"Persetan dengan semuanya. Anak ini bukan anak gue. Gue nggak ada sangkut pautnya sama dia. Dia cuma bakal jadi beban buat gue. Masalah gue udah banyak, gue nggak mau nambah lagi." Itulah kesimpulan Rajendra setelah mempertimbangkan apakah akan meletakkan Randu ke panti asuhan.Randu membelokkan mobilnya ke apartemen. Ia akan mengambil perlengkapan Randu di sana seperti pakaian, selimut dan susu. "Shit!" makinya ketika sepatunya menginjak pecahan kaca besar yang hampir membuatnya tersandung.Sejak ngamuk waktu itu Rajendra membiarkan apartemennya porak poranda. Nggak ada gunanya juga dibersihkan.Ia menendang pecahan kaca di lantai dengan jengkel, yang membuat bunyi berderak, memecah keheningan apartemen. Tempat yang kacau balau tersebut lebih mirip dengan area perperangan ketimbang sebagai kediaman. Serpihan-serpihan kaca, potongan-potongan foto, dan barang yang berserakan di mana-mana menjadi reminder kemarahannya beberapa hari yang lalu.Rajendra membawa langkahnya menuju kamar u
Akhirnya malam itu Rajendra membawa Randu kembali bersamanya. Sepanjang malam ia hampir tidak bisa tidur memikirkan keputusan besar yang yang telah diputuskannya.Membiarkan Randu tetap bersamanya sama artinya dengan berkomitmen ia akan mengurus, menjaga dan merawat anak itu. Ia akan menjadi bapak dari anak itu.Keesokan harinya Rajendra terbangun dengan kepala berat, sebab ia hanya tidur beberapa jam saja. Randu sudah terbangun lebih dulu. Anak itu mengoceh sendirian sambil mencolek-colek tangan Rajendra."Hai, kamu mau bangunin Papa ya?"Randu terus mengoceh tanpa tahu kekalutan hati Rajendra."Papa harus kerja hari ini. Di rumah ini nggak ada siapa-siapa. Papa juga belum sempat nyari pengasuh buat kamu. Dan kamu nggak mungkin Papa tinggalin sendiri di rumah."Rajendra menghela napas panjang memikirkan segala keruwetan itu. Ia tidak mungkin membawa Randu ke kantor. Para pegawainya pasti heboh. Ia juga tidak yakin mendapatkan pengasuh secepat ia mendapatkan Asih dulu."Coba kalau ada
Pertanyaan ibu tirinya tentang sang istri seolah melempar pukulan tidak kasat mata pada Rajendra.Livia. Nama itu membuat dadanya sesak. Ia menunduk, menghindari tatapan Lola padanya. Sedangkan Erwin yang masih berdiri dengan tangan berkacak pinggang mendengkus keras."Liv ... Livia--" Rajendra membuka mulut tetapi kata-katanya terhenti begitu saja."Kenapa, Ndra? Livia baik-baik aja kan?" Lola bertanya lagi dengan penuh rasa ingin tahu."Livia nggak di rumah, Tante," jawab Rajendra pada akhirnya dengan suara seperti bisikan.Lola terlihat kaget. "Maksud kamu apa? Livia ke mana? Kenapa nggak ada di rumah?"Rajendra telan salivanya. Ia mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab. "Livia ... pergi, Tante. Waktu itu aku salah paham tentang dia. Dan akhirnya dia pergi dari rumah."Erwin yang mendengarkan keterangan Rajendra spontan menggebrak meja di hadapannya. "Apaan lu, Ndra? Cewek yang benar malah lu usir, yang nipu malah lu sayang-sayang. Otak lu ditaruh di mana, hah? Atau jangan-
