Di saat kekhawatiran Cecilia mencapai puncak, Valency pun menjawab dengan senyuman tipis, “Aku dikejutkan oleh Dekan yang mengabarkan kalau beasiswa tingkat lanjutan yang kuajukan disetujui. Akhirnya, aku pun harus kembali ke kampus untuk mengurus berkas-berkasnya.”
Mendengar itu, Cecilia memaki dalam hati, ‘Sial, kukira apa … ternyata beasiswa bodoh saja!’ Namun, di depan Valency, Cecilia memaksa untuk bersikap senang. “W-wah, selamat ya, Lency!”
Tampak senyuman Cecilia agak canggung karena sebelumnya memang sempat terkejut.
Sudut bibir Valency terangkat semakin tinggi. “Kamu kenapa ketakutan begitu? Seperti habis tertangkap basah selingkuh saja.”
Ucapan Valency membuat sekujur tubuh Cecilia menggigil, jantungnya berdebar kencang. Gadis itu pun tertawa palsu kepada Valency.
“Apa sih Lency? Bercandamu ada-ada aja,” balas Cecilia. Dia dengan cepat mengalihkan topik. “Syukur deh kamu dapat beasiswa itu. Tapi sayang ya, kamu jadi gak rayain hari jadian sama sekali kemarin?”
“Ya begitulah. Sepertinya Felix juga sibuk, dia bahkan belum menghubungiku sejak kemarin,” jawab Valency dengan wajah sedih.
Cecilia menepuk-nepuk bahu Valency. “Tenanglah, mungkin dia sibuk mengurus sesuatu.” Dalam hatinya, gadis itu malah tertawa mengejek. “Ya, Felix kemarin memang sibuk berada di antara pangkal pahaku.”
Dengan puas, Cecilia menertawakan kebodohan dan kenaifan Valency dalam hatinya.
Dari pertama kali melihat Valency, Cecilia sudah tahu betapa mudahnya gadis berpenampilan lugu itu diperalat. Menyendiri dan tak punya teman, juga tidak ada rumah yang dikunjungi sewaktu libur panjang. Kentara sekali Valency adalah seorang yatim-piatu dengan latar belakang rendahan yang kurang perhatian.
Orang seperti ini … kalaupun pintar dan bertalenta, akan lebih baik digunakan sebagai alat mendongkrak reputasi! Itulah alasan Cecilia mengenalkannya kepada Felix agar mereka bisa puas menggunakan Valency seperti sekarang!
Selagi memuji kepintaran dirinya karena bisa merencanakan hal seperti itu, ponsel Cecilia mendadak bergetar. Melihat siapa yang mengirimkan pesan, Cecilia pun tersenyum lebar.
“Kalau begitu aku pergi dulu ya. Aku ada janji belajar bersama dengan temanku.” Cecilia melambaikan buku catatan Valency. “Buku ini kupinjam dulu!”
Tanpa menunggu jawaban, Cecilia langsung melenggang keluar dari kamar. Valency melambaikan tangannya sebagai tanda perpisahan, tak lupa juga menyertakan senyum manis.
Begitu Cecilia pergi sepenuhnya, senyum palsu Valency seketika luntur terganti dengan wajah datar dan tatapan dingin. Dia keluar kamar dan melangkah ke jendela lorong asrama yang langsung menyajikan pemandangan parkiran.
Beberapa menit menunggu, Valency bisa melihat Cecilia berlari keluar asrama dan masuk ke dalam sebuah mobil yang sudah menunggu. Samar-samar dari kaca depan yang tembus pandang, tampak Cecilia memeluk Felix yang sejak tadi menunggunya. Bahkan dengan tak tahu malu mereka sempat saling bertukar kecupan mesra, tak memperdulikan orang-orang lewat yang bisa melihat.
Mata Valency menyapu pemandangan di sekitar keduanya, menyadari tidak ada orang lain yang terganggu dengan kemesraan keduanya, bahkan dia melihat salah satu teman kelasnya menyapa Felix dan Cecilia dengan ramah dari jendela yang terbuka.
