Carla pulang dengan wajah masam tak berbentuk. Sejak pulang dari rumah kepala RT tadi, pikirannya melayang entah kemana. Banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada suaminya tapi entah mengapa semuanya menguap begitu saja. Rayya berkali-kali menoleh ke belakang, memastikan temannya baik-baik saja. Carla jadi sosok yang berbeda kali ini. Rayya memakluminya. Carla mungkin merasa terkhianati dengan sikap dan tingkah laku Abi yang selama ini dibanggakannya. Helaan napas kasar Carla cukup membuktikan seberapa besar masalah yang tengah dihadapinya. “Carla, kamu istirahat saja nanti.Kalau butuh sesuatu, kamu bisa hubungi aku atau Bimo. Jangan sungkan ya. Aku selalu ada untuk kamu,” ujar Rayya sebelum membiarkan Carla turun dari mobilnya. Carla mengangguk dengan senyuman manis merekah di bibirnya. “Terima kasih.” “Adam di rumah kami saja untuk sementara. Ada Jihan dan Rayhan, kebetulan adik aku lagi main di rumah.” Bimo menawarkan bantuan juga pada Carla yang dibalas anggukan olehnya. C
Hari yang melelahkan. Carla duduk dengan santai di ruang tengah sambil memijit kakinya yang terasa pegal. Sejak tadi pagi dirinya belum sempat beristirahat sama sekali. Setelah dari acara seminar, melanjutkan pergi mengunjungi bazaar produk kementrian lalu kembali ke kantor dan akhirnya pulang.Wajah lelah Carla telah menjelaskan segalanya. Ia hanya ingin beristirahat memejamkan matanya dengan tenang tanpa ada yang menganggunya.Namun sepertinya itu hanya ada dalam angan-angan Carla. Baru saja ia hendak beranjak masuk ke dalam kamarnya, tiba-tiba saja ada yang datang membuyarkan rencananya.“Carla, kebetulan kamu sudah pulang,” teriak kegirangan Riandari seperti sedang menemukan harta berharga di depannya. Bahu Carla merosot. Seseorang yang tak diharapkannya datang menganggu rencananya beristirahat.“Ada apa, Bu?” jawab Carla malas. Mata bulatnya melirik seorang wanita yang tengah berdiri di belakang ibu mertuanya. Wanita cantik yang akan jadi istri baru Abi dalam satu bulan ke depan.
"Mas Abi, hari ini...." sebelum meneruskan kata-katanya Abi sang suami terlihat melotot ke arah Carla dan ia pun seketika diam. Sejak pagi, Carla selalu menghujani Abi dengan permintaan dan selalu mengingatkan Abi untuk cuti satu hari ini. Alasannya, Abi dan Risya calon istrinya harus melakukan foto prewedding. Sudah beberapa kali Abi tak setuju dan menolak dengan tegas. Tapi apa yang Carla lakukan? Ia tetap memaksa. "Bisa diam tidak? Aku sudah tahu." Abi belum beranjak dari layar laptopnya sejak pagi hari sedangkan pemotretan akan dilakukan satu jam lagi. Bahkan, Risya sudah lebih dulu datang ke studio sebelum Abi. "Pemotretan jam sepuluh, Mas. Risya sudah sampai. Ayolah, Mas." Carla menarik tangan Abbi. Dengan terpaksa Abi menuruti kemauan Carla. Ia segera berganti pakaian seadanya, lalu memanaskan kendaraan. Wajah Abi terlihat masam. Carla yang duduk di sebelahnya tak sedikitpun disahuti omongannya. Carla maklum, karena memang sejak awal Abi tak menginginkan pernikahan ini. Sa