Napas Livia tertahan. Dadanya langsung sesak begitu melihat sosok yang telah ia coba lupakan berdiri tidak jauh dari tempatnya.Rajendra terlihat berbeda. Sosoknya lebih kurus dan wajahnya tampak lelah.Langit yang memerhatikan ekspresi Livia memegang tangannya dengan erat. "Kita pergi ke arah lain atau tunggu sampai mereka selesai?" tanyanya.Livia menggerakkan kepalanya ke arah Langit. "Kita hadapi saja. Mungkin sudah saatnya saya ketemu sama mereka.""Kamu yakin?"Livia mengangguk penuh keyakinan. Perutnya kembali ditendang dari dalam, membuatnya meringis kesakitan.Tangisan keras Randu tiba-tiba terdengar. Tangisan yang pernah mengisi hari-hari Livia. Membuat Livia tanpa sadar melangkah ke arah mereka. Dan Langit tidak sempat mencegah.Rajendra memandang ke sumber suara langkah yang menghampirinya. Kedua matanya refleks melebar ketika menyaksikan wanita yang selama ini ia cari ada di dekatnya. Seluruh badannya gemetar. Ia ingin melafalkan nama wanita itu tapi suaranya tercekat."L
Rajendra cuma bisa berdiri di depan pintu ruang bersalin yang tertutup rapat. Perasaan tidak karuan menghantamnya dari segala arah.Ia menyandarkan punggungnya ke dinding dengan tangan terkepal erat. Tatapannya kabur, bukan karena ia rabun, tetapi karena menahan air mata agar tidak jatuh.Dirinya laki-laki. Pantang baginya untuk menangis, namun ini terlalu menyakitkan. Dirinya yang punya anak dan akan menjadi bapak, tetapi kenapa orang lain yang harus mendampingi istrinya?Di dalam ruangan bersalin terdengar samar suara Livia yang mengerang menahan sakit. Ingin rasanya Rajendra menerobos masuk ke dalam ruangan itu dan mengatakan bahwa dirinyalah yang berhak mendampingi Livia, bukan Langit. Lola kemudian mendekat. Disentuhnya bahu Rajendra dengan lembut. "Nggak usah sedih, Ndra. Jangan pernah lupakan, sakit yang kamu rasakan nggak ada apa-apanya dengan yang dirasakan Livia dulu.""Tapi ini kelewatan, Tante. Aku yang seharusnya berada di sana, bukan laki-laki lain," lirih Rajendra putu
Rajendra tersentak mendengar perkataan Livia. Hatinya tersayat-sayat.Om Rajendra, bukan Ayah atau Papa.Sebutan itu memisahkannya dari Gadis, darah dagingnya sendiri.Langit menggeser diri ke pojok ruangan dan memalingkan wajah. Ia mencoba tidak terlibat dalam ketegangan antara Livia dan Rajendra. ia sadar diri, ini bukanlah ranahnya untuk ikut campur.Rajendra menatap bayi kecil itu dengan perasaan sedih. "Livia, aku nggak minta banyak. Aku cuma mau menggendong Gadis sekali aja, biar dia tahu kalau aku adalah ayahnya."Livia membalas tatapan Rajendra dengan sorot dingin. "Kamu bilang kamu ayahnya. Lupa apa yang kamu lakukan dulu? Kamu menuduh saya selingkuh. Kamu menolak anak ini sebagai darah dagingmu. Lalu sekarang kamu datang mengaku-ngaku sebagai ayahnya setelah saya melewati semuanya sendirian?"Rajendra tidak berani membalas kata-kata Livia ketika perempuan itu menghakiminya. Selama beberapa detik mereka terdiam. Hanya mata Rajendra yang menatap Gadis dengan pandangan sedih.