Kini, Valency sadar bahwa semua orang sudah tahu tentang hubungan dua orang di bawah sana. Hanya dialah yang berperan sebagai manusia bodoh selama ini!
Seraya menghela napas panjang, Valency pun berbalik kembali ke kamar. Pancaran matanya menggambarkan aura gelap yang sangat kenal, siap menebas semua orang yang memperalat dan merendahkannya.
‘Tenanglah, Valency. Pembalasanmu akan segera dimulai.’
**
Usai membereskan barang-barangnya dan memastikan tak ada yang tertinggal, Valency keluar dari asramanya. Tidak lupa dia mengurus berkas keluar asrama dan mengembalikan kunci kamarnya pada kepala asrama.
Setelah memanggil taksi dan masuk ke dalamnya, Valency pun berkata, “Ke alamat ini ya, Pak.” Dia menunjukkan alamat rumah Jayden kepada sopir.
“Siap, Nona.”
Baru saja menyandarkan punggung di kursi mobil, sebuah pesan diterima oleh Valency.
[Masih lama?]
Itu dari Jayden!
[Dalam perjalanan.]
Valency membalas pesan pria itu.
[Oke.]
[Hati-hati.]
Dua kata yang dikirimkan pria itu membuat Valency agak terkejut.
‘Hati-hati’.
Dua kata perhatian sederhana yang tidak pernah sebelumnya didapatkan Valency dari pria mana pun, termasuk Felix.
Pandangan Valency pun melembut dan dia mulai mengetik.
[Ya, terima kasih.]
Ah, itu terlihat aneh. Hapus.
[Kamu juga.]
Itu juga aneh! Hapus!
Merasa tidak ada kalimat yang cocok untuk membalas Jayden, Valency pun menutup ponselnya sembari menggigit bibir dan memilih tidak membalas.
Jarak antara asrama menuju alamat yang dikirimkan Jayden memakan waktu sekitar empat puluh menit. Saat tiba di depan gerbang perumahan itu, taksi Valency dihentikan.
“Ingin ke mana?” Seorang security bertanya.
Valency pun menurunkan jendela dan menunjukkan sebuah alamat. “Ke sini, Pak.”
Melihat alamat itu, sang security terkejut, lalu dia menatap Valency dengan wajah bertanya-tanya. “Nona, bisa nyatakan tujuan Anda ke alamat ini?”
Kening Valency berkerut mendengar pertanyaan itu. Namun, menganggap itu adalah prosedur keamanan perumahan tersebut, dia pun menjawab, “Itu rumah suami saya, Tuan Jayden Spencer.” Khawatir sang security tidak percaya, Valency menunjukkan kartu akses rumah Jayden yang ada di tangannya. “Ini buktinya.”
Melihat kartu akses yang ditunjukkan Valency, security tersebut langsung menegapkan tubuhnya dan berkata, “S-saya mengerti. Silakan lewat, Nona.”
Valency pun tersenyum dan berterima kasih. Taksi yang ditumpanginya pun kembali berjalan.
Tanpa Valency ketahui sang security masih saja kebingungan. ‘Tuan Muda Keluarga Spencer yang dingin itu baru saja menikah?! Ini berita besar!’
Melewati gerbang, Valency agak kaget mendapati rentetan rumah mewah di sepanjang penglihatannya. Sekali lihat, gadis itu tahu jika orang-orang yang tinggal di perumahan ini adalah orang-orang dari kalangan elite. Tidak heran keamanannya begitu ketat.
“Sudah sampai, Nona,” ucap sopir taksi kala mencapai alamat yang dituju Valency. Dalam hati sang sopir taksi, dia terkagum gadis berpakaian sederhana itu ternyata adalah nyonya dari rumah besar di depan mata.
Bersamaan dengan Valency yang turun dari taksi, pintu pagar di hadapannya juga terbuka dan memperlihatkan Jayden yang menunggu di depan teras. Pria itu langsung menghampiri Valency sementara sopir taksi mengeluarkan koper gadis tersebut dari bagasi.
