Rajendra turun dari mobil disambut oleh tatapan heran Javier."Lo, Ndra? Kenapa bisa sama Gadis?""Jadi lo belum tahu, Jav?" tanya Rajendra balik tanpa ingin bertele-tele."Tahu apanya?""Gue bapak kandung Gadis. Gue ayah biologisnya. Sudah cukup?"Jawaban itu langsung membuat Javier terdiam. Ia sama sekali tidak tahu akan hal itu. Livia tidak pernah menyinggungnya. Lalu sekarang ia mengerti kenapa di hari pertama sekolah Rajendra langsung tahu nama Livia dan kenapa Livia menghindar."Sorry, Ndra, walau lo ayah biologisnya namun bukan berarti lo bisa membawa dia tanpa sepengetahuan ibunya.""Gue rasa nggak perlu minta izin pada siapa pun untuk membawa Gadis. Gue juga berhak, sama dengan Livia. Lo boleh pacaran sama Livia tapi jangan ikut campur urusan gue dan Gadis."Gadis yang menggandeng tangan Rajendra meremas tangan Rajendra dengan erat, seolah mengerti ada ketegangan yang terjadi saat ini."Gue nggak ingin mencampuri urusan siapa pun. Tapi ini masalah tanggung jawab, Ndra. Gue ju
Susah payah Javier meredakan emosinya. Ia menarik dan mengembuskan napasnya berkali-kali demi ketenangan diri.Javier menghentikan mobilnya di depan rumah Livia. Ia tidak langsung turun tapi melihat pada anak kecil di sebelahnya. Gadis masih terlihat ketakutan."Adis," panggil Javier lembut.Gadis hanya diam, tidak merespon apa pun ucapan Javier."Maafin Om ya? Tadi Om marah-marah sama Adis. Itu semua karena Om takut, Om cemas, Om khawatir Adis akan celaka. Nggak semua orang di dunia ini sebaik kelihatannya, Dis. Termasuk orang yang Adis panggil Papa. Lagian Adis tahu dari mana dia papanya Adis?"Gadis masih tidak menjawab. Amukan Javier tadi menyisakan trauma di hatinya.Gadis bergidik waktu Javier membelai kepalanya. "Sekali lagi Om minta maaf ya? Biar kita tahu, nanti kalau Bunda sudah pulang kita tanya sama-sama ke Bunda siapa papanya Adis dan di mana dia sekarang. Oke? Sekarang kita turun. Adis harus mandi. Sebentar lagi Bunda pulang."Javier membuka pintu mobil lalu memutarinya
Javier menarik napasnya dalam-dalam sebelum mulai bicara pada Livia."Liv, aku mohon kamu jujur. Sebenarnya siapa Rajendra?"Livia agak terkejut mendengar perkataan Javier. Jantungnya berdegup cepat.Tapi ia mencoba untuk tetap tenang seolah sesuatu yang barusan didengarnya adalah hal yang biasa."Rajendra mana ya, Jav?"Mendengarnya, Javier tersenyum asimetris. Ia salut pada Livia yang cukup pandai berpura-pura dalam hal ini."Rajendra Geraldy. Kompetitor bisnisku. Orang yang kita temui di hari pertama Gadis sekolah dan langsung mengenalmu tapi kamu pura-pura nggak kenal."Kata-kata 'pura-pura nggak kenal' membidik Livia tepat pada sasaran. Membuatnya merasa harus jujur mengenai semuanya pada Javier."Mungkin kamu ingin cerita sesuatu padaku mengenai Rajendra," pancing Javier.Livia terdiam cukup lama. Batinnya berkecamuk. Ia rasa tiada gunanya lagi menyembunyikan fakta itu dari Javier. Javier bukan orang bodoh. Lelaki itu tidak bisa lagi dikibuli."Rajendra adalah masa lalu yang sud