Dua minggu sebelumnya Bimo menghubungi Carla tengah malam. Di saat semua orang terlelap, sahabat Abi yang sering menasehati suami Carla itu tiba-tiba saja meminta bantuannya. Hari telah menunjukkan pukul dua belas malam. Untung saja Carla belum tertidur. Panggilan Bimo pun dijawab dengan dahi mengernyit heran. 'Ada sesuatu yang penting kah?' "Ada apa, Bim?" tanya Carla begitu menjawab panggilan yang terhubung itu. "Syukurlah kamu belum tidur. Aku minta maaf ganggu kamu malam-malam. Tadi, selepas isya sepupu kamu datang ke rumah aku. Dia mau nuntut aku dan kafe milik Hadi atas tuduhan penipuan. Dia juga bawa-bawa nama kamu." Carla membelalakkan matanya. Ia baru dengar ada masalah antara Bimo dan sepupunya. Sudah lama ia juga tak bertemu dengannya. "Lalu, apa yang dia katakan? Aku sama sekali belum dapat informasi dari dia." Carla melangkah keluar kamar lalu menutup pintunya. Takut jika Abi mendengar suaranya lalu terbangun. Ia memilih duduk di dekat taman di belakang dapur samb
Risya dan Riandari rupanya tak ingin membuat satu hari bahagia dalam hidup Carla. Setelah sebelumnya berhasil membuat malu dan memaksanya untuk membantu mereka, kini keduanya kembali datang meminta bantuannya. Pagi hari saat Carla baru saja membuka pintu rumahnya, Riandari sudah duduk di teras bersama dengan Risya. Carla mengernyitkan dahinya heran. Pasalnya, keduanya berdandan sangat rapi seperti akan pergi ke suatu tempat. Seingatnya tadi, Abi masih tidur dan tak mengatakan apapun mengenai ibunya. "Ibu? Mau kemana?" tanya Carla sambil menyalami telapak tangan ibu mertuanya. Carla ikut duduk di sampingnya. "Bi, buatkan minuman. Ibu masuk ke dalam yuk." Carla dan kedua tamunya kembali berdiri lalu masuk ke dalam rumah. Ruang tamu masih gelap, Carla belum sempat membereskannya tadi. "Ada apa nih, pagi-pagi kesini?" Carla dengan murah hati tersenyum pada mereka. Namun hanya Risya yang membalasnya malu-malu sedangkan ibu mertuanya tetap dalam posisi diam tak merespon. "Ibu kesini m
Carla datang ke kantor pada siang hari. Setelah masalah di rumahnya sudah berhasil diatasi, ia memilih pergi untuk menenangkan dirinya di kantor. Adam sudah terabaikan dua minggu terakhir. Ia hanya tahu perkembangannya dari bibi dan juga Rayya yang sering membantunya menemani anaknya itu. Seharusnya, jika ibu mertuanya tak ikut campur dengan urusan rumah tangganya dengan Abi, mungkin saja saat ini ia akan hidup dengan tenang. "Selamat siang, mbak Carla." Hani masuk ke dalam ruangan Carla yang baru saja datang. Setumpuk berkas sudah ada di tangannya, siap untuk diberikan pada Carla. "Siang, Hani. Ada kabar baik hari ini?" tanya Carla disela kesibukannya menyusun jadwal hari ini. "Ini berkas yang harus mbak Carla tanda tangani. Hari ini, kita kedatangan talent dari agensi yang mbak datangi dua bulan lalu. Kita akan mulai seleksi untuk ikut training membahas produk yang akan kita luncurkan dua bulan lagi," jawab Hani panjang lebar yang dibalas dengan anggukan oleh Carla. "Cari yang
Adam tak mau bicara dengan ayahnya sejak kemarin. Abi sudah mencoba berbagai cara tapi anak itu semakin lama semakin menjauh. Tadi siang saat Abi pulang kerja, biasanya Adam akan datang menyambutnya dengan membawakan minuman tapi hari ini tidak ada sama sekali. Adam malah hanya diam di depan tv sambil mengunyah makanan ringan di tangannya. "Adam mau makan apa buat malam nanti?" Carla berteriak dari dapur. Hari ini, Carla sengaja berada di rumah seharian untuk menjaga Adam yang katanya kesepian. Adam beringsut dari sofa lalu berlari ke dapur menemui ibunya. Adam menunjuk seonggok daging yang sudah dipotong tipis-tipis dan diberi bumbu oleh Carla. "Mau teriyaki, boleh?" tanya Adam dengan senyuman manisnya. Carla mengangguk. "Boleh dong. Kalau sayurannya?" "Aku mau tumis brokoli pake bawang putih. Tapi kalau pakai saus tiram juga boleh." Adam sejak kecil sering membantu Carla di dapur. Terkadang, Carla mengajaknya membuat kue atau makanan ringan. Namun sejak perusahaan barunya berd