Setelah dua hari berada di rumah sakit, hari ini Livia diizinkan pulang.Sejak pergi dari rumah Rajendra, Livia tinggal di rumah yang dicarikan Langit. Rumah itu berbentuk panjang ke belakang. Rencananya setelah melahirkan dan pulih Livia akan menjadikan bagian depannya sebagai toko. Ia akan menjual hasil rajutannya di sana."Welcome home, Sayang," ucap Livia yang menggendong Gadis begitu mereka masuk ke dalam rumah.Bayi berumur tiga hari itu terlelap dalam gendongannya.Livia melangkah pelan dan hati-hati memasuki rumah tempat ia dan putrinya memulai kehidupan baru. Aroma segar dari pewangi ruangan menyeruak ke dalam penciumannya.Langit berjalan di belakang Livia membawa tas dan perlengkapan yang mereka bawah dari rumah sakit. "Hati-hati, Liv, jangan banyak gerak dulu," kata Langit lembut sambil meletakkan tas. Ia menatap Livia yang masih tampak lelah. Tapi senyum di wajahnya menunjukkan kebahagiaan.Livia mengamati ruang depan rumah yang nantinya akan disulap menjadi toko. Bebera
Livia sedang duduk di kursi sambil menyusui Gadis. Peristiwa beberapa jam yang lalu masih melekat di benaknya.Rajendra memang sudah pergi, tapi barang-barang yang ia bawa masih ada di depan rumah. Lelaki itu meninggalkannya walau Livia dengan frontal menolak.Sambil terus memberi Gadis asupannya, satu ingatan muncul di kepala Livia. Ketika Rajendra membuang foto USG Gadis dan menganggapnya sebagai sampah. Dari sanalah rasa muaknya pada Rajendra muncul yang memicunya untuk bangkit dari cengkeraman dan penindasan laki-laki itu."Liv, itu di depan kenapa banyak barang-barang bayi? Kamu belanja lagi untuk Gadis?" suara Langit yang baru saja tiba menggilas habis lamunan Livia. Livia menoleh dan menemukan wajah heran Langit."Tadi Rajendra ke sini. Dia membawa barang-barang untuk Gadis seperti yang kamu lihat.""Terus kenapa masih ada di luar? Dia nggak membantu sekalian untuk memasukkannya ke dalam rumah?" tanya Langit lagi begitu ingat keadaan Livia yang tidak mungkin membawa barang-bar
Orang-orang di rumah belum ada yang tahu kalau Livia sedang hamil. Rajendra belum ingin mengatakannya walau ia sudah tidak sabar mengetahui reaksi Gadis jika tahu dirinya akan memiliki adik. Yang dipikirkan Rajendra saat ini adalah siapa yang akan menjaga Livia di rumah selama ia berada di kantor? Tidak mungkin Tasia karena ia juga butuh perempuan itu untuk membantu pekerjaannya.Hari itu Livia terbangun dengan perasaan mual yang begitu kuat. Perutnya terasa tidak nyaman dan kepalanya sedikit berdenyut. Ia buru-buru berlari ke kamar mandi dan menunduk di depan wastafel, mengeluarkan muntah yang tidak tertahankan.Rajendra yang baru saja selesai mandi mendengar suara dari kamar mandi dan segera menghampiri. "Livia!" panggilnya sambil mengetuk pintu.Livia tidak menjawab. Hanya terdengar suara napasnya yang berat.Rajendra langsung mendorong pintu yang ternyata tidak dikunci. Ia melihat Livia tengah bersandar di wastafel dengan wajah pucat.Rajendra yang khawatir segera mendekati dan m
"Kamu istirahat ya, jangan banyak pikiran dulu," kata Rajendra sambil membantu Livia berbaring ketika mereka tiba di rumah.Livia tidak berkata apa-apa tapi air mata terus menetes membasahi pipinya. Tangisan Livia membuat Rajendra jadi khawatir. Ia genggam tangan istrinya sementara tangannya yang lain menghapus air mata Livia. "Coba cerita sama aku apa yang bikin kamu nangis gini?" ujarnya lembut."Aku takut," lirih Livia."Takut apa?"Livia tidak bisa menjelaskannya. Yang ia tahu adalah bahwa ia bingung. Tidak ingat apa-apa tiba-tiba bisa hamil.Apa benar ia mencintai Rajendra? Apa benar mereka melakukannya?"Apa benar aku mencintai kamu, Ndra?"Pertanyaan itu mengguncang Rajendra. "Tentu saja, Sayang," jawabnya cepat. "Bukan hanya kamu yang mencintai aku tapi aku juga mencintai kamu. Kita berdua saling mencintai dan hubungan kita sangat kuat." Rajendra mencoba meyakinkan Livia. "Lagian kalau kita nggak saling cinta nggak mungkin ada Gadis." Ia tersenyum mengakhiri penjelasannya.Li
