'Ya Tuhan, ngomong apa gue barusan? Ngapain juga gue minta tes DNA. Randu itu anak gue. Astaga, Randu, maafin Papa, Nak.' Rajendra berteriak di dalam hatinya sambil berdiri di koridor rumah sakit.Rajendra tidak tahu apa yang tadi menguasai pikirannya sehingga ia bisa mengatakan hal itu pada dokter. Mungkin lantaran tadi kepalanya begitu digerogoti oleh banyak pikiran sehingga ia bicara sembarangan.Bagaimana mungkin ia meragukan Randu sebagai anaknya di saat dia sedang sakit?Tanpa membuang waktu Rajendra segera mencari dokter tadi. Beruntung ia menemukannya."Dokter!"Pria bersnelli putih berambut cepak menghentikan langkahnya kemudian menoleh ke belakang."Maaf, saya mengganggu, Dok. Tes DNA-nya nggak usah. Dibatalkan saja, Dok. Tadi saya hanya terlalu panik.""Baik, Pak." Dokter menjawab dengan singkat lalu pergi.Rajendra menghela napasnya kemudian kembali ke tempat perawatan Randu. Utary masih di sana, menemani anak mereka. Begitu melihat Rajendra, Utary memasang tampang masam
Keluar dari ruangan dokter, Rajendra terus memikirkan penjelasan yang tadi didengarnya. Walaupun merasa lega lantaran kondisi Randu bisa diatasi namun hatinya tetap dihantui pertanyaan mengenai asal penyakit tersebut.Diliriknya Utary yang berjalan di sebelahnya dengan ekspresi kesal. Rajendra tidak tahu entah kenapa Utary tidak suka dengan keputusan untuk menjalani pemeriksaan. "Kenapa kamu menolak buat diperiksa?" Rajendra bertanya di sela-sela langkah mereka.Utary menghentikan langkahnya dan menatap Rajendra tidak suka. "Aku cuma nggak mau masalah ini jadi besar, Ndra. Apa nggak cukup kita tahu kalau Randu bisa sembuh?""Bukan itu masalahnya, Tar. Kalau memang penyakit ini penyakit genetik, kita harus tahu sumbernya supaya Randu nggak mengalami hal buruk ke depannya.""Kenapa sih kamu bikin rumit semuanya? Kamu cuma mau nyari alasan buat nyalahin aku kan?" Utary menyedekapkan tangannya."Aku nggak mau menyalahkan siapa pun. Aku cuma mau yang terbaik buat Randu," ujar Rajendra men
Kecurigaan yang terus mengganggu pikirannya mendorong lelaki itu untuk mengambil langkah sulit. Ia tahu hal ini akan merusak hubungan antara dirinya dan Utary. Tapi Rajendra tidak memiliki jalan lain. Jika Utary tidak dapat memberinya kebenaran, maka Rajendra akan menemukannya sendiri.Setelah memastikan Randu tertidur pulas dan Utary sedang berada di luar, Rajendra memiliki kesempatan untuk mengumpulkan sampel DNA. Rajendra mengusap bagian dalam pipi Randu untuk mengambil salivanya menggunakan kapas swab yang sebelumnya ia dapatkan dari laboratorium. "Maafin Papa, Sayang," gumamnya pelan.Rajendra memasukkan swab tersebut dengan hati-hati ke dalam wadah steril. Tak lupa ia juga mengambil beberapa helai rambut Randu sebagai sampel alternatif.Setelahnya ia mengatakan pada Utary akan ke apartemen untuk mengambil baju ganti.Rajendra menyetir menuju laboratorium swasta yang menerima tes DNA dengan cepat dan kerahasiaannya terjaga. Petugas laboratorium mengatakan hasilnya akan keluar se