"Mama, bisa datang kan?" Adam berdiri depan pintu kamar Carla yang terbuka. Ibunya sedang merias wajah dan rambut. Adam berjalan menghampiri ibunya yang belum menyadari kedatangannya tadi. "Eh sayang. Mama belum selesai. Sebentar ya." "Mama cantik. Adam suka lihat mama pakai itu yang merah-merah di bibir," tunjuk Adam. "Oh, ini lipstik. Biar bibir mama enggak pucat." Adam tiba-tiba berjinjit lalu mengecup pipi ibunya. Ia tersenyum setelahnya. Carla tentu saja kaget melihat kejutan kecil dari Adam. "Aku sayang mama." Adam sudah tak mau tahu lagi tentang ayahnya. Baginya, Abi adalah ayah yang jahat. Itu semua karena cerita dari neneknya yang mengatakan bahwa ayahnya akan membuang ibunya jika sudah menikah dengan istri barunya. Adam menjadi lebih posesif pada Carla sejak saat itu. Semua yang dilakukan ayahnya selalu mendapat tanggapan sinis darinya. Abi tak bisa mengelak, ia memang pantas untuk diberi sindiran oleh anaknya. "Kamu sudah sarapan?" Adam menggelengkan kepalanya. "Bib
"Tadi mertuanya Carla kesini." Al menghentikan langkahnya lalu menoleh. "Tapi tante tidak bolehkan dia ketemu sama Carla." "Sepupunya Abisena juga ke kantor. Dia mengancam Al untuk melaporkan Vian ke polisi," ujar Al tenang. Hani menghela napas kasar. Sudah diduga olehnya, keluarga kurang belaian itu pasti datang menemui keluarga besarnya hanya untuk mengancam. Anehnya, mereka tak merasa bersalah dan tetap pada keinginan mereka untuk menghancurkan Carla. "Keluarga enggak jelas," umpat Hani. "Adam mana, tante?" Hani menunjuk ke kamar lantai dua tempat Adam berada. "Tadi dia ketemu sama neneknya?" "Enggak. Lagipula kalau dia tahu, enggak akan mungkin mau nemuin. Itu anak, pikirannya dewasa sekali. Dia benar-benar enggak mau ketemu sama nenek dan ibu tirinya," ujar Hani yang diangguki Al. "Memang. Itu yang diharapkan Carla." Al memang tak menyukai Abisena yang selalu bertindak seenaknya pada adik sepupunya tapi ia tak bisa memungkiri bahwa Adam adalah anak yang cerdas. Anak itu se
Dua hari setelah peristiwa itu, Abi dan Carla terlibat perang dingin yang membuat kedua keluarga besar saling panas memanasi. Diawali dengan kehadiran sepupu Abisena yang datang ke kantor untuk bertemu dengan Al selalu kakak sepupu Carla. Ia tak terima setelah mendengar tragedi pemukulan Abi yang dilakukan oleh Vian. Menurut mereka, seharusnya Vian diproses secara hukum karena telah memukul Abi tanpa sebab. Inginnya Al mengabaikan mereka, tapi saat mereka memaksa masuk ke dalam ruanganya mau tak mau ia harus menghadapinya. "Kenapa tidak dibawa ke kantor polisi dan rumah sakit? Kamu bisa dituduh berkomplot untuk mencelakakan sepupu saya kalau begitu," tuduh Galih, sepupu Abi yang tiba-tiba masuk ke ruangannya tanpa permisi. Galih tidak sendiri, ia datang bersama satu orang temannya yang bisa Al yakini bertugas sebagai eksekutor. Bisa saja habis ini dirinya akan dipukuli oleh mereka jika tak diladeni. "Kamu mau saya lapor polisi?" tanya Al meyakinkan kedua orang di hadapannya serius
