, Valency bukan orang yang seperti itu.” Dia menambahkan, “Paling dia hanya akan menggerutu setelah lomba selesai.” Cecilia mendelik kesal. “Oh wow. Sepertinya kamu sangat mengenal kekasihmu itu, ya? Apa jaminannya dia tidak akan membuat kita malu lagi di hadapan tamu penting lainnya? Reputasi keluargaku akan benar-benar hancur ka
Pertanyaan sang Juri membuat Cecilia mematung dengan mata membulat. Jantungnya berdebar keras karena informasi mengejutkan itu. “T-tidak! Ini pasti sebuah kesalahan!” “Kesalahan? Apa secara tak langsung kamu mengatakan kalau Diamant Corp yang telah menyontek desain yang baru saja kamu buat?” sergah sang juri sedikit sarkas. Batin Cecilia berteriak tak setuju, desain yang Cecilia pakai itu milik Valency, jadi dia yakin desain itu asli, bukan dari Diamant Corp! Oleh karena itu, jelas asal-usul desain milik Diamant Corp yang bermasalah! Namun, tidak mungkin ‘kan Cecilia menuduh Diamant Corp secara terang-terangan, perusahaan terkenal dan sebesar itu, sebagai pencuri desain asli yang dibuat oleh Valency!? Siapa yang akan percaya?! Apalagi di hadapannya sekarang juga berdiri direktur utamanya. Cecilia menggigit bibir. “Aku tidak tahu bagaimana Diamant Corp bisa membuat desain yang sama dengan milikku, tapi yang jelas desain di tanganku ini asli dan bukan hasil mencontek.” Cecilia
"Kecelakaan itu. Jangan bilang ... kalau ada hubungannya dengan adikmu?"Poin pertama. Lalu Verena menggali lagi ingatannya yang tidak terlalu jauh, tentang ucapan Keith sebelum ini.Adik tirinya itu kesal karena Verena tidak bisa dihubungi. Namun, kalimatnya menunjukkan bahwa pertengkaran dengan Kimberly karena provokasi Verena adalah sebuah kelanjutan dari kecelakaan beberapa waktu yang lalu.Ya. Verena tidak salah.Keith yang tidak menjawab pun sudah merupakan jawaban yang jelas untuk Verena."Begitu." Verena mengangguk. Sampai pada sebuah kesimpulan.Pantas saja. Mencari tersangka kasus tabrak lari seharusnya tidak sulit, apalagi untuk keluarga berkuasa seperti Miller. Namun, itu jika memang pelakunya orang biasa yang kedudukannya di bawah keluarga Miller.Apabila kedudukan pelaku setara dengan keluarga Miller atau lebih tinggi, hasilnya hanya akan ada dua; pihak Verena akan kesulitan mencari tersangka atau ia bisa menemukannya, tapi tidak bisa melakukan apa pun.Apakah itu berart
Ketika Verena sampai di rumah yang ia huni hanya dengan seorang asisten rumah tangga, rupanya Keith tengah menunggu di ruang tamu."Dari mana saja?" Pria itu bertanya. Keith kemudian berdiri dan menghampiri Verena.Ekspresi pria itu tampak kesal dan terusik, yang Verena duga karena Keith sudah menunggu lama di sana."Rumah Ashton. Kenapa?" tanya Verena kembali. "Kamu kapan datang?"Keith berdecak kesal. Bibirnya cemberut dengan sangat kentara, sama sekali tidak menyembunyikan perasaannya. "Ponselmu mati?" Adik tiri Verena itu kembali bertanya.Mendengar itu, Verena mengeluarkan ponselnya yang memang sudah tidak bisa dinyalakan."Ah, iya. Kamu menghubungiku?" Verena melangkah ke tengah ruang tamu. "Ada apa? Soal pekerjaan?"Tidak ada jawaban dari Keith sampai-sampai Verena harus kembali fokus pada sang adik itu."Kalau mau merajuk, jangan sekarang, Keith," ucap Verena.Selain dengan Ashton, hubungan Verena dan Keith bisa dibilang tidak buruk. Apalagi memang kadang mereka bertemu dan s
