Jayden menganggukkan kepala mendengar jawaban Valency. Dia mengambil sebuah map coklat dan meletakkannya di hadapan gadis itu.
“Apa ini?” tanya Valency kepada Jayden.
“Kontrak pernikahan, tanda tangani,” titah pria itu.
Valency mengambil dokumen yang diberikan Jayden dan membaca isi dari kontrak yang tertera. Sulit untuk dipercaya, semua persyaratan tertuang dengan sangat detail di dalam sana, seolah Jayden telah menyiapkan semuanya dari jauh hari!
Menepiskan keterkejutan itu, Valency tetap menandatangani kontrak tersebut dan memberikannya pada Jayden. Pria itu melakukan hal yang sama dan memberikan salinannya kepada Valency.
“Ayo,” ucap Jayden seraya melangkah meninggalkan ruang kantornya.
Valency bergegas mengejar Jayden. “Ke mana?” tanyanya dengan sedikit berlari.
Di dalam lift bersama dengan Jayden dan seorang pria yang Valency duga adalah asisten pribadi pria tersebut, Valency mendengar presdir Diamant Corp itu menjawab, “Kantor catatan sipil. Kita menikah hari ini.”
Valency sangat terkejut, tapi Jayden tidak terlihat akan menerima penolakan. Alhasil, dia pun mengikuti pria tersebut pergi ke kantor catatan sipil dalam diam.
Hanya dengan menandatangani surat-surat dan berfoto bersama, kini Valency dan Jayden pun telah resmi menjadi sepasang suami-istri di mata hukum negara. Semua berlalu begitu cepat, seperti mimpi.
“Karena kita sudah menikah, tinggallah bersamaku.” Jayden berkata kepada Valency seraya memberikan akta nikahnya kepada sang asisten pribadi. “Aku akan menjamin seluruh kebutuhanmu selama kamu menjadi istriku.” Pandangan pria itu mendarat pada gadis tersebut. “Mengenai pendidikanmu, aku juga bisa menanggungnya."
Valency merasa permintaan Jayden masuk akal. Karena sudah menikah, maka harus tinggal bersama. Oleh karena itu, dia menyetujuinya. Terlebih bila mengingat kembali ke asrama berarti harus tinggal dan bertemu dengan Cecilia setiap hari.
“Oke,” jawab Valency singkat. “Tinggal bersama bukanlah masalah, tetapi perihal pendidikan, saya adalah murid beasiswa, jadi Tuan Spencer tidak perlu khawatir.”
“Jay.”
Valency mengerjap bingung mendengar Jayden menyebut namanya sendiri. “Apa?”
“Kamu istriku dan aku suamimu. Suami-istri macam apa yang berbicara dengan begitu sopan?” Jayden menekankan, “Panggil aku Jay.”
Wajah Valency bersemu merah. Dengan kepala sedikit tertunduk, dia berkata sedikit tergagap, “J-Jay ….”
“Itu lebih baik.” Jayden menyunggingkan sebuah senyuman tipis, membuat Valency terpana. “Aku harus kembali ke kantor, sekarang kamu ke mana?”
Valency pun menjawab, “Aku harus mengurus beberapa hal di asrama. Selesai itu, baru aku bisa ke tempatmu.”
Mendengar hal ini, Jayden pun menganggukkan kepala. “Aku akan kirimkan alamat rumahku nanti.” Pria itu menegaskan kembali, “Ingat, sekarang kamu adalah Nyonya Spencer. Jika perlu bantuan, langsung katakan padaku.”
Seusai Jayden mengucapkan hal itu, pria itu pun berpisah jalan dengan Valency.
Di dalam taksi, Valency memandang ke luar jendela. ‘Aku … menikah begitu saja?’ Dia masih sulit untuk percaya. Semua terasa seperti mimpi, berlalu begitu cepat.
Tidak perlu waktu lama sebelum Valency mencapai asrama. Namun, baru saja membuka pintu, Valency dikejutkan oleh teriakan nyaring seseorang.
“Valency! HP-mu itu sebenarnya buat apa sih?! Aku telepon terus dari tadi gak diangkat-angkat, bahkan pesanku juga nggak kamu balas! Sibuk ngapain aja sih kamu?!”
Pancaran mata Valency berubah dingin. ‘Ah … Cecilia ….’
Dengan santai, Valency masuk ke dalam ruangan, mengabaikan amarah Cecilia.