“Hanya ini barangmu?” tanya Jayden memastikan, melihat Valency yang hanya membawa sebuah koper kecil saja.
Valency tersenyum kecil diikuti anggukan kecil. “Iya. Aku tidak punya banyak barang,” jawabnya. Dalam hati, gadis itu menambahkan, ‘Lebih tepatnya, tidak punya banyak uang untuk membeli barang.”
Jangankan untuk membeli barang baru, selama ini untuk makan saja Valency harus bekerja paruh waktu selain melakukan magang.
Jayden terdiam, pria itu tahu apa yang ada di pikiran Valency. Namun, dia tidak akan mengatakan apa pun agar gadis itu tidak merasa tersinggung.
“Berapa, Pak?” tanya Valency pada sopir taksi yang membawanya.
“Aku saja,” ucap Jayden memotong Valency yang hendak membayar. Dia segera membuka dompetnya dan mengeluarkan uang ratusan ribu, memberikannya pada sopir taksi.
Menerima uang sebanyak itu, sang sopir taksi terbelalak. “T-Tuan, ini terlalu banyak.”
“Ambil saja lebihnya. Itu hadiah karena sudah mengantar istri saya dengan selamat,” balas Jayden seraya meraih koper Valency. “Ayo masuk,” ajaknya.
Valency yang agak tercengang dengan ucapan Jayden tidak sempat bereaksi saat pria itu meraih kopernya. Saat sadar, dia buru-buru mengejar Jayden.
“A-aku bisa bawa sendiri.” Gadis tersebut hendak merampas kopernya dari tangan Jayden, tetapi dengan cepat pria itu menjauhkannya dari jangkauan Valency.
“Kamu istriku. Sebagai suami, sudah tugasku membantumu dalam hal seperti ini.”
Kedua pipi Valency seketika memerah, hatinya menghangat mendengar ucapan Jayden. Perhatian asing yang tak pernah dia dapatkan bahkan dari Felix yang selama ini berpacaran dengannya membuat gadis itu merasa agak canggung.
Pandangan Valency menatap lurus pada punggung Jayden yang telah berjalan masuk mendahuluinya dengan mengangkat koper di tangan kanannya.
Selagi Valency menatapnya, Jayden yang telah sampai di teras rumahnya pun berbalik saat tak mendapati keberadaan Valency di sebelahnya. Menemukan istri barunya itu terbengong di luar, Jayden menautkan alis.
“Kenapa diam saja?” panggil pria itu membuat Valency tersentak. “Kemari.”
Titah itu membuat Valency berlari kecil menghampiri Jayden. Hal tersebut entah kenapa membuat gadis tersebut tampak seperti kelinci yang sedang menyusul induknya.
Tanpa sadar Jayden tersenyum, hanya untuk sekilas, sebelum akhirnya ekspresi pria itu kembali datar dan dia meraih tangan Valency untuk menggenggamnya.
Mulanya Valency terkejut, tetapi dia kemudian mendengar Jayden berkata, “Jangan tertinggal lagi.”
Alhasil, Valency hanya bisa menganggukkan kepala dengan wajah merona sembari berjalan bersama Jayden di sisinya.
Aduh duh duh ... Tuan Jayden ... jangan sweet sweet dong. Kulipet juga nih bumi :") Terima kasih sudah baca sampai akhir! Semoga suka dengan karya ini! Kalau kalian suka, jangan lupa untuk berikan like, vote, dan comment yaa! Biar author tahu tanggapan kalian terhadap karya ini, terima kasih!