"Kita berpisah."Dua kata yang keluar dari bibir Abi terus terngiang di telinga Carla. Wanita itu melihat kepergian Abi dengan mata sendu yang menyiratkan kepedihan. Apa yang terjadi di depan matanya, bukanlah seperti apa yang dipikirkannya.Tubuh Carla serasa kosong tanpa nyawa. Abi, suaminya yang selama ini dicintainya semudah itu memberikan kata pisah untuk hubungan mereka yang telah berjalan lebih dari tujuh tahun.Semua berawal dari kesalahpahaman antara dirinya dan Vian."Aku menyesal tadi. Aku seperti orang ketiga yang telah membuat hubungan kalian berdua renggang," ujar Vian.Vian hanya refleks memegang tangan Carla saat keluar dari mobil. Seharusnya ia menunggu hingga Kesya keluar dan membantunya. Tak pernah terpikir olehnya akan menjadi suatu masalah besar bagi rumah tangga Carla dan Abi.Sejak pengakuan Carla tempo hari yang memintanya untuk menunggu, Vian semakin menggebu-gebu untuk memiliki Carla. Seharusnya ia sadar jika saat itu Carla hanya sedang bimbang dengan kehidup
"Mas Abi, mau kemana?"Abi yang sedang merapikan kemeja dan jas menoleh. Risya tersenyum menatap suaminya yang terlihat tampan dengan setelan kas kantornya.Keduanya berdiri berhadapan dengan mata yang saling menatap satu sama lain.Cupp...Risya mencium bibir Abi yang mengatup rapat sebelum membalas sapaannya tadi."Mau ke kantor, kenapa?" Abi menyambut ciuman itu dan membalasnya dengan ciuman lembut lagi."Mas, kata Anna mbak Carla tuh akan pulang hari ini. Kamu enggak mau jenguk dia di rumah ibunya?" tanya Risya sambil memainkan dasi yang menjulur di atas kemeja suaminya. "Kamu enggak mau baikan sama mbak Carla? Kan kalian selama ini tuh kurang komunikasi."Abi melirik Risya sekilas. Mata jernih Risya membuatnya terhanyut. Kata-kata yang meluncur dari mulut istrinya bagaikan magnet dengan jutaan listrik di dalamnya."Anna tahu dari mana?" tanya Abi sambil mengerutkan dahinya.Sedikit kebingungan, Risya pun berpikir sejenak untuk mencari alasan. Ia pun tersenyum, kembali memainkan d
Setelah sempat mengalami koma selama dua hari, akhirnya Carla terbangun di hari ketiganya berada di ruangan ICU. Wajahnya sedikit tirus dan pucat tapi tak menghilangkan sama sekali rona cantiknya. Matanya menatap ke sekeliling ruangan putih yang telah berubah. Ia dipindahkan kemarin malam setelah sadar lebih dari lima jam.Di dalam ruangan hanya ada Al dan Kesya yang sedang duduk berdiskusi. Carla sempat menoleh ke arah jendela kamarnya. Ini sudah hampir malam tapi kedua orang itu tak hentinya bekerja. Ada sesuatu yang penting hingga mereka melupakan apa yang namanya istirahat?"Sepertinya ada yang sangat penting sekali?" tanya Carla memecahkan keheningan. Kedua orang yang sedang fokus dengan data di layar laptop langsung menoleh bersamaan ke arah Carla. "Ada masalah dengan kantor?""Ada laporan kebocoran dana. Katanya, ada penyalahgunaan rekening perusahaan. Kamu tenang saja, ini semua bisa diperbaiki. Kesya hanya memberi laporan sekalian perkembangan masalah pribadi kamu dan Abisena
“Bagaimana?” Riandari menaikturunkan alisnya, bertanya penasaran pada sang menantu yang sedang duduk santai di taman belakang rumah. Risya tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Abi mau kan maafin kamu?”“Ibu tenang saja. Dia mau kok memaafkan aku.”Riandari bernapas lega. Sejak kemarin malam, dirinya tak henti memutar isi kepala memikirkan bagaimana caranya agar Risya dan Abi kembali bersama. Pertengkaran yang dimulai karena kesalahan teman Risya itu hampir membuat keduanya bubar. Riandari tidak mau. Ia masih ingin memiliki menantu yang bisa dicekoki dengan pemikirannya. Winda dan Carla terlalu mandiri, jadinya sulit untuk diperdaya seperti Risya.“Syukurlah.”“Ibu yakin kalau mbak Carla akan diceraikan oleh mas Abi?” tanya Risya. Riandari mengangguk semangat. Dia tahu watak anaknya. Kalau sudah tak suka, dia pasti melepaskannya. Sama seperti waktu bersama Winda dulu.“Yakin. Carla sudah sulit dikendalikan. Apalagi dia berniat untuk mengusir kita sekeluarga. Beuh, berasa ratu kerajaan