Rajendra sampai di rumah sakit dengan pikiran kusut. Ia memarkir mobilnya sembarangan tanpa peduli apakah posisinya sudah benar atau tidak.Ia melangkah cepat menuju ruang tunggu operasi. Rasa marah, sedih, kecewa dan dikhianati berbaur dalam dadanya.Ketika melihat Rajendra muncul, Utary langsung berdiri. Wajah perempuan itu begitu kesal."Ke mana aja sih? Lama banget dari tadi. Randu sudah selesai operasinya!" ketus Utary dengan keras.Rajendra tidak memedulikan pertanyaan itu. Matanya menatap Utary dengan dingin. Mungkin ini adalah untuk pertama kalinya mata yang biasa penuh perhatian itu menyorot penuh kebencian."Kita perlu bicara, Tar," ucap Rajendra dengan nada rendah tapi tajam.Dahi Utary mengernyit. "Mau bicara apa? Randu butuh kita sekarang.""Justru karena Randu kita harus bicara sekarang." Rajendra menarik langkahnya mendekati Utary yang membuat perempuan itu mundur selangkah. "Lo pikir gue nggak tahu apa yang lo sembunyiin selama ini?""Maksud kamu apa sih, Ndra? Aku ngg
Sudah tiga hari pasca operasi Randu dirawat di rumah sakit. Hari ini anak itu sudah boleh dibawa pulang. Tapi Rajendra masih bingung. Ia tidak tahu akan membawa Randu ke mana. Sebenarnya Rajendra bisa saja meninggalkan Randu di rumah sakit, tapi pasti pihak rumah sakit akan mencarinya karena data-data Rajendra sebagai orang tua Randu tercantum di sana.Rajendra memandang Randu yang terbaring di ranjang rumah sakit. Anak itu begitu kecil dan rapuh. Kalau ingin mengikuti keegoisan hatinya Rajendra bisa saja membuangnya di jalan."Mau gue bawa ke mana anak ini?" Rajendra bergumam dalam kebingungan. Ia sudah mencoba mencari Utary dengan menghubungi teman-teman perempuan itu. Namun tidak satu pun yang mengetahui keberadaan Utary. Atau mungkin mereka berbohong? Entahlah."Pak Rajendra," suara pelan seorang perawat mengeluarkan Rajendra dari lamunannya.Rajendra menoleh."Apa sudah ada yang akan menjemput atau mengantar Bapak dan Randu pulang ke rumah?"Rajendra termangu dalam keterdiaman.
"Persetan dengan semuanya. Anak ini bukan anak gue. Gue nggak ada sangkut pautnya sama dia. Dia cuma bakal jadi beban buat gue. Masalah gue udah banyak, gue nggak mau nambah lagi." Itulah kesimpulan Rajendra setelah mempertimbangkan apakah akan meletakkan Randu ke panti asuhan.Randu membelokkan mobilnya ke apartemen. Ia akan mengambil perlengkapan Randu di sana seperti pakaian, selimut dan susu. "Shit!" makinya ketika sepatunya menginjak pecahan kaca besar yang hampir membuatnya tersandung.Sejak ngamuk waktu itu Rajendra membiarkan apartemennya porak poranda. Nggak ada gunanya juga dibersihkan.Ia menendang pecahan kaca di lantai dengan jengkel, yang membuat bunyi berderak, memecah keheningan apartemen. Tempat yang kacau balau tersebut lebih mirip dengan area perperangan ketimbang sebagai kediaman. Serpihan-serpihan kaca, potongan-potongan foto, dan barang yang berserakan di mana-mana menjadi reminder kemarahannya beberapa hari yang lalu.Rajendra membawa langkahnya menuju kamar u
Akhirnya malam itu Rajendra membawa Randu kembali bersamanya. Sepanjang malam ia hampir tidak bisa tidur memikirkan keputusan besar yang yang telah diputuskannya.Membiarkan Randu tetap bersamanya sama artinya dengan berkomitmen ia akan mengurus, menjaga dan merawat anak itu. Ia akan menjadi bapak dari anak itu.Keesokan harinya Rajendra terbangun dengan kepala berat, sebab ia hanya tidur beberapa jam saja. Randu sudah terbangun lebih dulu. Anak itu mengoceh sendirian sambil mencolek-colek tangan Rajendra."Hai, kamu mau bangunin Papa ya?"Randu terus mengoceh tanpa tahu kekalutan hati Rajendra."Papa harus kerja hari ini. Di rumah ini nggak ada siapa-siapa. Papa juga belum sempat nyari pengasuh buat kamu. Dan kamu nggak mungkin Papa tinggalin sendiri di rumah."Rajendra menghela napas panjang memikirkan segala keruwetan itu. Ia tidak mungkin membawa Randu ke kantor. Para pegawainya pasti heboh. Ia juga tidak yakin mendapatkan pengasuh secepat ia mendapatkan Asih dulu."Coba kalau ada