“Lency, aku lagi ngomong sama kamu!” teriak Cecilia, semakin kesal karena tidak diacuhkan Valency. “Aku capek tau cari kamu kemana-mana, ngerepotin banget! Kamu tahu ‘kan aku paling nggak suka panggilanku nggak diangkat lewat dari lima detik! Teman macam apa sih kamu?!”
Sembari meletakkan tasnya di atas meja belajar, Valency melirik Cecilia yang terus mengoceh dan memojokkannya. Sungguh, bagaimana bisa selama ini Valency tidak sadar bahwa Cecilia sama sekali tak memperlakukannya sebagai teman? Dia lebih seperti anjing peliharaan yang harus datang ketika dipanggil dan pergi ketika diusir!
“Baterai HP-ku habis,” jawab Valency singkat seraya menggoyang-goyangkan ponselnya yang mati di hadapan Cecilia. “Ada apa mencariku?”
Kening Cecilia mengernyit, merasa ada yang berbeda dengan sikap Valency hari ini. Biasanya Valency akan langsung meminta maaf padanya jika dia marah-marah seperti tadi, tetapi sekarang gadis itu malah menjawabnya dengan singkat dan seolah tak peduli.
“Kenapa wajahmu seperti itu?” tanya Valency dengan kening berkerut. “Kamu sakit? Perlu obat?”
Valency sadar dirinya harus tetap bersabar dan bersikap biasa. Tidak baik kalau Cecilia menyadari ada yang salah dengannya.
Mendengar perhatian Valency, segera Cecilia menepis prasangkanya. “Nggak, aku nggak sakit.” Dia pun menatap Valency dengan kesal dan berkata, “Di mana buku catatanmu? Aku ada tugas yang harus dikumpulkan besok, jadi perlu referensi sedikit.”
Alis Valency meninggi. Referensi katanya? Jelas-jelas mau mencontek lebih jauh penjelasan desainnya untuk dipresentasikan pada lomba besok, masih berkilah perlu referensi ….
Namun, Valency hanya tersenyum selagi mengeluarkan sebuah catatan dari dalam tasnya. “Ini.”
Mendapatkan catatan itu, mata Cecilia langsung berbinar dan dia memeluk Valency dengan erat. “Lency memang yang terbaik! Aku sangat menyayangimu!” serunya dengan nada manis. “Ya sudah, aku pinjam dulu ya! Nanti malam aku akan traktir kamu di restoran seafood kesukaanmu itu, ajak Felix juga biar tambah ramai!” ucap Cecilia penuh semangat.
Valency tersenyum tipis. Restoran seafood kesukaan Valency? Valency saja alergi terhadap sebagian besar makanan seafood! Sejak kapan dirinya punya restoran seafood favorit?
Kalau Valency masih sama seperti dulu, dia mungkin akan merasa tidak enak kepada Cecilia dan tetap memaksakan diri untuk ikut dengan dugaan temannya itu salah mengingat hal kesukaannya. Dia akan lebih memilih memakan obat alergi sebelum dan sesudah makan daripada melukai hati Cecilia yang di matanya sudah berusaha berbuat baik padanya.
Namun, Valency yang bodoh itu sudah mati, dan Valency yang sekarang … jauh berbeda.
“Aku tidak bisa ikut. Malam nanti ada tugas yang harus dikerjakan,” tolak Valency.
Cecilia menunjukkan mimik seolah dia kecewa dengan penolakan Valency. Akan tetapi, dalam hati dia bersyukur karena itu berarti dirinya tak perlu buang waktu untuk gadis itu.
“Ah, sayang sekali. Padahal Felix juga sempat bilang dia rindu makan di sana.”
‘Lihat, ‘kan? Mereka yang sudah ada janji duluan di restoran itu,’ ejek Valency dalam hati. “Kalian pergi saja, tidak apa-apa.”
“Oke! Aku akan suruh Felix bungkus satu porsi untukmu nanti!” ujar Cecilia. “Oh iya, bukankah kemarin hari jadimu dengan Felix? Bagaimana? Dia memberikan kejutan untukmu? Atau kado apa yang dia berikan padamu?”
Valency mendengus. Cecilia jelas tahu apa yang terjadi, tapi gadis itu masih berpura-pura bertanya. Entah apa tujuan gadis itu adalah untuk membuat Valency sedih atau agar merasa lebih tinggi karena berhasil menahan Felix di tempat tidur?