Cukup lama Rajendra menanti sampai mobil Javier bergerak pergi dari rumah Livia."Shit! Entah apa yang dia lakukan di sana," umpat Rajendra memaki. Rasanya ia kesal sekali. Sudah sejak tadi ia menanti bermeter-meter dari rumah Livia, ia menunggu di bawah pohon rindang.Rajendra menarik hand brake. Kemudian mobilnya bergerak pelan menuju rumah Livia.Turun dari mobil, Rajendra mengedarkan matanya ke sekeliling. Suasana halaman rumah itu persis yang digambar Gadis di bukunya.Ragu-ragu tangan Rajendra terangkat hendak mengetuk pintu. Benaknya memetakan beberapa kemungkinan.Apa yang akan Livia lakukan jika nanti melihat Rajendralah yang datang?Apa nanti Livia akan mengusirnya? Mengata-ngatainya? Atau menerimanya dengan baik-baik?Atau sebaiknya ia menunggu waktu yang tepat untuk berkunjung ke rumah itu?Tidak. Ia tidak perlu menunda apa pun. Karena waktu yang tepat adalah saat ini. Semakin cepat akan semakin bagus.Maka yang kemudian Rajendra lakukan adalah memberanikan diri mengetuk p
Livia dan Rajendra sama kagetnya melihat keberadaan Gadis. Entah apa yang membuat anak itu terbangun."Livia, please, jangan sampai kita bertengkar di depan Gadis," bisik Rajendra pelan sebelum kemudian tersenyum pada Gadis.Rajendra yang sejak tadi berdiri di sisi pintu melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah Livia.Rajendra bersimpuh sambil mengembangkan tangannya untuk memeluk Gadis. Namun ketika melihat tatapan tajam sang bunda, Gadis yang juga hendak memeluk Rajendra mengurungkan niatnya. Anak itu masih berdiri kaku di tempatnya dan terlihat takut pada Livia.Livia melangkah mendekat kemudian bertanya pada Gadis. "Adis kenapa bangun? Ayo tidur lagi, Nak. ""Adis lapar, Nda. Adis mau makan." Gadis kecil itu memegang perutnya.Livia mengesahkan napas. Ia baru ingat tidak ada makanan untuk makan malam. Hari ini lantaran pekerjaannya terlalu banyak ia tidak sempat memasak."Kebetulan kalau gitu. Papa juga belum makan. Kita makan di luar yuk, Dis? Papa lapar nih," ucap Rajendra yan
Livia baru saja menemani Gadis menggosok gigi dan mengganti piyama. Sekarang mereka berbaring di tempat tidur ditemani oleh lampu tidur yang redup. Gadis memeluk boneka Mashanya dengan erat."Bunda ...," panggil Gadis pelan."Iya, Sayang?" Livia menjawab sambil menyibak rambut Gadis yang menutupi sedikit wajahnya."Apa benar Papa Rajendra itu papanya Adis? Kenapa Bunda bilang kalau papanya Adis udah meninggal?"Livia terdiam sesaat. Pertanyaan tersebut datang lebih cepat dari yang ia kira. Matanya menatap wajah Gadis yang polos tapi penuh rasa ingin tahu. Gadis memang masih kecil. Tapi banyak pertanyaan-pertanyaannya yang tidak mampu Livia jawab."Bunda ..." Gadis menggoyangkan tangan Livia dengan pelan, menunggu jawaban.Livia menelan saliva lalu mencoba merangkai kata-kata. "Sayang, dulu Bunda kira Papa memang sudah meninggal soalnya Papa dan Bunda sangat lama berpisah, tapi ternyata Papanya Adis masih hidup.""Jadi Bunda bohongin Adis?" Gadis mengerutkan keningnya."Nggak, Sayang.