Rajendra membeku di tempatnya. Sedangkan tangan dokter masih terulur di udara untuk memberi selamat padanya.Erwin menyikut tangan Rajendra. "Ndra, dokter ngasih selamat tuh."Barulah Rajendra menyambut tangan dokter."Terima kasih, Dok, tapi bagaimana bisa istri saya hamil, Dok?"Dokter tersenyum geli mendengar pertanyaan Rajendra yang terdengar tidak masuk akal. "Tentu saja karena hubungan suami istri, Pak Rajendra".Rajendra masih tampak syok sementara Erwin justru terkekeh. "Masa kamu lupa cara kerja kehamilan?" godanya."Bukan begitu, Pi." Rajendra menghela napas panjang, berusaha memahami situasi ini dengan kondisi Livia sekarang dengan amnesianya. Dokter kemudian menerangkan. "Kehamilan ini mungkin terjadi sebelum ingatannya terganggu, Pak. Dan saya pikir itu juga bisa menjadi faktor tambahan kenapa dia mengalami stres dan pingsan. Perubahan hormon di awal kehamilan seringkali membuat kondisi emosional ibu menjadi lebih sensitif.Rajendra menatap Livia yang masih terbaring di
Rajendra bergegas menghampiri livia. Tubuhnya gemetar saat ia mengguncang bahu istrinya yang terkulai di lantai. Keringat dingin membasahi dahi Livia, tapi napasnya masih ada meskipun lemah."Liv, bangun! Livia, bangun!" suara Rajendra terdengar panik.Erwin yang mendengar teriakan putranya segera masuk ke kamar. Begitu melihat menantunya tergeletak ia ikut cemas."Livia kenapa, Ndra? Kenapa bisa begini?" Erwin jauh lebih khawatir."Aku nggak tahu, Pi. Tadi dia baik-baik aja. Aku ke toilet sebentar pas balik dia udah jatuh gini."Erwin berlutut di samping Livia. "Kita harus bawa dia ke rumah sakit sekarang, Ndra."Tanpa berpikir panjang Rajendra mengangkat tubuh Livia ke dalam gendongannya.Di dalam mobil yang melaju kencang menuju Rumah Sakit Rajendra menggenggam tangan Livia erat-erat. Jari-jemarinya dingin, napasnya lemah dan wajahnya pucat, membuat Rajendra tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya."Bertahanlah, Liv," suaranya bergetar. "Jangan tinggalkan aku, Liv." Ia menatap wa
Rajendra meneguk salivanya. Tangannya mengepal di sisi tubuh. Mungkin kamu cuma berhalusinasi, Liv. Bisa saja itu bayangan dari cerita yang pernah kamu dengar."Livia mengerutkan dahi, matanya meneliti ekspresi Rajendra. Livia yakin ia tidak sedang berhalusinasi. Ia yakin betul yang ia lihat itu benar-benar ada, hanya saja ia tidak tahu siapa orangnya. "Jadi nggak ada siapa pun di rumah ini yang pincang?" suaranya lebih pelan dan penuh selidik."Nggak ada," dengan cepat Rajendra menggeleng.Namun Livia tidak bisa mengabaikan perasaan aneh di dadanya. Bayangan itu terasa nyata.Erwin yang dari tadi diam tiba-tiba berdeham pelan. "Ayo kita naik dulu, Liv. mungkin kalau kamu melihat kamarmu akan ada lebih banyak lagi hal yang bisa kamu ingat."Livia mengangguk meskipun pikirannya masih berkutat pada sosok pincang yang muncul dalam kepalanya.Mereka menaiki tangga. Langkah Livia terasa lebih berat dari sebelumnya. Ada perasaan asing namun juga familier saat tangannya menyentuh pegangan ka