"Verena. Jawab aku. Apakah kamu tertarik pada pria itu?"Verena tertegun. Selain karena pertanyaan Ashton, ekspresi kakak sepupunya yang tampak serius itu membuatnya bertanya-tanya.Kenapa pria itu bertanya demikian?"Jangan mengada-ada, Ash." Verena akhirnya merespons, tanpa menjawab pertanyaan Ashton."Siapa yang mengada-ada?" sahut Ashton. "Aku hanya bertanya.""Kenapa bertanya seperti itu? Aku dan dia tidak ada apa-apa.""Bukan itu yang kutanyakan, Ve. Tapi apakah kamu tertarik pada Eric Gray itu."Verena cemberut. Kepalanya mendadak sakit sebelah.Ia baru saja lolos dari Eric yang suka mendebat dan membuatnya sakit kepala. Verena tidak mau interaksinya dengan Ashton juga menyusahkan dirinya seperti ini.Tapi merajuk hanya akan membuatnya seperti anak kecil. Sekalipun hubungan Verena dan Ashton sekarang sudah membaik, ia tidak mau dianggap remeh oleh kakak sepupunya itu.Apalagi dimanjakan.Karenanya, Verena akhirnya berkata, "Dibandingkan tertarik, aku lebih ke menjaga hubungan b
"Alamat ini...." Eric mengernyit membaca alamat itu. Selama beberapa saat ia terdiam, sebelum kemudian bertanya, "Rumahmu?" Pria itu mengenali alamat itu sebagai kawasan perumahan elit tidak jauh dari rumahnya. "Apakah itu penting?" Verena justru balik bertanya. Eric berdecak pelan. "Kenapa kamu sulit sekali langsung menjawab pertanyaanku, hm?" katanya. "Apakah kamu suka sekali berdebat denganku?" Verena memutar bola matanya. "Itu kediaman asistenku." Wanita itu akhirnya menjawab. "Oh. Pria itu?" "Hm." "Ada urusan apa?" "Lebih baik kamu mulai menjalankan mobilnya sebelum kutendang keluar, Eric Gray." Nada suara Verena sudah mulai terdengar kesal, tidak lagi datar. Dan itu membuat Eric terkekeh. Memancing reaksi wanita ini selalu menyenangkan. Dengan sigap, ia menjalankan mobilnya sesuai rute yang disarankan oleh GPS. Obrolan di dalam mobil tidak sepenuhnya berlangsung dua arah karena Verena selalu menjawab dengan singkat, seperti memang sengaja memutus pemb
"Kenapa kamu selalu memaksa?""Karena kamu selalu kabur, Verena.""Itu berarti aku tidak nyaman, Eric Gray. Apakah untuk hal yang seperti ini saja, aku harus mengatakannya keras-keras?"Pada akhirnya, Verena mengatakan itu karena tidak punya alasan lain untuk menolak.Eric terdiam menatapnya. Sorot mata biru itu entah kenapa mengingatkan Verena pada pagi ketika pria itu melamarnya mendadak.Verena jadi merasa seperti ia telah melukai seekor anak anjing lucu yang tidak bersalah."Maksudku--"Akan tetapi, sebelum Verena meralat atau melembutkan maksud ucapannya, sorot mata terluka itu kembali berubah tajam."Bukankah seharusnya kamu tahu, bahwa satu kali penolakan itu membuatku berusaha lebih keras untuk mendapatkan apa yang kumau?" Eric berkata. "Masa aku harus mengatakan ini keras-keras, Nona Miller?"Verena mendengus. "Ya sudah, usaha saja besok. Hari ini cukup, biarkan aku sendiri.""Oh?" Eric tertawa kecil, lalu mengangkat tangannya. Seperti akan menyerah."Lalu bagaimana dengan pe
"Mau ke mana kamu!? Kembali ke sini, Verena! Hadapi aku!"Verena berpikir bahwa itu adalah ocehan biasa atau sekadar gertakan kosong dari adik tirinya. Menganggap bahwa Kimberly akhirnya gila karena dibakar cemburu buta.Ia sama sekali tidak menyangka kalau setelahnya, Eric Gray akan bergerak cepat menarik tubuh Verena dan membawanya beberapa jengkal lebih jauh sebelum kemudian terdengar suara pecahan kaca beradu dengan lantai, tak jauh darinya."Astaga, Kimberly!""Eric! Kamu baik-baik saja!?"Teriakan dari dua wanita paruh baya di sana terdengar hampir bersamaaan.Sementara itu, pandangan Verena terjatuh pada pecahan kaca tak jauh darinya. Ada beberapa yang kemudian terlempar dan menggores sisi kakinya yang tidak tertutup sepatu.Jika saja Eric tidak menolongnya, lemparan gelas itu pasti mengenai kepala Verena.Ah, iya, Eric--"Perempuan gila," bisik Eric, yang bisa didengar Verena dengan jelas.Nyaris saja ia berpikir kalau sebutan itu tertuju padanya. Apalagi karena kedua tangan E