"Papa, kita ke mana? Kok jalannya bukan jalan ke sekolah?" tanya Lunetta begitu mereka berbelok ke sebelah kiri di perempatan lalu lintas. Biasanya jalan ke sekolah mereka adalah lurus."Kita jemput Gadis dulu ya," jawab Rajendra yang sedang menyetir.Lunetta berdecak mendengarnya. "Emang dia siapa sih, Pa? Kenapa harus pergi sekolah sama kita?""Lunetta, Papa kan udah bilang kalau Gadis itu saudara kalian juga. Dia juga anak Papa," kata Rajendra memberi pengertian.Lunetta langsung memberengut dan membuang pandangannya ke jalan."Jangan ngambek dong. Gadis itu anak baik. Kamu belum nyoba main sama dia kan?" Rajendra tersenyum sambil mengelus rambut Lunetta.Sementara Randu yang duduk di belakang tidak banyak protes. Ia tidak menganggap Gadis sebagai saingannya. Hanya merasa heran atas semua kejadian yang tiba-tiba ini. Tiba-tiba punya saudara, tiba-tiba menjadi keluarga.Mobil Rajendra berhenti tepat di depan rumah Livia. Dari arah berlawanan sebuah Range Rover hitam ikut berhenti. D
Di dalam mobil Rajendra, Randu dan Gadis duduk di kursi belakang sambil bersenda gurau. Sementara Lunetta menatap keduanya dengan perasaan tidak senang. Lunetta tidak suka melihat kedekatan Randu dan Gadis. Gadis seolah sedang mengambil Randu darinya. Gadis yang baru saja masuk ke dalam hidup mereka kini seolah mengambil tempat Lunetta di hati Randu."Bang Randu mau nggak main ke rumah Adis?" tanya Gadis setelah mereka puas bersenda gurau. Ia tertawa kecil dengan mata dipenuhi binar. "Di belakang rumah Adis ada kolam ikan. Kita bisa ambil ikannya terus digoreng deh.""Oh ya?" Randu tampak tertarik.Gadis mengangguk-angguk. "Ikannya udah gede-gede lho, Bang. Dulu Om Jav yang beli bibitnya."Rajendra yang mendengar obrolan keduanya sejak tadi mengembuskan napas. Lagi-lagi Om Jav. Tampaknya Lelaki itu yang selalu berjasa dalam hidup Livia dan Gadis. Perannya begitu besar terutama dalam pertumbuhan Gadis."Terus gimana cara kita tangkap ikannya?" Randu tampak berpikir."Kan bisa dipancin
Rumah besar Livia dan Rajendra kini terasa sunyi. Anak-anak sudah besar dan berkeluarga. Tapi di setiap akhir pekan rumah mereka selalu ramai oleh tawa canda cucu dan cicit mereka. Anak-anak selalu menawarkan Rajendra dan Livia untuk tinggal bersama mereka tapi keduanya menolak. Mereka lebih memilih untuk tinggal berdua saja dan menghabiskan masa tua bersama.Rajendra dan Livia saat ini sedang berada di kamar mereka. Rajendra sudah berumur 90 tahun sedangkan Livia 3 tahun di bawahnya. Keduanya berbaring di tempat tidur."Hujannya lama ya, Ndra, dari tadi nggak berhenti-henti," kata Livia sembari memandang ke luar jendela, pada titik-titik hujan yang terus berjatuhan."Iya, Sayang. Sekarang kan lagi musim hujan.""Dingin ..." Rajendra merengkuh Livia, memberi lengannya untuk istrinya itu berbaring sedangkan satu tangannya lagi memeluk tubuh Livia. Meski rambut mereka sudah sepenuhnya memutih dan wajah mereka sudah keriput tapi cinta mereka begitu kuat.Livia tersenyum. "Berada di peluk
Hari-hari setelah kehamilannya terasa berat bagi Gadis. Setiap hari ia mengalami morning sickness yang menyebabkan susah makan.Randu yang biasanya pagi-pagi berangkat ke kedutaan kini harus mengurus Gadis lebih dulu sebelum pergi ke kantornya."Makan dikit ya, Abang bikinin sup hangat atau maunya roti coklat aja?" kata Randu sambil mengelus pundak Gadis yang terduduk lemas di sofa.Gadis menggelengkan kepalanya. "Adis nggak mau apa-apa, Bang. Adis nggak selera makan apa pun.""Tapi setidaknya Adis harus makan sedikit biar ada isi perutnya. Ingat, Dis, anak kita juga butuh asupan."Gadis tersenyum melihat perhatian Randu dan kepanikannya di waktu yang sama. "Ya udah, Adis mau minum teh hangat aja sama roti coklat," putusnya walau kemudian kembali berakhir dengan muntah.Malam harinya saat video call dan mengetahui keadaan Gadis, Livia langsung mengambil keputusan."Ndra, aku harus berangkat.""Ke mana?" tanya Rajendra."Ke Turki. Aku harus nemenin Gadis. Dia butuh aku saat ini. Ini ke