Abi terduduk di pinggir jalan raya arah menuju ke rumahnya. Kepalanya menengadah ke langit memperhatikan bintang yang kelap-kelip indah di atas sana. Keheningan pun menemaninya. Bosan, ia mengeluarkan sebungkus rokok yang setengah jam lalu ia beli dari minimarket sebelum kembali. Tak lama kemudian, asap pun mengepul di udara. Hari ini kacau, itu yang ia rasakan. Sejak pagi, masalah terus silih berganti menyiksanya. Dari masalah Carla, keributan rumah, hingga Risya yang tak tahu malu bertingkah mesra dengan sahabatnya di depan mata. Seharusnya, hari ini ia bisa dengan tenang menimang anaknya. Namun kekacauan itu membuat akal sehatnya hilang entah kemana. Ting! Suara ponsel Abi berbunyi. Abi terlonjak kaget mendengarnya. Matanya mengintip dari balik tangannya yang mengusap wajah lelahnya. [Pulang! Ibu sudah tahu masalahnya. Risya mau minta maaf sama kamu.] Cih. Abi mendecih membaca pesan yang dikirimkan ibunya. Pasti permintaan maaf itu tidak tulus. "Nanti. Abi lagi di pinggir j
"Kalian, keluar dari rumah saya!" Suasana ruang tamu Risya terasa mencekam seketika. Wajah marah dan penuh emosi milik Abisena tak bisa dipandang sebelah mata. Pria yang biasanya ramah dan sering senyum itu tiba-tiba berubah menjadi sangar seperti singa mengamuk. Risya dan teman-temannya langsung terdiam. Gane mematikan siaran langsungnya. Ia menyimpan ponsel yang tadi dipakai ke dalam tasnya sementara yang lain sibuk membereskan barang-barang mereka. Wajah ketakutan teman-teman Risya terlihat jelas diantara barang-barang yang tersusun di ruang tamu. Mereka menunduk, Abi masih bisa melihatnya dengan jelas. Risya mengangkat wajahnya hendak melayangkan protes namun tak jadi karena mata Abi melotot tajam ke arahnya memintanya untuk diam. "Kamu, masuk kamar!" Abi memerintah Risya dengan bentakannya yang terdengar menggelegar. Habis sudah kesabaran seorang Abisena hari ini. Istrinya itu hanya terdiam. Ia beranjak pergi dari tempatnya, menuruti perintah sang suami yang tak bisa dibant
Carla kembali jatuh pingsan. Setelah pulang dari rumah Abi, tiba-tiba saja tubuhnya lemas tak sadarkan diri. Sepanjang perjalanan, bibik yang menjaganya di kursi belakang terus menerus menangis melihat nona mudanya pingsan. Vian yang duduk di depan ikut cemas dengan keadaan Carla. Berkali-kali dirinya menoleh ke belakang hanya untuk memastikan keadaan Carla baik-baik saja.“Bik, Carla pingsan?” bibik mengangguk. “Saya langsung ke rumah sakit. Bibik bisa telepon Al?” Vian menyerahkan ponselnya yang terbuka pada bibik.“Halo tuan Al, ini bibik.”[Kenapa, bik? Ada apa dengan Carla?]Al curiga dengan suara bibik yang terdengar gelisah. Ada juga suara Vian yang mengumpat sesekali.“Non Carla pingsan. Saya sama tuan Vian mau ke rumah sakit.” isakan bibik terdengar.[Pingsan? Kenapa bisa pingsan? Apa yang terjadi?]“Al, jangan banyak tanya. Langsung ke rumah sakit Medika. Nanti aku ceritakan di sana,” teriak Vian dari kejauhan.Al membelalakkan matanya. Segera ia tutup laptop dan mengakhiri