Detik berikutnya, Valency menghadap Cecilia dan menatapnya serius. “Sebenarnya, aku kemarin mendatangi apartemen Felix.”
DEG!
Cecilia mematung. ‘Apa?’
Pancaran mata Valency berubah dingin ketika melihat kekagetan di mata Cecilia. “Coba tebak kejutan apa yang kudapatkan?”
Cecilia meneguk ludah, merasa pancaran mata Valency sangat mengintimidasi.
“Ke-kejutan? Kejutan apa?” tanya Cecilia. ‘Apa jangan-jangan Lency melihatku bersama Felix kemarin?!’
Waw waw waw! Langsung dibongkar kah kebejatan Cecilia dan Felix?! Terima kasih sudah baca sampai akhir! Semoga suka dengan karya ini! Kalau kalian suka, jangan lupa untuk berikan like, vote, dan comment yaa! Biar author tahu tanggapan kalian terhadap karya ini, terima kasih!
Di saat kekhawatiran Cecilia mencapai puncak, Valency pun menjawab dengan senyuman tipis, “Aku dikejutkan oleh Dekan yang mengabarkan kalau beasiswa tingkat lanjutan yang kuajukan disetujui. Akhirnya, aku pun harus kembali ke kampus untuk mengurus berkas-berkasnya.” Mendengar itu, Cecilia memaki dalam hati, ‘Sial, kukira apa … ternyata beasiswa bodoh saja!’ Namun, di depan Valency, Cecilia memaksa untuk bersikap senang. “W-wah, selamat ya, Lency!” Tampak senyuman Cecilia agak canggung karena sebelumnya memang sempat terkejut. Sudut bibir Valency terangkat semakin tinggi. “Kamu kenapa ketakutan begitu? Seperti habis tertangkap basah selingkuh saja.” Ucapan Valency membuat sekujur tubuh Cecilia menggigil, jantungnya berdebar kencang. Gadis itu pun tertawa palsu kepada Valency. “Apa sih Lency? Bercandamu ada-ada aja,” balas Cecilia. Dia dengan cepat mengalihkan topik. “Syukur deh kamu dapat beasiswa itu. Tapi sayang ya, kamu jadi gak rayain hari jadian sama sekali kemarin?” “Ya beg
Sejak Valency memasuki rumah Jayden, dia tak bisa berhenti berdecak kagum pada segala hal yang dilihatnya. Sepanjang mata Valency memandang hanya ada kemewahan yang elegan, tidak terlalu mencolok dan norak menurut Valency. Dari melihat isi rumahnya saja Valency bisa tahu bahwa Jayden adalah penikmat seni. Apalagi melihat foto-foto yang terpajang di dinding memiliki bingkai khusus yang belum pernah Valency lihat. Sepanjang sisi bingkainya dihiasi batu permata yang indah. Jayden yang menyadari tatapan berbinar Valency dan ketertarikannya pada bingkai-bingkai di rumahnya membuat Jayden tersenyum tanpa sadar. “Bingkai-bingkai itu semuanya dibuat khusus dan edisi terbatas dari Diamant Corp, biasanya diberikan ke pelanggan VIP sebagai hadiah,” ucap Jayden menjelaskan. “Bagaimana menurutmu? Bagus?” Valency menoleh, mengangguk penuh semangat. “Sangat bagus dan indah!” ucap Valency menggebu-gebu. “Kamu suka?” tanya Jayden lagi. Lagi-lagi Valency menjawabnya dengan anggukan penuh sem
Dengan sepasang manik hitam yang menghipnotis berada di hadapannya, Valency tak elak menelan ludah. Aroma maskulin tubuh Jayden yang mengurung dirinya membuat darah gadis itu berdesir. Jantung yang berdebar cepat membuat napas Valency agak sesak. “Lency? Kamu masih mendengarku ‘kan? Lency!” Kali ini suara Felix berhasil membuyarkan keterkejutan Valency, buru-buru dia menormalkan ekspresi wajahnya dan memalingkan pandangannya dari Jayden. “A-ah iya. Aku akan datang ke sana besok, tenang aja.” “Jangan besok! Bagaimana kalau hari ini sa—” Belum sempat Felix menyelesaikan ucapannya, Jayden sudah lebih dulu merampas ponsel itu dari tangan Valency dan mematikan panggilan mereka secara sepihak. Gerakan Jayden yang secepat kilat membuat Valency tak punya kesempatan untuk mengelak. Sementara Itu, di sisi lain, Felix yang mengira panggilannya dimatikan oleh Valency merasa harga dirinya tersentil. Tangannya memukul kesal setir mobil. “Sial! Kamu kira kamu siapa sudah berani mematikan
