Besok adalah hari keberangkatan Livia dan Rajendra ke Amerika. Keduanya sudah mempersiapkan segalanya. Persiapan tersebut tidak mudah terutama bagi Livia. Selain fisik ia harus menyiapkan mentalnya juga. Ia juga harus memastikan bahwa Gadis merasa nyaman dalam perjalanan tersebut.Sementara Rajendra mengambil alih semua proses administrasi. Mulai dari mengurus tiket pesawat, visa, hingga memastikan kalau Livia sudah terdaftar di pusat rehabilitasi rumah sakit di Amerika. Livia hanya fokuspada kebutuhan pribadinya dan Gadis. Seperti pakaian, obat-obatan, serta mainan yang bisa membuat Gadis merasa nyaman di tempat yang baru.Randu terheran-heran melihat tiga koper besar yang baru saja dikeluarkan Rajendra dari kamar. Anak itu mendekati Rajendra dan menatapnya penuh tanda tanya."Pa ... pa ... wu na?" (Papa mau ke mana?)Rajendra bersimpuh di lantai agar bisa sejajar dengan Randu. Ditatapnya anak itu dengan perasaan sedih."Papa mau pergi bawa Bunda berobat. Randu tinggal dulu di sini
Pesawat yang membawa Livia dan Rajendra baru saja lepas landas. Livia mendekap erat putri kecilnya yang kini berusia empat bulan. Sementara hatinya berbisik, "Selamat tinggal Indonesia. Semoga setelah kembali nanti aku benar-benar sehat dan bisa berjalan seperti dulu." Di kursi sebelahnya Rajendra duduk diam dengan pandangan lurus ke depan. Sesekali ia melirik Livia dan Gadis yang tertidur di pelukan ibunya. Pesawat terus naik membawa mereka menjauh dari tanah air. Suara deru mesin pesawat menggema di kabin. Sementara para penumpang mulai menyesuaikan diri dengan perjalanan panjang yang akan mereka tempuh. Rajendra membuka percakapan. "Gadis kelihatannya nyaman ya, dia nggak rewel. Nggak banyak anak kecil yang kayak dia," ujarnya pelan. Livia mengangguk. Ia bersyukur Gadis tidak banyak tingkah. Di tengah penerbangan pramugari datang membawa makanan. Livia mencobanya sedikit tapi selera makannya lenyap sejak pagi. Gadis juga mulai gelisah dalam tidurnya. Livia mengayun p
Livia bangun lebih pagi walau tubuhnya masih terasa lelah oleh perjalanan panjang. Rasa antusiasmelah yang membuatnya bersemangat untuk membuka mata.Ketika memandang ke sebelahnya Livia tidak menemukan Gadis. Jantungnya berdegup kencang. Dengan cepat ia terduduk. "Gadis!!! Gadis!!!" serunya panik sambil turun dari tempat tidur."Halo Bunda, Gadis sudah siap mandi." Rajendra muncul dari arah kamar mandi bersama putri mereka yang tubuhnya terbalut handuk.Di detik itu Livia merasa lega. Ia pikir tadi Gadis ke mana."Kenapa sih? Kayak cemas banget?" tanya Rajendra melihat muka pucat Livia."Saya pikir Gadis ke mana," jawab Livia jujur."Aku tadi mandiin Gadis biar kamu nggak repot lagi. Kamu lupa nggak sendiri di sini? Ada aku. Kalau Gadis nggak ada di samping kamu itu artinya dia sedang bersamaku," jelas Rajendra menenangkan Livia.Livia terdiam. Ingatan membawanya pada kejadian kemarin. Mereka baru saja tiba di Cleveland lalu untuk pertama kalinya tidur bertiga."Kok ngelamun? Kamu n