Gadis dan Randu memulai kehidupan mereka sebagai suami istri begitu tiba di Ankara, ibukota Turki. Kota itu terasa begitu berbeda dengan suasana di Indonesia. Udara dingin menusuk di musim gugur. Arsitektur Eropa bercampur dengan sentuhan Ottoman serta hiruk pikuk kehidupan yang begitu asing bagi Gadis.Randu sebagai diplomat muda langsung disibukkan dengan pekerjaannya di kedutaan besar Indonesia. Seringkali ia harus menghadiri rapat dengan pejabat Turki, menerima delegasi dari Indonesia, atau menghadiri acara-acara diplomatik. Sementara itu gadis masih beradaptasi dengan kehidupan barunya. Awalnya ia merasa canggung tinggal di negeri orang. Namun Randu selalu berusaha membuatnya nyaman. Mereka tinggal di sebuah apartemen yang luas dengan pemandangan kota Ankara yang indah.Setiap pagi Randu berangkat ke kedutaan, sementara gadis mulai membangun rutinitasnya sendiri. Ia mengambil kursus bahasa Turki agar bisa lebih mudah berkomunikasi dengan orang-orang sekitar. Selain itu ia juga se
Hari keberangkatan Gadis dan Randu ke Turki semakin dekat. Di rumah keluarga Rajendra suasana haru kian terasa.Livia sibuk memastikan semua keperluan Gadis sudah siap. Ia berulang kali memeriksa koper putrinya hanya demi memastikan tidak ada barang penting yang tertinggal."Adis, kamu yakin semuanya udah lengkap? Paspor, obat-obatan, udah?" tanya Livia dengan suara bergetar.Gadis tersenyum tipis, ia mencoba menenangkan perasaan ibunya. "Udah, Bunda. Tenang aja, Adis udah cek berkali-kali, sama kayak Bunda."Namun, Livia tetap terlihat cemas. Tangannya gemetar saat merapikan baju-baju Gadis di koper."Nda, udah. Jangan kayak gini. Nanti Adis bakal sering nelepon dan video call sama Bunda kok," kata Gadis menenangkan sang bunda.Livia mengangguk tapi matanya mulai berkaca-kaca. Ia belum siap berpisah dengan Gadis, namun juga tidak mungkin menahan Gadis agar tetap bersamanya karena Gadis sudah menikah.Rajendra juga mencoba untuk tegar. Ia diam saja, memerhatikan semua persiapan denga
Akad nikah Gadis dan Randu sudah selesai dilaksanakan. Acara disambung dengan resepsi pernikahan.Acara tersebut tampak meriah. Para tamu yang datang terlihat puas. Baik oleh penyelenggaraan acaranya maupun dari hidangan yang disajikan. Wedding singer yang berada di atas panggung yang berada tidak jauh dari pelaminan tidak ada hentinya menyanyikan lagu romantis, membuat atmosfer penuh cinta semakin terasa."Liv, aku mau nyanyi boleh nggak?" kata Rajendra tiba-tiba."Hah?" Mata Livia melebar mendengarnya. "Emang kamu bisa nyanyi?""Bisa dong walau suara aku pas-pasan," kekeh Rajendra.Livia ikut tertawa. "Ya udah gih, nyanyi sana biar anak-anak tahu kalau papanya ada bakat terpendam.""Kamu mau ikutan nyanyi sama aku?""Aku ngeliat dari sini aja."Rajendra berjalan ke belakang panggung, berbicara dengan seseorang lalu naik ke atas panggung. Mikrofon yang tadinya ada di tangan wedding singer berpindah ke tangan Rajendra."Bang, itu Papa mau ngapain?" tanya Gadis yang duduk di pelaminan