Selesai mandi, Valency turun ke lantai bawah dan masuk ke ruang makan. Dia melihat sosok Jayden yang menunggu sembari memerhatikan tablet kerjanya. “Maaf. Aku takut membuatmu menunggu lama.” Suara Valency membuat Jayden mengangkat pandangan dan menyingkirkan kerjaannya. “Duduklah.” Valency menatap bingung deretan kursi yang begitu banyak. Di mana dirinya harus duduk? “Duduklah di sebelahku,” ucap Jayden seakan bisa membaca pikiran gadis tersebut. Valency mengangguk, menarik kursi di sebelah kanan Jayden, lalu duduk di sana. Selagi menunggu para pelayan menghidangkan makanan, Valency diam-diam curi pandang ke kanan. Dari jarak sedekat ini, dia baru sadar bahwa ada yang beda dengan penampilan Jayden. Tanpa balutan kemeja dan jas formal seperti sebelumnya, Jayden terlihat lebih segar dan santai dengan kaos putih sederhana beserta celana jogger hitam. Rambut setengah kering pria itu entah kenapa membuat penampilan Jayden lebih muda dibandingkan biasanya. Kalau ada orang yang mel
“Mmh … ahh!” Suara decakan lidah yang bercampur desahan memenuhi ruangan. Punggung Valency menempel di dinding, sedangkan dadanya menempel dengan dada bidang Jayden. Tidak ada lagi jarak di antara mereka, bahkan bibir mereka tengah sibuk berpagutan panas dan mengecap rasa satu sama lain. “Jayden … Jayden hentikan ….” Permintaan itu terlontar dari bibir Valency ketika dirinya merasakan tangan pria itu menelusup masuk ke dalam bajunya, membuat lenguhan Valency terdengar semakin keras. “Perempuan murahan! Aku tidak mengira kamu serendah itu sampai bisa jual diri!” Suara tawa diikuti cacian membuat Valency membuka mata. Dia menoleh cepat dan melihat sosok Felix yang berdiri selagi menatapnya dengan wajah merendahkan. “Berkali-kali memintamu untuk melakukannya, kamu malah menolak. Sekarang, kamu malah melebarkan kedua kakimu untuk seorang asing dengan sukarela? Kenapa? Apa yang pria itu berikan untukmu? Uang? Harta? Atau mungkin … bantuan untuk balas dendam?” Seringai Felix dan t
“Felix ...!” ringis Valency kesakitan, memberontak kecil dan berusaha melepaskan cengkraman Felix pada pergelangan tangannya yang sangat erat. Tangan besar Felix berbanding terbalik dengan pergelangan tangan Valency yang kurus, membuat Valency kesusahan terlepas dari genggaman pria itu. Tenaga mereka tak sebanding. “Dari mana saja hah?! Jangan berani bermain-main denganku, Lency! Kamu tahu sendiri akibatnya karena telah membuatku marah,” ancam Felix, matanya menggelap menatap Valency penuh amarah. Genggamannya semakin mengerat seiring dengan emosinya yang meledak-ledak. “L-lepaskan tanganku, Lix.” Ringisan kesakitan Valency membuat Felix tersadar jika yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Sontak tangannya melepaskan cengkraman pada Valency, membuat Valency buru-buru menarik tangannya dan mengelus bekas kemerahan yang terlihat jelas melingkar. ‘Sial, jika tangannya terluka, dia tidak akan bisa aku manfaatkan mengerjakan desain lagi,’ batin Felix merutuki dirinya. Felix