Pertanyaan ibu tirinya tentang sang istri seolah melempar pukulan tidak kasat mata pada Rajendra.Livia. Nama itu membuat dadanya sesak. Ia menunduk, menghindari tatapan Lola padanya. Sedangkan Erwin yang masih berdiri dengan tangan berkacak pinggang mendengkus keras."Liv ... Livia--" Rajendra membuka mulut tetapi kata-katanya terhenti begitu saja."Kenapa, Ndra? Livia baik-baik aja kan?" Lola bertanya lagi dengan penuh rasa ingin tahu."Livia nggak di rumah, Tante," jawab Rajendra pada akhirnya dengan suara seperti bisikan.Lola terlihat kaget. "Maksud kamu apa? Livia ke mana? Kenapa nggak ada di rumah?"Rajendra telan salivanya. Ia mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab. "Livia ... pergi, Tante. Waktu itu aku salah paham tentang dia. Dan akhirnya dia pergi dari rumah."Erwin yang mendengarkan keterangan Rajendra spontan menggebrak meja di hadapannya. "Apaan lu, Ndra? Cewek yang benar malah lu usir, yang nipu malah lu sayang-sayang. Otak lu ditaruh di mana, hah? Atau jangan-
Besok adalah hari keberangkatan Livia dan Rajendra ke Amerika. Keduanya sudah mempersiapkan segalanya. Persiapan tersebut tidak mudah terutama bagi Livia. Selain fisik ia harus menyiapkan mentalnya juga. Ia juga harus memastikan bahwa Gadis merasa nyaman dalam perjalanan tersebut.Sementara Rajendra mengambil alih semua proses administrasi. Mulai dari mengurus tiket pesawat, visa, hingga memastikan kalau Livia sudah terdaftar di pusat rehabilitasi rumah sakit di Amerika. Livia hanya fokuspada kebutuhan pribadinya dan Gadis. Seperti pakaian, obat-obatan, serta mainan yang bisa membuat Gadis merasa nyaman di tempat yang baru.Randu terheran-heran melihat tiga koper besar yang baru saja dikeluarkan Rajendra dari kamar. Anak itu mendekati Rajendra dan menatapnya penuh tanda tanya."Pa ... pa ... wu na?" (Papa mau ke mana?)Rajendra bersimpuh di lantai agar bisa sejajar dengan Randu. Ditatapnya anak itu dengan perasaan sedih."Papa mau pergi bawa Bunda berobat. Randu tinggal dulu di sini
Rajendra berdiri di balkon lantai dua rumahnya. Ia memandang kosong ke arah lampu-lampu kota yang berkerlipan. Ia tengah memikirkan pembicaraan terakhirnya bersama Livia. Sampai saat ini Rajendra masih menantikan jawaban Livia atas tawaran pengobatan itu. Livia berjanji akan menjawabnya malam ini. Rajendra sangat berharap Livia akan mengatakan iya.Di dalam kamarnya Livia duduk di pinggir tempat tidur sambil memandangi foto demi foto Gadis yang berada di dalam galeri ponselnya. Anak itu adalah segalanya baginya. Ia ingin memberikan yang terbaik untuk Gadis.Tawaran Rajendra untuk pergi ke Amerika demi pengobatan kakinya memang sangat menggiurkan, tapi Livia tidak ingin memberikan kesempatan pada Rajendra untuk mengendalikan hidupnya lagi.Pintu kamar diketuk. Livia tahu itu adalah Rajendra. Ia menyuruh lelaki itu masuk."Gimana, Liv? Kamu sudah ada keputusannya?" tuntut Rajendra begitu ia masuk.Livia mengangguk yang membuat senyum Rajendra mengembang. "Tapi saya punya syarat untuk