Rajendra menatap wanita itu dengan mata melebar, seakan tidak percaya siapa yang kini sedang berada di hadapannya. Mulutnya hampir terbuka, namun tidak ada satu pun kata yang terlontar. Tubuhnya membeku, seperti terseret ke masa lalu yang ingin ia kubur dalam-dalam."Rajendra?" sapa wanita itu sekali lagi dengan nada penuh tanya kalau itu memang Rajendra.Perlahan Rajendra menganggukkan kepalanya."Apa kabar Sha?" tanyanya pada Sharon dengan lidah kelu. Suaranya terdengar begitu kaku.Sharon membalas tatapan Rajendra dengan mata berkaca-kaca. Wajah itu sama cantiknya dari yang terakhir kali Rajendra lihat. Hanya saja saat ini terlihat jauh lebih matang dan dewasa."Jadi kamu masih ingat aku?" tanya Sharon pelan dengan suara sedikit bergetar. "Aku pikir kamu sudah lupa sama aku, Ndra."Rajendra menelan salivanya. Ia merasakan sendiri betapa detak jantungnya berubah menjadi lebih cepat. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan cinta terindahnya?Ingatan menyeretnya ke masa lalu, ketika Sharo
Sharon menghela napas lalu memalingkan matanya sesaat kepada Lunetta yang tertawa berdua bersama Gadis sambil memainkan buku dengan suara binatang. "Aku nggak pernah menyangka hidup membawa kita ke jalan yang tidak pernah kita duga." Sharon bergumam pelan. Yang dilakukan Rajendra hanyalah menganggukkan kepalanya. Ia tidak tahu bagaimana cara merespon. Perasaannya terlalu sulit untuk dijelaskan. Kebahagiaan bertemu Sharon berpadu dengan perasaan bersalah yang terus menghantui. Sharon berdeham, mengubah suasana yang kaku. "Anyway, aku harus pergi, Ndra. Lunetta sudah waktunya tidur siang. Dan aku juga punya beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan," katanya dengan senyum tipis. "Lunetta, ayo kita pulang," panggil Sharon lembut pada putrinya. Lunetta menoleh lalu dengan patuh mengikuti perintah Sharon. "Bye," ucapnya pada Gadis sambil melambaikan tangan mungilnya. Gadis membalas dengan mengangkat tangannya sambil tertawa riang. Sementara Rajendra dan Sharon saling bertukar p
Pagi ini Rajendra bangun lebih awal daripada Livia. Sedangkan istrinya itu masih tertidur. Begitu pula dengan Gadis yang terbungkus selimut kecilnya. Udara dingin Ohio menambah keheningan pagi di apartemen itu.Rajendra melangkah ke balkon dengan tangan membawa secangkir kopi yang baru saja dibuatnya.Pandangannya tertuju pada Langit yang mulai cerah, berharap udara pagi bisa menjernihkan pikirannya. Namun, bayangan Sharon tetap menghantui meskipun Rajendra sudah bertekad tidak akan mengingat lagi perempuan itu dan memberikan hatinya sepenuhnya hanya untuk Livia.Tatapan Sharon yang sarat akan kesedihan yang berusaha ia sembunyikan di balik senyumnya membuat Rajendra terus berpikir, apa Sharon masih menyimpan luka yang ditinggalkannya dulu?Di sisi lain Rajendra sadar tidak ada gunanya membuka luka lama. Sharon sudah memiliki kehidupannya bersama Lunetta. Dan Rajendra juga sudah punya Livia dan Gadis."Ndraaa ..." Suara Livia terdengar memecah lamunan Rajendra.Rajendra menggerakkan k
Sharon refleks menoleh ke arah suara yang memanggil Rajendra. Ketika tatapannya tertuju pada Livia, ia tidak bisa menyembunyikan kekagetannya. Livia melangkah pelan, terpincang-pincang dengan bantuan tongkat. Kemarin Rajendra memang sudah menceritakan tujuan mereka datang ke Cleveland adalah untuk mengobati istrinya yang pincang. Tapi ketika menyaksikan sendiri penampakannya, Sharon melihat Livia begitu 'rendah' dan tidak pantas untuk mendampingi Rajendra.'Jadi ini istri Rajendra?' Sharon membatin sambil menjaga ekspresinya agar tidak berubah.Ia memindai sosok Livia saat itu juga. Tubuhnya ramping, langkahnya tertatih dan wajahnya sendu. Dia memang cantik. Fitur wajahnya persis seperti tokoh protagonis di drama Korea. Namun demikian Sharon tetap saja merasa tidak terima kalau Livialah yang menjadi istri Rajendra.Bagaimana bisa Rajendra, pria gagah dan mapan menikahi wanita seperti ini? Apa yang bisa wanita itu berikan? Berjalan saja tidak becus. Berdiri juga butuh bantuan.Tetapi