‘Mungkinkah … mungkinkah Jayden telah mengenal dekat Felix dan mereka sebenarnya bekerja sama untuk menjebakku?!’ Sesaat berpikir, Valency berujung menggelengkan kepalanya. Seharusnya tidak demikian. Seorang Jayden Spencer mati-matian ingin menjebaknya sampai menjadikan status pernikahannya sebagai permainan? Kenapa? Atas dasar apa? Ada dendam apa di antara mereka? Hanya untuk membantu Felix? Seharusnya Jayden tidak sedermawan itu, bukan? Namun, satu ucapan sang ibunda di masa lalu membuat Valency waspada. ‘Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, Valey.’ Menepiskan semua itu dan berusaha tegar, Valency kembali berjalan menghampiri kedua pria tersebut. Sementara itu, Felix yang sedang sibuk mengobrol dengan Jayden tak sengaja menangkap sosok perempuan dengan pakaian yang cukup mencolok, sangat indah dan menarik perhatiannya di antara ratusan tamu lainnya. Tanpa sadar dia terpaku di tempat, tak menjawab pertanyaan yang dilayangkan Jayden. Matanya seakan dikunci melihat pada
Pertanyaan yang dilayangkan Valency dengan cukup lantang dan nada dipenuhi amarah berhasil mengundang perhatian dari sejumlah tamu. Sebagian besar dari mereka menghentikan kegiatan dan berlomba-lomba untuk melihat apa yang terjadi. Bisikan-bisikan cemoohan mulai terdengar dari para tamu. Ada yang menatap jijik pada Felix dan Cecilia, ada pula yang menatap kasihan pada Valency. “Bukankah itu putri tunggal dari keluarga Owen, Cecilia Owen? Apa dia berselingkuh dengan kekasih orang lain sampai membuat gadis itu terlihat sangat marah?” “Astaga, mereka memalukan sekali! Bagaimana bisa mereka menodai acara yang penting ini?” Celetukan-celetukan pedas penuh hinaan membuat Felix tak mampu lagi mengangkat wajah, dia hanya menunduk dengan wajah memerah malu sekaligus marah karena perbuatan Valency membuat mereka disudutkan. Tak jauh dari tempat mereka, ada sepasang mata yang tak mengalihkan pandangannya sejak tadi, menonton drama yang sedang berlangsung. Jayden duduk di kursinya denga
"Kecelakaan itu. Jangan bilang ... kalau ada hubungannya dengan adikmu?"Poin pertama. Lalu Verena menggali lagi ingatannya yang tidak terlalu jauh, tentang ucapan Keith sebelum ini.Adik tirinya itu kesal karena Verena tidak bisa dihubungi. Namun, kalimatnya menunjukkan bahwa pertengkaran dengan Kimberly karena provokasi Verena adalah sebuah kelanjutan dari kecelakaan beberapa waktu yang lalu.Ya. Verena tidak salah.Keith yang tidak menjawab pun sudah merupakan jawaban yang jelas untuk Verena."Begitu." Verena mengangguk. Sampai pada sebuah kesimpulan.Pantas saja. Mencari tersangka kasus tabrak lari seharusnya tidak sulit, apalagi untuk keluarga berkuasa seperti Miller. Namun, itu jika memang pelakunya orang biasa yang kedudukannya di bawah keluarga Miller.Apabila kedudukan pelaku setara dengan keluarga Miller atau lebih tinggi, hasilnya hanya akan ada dua; pihak Verena akan kesulitan mencari tersangka atau ia bisa menemukannya, tapi tidak bisa melakukan apa pun.Apakah itu berart
Ketika Verena sampai di rumah yang ia huni hanya dengan seorang asisten rumah tangga, rupanya Keith tengah menunggu di ruang tamu."Dari mana saja?" Pria itu bertanya. Keith kemudian berdiri dan menghampiri Verena.Ekspresi pria itu tampak kesal dan terusik, yang Verena duga karena Keith sudah menunggu lama di sana."Rumah Ashton. Kenapa?" tanya Verena kembali. "Kamu kapan datang?"Keith berdecak kesal. Bibirnya cemberut dengan sangat kentara, sama sekali tidak menyembunyikan perasaannya. "Ponselmu mati?" Adik tiri Verena itu kembali bertanya.Mendengar itu, Verena mengeluarkan ponselnya yang memang sudah tidak bisa dinyalakan."Ah, iya. Kamu menghubungiku?" Verena melangkah ke tengah ruang tamu. "Ada apa? Soal pekerjaan?"Tidak ada jawaban dari Keith sampai-sampai Verena harus kembali fokus pada sang adik itu."Kalau mau merajuk, jangan sekarang, Keith," ucap Verena.Selain dengan Ashton, hubungan Verena dan Keith bisa dibilang tidak buruk. Apalagi memang kadang mereka bertemu dan s