Rajendra menggenggam setir dengan erat, ia mencoba mengatur napasnya. Livia menatapnya penuh tanda tanya, tentu saja tidak menyadari betapa dalam luka yang ia sentuh dengan pertanyaannya barusan."Kita pernah tinggal di beberapa tempat." Akhirnya Rajendra menjawab, terdengar begitu hati-hati. "Awalnya di rumah orang tuaku terus kita pindah ke rumah sendiri, tapi ada sesuatu yang terjadi dan kita harus kembali ke rumah Papi."Dahi Livia berkerut. "Sesuatu yang terjadi?" ulangnya. Matanya tidak lepas dari Rajendra.Rajendra menghela napas di dalam diam. Ia tahu cepat atau lambat Livia akan bertanya, namun ia tidak siap untuk mengenang kembali semua peristiwa pahit itu."Rumah kita dulu terbakar," jawab Rajendra lirih Livia sontak terkejut. "Gimana bisa?""Karena korsleting listrik. Setelah itu kita nggak punya pilihan selain pindah ke rumah Papi untuk sementara waktu. Tapi akhirnya kita bisa punya rumah baru lagi."Livia terdiam. Ada banyak pertanyaan di kepalanya, tapi ia juga bisa me
Pagi itu Rajendra turun lebih awal ke dapur. Sebelum keduluan Tasia ia ingin membuat kopinya sendiri. Saat ia membuka lemari untuk mengambil cangkir, sebuah tangan tiba-tiba menyodorkan cangkir ke arahnya."Ini, Pak," kata Tasia dengan suara yang terdengar lembut.Rajendra menoleh dan menemukan Tasia berdiri sangat dekat dengannya."Kamu sudah bangun?" tanyanya sedikit terkejut.Tasia tersenyum kecil. "Saya memang selalu bangun lebih pagi untuk menyiapkan sarapan. Bapak tahu kan saya suka memastikan semuanya berjalan lancar di rumah ini? Apalagi Ibu Livia lagi sakit."Rajendra menerima cangkir dari Tasia dan mengucapkan terima kasih.Ketika ia hendak menuangkan kopi Tasia dengan sengaja menyentuh tangannya. "Oh maaf," kata Tasia dengan tawa kecil. "Saya terlalu dekat ya?"Rajendra mundur sedikit tapi Tasia tetap berdiri di tempatnya."Saya senang melihat Bapak mulai rileks. Saya harap Bapak tahu kalau saya selalu ada kalau Bapak butuh seseorang untuk berbicara," katanya dengan nada l
Malam itu setelah meminum obat, Livia keluar dari kamar. Anak-anak sedang mengerjakan PR dengan Tasia, sedangkan Rajendra entah ke mana.Livia berjalan dan bermaksud duduk di beranda. Setelah pintu ia buka ternyata ia melihat Rajendra sedang duduk sendiri. Livia bermaksud kembali ke dalam rumah tapi Rajendra sudah terlanjur melihatnya."Sayang!" kata pria itu. "Mau ke mana?"Livia menghentikan langkahnya sejenak. Ia Ragu harus melangkah ke dalam atau tetap bertahan di tempat. Tapi ada sesuatu dalam nada suara pria itu yang terasa akrab dan hangat."Aku hanya ingin duduk sebentar di luar," jawab Livia pelan menghindari tetapan suaminya.Rajendra menggeser duduk. Ia memberi ruang di sebelahnya. "Duduk di sini Liv."Livia merasa ragu tapi kakinya justru melangkah mendekat. Hanya saja ia duduk di kursi yang lain, menjaga jarak dari Rajendra.Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa saat. Hanya ada suara angin yang berembus lembut dan desiran dedaunan yang bergerak pelan. "Sudah mera
Tasia jelas saja terkejut mendapat serangan dari Rajendra. "Maaf, Pak, saya tidak tahu kalau itu rahasia. Saya mengatakannya pada ibu Livia hanya agar ingatannya cepat kembali. Saya nggak ada maksud apa-apa."Rajendra menggelengkan kepalanya. Ia terlalu kecewa pada sikap Tasia. "Selama ini saya percaya sama kamu," lanjutnya dengan suara dingin. "Saya menganggap kamu sebagai orang yang bisa saya andalkan. Tapi ternyata kamu lebih memilih jadi pengadu domba."Tasia langsung melihatkan wajah sedih seolah perkataan Rajendra benar-benar menyakitinya. "Pak, saya hanya ingin membantu.""Membantu apa?" potong Rajendra sebelum perempuan itu melanjutkan kalimatnya. "Yang kamu lakukan justru menimbulkan kekacauan.""Tapi Bu Livia berhak tahu kenyataannya, Pak.""Itu bukan hak kamu buat kasih tahu dia!" bentak Rajendra. Emosinya benar-benar memuncak. "Apa kamu pikir saya nggak akan pernah bilang apa pun? Apa kamu pikir saya akan menyembunyikan hal itu selamanya? Lagian itu bukan urusan kamu. Tuga