Setelah pintu ditutup Livia duduk di sofa ruang tamu. Wajahnya sedikit tampak tidak tenang. Hatinya gusar oleh percakapan bersama Sharon tadi.Rajendra mengikutinya dan ikut duduk di samping Livia."Kamu dan dia kayak udah akrab banget. Kalian udah lama kenal?" tanya Livia memulai obrolan."Nggak. Aku baru kenal dia kemarin." Rajendra menjawab, mencoba agar terdengar biasa."Tapi dia bilang kamu cerita banyak tentang saya. Itu benar?" Livia menatap lekat wajah Rajendra hingga hampir membuatnya grogi.Rajendra berdeham, mencoba menjaga situasi agar tetap tenang. "Jadi begini. Waktu kamu lagi di toilet kemarin, aku dan Gadis main di sini. Suara binatang dari buku Gadis menarik perhatian Lunetta. Sharon yang kehilangan Lunetta mencarinya sampai ke sini. Dari situ awalnya kami berkenalan. Dan aku menceritakan tujuan kita datang ke sini untuk pengobatan kamu.""Oh," respon Livia. "Tapi tadi dia bilang sesuatu yang menyentil saya. Tentang pekerjaan. Rasanya dia seperti sengaja menunjukkan k
Rumah besar Livia dan Rajendra kini terasa sunyi. Anak-anak sudah besar dan berkeluarga. Tapi di setiap akhir pekan rumah mereka selalu ramai oleh tawa canda cucu dan cicit mereka. Anak-anak selalu menawarkan Rajendra dan Livia untuk tinggal bersama mereka tapi keduanya menolak. Mereka lebih memilih untuk tinggal berdua saja dan menghabiskan masa tua bersama.Rajendra dan Livia saat ini sedang berada di kamar mereka. Rajendra sudah berumur 90 tahun sedangkan Livia 3 tahun di bawahnya. Keduanya berbaring di tempat tidur."Hujannya lama ya, Ndra, dari tadi nggak berhenti-henti," kata Livia sembari memandang ke luar jendela, pada titik-titik hujan yang terus berjatuhan."Iya, Sayang. Sekarang kan lagi musim hujan.""Dingin ..." Rajendra merengkuh Livia, memberi lengannya untuk istrinya itu berbaring sedangkan satu tangannya lagi memeluk tubuh Livia. Meski rambut mereka sudah sepenuhnya memutih dan wajah mereka sudah keriput tapi cinta mereka begitu kuat.Livia tersenyum. "Berada di peluk
Hari-hari setelah kehamilannya terasa berat bagi Gadis. Setiap hari ia mengalami morning sickness yang menyebabkan susah makan.Randu yang biasanya pagi-pagi berangkat ke kedutaan kini harus mengurus Gadis lebih dulu sebelum pergi ke kantornya."Makan dikit ya, Abang bikinin sup hangat atau maunya roti coklat aja?" kata Randu sambil mengelus pundak Gadis yang terduduk lemas di sofa.Gadis menggelengkan kepalanya. "Adis nggak mau apa-apa, Bang. Adis nggak selera makan apa pun.""Tapi setidaknya Adis harus makan sedikit biar ada isi perutnya. Ingat, Dis, anak kita juga butuh asupan."Gadis tersenyum melihat perhatian Randu dan kepanikannya di waktu yang sama. "Ya udah, Adis mau minum teh hangat aja sama roti coklat," putusnya walau kemudian kembali berakhir dengan muntah.Malam harinya saat video call dan mengetahui keadaan Gadis, Livia langsung mengambil keputusan."Ndra, aku harus berangkat.""Ke mana?" tanya Rajendra."Ke Turki. Aku harus nemenin Gadis. Dia butuh aku saat ini. Ini ke