"Tante dengar katanya Rajendra mau mengajak kamu ke Amerika buat berobat. Itu benar, Liv?" tanya Lola satu minggu setelah penawaran Rajendra waktu itu.Saat itu Livia dan Lola sedang duduk santai di beranda. Gadis sedang bersantai di bouncernya sedangkan Randu asyik menendang bola dengan kakinya yang belum kokoh."Benar, Tante," jawab Livia mengiakan."Lalu apa lagi yang kamu pikirkan? Kapan kalian akan berangkat?"Livia terdiam. Sejujurnya keinginan untuk sembuh semakin besar. Dulu Cici bilang sebentar lagi Livia akan bisa berjalan tanpa tongkat, tapi nyatanya sampai saat ini ia masih butuh benda itu."Saya masih memikirkannya, Tante.""Ada yang membuat kamu ragu? Kenapa berpikirnya sampai selama itu? Gadis akan semakin besar. Tenaga kamu akan semakin banyak dibutuhkan," ucap Lola sambil melirik ke arah Gadis yang anteng di atas bouncernya. Livia ikut memandang ke arah yang sama. Yang dikatakan Lola tidak salah. Semakin bertambah usia Gadis maka ia akan membutuhkan perhatian dan ten
Saat mesin mobil sudah menyala Rajendra melirik ke arah Livia dan menemukan istrinya itu tengah melamun. Mungkin saja Livia sedang memikirkan tawarannya tadi. "Liv ...," panggil Rajendra yang berhasil mengeluarkan Livia dari lamunannya. Livia tampak tersentak. Khayalan indahnya buyar. "Aku serius soal pengobatan di Amerika. Peluang kesembuhan kaki kamu sangat besar kalau menjalani terapi intensif di sana." Rajendra meyakinkan sekali lagi. Livia menarik napas dalam-dalam seraya menyandarkan tubuhnya ke jok. Sepasang matanya memandang ke luar jendela. Sejujurnya Livia merasa bimbang. Ia sangat ingin kembali sehat dan berjalan dengan normal, tapi Livia tahu semua ini 'tidak gratis'. Ada pembalasan yang harus Livia lakukan, yaitu kembali ke pelukan Rajendra dan membina rumah tangga dengannya. Livia tidak siap. Sisa-sisa trauma itu masih ada. Ia ingat ada petuah yang mengatakan bahwa selingkuh ibarat penyakit yang susah sembuh. Sekali saja sudah selingkuh maka bukan tidak mungkin or
Setengah jam setelah kepergian Lola, Gema mengambil handphonenya. Ia tidak tahan lagi untuk tetap diam. Ia harus menghubungi anaknya sekarang. Gema tidak terima Langit dianggap sebagai orang ketiga.Gema mencari nomor Langit di daftar kontak lalu menekan tanda panggil. Ia harus menunggu beberapa detik sebelum akhirnya Langit menjawab telepon darinya."Halo, Ma. Tumben nelepon aku pagi-pagi. Kenapa, Ma?" suara Langit terdengar heran di seberang sana."Kamu di mana, Lang?" "Di kantor, Ma.""Sibuk nggak? Mama mau bicara sebentar.""Nggak, Ma, bicara aja. Mama butuh duit?""Nggak, bukan itu," bantah Gema cepat. "Tapi ini soal Livia."Jantung Langit berdetak cepat ketika nama Livia disebut. Ada apa dengan Livia? Apa yang terjadi? Dan kenapa ibunya tiba-tiba membicarakan Livia? Berbagai pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya."Tadi Tante Lola datang ke sini sama anak Livia. Dia meminta Mama menyampaikan ke kamu untuk menjauhi Livia."Di balik ponselnya Langit tertegun. Tidak mengerti k
Rajendra terkantuk-kantuk mengemudikan mobilnya. Beberapa kali ia menutup mulutnya yang menguap. Akibat menjaga Gadis semalaman ia jadi kurang tidur. Ditambah lagi pagi ini ia harus mengantar Livia ke rumah sakit untuk fisioterapi. Tadinya Livia ingin berangkat dengan taksi. Tapi Lola meminta agar Rajendra yang mengantar dan menemaninya."Nguap melulu dari tadi? Ngantuk banget? Kalau nggak sanggup nyetir biar saya turun dan naik taksi saja," sindir Livia pada Rajendra yang terkantuk-kantuk dan sibuk menutup mulutnya.Rajendra memandang sekilas pada Livia lalu kembali fokus pada jalanan di hadapannya. "Nggak usah khawatir, Liv. Aku masih bisa nyetir. Semalam aku cuma kurang tidur karena Gadis," jawabnya sambil tersenyum sedikit dengan wajah yang tampak lelah."Emangnya Gadis ngapain?" Livia bersikap pura-pura tidak tahu."Setelah dia pup kemarin aku kasih susu, terus dia nangis lagi dan aku buatin susu tambahan karena mengira dia masih lapar. Tapi ternyata dia nggak mau. Aku gendong d