Sejak Valency memasuki rumah Jayden, dia tak bisa berhenti berdecak kagum pada segala hal yang dilihatnya. Sepanjang mata Valency memandang hanya ada kemewahan yang elegan, tidak terlalu mencolok dan norak menurut Valency. Dari melihat isi rumahnya saja Valency bisa tahu bahwa Jayden adalah penikmat seni. Apalagi melihat foto-foto yang terpajang di dinding memiliki bingkai khusus yang belum pernah Valency lihat. Sepanjang sisi bingkainya dihiasi batu permata yang indah. Jayden yang menyadari tatapan berbinar Valency dan ketertarikannya pada bingkai-bingkai di rumahnya membuat Jayden tersenyum tanpa sadar. “Bingkai-bingkai itu semuanya dibuat khusus dan edisi terbatas dari Diamant Corp, biasanya diberikan ke pelanggan VIP sebagai hadiah,” ucap Jayden menjelaskan. “Bagaimana menurutmu? Bagus?” Valency menoleh, mengangguk penuh semangat. “Sangat bagus dan indah!” ucap Valency menggebu-gebu. “Kamu suka?” tanya Jayden lagi. Lagi-lagi Valency menjawabnya dengan anggukan penuh sem
Dengan sepasang manik hitam yang menghipnotis berada di hadapannya, Valency tak elak menelan ludah. Aroma maskulin tubuh Jayden yang mengurung dirinya membuat darah gadis itu berdesir. Jantung yang berdebar cepat membuat napas Valency agak sesak. “Lency? Kamu masih mendengarku ‘kan? Lency!” Kali ini suara Felix berhasil membuyarkan keterkejutan Valency, buru-buru dia menormalkan ekspresi wajahnya dan memalingkan pandangannya dari Jayden. “A-ah iya. Aku akan datang ke sana besok, tenang aja.” “Jangan besok! Bagaimana kalau hari ini sa—” Belum sempat Felix menyelesaikan ucapannya, Jayden sudah lebih dulu merampas ponsel itu dari tangan Valency dan mematikan panggilan mereka secara sepihak. Gerakan Jayden yang secepat kilat membuat Valency tak punya kesempatan untuk mengelak. Sementara Itu, di sisi lain, Felix yang mengira panggilannya dimatikan oleh Valency merasa harga dirinya tersentil. Tangannya memukul kesal setir mobil. “Sial! Kamu kira kamu siapa sudah berani mematikan
Selesai mandi, Valency turun ke lantai bawah dan masuk ke ruang makan. Dia melihat sosok Jayden yang menunggu sembari memerhatikan tablet kerjanya. “Maaf. Aku takut membuatmu menunggu lama.” Suara Valency membuat Jayden mengangkat pandangan dan menyingkirkan kerjaannya. “Duduklah.” Valency menatap bingung deretan kursi yang begitu banyak. Di mana dirinya harus duduk? “Duduklah di sebelahku,” ucap Jayden seakan bisa membaca pikiran gadis tersebut. Valency mengangguk, menarik kursi di sebelah kanan Jayden, lalu duduk di sana. Selagi menunggu para pelayan menghidangkan makanan, Valency diam-diam curi pandang ke kanan. Dari jarak sedekat ini, dia baru sadar bahwa ada yang beda dengan penampilan Jayden. Tanpa balutan kemeja dan jas formal seperti sebelumnya, Jayden terlihat lebih segar dan santai dengan kaos putih sederhana beserta celana jogger hitam. Rambut setengah kering pria itu entah kenapa membuat penampilan Jayden lebih muda dibandingkan biasanya. Kalau ada orang yang mel