Gadis dan Randu memulai kehidupan mereka sebagai suami istri begitu tiba di Ankara, ibukota Turki. Kota itu terasa begitu berbeda dengan suasana di Indonesia. Udara dingin menusuk di musim gugur. Arsitektur Eropa bercampur dengan sentuhan Ottoman serta hiruk pikuk kehidupan yang begitu asing bagi Gadis.Randu sebagai diplomat muda langsung disibukkan dengan pekerjaannya di kedutaan besar Indonesia. Seringkali ia harus menghadiri rapat dengan pejabat Turki, menerima delegasi dari Indonesia, atau menghadiri acara-acara diplomatik. Sementara itu gadis masih beradaptasi dengan kehidupan barunya. Awalnya ia merasa canggung tinggal di negeri orang. Namun Randu selalu berusaha membuatnya nyaman. Mereka tinggal di sebuah apartemen yang luas dengan pemandangan kota Ankara yang indah.Setiap pagi Randu berangkat ke kedutaan, sementara gadis mulai membangun rutinitasnya sendiri. Ia mengambil kursus bahasa Turki agar bisa lebih mudah berkomunikasi dengan orang-orang sekitar. Selain itu ia juga se
Hari keberangkatan Gadis dan Randu ke Turki semakin dekat. Di rumah keluarga Rajendra suasana haru kian terasa.Livia sibuk memastikan semua keperluan Gadis sudah siap. Ia berulang kali memeriksa koper putrinya hanya demi memastikan tidak ada barang penting yang tertinggal."Adis, kamu yakin semuanya udah lengkap? Paspor, obat-obatan, udah?" tanya Livia dengan suara bergetar.Gadis tersenyum tipis, ia mencoba menenangkan perasaan ibunya. "Udah, Bunda. Tenang aja, Adis udah cek berkali-kali, sama kayak Bunda."Namun, Livia tetap terlihat cemas. Tangannya gemetar saat merapikan baju-baju Gadis di koper."Nda, udah. Jangan kayak gini. Nanti Adis bakal sering nelepon dan video call sama Bunda kok," kata Gadis menenangkan sang bunda.Livia mengangguk tapi matanya mulai berkaca-kaca. Ia belum siap berpisah dengan Gadis, namun juga tidak mungkin menahan Gadis agar tetap bersamanya karena Gadis sudah menikah.Rajendra juga mencoba untuk tegar. Ia diam saja, memerhatikan semua persiapan denga
Akad nikah Gadis dan Randu sudah selesai dilaksanakan. Acara disambung dengan resepsi pernikahan.Acara tersebut tampak meriah. Para tamu yang datang terlihat puas. Baik oleh penyelenggaraan acaranya maupun dari hidangan yang disajikan. Wedding singer yang berada di atas panggung yang berada tidak jauh dari pelaminan tidak ada hentinya menyanyikan lagu romantis, membuat atmosfer penuh cinta semakin terasa."Liv, aku mau nyanyi boleh nggak?" kata Rajendra tiba-tiba."Hah?" Mata Livia melebar mendengarnya. "Emang kamu bisa nyanyi?""Bisa dong walau suara aku pas-pasan," kekeh Rajendra.Livia ikut tertawa. "Ya udah gih, nyanyi sana biar anak-anak tahu kalau papanya ada bakat terpendam.""Kamu mau ikutan nyanyi sama aku?""Aku ngeliat dari sini aja."Rajendra berjalan ke belakang panggung, berbicara dengan seseorang lalu naik ke atas panggung. Mikrofon yang tadinya ada di tangan wedding singer berpindah ke tangan Rajendra."Bang, itu Papa mau ngapain?" tanya Gadis yang duduk di pelaminan
Begitu mendapatkan restu dari Erwin, persiapan pernikahan Gadis dan Randu segera disiapkan.Livia yang paling sibuk. Ia memastikan bahwa semua berjalan lancar dan sempurna untuk anak perempuannya. Begitu pula dengan Rajendra. Ia lebih disibukkan dengan urusan administratif.Gadis menginginkan pernikahan yang sederhana tapi tetap elegan. Setelah berdiskusi panjang akhirnya mereka memutuskan menyewa gedung yang memiliki nuansa taman di dalamnya dengan lampu-lampu gantung. Sementara untuk dekorasinya sendiri dihiasi nuansa putih dan hijau yang menyimbolkan kesan alami dan damai.Untuk pakaian pengantin Randu mengenakan beskap putih klasik. Sedangkan Gadis memilih gaun putih gading dengan detail bordir yang lembut. Saat pertama kali mencobanya ia termenung di depan cermin, menyadari bahwa sebentar lagi hidupnya akan berubah.Mengenai undangan mereka mencetak undangan simpel dengan desain minimalis. Gadis dan Randu memutuskan hanya mengundang orang-orang terdekat. Meskipun begitu Rajendra