Baru saja Rajendra hendak memejamkan matanya, rengekan Gadis menggagalkan niat itu. Rajendra bangkit dengan cepat dan melihat di atas tempat tidur Gadis sedang menangis. Di saat yang sama Livia juga terbangun."Biar aku yang urus Gadis, Liv. Kamu tidur aja." Rajendra mencegah Livia sebelum perempuan itu melakukan apa pun.Livia terlihat ragu tapi akhirnya ia menyerah. Ia ingin tahu apa Rajendra benar-benar bisa mengurus Gadis seperti yang dijanjikan laki-laki itu. Semua laki-laki mungkin bisa menggendong anak mereka, tapi tidak semua laki-laki mau membersihkan kotoran anak mereka.Livia membenahi selimutnya lalu memejamkan mata. Berpura-pura kembali tertidur. Tapi sebenarnya ia sedang mengintip apa yang Rajendra lakukan pada putri mereka.Rajendra mendekati Gadis yang sedang menangis. Tubuh mungilnya bergerak-gerak gelisah di atas tempat tidur. Rajendra mengusap-usap kepala Gadis namun tangis anak itu malah semakin keras."Kenapa, Sayang? Papa ada di sini," bisik Rajendra dengan lemb
Ketiganya terdiam menyaksikan punggung Livia yang menjauh sambil terpincang-pincang menggendong Gadis."Papi dan Tante lihat sendiri kan? Bagaimana susahnya Livia? Tapi dia terlalu keras kepala. Dia butuh bantuan tapi menolak untuk dibantu. Dan akibatnya Gadis yang jadi korban."Erwin menghela napas panjang sembari menyandarkan tubuhnya ke sofa. Ia memberi putranya nasihat. "Ndra, yang kamu bilang sebagai keras kepala itu sebenarnya adalah luka. Livia bukan sekadar marah. Dia terluka, dan luka itu bukan sesuatu yang bisa sembuh hanya dengan permintaan maaf atau janji."Lola ikut menimpali dengan suaranya yang lembut tapi tegas. "Livia sudah melewati banyak hal, Ndra. Kamu kan udah lihat sendiri kalau dia perempuan yang nggak mudah menyerah. Kalau dia memilih untuk menjauh darimu itu bukan karena dia keras kepala. Tapi karena dia ingin melindungi dirinya dan Gadis dari sakit yang sama.Rajendra menekan-nekan pelipisnya, mencoba meredakan rasa frustasi yang tidak kunjung berhenti. "Tap
Livia terdiam sesaat memikirkan tawaran Rajendra yang tiba-tiba. Ditatapnya lelaki itu dengan pandangan curiga. "Jadi sekarang kamu mau membelikan rumah baru hanya demi Gadis?""Nggak gitu, Liv. Aku mau beliin rumah untuk kamu juga. Untuk kita tinggali bertiga," jawab Rajendra cepat. "Aku tahu aku nggak pantas berharap banyak. Tapi aku ingin memberikan tempat yang benar-benar layak untuk kita tinggali bersama. Tempat di mana kita bisa merasa nyaman, aman dan bahagia." Rajendra tersenyum tipis di ujung kalimatnya tapi tidak membuat Livia terpengaruh. Livia malah mendengkus pelan."Kebahagiaan saya bukanlah dibelikan rumah baru atau barang-barang mahal. Yang saya inginkan adalah rasa nyaman dan dihargai. Saya ingin hidup tenang. Tapi sayangnya kamu nggak bisa kasih saya ketenangan itu.""Ketenangan yang bagaimana lagi, Liv?" keluh Rajendra frustrasi. "Aku tahu aku sudah kehilangan kepercayaan kamu. Tapi aku mau berusaha. Aku mau memperbaiki semuanya. Kalau kamu butuh waktu untuk percaya,