“Mmh … ahh!” Suara decakan lidah yang bercampur desahan memenuhi ruangan. Punggung Valency menempel di dinding, sedangkan dadanya menempel dengan dada bidang Jayden. Tidak ada lagi jarak di antara mereka, bahkan bibir mereka tengah sibuk berpagutan panas dan mengecap rasa satu sama lain. “Jayden … Jayden hentikan ….” Permintaan itu terlontar dari bibir Valency ketika dirinya merasakan tangan pria itu menelusup masuk ke dalam bajunya, membuat lenguhan Valency terdengar semakin keras. “Perempuan murahan! Aku tidak mengira kamu serendah itu sampai bisa jual diri!” Suara tawa diikuti cacian membuat Valency membuka mata. Dia menoleh cepat dan melihat sosok Felix yang berdiri selagi menatapnya dengan wajah merendahkan. “Berkali-kali memintamu untuk melakukannya, kamu malah menolak. Sekarang, kamu malah melebarkan kedua kakimu untuk seorang asing dengan sukarela? Kenapa? Apa yang pria itu berikan untukmu? Uang? Harta? Atau mungkin … bantuan untuk balas dendam?” Seringai Felix dan t
“Felix ...!” ringis Valency kesakitan, memberontak kecil dan berusaha melepaskan cengkraman Felix pada pergelangan tangannya yang sangat erat. Tangan besar Felix berbanding terbalik dengan pergelangan tangan Valency yang kurus, membuat Valency kesusahan terlepas dari genggaman pria itu. Tenaga mereka tak sebanding. “Dari mana saja hah?! Jangan berani bermain-main denganku, Lency! Kamu tahu sendiri akibatnya karena telah membuatku marah,” ancam Felix, matanya menggelap menatap Valency penuh amarah. Genggamannya semakin mengerat seiring dengan emosinya yang meledak-ledak. “L-lepaskan tanganku, Lix.” Ringisan kesakitan Valency membuat Felix tersadar jika yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Sontak tangannya melepaskan cengkraman pada Valency, membuat Valency buru-buru menarik tangannya dan mengelus bekas kemerahan yang terlihat jelas melingkar. ‘Sial, jika tangannya terluka, dia tidak akan bisa aku manfaatkan mengerjakan desain lagi,’ batin Felix merutuki dirinya. Felix
‘Mungkinkah … mungkinkah Jayden telah mengenal dekat Felix dan mereka sebenarnya bekerja sama untuk menjebakku?!’ Sesaat berpikir, Valency berujung menggelengkan kepalanya. Seharusnya tidak demikian. Seorang Jayden Spencer mati-matian ingin menjebaknya sampai menjadikan status pernikahannya sebagai permainan? Kenapa? Atas dasar apa? Ada dendam apa di antara mereka? Hanya untuk membantu Felix? Seharusnya Jayden tidak sedermawan itu, bukan? Namun, satu ucapan sang ibunda di masa lalu membuat Valency waspada. ‘Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, Valey.’ Menepiskan semua itu dan berusaha tegar, Valency kembali berjalan menghampiri kedua pria tersebut. Sementara itu, Felix yang sedang sibuk mengobrol dengan Jayden tak sengaja menangkap sosok perempuan dengan pakaian yang cukup mencolok, sangat indah dan menarik perhatiannya di antara ratusan tamu lainnya. Tanpa sadar dia terpaku di tempat, tak menjawab pertanyaan yang dilayangkan Jayden. Matanya seakan dikunci melihat pada
Pertanyaan yang dilayangkan Valency dengan cukup lantang dan nada dipenuhi amarah berhasil mengundang perhatian dari sejumlah tamu. Sebagian besar dari mereka menghentikan kegiatan dan berlomba-lomba untuk melihat apa yang terjadi. Bisikan-bisikan cemoohan mulai terdengar dari para tamu. Ada yang menatap jijik pada Felix dan Cecilia, ada pula yang menatap kasihan pada Valency. “Bukankah itu putri tunggal dari keluarga Owen, Cecilia Owen? Apa dia berselingkuh dengan kekasih orang lain sampai membuat gadis itu terlihat sangat marah?” “Astaga, mereka memalukan sekali! Bagaimana bisa mereka menodai acara yang penting ini?” Celetukan-celetukan pedas penuh hinaan membuat Felix tak mampu lagi mengangkat wajah, dia hanya menunduk dengan wajah memerah malu sekaligus marah karena perbuatan Valency membuat mereka disudutkan. Tak jauh dari tempat mereka, ada sepasang mata yang tak mengalihkan pandangannya sejak tadi, menonton drama yang sedang berlangsung. Jayden duduk di kursinya denga