"Verena. Jawab aku. Apakah kamu tertarik pada pria itu?"Verena tertegun. Selain karena pertanyaan Ashton, ekspresi kakak sepupunya yang tampak serius itu membuatnya bertanya-tanya.Kenapa pria itu bertanya demikian?"Jangan mengada-ada, Ash." Verena akhirnya merespons, tanpa menjawab pertanyaan Ashton."Siapa yang mengada-ada?" sahut Ashton. "Aku hanya bertanya.""Kenapa bertanya seperti itu? Aku dan dia tidak ada apa-apa.""Bukan itu yang kutanyakan, Ve. Tapi apakah kamu tertarik pada Eric Gray itu."Verena cemberut. Kepalanya mendadak sakit sebelah.Ia baru saja lolos dari Eric yang suka mendebat dan membuatnya sakit kepala. Verena tidak mau interaksinya dengan Ashton juga menyusahkan dirinya seperti ini.Tapi merajuk hanya akan membuatnya seperti anak kecil. Sekalipun hubungan Verena dan Ashton sekarang sudah membaik, ia tidak mau dianggap remeh oleh kakak sepupunya itu.Apalagi dimanjakan.Karenanya, Verena akhirnya berkata, "Dibandingkan tertarik, aku lebih ke menjaga hubungan b
"Alamat ini...." Eric mengernyit membaca alamat itu. Selama beberapa saat ia terdiam, sebelum kemudian bertanya, "Rumahmu?" Pria itu mengenali alamat itu sebagai kawasan perumahan elit tidak jauh dari rumahnya. "Apakah itu penting?" Verena justru balik bertanya. Eric berdecak pelan. "Kenapa kamu sulit sekali langsung menjawab pertanyaanku, hm?" katanya. "Apakah kamu suka sekali berdebat denganku?" Verena memutar bola matanya. "Itu kediaman asistenku." Wanita itu akhirnya menjawab. "Oh. Pria itu?" "Hm." "Ada urusan apa?" "Lebih baik kamu mulai menjalankan mobilnya sebelum kutendang keluar, Eric Gray." Nada suara Verena sudah mulai terdengar kesal, tidak lagi datar. Dan itu membuat Eric terkekeh. Memancing reaksi wanita ini selalu menyenangkan. Dengan sigap, ia menjalankan mobilnya sesuai rute yang disarankan oleh GPS. Obrolan di dalam mobil tidak sepenuhnya berlangsung dua arah karena Verena selalu menjawab dengan singkat, seperti memang sengaja memutus pemb
"Kenapa kamu selalu memaksa?""Karena kamu selalu kabur, Verena.""Itu berarti aku tidak nyaman, Eric Gray. Apakah untuk hal yang seperti ini saja, aku harus mengatakannya keras-keras?"Pada akhirnya, Verena mengatakan itu karena tidak punya alasan lain untuk menolak.Eric terdiam menatapnya. Sorot mata biru itu entah kenapa mengingatkan Verena pada pagi ketika pria itu melamarnya mendadak.Verena jadi merasa seperti ia telah melukai seekor anak anjing lucu yang tidak bersalah."Maksudku--"Akan tetapi, sebelum Verena meralat atau melembutkan maksud ucapannya, sorot mata terluka itu kembali berubah tajam."Bukankah seharusnya kamu tahu, bahwa satu kali penolakan itu membuatku berusaha lebih keras untuk mendapatkan apa yang kumau?" Eric berkata. "Masa aku harus mengatakan ini keras-keras, Nona Miller?"Verena mendengus. "Ya sudah, usaha saja besok. Hari ini cukup, biarkan aku sendiri.""Oh?" Eric tertawa kecil, lalu mengangkat tangannya. Seperti akan menyerah."Lalu bagaimana dengan pe