Begitu mendapatkan restu dari Erwin, persiapan pernikahan Gadis dan Randu segera disiapkan.Livia yang paling sibuk. Ia memastikan bahwa semua berjalan lancar dan sempurna untuk anak perempuannya. Begitu pula dengan Rajendra. Ia lebih disibukkan dengan urusan administratif.Gadis menginginkan pernikahan yang sederhana tapi tetap elegan. Setelah berdiskusi panjang akhirnya mereka memutuskan menyewa gedung yang memiliki nuansa taman di dalamnya dengan lampu-lampu gantung. Sementara untuk dekorasinya sendiri dihiasi nuansa putih dan hijau yang menyimbolkan kesan alami dan damai.Untuk pakaian pengantin Randu mengenakan beskap putih klasik. Sedangkan Gadis memilih gaun putih gading dengan detail bordir yang lembut. Saat pertama kali mencobanya ia termenung di depan cermin, menyadari bahwa sebentar lagi hidupnya akan berubah.Mengenai undangan mereka mencetak undangan simpel dengan desain minimalis. Gadis dan Randu memutuskan hanya mengundang orang-orang terdekat. Meskipun begitu Rajendra
"Yang benar aja kamu, Ndra. Nggak mungkin Gadis nikah sama Randu!" Begitu kata Erwin di saat Rajendra mengatakan tentang rencana menikahkan kedua anaknya."Aku dan Livia juga kaget, Pi. Tapi mau bagaimana lagi? Mereka berdua saling mencintai," ujar Rajendra pada Erwin."Kayak nggak ada orang lain aja." Erwin terlihat tidak setuju atas rencana pernikahan keduanya."Ya mau gimana lagi, Pi. Namanya juga cinta."Erwin terdiam. Ia kehilangan kata untuk menjawab kata-kata Rajendra."Pi, kita restui saja mereka. Jangan dipersulit," pinta Rajendra." Aku nggak ingin melihat anakku menderita apalagi kalau mereka sampai kawin lari."Erwin menghela napasnya lalu bertanya, "Sejak kapan mereka pacaran?""Sudah cukup lama, Pi. Livia yang punya firasat itu tapi aku nggak percaya. Sampai akhirnya keduanya mengaku."Erwin terdiam lagi seolah sedang memikirkan perkataan Rajendra. "Kamu nggak lupa siapa orang tua Randu kan, Ndra? Jangan lupa dia anak Utary dan nggak tahu siapa bapaknya.""Aku udah lupakan
"Liv love, kamu ngeliat Gadis nggak?" tanya Rajendra setelah masuk ke ruangan Livia. Setelah semua yang terjadi Livia juga bekerja di kantor menjadi asisten pribadi Rajendra. Lagi pula anak-anak sudah besar."Paling pergi makan siang bareng Randu," jawab Livia sambil merapikan ikatan rambutnya."Makin hari mereka semakin dekat," komentar Rajendra."Iya. Aku pun ngeliatnya begitu." Livia menimpali. "Kamu ngerasa nggak sih, kalau hubungan mereka kayak udah nggak wajar?""Nggak wajar gimana?" Rajendra mengerutkan dahinya.Livia tampak ragu namun tak urung mengatakan. "Aku ngeliat mereka kayak orang lagi pacaran. Benar nggak?"Rajendra tertawa mendengarnya. "Kamu ada-ada aja, Sayang. Randu dan Gadis kan dari kecil sudah tumbuh bersama. Mereka itu kakak adik. Nggak mungkin mereka seperti yang kamu bilang."Livia terdiam. Yang dikatakan Rajendra ada benarnya. Tapi firasatnya berkata lain. Sebagai seorang ibu ia tahu persis ada yang berbeda dalam hubungan Randu dan Gadis. Cara Randu menatap
Waktu terus berlalu tanpa bisa dihentikan. Setiap detik yang terlewati bagaikan anak panah yang melesat dengan cepat.Anak-anak sekarang sudah dewasa. Randu sudah bekerja sebagai salah satu staff di Kemenlu. Sedangkan Gadis melanjutkan kerajaan bisnis Rajendra bersama dengan Livia. Hubungan Gadis dengan Randu sangat dekat. Bahkan tidak bisa lagi dibilang sebagai kakak adik biasa. Tumbuh bersama sejak kecil dan melewatkan berbagai hal berdua membuat mereka saling terikat satu sama lain. Meski tidak ada pernyataan cinta yang terucap namun keduanya menyadari bahwa mereka berdua saling mencintai. Hanya saja mereka tidak menunjukkannya secara terang-terangan. Rajendra dan Livia menganggap keduanya saling menyayangi sebagai kakak dan adik. Tidak sedikit pun terbersit di pikiran mereka bahwa keduanya akan melewati batas itu."Dis, Abang pengen ngomong. Bisa nggak kita ketemuan makan siang nanti?" Itu pesan yang diterima Gadis dari Randu ketika ia sedang sibuk-sibuknya bekerja di kantor."Ha