“Baiklah tamu undangan kami yang terhormat, sebentar lagi kami akan menampilkan karya-karya jenius dan luar biasa milik para peserta kami. Saksikanlah dan berikan penilaian kalian!” Suara pembawa acara membuat perasaan marah dan dongkol Felix tergantikan dengan perasaan panik. Apalagi karena peserta pertama telah dipanggil naik untuk mempresentasikan karya mereka. “Bagaimana ini ... sebentar lagi giliran kita dan di depan sana ada Lency yang menonton,” gumam Cecilia panik. “Dia bisa saja kembali membuat keributan saat melihat karya kita dan membuat kita bertambah malu. Aku tidak ingin kembali dicemooh orang-orang, Lix!” Felix menggelengkan kepala. “Tidak, Valency bukan orang yang seperti itu.” Dia menambahkan, “Paling dia hanya akan menggerutu setelah lomba selesai.” Cecilia mendelik kesal. “Oh wow. Sepertinya kamu sangat mengenal kekasihmu itu, ya? Apa jaminannya dia tidak akan membuat kita malu lagi di hadapan tamu penting lainnya? Reputasi keluargaku akan benar-benar hancur ka
"... Verena, kamu baik-baik saja?"Pertanyaan itu meluncur dari bibir Eric ketika Verena tanpa sadar menggenggam ujung jas pria itu dan meremasnya kuat-kuat. Wajah wanita itu kini agak pucat dan napasnya menjadi lebih berat."Kelelahan?" tanya Eric lagi. Bukan apa-apa. Bisa jadi memang wanitanya ini sedang kelelahan, bukan? Dengan segala kesibukan sebagai pengganti sang ayah, Verena sampai pada batasnya juga. Namun, Verena menggeleng. Ini jelas bukab kelelahan. Ia tidak selemah itu.Sejak dulu, Verena sudah terbiasa bekerja dan lembur. Mengurusi klien dan bersosialisasi juga sudah sering ia lakukan karena pekerjaannya. Jadi ia tidak akan tumbang semudah ini.Selain itu, kondisinya ini terlalu tiba-tiba.Tidak mungkin Verena yang normal dan sehat bisa menjadi seperti ini begitu saja?"Kita menyingkir--""Aku ke toilet dulu," ucap Verena, menepis lengan Eric sekarang. Di sini terlalu banyak orang. Pikirannya terasa kacau dan tidak nyaman. Mungkin sedikit udara segar bisa membersihkan
"Maaf, aku harus keluar lagi. Ada yang harus aku pastikan.""Mau ke mana?"Eric bertanya. Tidak seperti dugaan Verena, Eric tidak melepaskannya begitu saja. Padahal Verena pikir, pria itu akan mengiakan saja keputusan Verena seperti tadi."Ke luar. Sebentar. Kan sudah aku bilang.""Jawab dengan lebih spesifik, Verena." Eric berucap.Langsung saja, Verena menghela napas."Aku perlu memastikan beberapa tamu. Oke?""Kalau kamu memerlukan daftar tamu, bisa kuberikan.""Ya, tapi aku juga perlu menemui orang ini.""Siapa? Kutemani.""Tidak perlu. Ini acaramu. Kamu harus tetap di sini.""Tanpa tunanganku? Jangan bercanda."Verena berdecak. Merasa kesal.Karena tidak ingin kehilangan jejak seperti tadi, wanita itu nekat melangkah pergi----tapi ia justru berakhir terpenjara dalam tangan kekar Eric."Eric--""Kamu tahu," ucap Eric diikuti helaan napas. "Mengejarmu memerlukan kesabaran ekstra."Verena langsung merengut. Bukan karena ucapan Eric, melainkan karena posisi mereka. Si Presdir arogan