"Yang benar aja kamu, Ndra. Nggak mungkin Gadis nikah sama Randu!" Begitu kata Erwin di saat Rajendra mengatakan tentang rencana menikahkan kedua anaknya."Aku dan Livia juga kaget, Pi. Tapi mau bagaimana lagi? Mereka berdua saling mencintai," ujar Rajendra pada Erwin."Kayak nggak ada orang lain aja." Erwin terlihat tidak setuju atas rencana pernikahan keduanya."Ya mau gimana lagi, Pi. Namanya juga cinta."Erwin terdiam. Ia kehilangan kata untuk menjawab kata-kata Rajendra."Pi, kita restui saja mereka. Jangan dipersulit," pinta Rajendra." Aku nggak ingin melihat anakku menderita apalagi kalau mereka sampai kawin lari."Erwin menghela napasnya lalu bertanya, "Sejak kapan mereka pacaran?""Sudah cukup lama, Pi. Livia yang punya firasat itu tapi aku nggak percaya. Sampai akhirnya keduanya mengaku."Erwin terdiam lagi seolah sedang memikirkan perkataan Rajendra. "Kamu nggak lupa siapa orang tua Randu kan, Ndra? Jangan lupa dia anak Utary dan nggak tahu siapa bapaknya.""Aku udah lupakan
"Liv love, kamu ngeliat Gadis nggak?" tanya Rajendra setelah masuk ke ruangan Livia. Setelah semua yang terjadi Livia juga bekerja di kantor menjadi asisten pribadi Rajendra. Lagi pula anak-anak sudah besar."Paling pergi makan siang bareng Randu," jawab Livia sambil merapikan ikatan rambutnya."Makin hari mereka semakin dekat," komentar Rajendra."Iya. Aku pun ngeliatnya begitu." Livia menimpali. "Kamu ngerasa nggak sih, kalau hubungan mereka kayak udah nggak wajar?""Nggak wajar gimana?" Rajendra mengerutkan dahinya.Livia tampak ragu namun tak urung mengatakan. "Aku ngeliat mereka kayak orang lagi pacaran. Benar nggak?"Rajendra tertawa mendengarnya. "Kamu ada-ada aja, Sayang. Randu dan Gadis kan dari kecil sudah tumbuh bersama. Mereka itu kakak adik. Nggak mungkin mereka seperti yang kamu bilang."Livia terdiam. Yang dikatakan Rajendra ada benarnya. Tapi firasatnya berkata lain. Sebagai seorang ibu ia tahu persis ada yang berbeda dalam hubungan Randu dan Gadis. Cara Randu menatap
Waktu terus berlalu tanpa bisa dihentikan. Setiap detik yang terlewati bagaikan anak panah yang melesat dengan cepat.Anak-anak sekarang sudah dewasa. Randu sudah bekerja sebagai salah satu staff di Kemenlu. Sedangkan Gadis melanjutkan kerajaan bisnis Rajendra bersama dengan Livia. Hubungan Gadis dengan Randu sangat dekat. Bahkan tidak bisa lagi dibilang sebagai kakak adik biasa. Tumbuh bersama sejak kecil dan melewatkan berbagai hal berdua membuat mereka saling terikat satu sama lain. Meski tidak ada pernyataan cinta yang terucap namun keduanya menyadari bahwa mereka berdua saling mencintai. Hanya saja mereka tidak menunjukkannya secara terang-terangan. Rajendra dan Livia menganggap keduanya saling menyayangi sebagai kakak dan adik. Tidak sedikit pun terbersit di pikiran mereka bahwa keduanya akan melewati batas itu."Dis, Abang pengen ngomong. Bisa nggak kita ketemuan makan siang nanti?" Itu pesan yang diterima Gadis dari Randu ketika ia sedang sibuk-sibuknya bekerja di kantor."Ha