"Apakah itu mengubah kenyataan bahwa wanita itu adalah putri Tuan Aster Miller?"Semuanya terdiam dengan ucapan Eric Gray."Eric." Beatrice Gray menghela napas. Hatinya merasa dongkol karena ini jauh dari rencananya. Ia tidak ingin keponakan tampannya yang menjanjikan ini harus terjebak dengan putri tiri sahabatnya yang tidak ia sukai. "Jangan mengada-ada. Kita di sini--""Untuk mempererat hubungan dua keluarga, bukan, Bibi? Aku paham." Eric mengangguk. itu kemudian menoleh pada Verena."Duduklah. Ini ada kaitannya denganmu," ucap Eric setelahnya. Menyadarkan Verena.Wanita itu baru saja mencatat dalam kepalanya kalau kegilaan Eric Gray sudah naik satu tingkat."Aku ada urusan lain." Kali ini, ucapan Verena tidak terdengar formal seperti tadi. "Silakan lanjutkan makan malamnya. Aku permisi.""Kamu yakin?" Eric kembali berkata. "Apa pun keputusan yang kuambil, kamu setuju?"Verena tertawa kecil. "Eric," balasnya. "Buka matamu. Di sini, aku sependapat dengan semua orang kecuali kamu."
"Makan malamlah denganku sebelum kamu pulang."Kalimat dari sang ayah itu lebih terdengar seperti titah bagi Verena, alih-alih ajakan atau ungkapan keinginan.Meski begitu, Verena tidak ragu untuk menolak."Saya lebih nyaman makan di rumah.""Ini rumahmu juga."Verena diam sejenak, mengatur kata-kata yang ingin langsung keluar dari bibirnya agar terdengar lebih sopan.Tapi gagal.Pada akhirnya, wanita itu tetap berkata, "Saya tidak merasa demikian."Untungnya, Aster Miller tidak lagi melarang ataupun meminta aneh-aneh pada Verena selain makan malam. Pria itu hanya menyampaikan bahwa kondisi Ashton sudah membaik, jika Verena belum tahu. Dan pria itu sudah bisa kembali bekerja minggu depan.Setelah itu, sang ayah melanjutkan jika mereka harus makan bertiga saat Ashton sudah kembali bertugas. Kali ini, Aster dengan jelas menggunakan alasan pekerjaan.Sepertinya keinginan Aster Miller untuk membuat Verena makan dengannya sangat kuat.Jika saja Verena tahu, mungkin Verena akan menyanggupin
"Balas pesanku." Setelah terdiam beberapa saat, Verena lebih memilih untuk bereaksi biasa."Selamat malam, Tuan Gray. Saya tidak menyangka akan bertemu Anda di sini," ucap Verena sembari tersenyum sopan.Ia sama sekali tidak menyinggung perihal pesan teks ataupun rumah sakit ataupun malan malam bersama tempo hari.Sementara itu, Eric menatapnya dalam diam. Manik birunya bergerak memindai wajah Verena dengan saksama.Masih ada plester luka kecil di sudut pelipisnya. Namun, selain itu, wanita keras kepala di hadapannya tampak baik-baik saja."Aku sendiri terkejut kamu ada di sini," balas Eric kemudian. Perhatiannya tertuju lurus pada Verena tanpa menggubris keberadaan bibi dan keluarga tiri Verena. "Tapi, ini merupakan kejutan yang menyenangkan."Verena menanggapinya dengan sopan sebelum undur diri."Mohon maaf, Tuan Miller sudah menunggu. Permisi."Wanita itu melirik pada pandangan penuh permusuhan dari Olivia dan Kimberly, tapi tidak terlalu memusingkan ataupun membalasnya. Verena ha