"Aku tidak mau kamu mati konyol, Verena. Tidak bisakah kamu memahami hal itu?"Ucapan yang meluncur dari bibir Keith itu tidak terlalu mengejutkan Verena. Namun, nada bicara dan ekspresi yang ditunjukkan oleh adik tirinya itu sukses membuat Verena terdiam.Ada yang asing dari tatap manik mata abu-abu itu.Sepasang warna abu-abu yang familiar itu--Apalagi bagaimana Keith membuang muka setelahnya, lalu mengusap tengkuk dengan kikuk sementara ujung telinganya memerah.Keanehan itu ... tidak bisa Verena pandang sebagai sebuah tingkah adiknya yang lucu.Bukan karena sikap Keith tidak lucu. Melainkan karena tingkahnya tidak seperti seorang adik pada umumnya.Seakan-akan--Tidak. Pasti Verena salah. Ia selalu salah dalam hal ini, kan?"Keith ... kamu--"Keith mengangkat tangannya sembari menghela napas."Sudahlah." Keith menukas. "Toh Ayah sudah merestui pertunanganmu, bukan? Lupakan saja.""Yah. Itu mustahil." Verena berusaha terdengar tegas, tapi ucapannya tak lebih dari sebuah gumaman.M
"Nona, Anda baik-baik saja?"Sosok itu adalah seorang pria paruh baya, dengan rambut hitam yang sudah banyak beruban. Namun, penampilannya tampak rapi, tidak serampangan. Mengindikasikan bahwa kemungkinan beliau adalah salah satu tamu undangan Eric Gray.Meski begitu, penampilannya tampak terlalu sederhana untuk dikatakan kaum sosialita.Namun, bukan itu yang membuat Verena tertegun. Mata abu-abu itu ... tampak familier bagi Verena. Di mana--"Nona?""Ah." Verena berkedip. "Maaf, Tuan. Saya tidak melihat ke depan." Verena buru-buru berkata setelahnya."Saya tidak masalah. Tapi apakah Anda baik-baik saja?""Saya tidak apa-apa. Permisi."Verena sedikit menunduk dan langsung pergi dari sana, ke arah yang dituju oleh Kimberly tadi.Namun, sayangnya, interupsi singkat tadi sudah cukup untuk melenyapkan jejak adik tirinya.Tanpa sadar, Verena menghela napas. Menyayangkan fokusnya yang sempat teralihkan tadi."Verena."Panggilan itu membuat Verena menoleh dan mendapati sosok Keith tengah ber
"Coba cari topik pembicaraan lain. Soal aku, misalnya. Putra ibu dan...." Verena mencoba memasang raut wajah biasa saja saat Eric mendekatkan bibirnya ke telinga Verena dan berbisik, "Calon suamimu."Baru setelah itu Verena menghela napas pelan. Lalu, wanita itu menoleh sedikit ke belakang, ke arah Eric."Kamu mau kami membicarakanmu di depanmu langsung?" tanyanya.Eric mengangkat bahu. "Silakan.""Tidak masalah kalau aku menyinggung soal kelakuanmu dulu?" Verena kembali bertanya. "Semua yang kamu lakukan saat kamu mengejar-ngejar--""Sini. Aku pasangkan lagi kalungnya." Eric Gray menyela. Tangannya terulur dan mengambil kalung di tangan Verena, sebelum kemudian memasangkannya. "Mau bicara soal Vera Jones lagi?""Tidak." Kali ini, Mia yang menjawab. "Meskipun rasanya menyenangkan, mengobrol dengan Verena. Tapi lebih baik kamu dan Verena sekarang kembali ke aula. Sapa para tamu."Lalu, pada Verena yang menatapnya, Mia menambahkan, "Senang bertemu denganmu, Verena. Lain kali, kita men
"Apakah kamu punya koneksi khusus pada Nona Jones, Verena?" Pertanyaan Mia itu membuat Verena tersenyum.Sama seperti semua sosialita di pesta amal keluarga Miller beberapa waktu yang lalu, tidak semuanya mengetahui mengenai identitas Verena sebagai Vera Jones.Mungkin memang ada pembicaraan dari mulut ke mulut setelah pesta, tapi informasi tersebut tidak mungkin sampai ke semua orang. Apalagi ini soal pencapaian Verena, si anak haram. Orang akan lebih senang bergosip soal dia yang tiba-tiba mendapatkan rezeki nomplok dan warisan dari sang ayah karena cara kotor.Bukan dengan pertimbangan bahwa Verena punya kemampuan.Di samping itu, tampaknya memang Mia tidak terlihat seperti wanita yang hobi bergosip. Karenanya, sebelum Eric sempat menyelesaikan kalimat tadi, Verena sudah bertanya, "Bagaimana menurut Anda soal desain-desain Vera Jones, Nyonya Gray?"Verena tahu sedikit banyak soal Mia Gray, ibunda Eric, dari informasi yang diselipkan oleh Ashton sebelum ia sepakat untuk datang ke