"Mau ke mana kamu!? Kembali ke sini, Verena! Hadapi aku!"Verena berpikir bahwa itu adalah ocehan biasa atau sekadar gertakan kosong dari adik tirinya. Menganggap bahwa Kimberly akhirnya gila karena dibakar cemburu buta.Ia sama sekali tidak menyangka kalau setelahnya, Eric Gray akan bergerak cepat menarik tubuh Verena dan membawanya beberapa jengkal lebih jauh sebelum kemudian terdengar suara pecahan kaca beradu dengan lantai, tak jauh darinya."Astaga, Kimberly!""Eric! Kamu baik-baik saja!?"Teriakan dari dua wanita paruh baya di sana terdengar hampir bersamaaan.Sementara itu, pandangan Verena terjatuh pada pecahan kaca tak jauh darinya. Ada beberapa yang kemudian terlempar dan menggores sisi kakinya yang tidak tertutup sepatu.Jika saja Eric tidak menolongnya, lemparan gelas itu pasti mengenai kepala Verena.Ah, iya, Eric--"Perempuan gila," bisik Eric, yang bisa didengar Verena dengan jelas.Nyaris saja ia berpikir kalau sebutan itu tertuju padanya. Apalagi karena kedua tangan E
"Apakah itu mengubah kenyataan bahwa wanita itu adalah putri Tuan Aster Miller?"Semuanya terdiam dengan ucapan Eric Gray."Eric." Beatrice Gray menghela napas. Hatinya merasa dongkol karena ini jauh dari rencananya. Ia tidak ingin keponakan tampannya yang menjanjikan ini harus terjebak dengan putri tiri sahabatnya yang tidak ia sukai. "Jangan mengada-ada. Kita di sini--""Untuk mempererat hubungan dua keluarga, bukan, Bibi? Aku paham." Eric mengangguk. itu kemudian menoleh pada Verena."Duduklah. Ini ada kaitannya denganmu," ucap Eric setelahnya. Menyadarkan Verena.Wanita itu baru saja mencatat dalam kepalanya kalau kegilaan Eric Gray sudah naik satu tingkat."Aku ada urusan lain." Kali ini, ucapan Verena tidak terdengar formal seperti tadi. "Silakan lanjutkan makan malamnya. Aku permisi.""Kamu yakin?" Eric kembali berkata. "Apa pun keputusan yang kuambil, kamu setuju?"Verena tertawa kecil. "Eric," balasnya. "Buka matamu. Di sini, aku sependapat dengan semua orang kecuali kamu."
"Makan malamlah denganku sebelum kamu pulang."Kalimat dari sang ayah itu lebih terdengar seperti titah bagi Verena, alih-alih ajakan atau ungkapan keinginan.Meski begitu, Verena tidak ragu untuk menolak."Saya lebih nyaman makan di rumah.""Ini rumahmu juga."Verena diam sejenak, mengatur kata-kata yang ingin langsung keluar dari bibirnya agar terdengar lebih sopan.Tapi gagal.Pada akhirnya, wanita itu tetap berkata, "Saya tidak merasa demikian."Untungnya, Aster Miller tidak lagi melarang ataupun meminta aneh-aneh pada Verena selain makan malam. Pria itu hanya menyampaikan bahwa kondisi Ashton sudah membaik, jika Verena belum tahu. Dan pria itu sudah bisa kembali bekerja minggu depan.Setelah itu, sang ayah melanjutkan jika mereka harus makan bertiga saat Ashton sudah kembali bertugas. Kali ini, Aster dengan jelas menggunakan alasan pekerjaan.Sepertinya keinginan Aster Miller untuk membuat Verena makan dengannya sangat kuat.Jika saja Verena tahu, mungkin Verena akan menyanggupin
"Balas pesanku." Setelah terdiam beberapa saat, Verena lebih memilih untuk bereaksi biasa."Selamat malam, Tuan Gray. Saya tidak menyangka akan bertemu Anda di sini," ucap Verena sembari tersenyum sopan.Ia sama sekali tidak menyinggung perihal pesan teks ataupun rumah sakit ataupun malan malam bersama tempo hari.Sementara itu, Eric menatapnya dalam diam. Manik birunya bergerak memindai wajah Verena dengan saksama.Masih ada plester luka kecil di sudut pelipisnya. Namun, selain itu, wanita keras kepala di hadapannya tampak baik-baik saja."Aku sendiri terkejut kamu ada di sini," balas Eric kemudian. Perhatiannya tertuju lurus pada Verena tanpa menggubris keberadaan bibi dan keluarga tiri Verena. "Tapi, ini merupakan kejutan yang menyenangkan."Verena menanggapinya dengan sopan sebelum undur diri."Mohon maaf, Tuan Miller sudah menunggu. Permisi."Wanita itu melirik pada pandangan penuh permusuhan dari Olivia dan Kimberly, tapi tidak terlalu memusingkan ataupun membalasnya. Verena ha