Verena dengan segera membetulkan posisinya dan berdiri untuk menyapa orang tua Eric Gray tersebut.Dalam hati, ia merasa seolah diselamatkan oleh kehadiran Mia dan Beatrice, terlepas dari posisinya yang agak memalukan dan bagaimana Beatrice tampak ingin sekali langsung menghakiminya detik itu juga.Akan tetapi, Verena langsung mengalihkan fokusnya pada Mia. Sepasang mata ibu Eric tersebut kini menatapnya dengan penuh perhatian."Ibu," Eric menyapa dengan nada yang masih tenang, seakan pertemuan itu adalah hal biasa. "Perkenalkan, ini Verena."Sikap pria itu seolah mereka tidak berada dalam posisi yang patut dipertanyakan sebelumnya. "Ya. Itulah wanita yang dipilih oleh putramu," ucap Beatrice pada Mia, iparnya. Kemudian, wanita paruh baya itu mendengus. "Sudah bagus aku kenalkan pada putri bungsu keluarga Miller untuk dijodohkan. Dia malah memilih wanita ini."Beatrice mengalihkan pandangannya pada Verena dan melihat wanita itu dari atas sampai bawah, sebelum kemudian melirik Eric ya
"Ada apa? Katakan."Akan tetapi, alih-alih menjawab pertanyaan Eric Gray, respons pertama Verena selain menahan napas adalah memundurkan badannya. Sekalipun sudah tidak ada ruang yang cukup di balik punggungnya.Setelah itu, baru Verena menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Meskipun, tampaknya sia-sia. Entah kenapa otak Verena terasa macet karena posisi mereka saat ini.Apakah ini berarti Verena sedang terintimidasi? Wanita itu berpikir.Karena makin dekat Eric berada, semakin sulit baginya untuk berpikir jernih.Apalagi ketika Eric kembali memangkas jarak di antara mereka."Hm?" Pria itu tersenyum miring, menikmati situasi saat ini.Sementara itu, pandangan Verena terpaku pada wajah pria itu yang kini hanya terpisah beberapa inci darinya. Bau parfum Eric yang khas semakin menambah kerumunan dalam pikirannya tanpa bisa dicegah. Diam-diam, Verena merutuk dalam hati."Mundur," ucap wanita itu pada akhirnya. Ia enggan mengakui bahwa posisi ini mengusiknya. "Sofa di be
"Aku hanya sedikit mengingatkan saja, Sayang. Semua yang dilakukan, akan ada dampaknya."Hening sejenak. Verena dalam diam mengamati ekspresi kedua saudara tirinya. Wajah Keith tetap datar senantiasa. Pria itu tidak tampak tersinggung atau marah pada sindiran Eric. Berbeda dengan Kimberly yang saat ini tengah menatapnya.Iya. Menatap Verena."Saya setuju dengan Anda, Tuan Gray. Memang semua perbuatan itu ada dampaknya. Setiap akibat, pasti ada sebabnya," ucap Kimberly. Gadis itu mengalihkan pandangan pada Eric dan tersenyum manis. "Ah ya. Selamat ulang tahun, Tuan Eric Gray. Semoga Anda menikmati malam yang indah ini."Senyum Kimberly menjadi lebih lebar setelah mengucapkan kalimat terakhir tersebut.Sejujurnya, Eric tengah menahan diri agar tidak berekspresi terkejut atau heran dengan reaksi Kimberly tersebut. Ini adalah pertama kalinya Kimberly menunjukkan sisinya yang berbeda.Sebelumnya, gadis yang merupakan putri bungsu Aster Miller tersebut selalu menampilkan sikap malu-malu d