Pukul lima sore Livia datang menjemput Gadis ke daycare sekolahnya. Ia tidak sendiri tapi berdua dengan Javier. Biasanya pada hari-hari biasa Livia membawa motor ke kantor. Tapi karena hari ini hari istimewa mereka datang berdua.Gadis yang melihat Livia muncul berlari kecil menghampiri lalu memeluk pinggang Livia. Setelah seharian di sekolah dan daycare Gadis masih terlihat penuh energi.Livia membelai lembut kepada Gadis. "Adis senang di sini?" tanyanya lembut."Senang banget, Bunda. Tadi Adis belajar sama Miss Audi dan main bareng teman-teman juga.""Kalau Adis betah di sini Bunda juga senang, Nak. Tapi tadi nggak ada yang aneh-aneh kan, Nak?" Livia khawatir Rajendra muncul dan memengaruhi Gadis."Aneh-aneh apa, Bunda?" Gadis mendongak menatap Livia.Livia agak kesulitan mendeskripsikan pada bagian ini. "Hm, maksud Bunda nggak ada yang ganggu Adis kan, Nak? Nggak ada om-om jahat kan, Sayang?"Gadis menggelengkan kepalanya, membuat Livia merasa lega."Kalau begitu Ayo kita pulang.
Rajendra turun dari mobil disambut oleh tatapan heran Javier."Lo, Ndra? Kenapa bisa sama Gadis?""Jadi lo belum tahu, Jav?" tanya Rajendra balik tanpa ingin bertele-tele."Tahu apanya?""Gue bapak kandung Gadis. Gue ayah biologisnya. Sudah cukup?"Jawaban itu langsung membuat Javier terdiam. Ia sama sekali tidak tahu akan hal itu. Livia tidak pernah menyinggungnya. Lalu sekarang ia mengerti kenapa di hari pertama sekolah Rajendra langsung tahu nama Livia dan kenapa Livia menghindar."Sorry, Ndra, walau lo ayah biologisnya namun bukan berarti lo bisa membawa dia tanpa sepengetahuan ibunya.""Gue rasa nggak perlu minta izin pada siapa pun untuk membawa Gadis. Gue juga berhak, sama dengan Livia. Lo boleh pacaran sama Livia tapi jangan ikut campur urusan gue dan Gadis."Gadis yang menggandeng tangan Rajendra meremas tangan Rajendra dengan erat, seolah mengerti ada ketegangan yang terjadi saat ini."Gue nggak ingin mencampuri urusan siapa pun. Tapi ini masalah tanggung jawab, Ndra. Gue ju
Susah payah Javier meredakan emosinya. Ia menarik dan mengembuskan napasnya berkali-kali demi ketenangan diri.Javier menghentikan mobilnya di depan rumah Livia. Ia tidak langsung turun tapi melihat pada anak kecil di sebelahnya. Gadis masih terlihat ketakutan."Adis," panggil Javier lembut.Gadis hanya diam, tidak merespon apa pun ucapan Javier."Maafin Om ya? Tadi Om marah-marah sama Adis. Itu semua karena Om takut, Om cemas, Om khawatir Adis akan celaka. Nggak semua orang di dunia ini sebaik kelihatannya, Dis. Termasuk orang yang Adis panggil Papa. Lagian Adis tahu dari mana dia papanya Adis?"Gadis masih tidak menjawab. Amukan Javier tadi menyisakan trauma di hatinya.Gadis bergidik waktu Javier membelai kepalanya. "Sekali lagi Om minta maaf ya? Biar kita tahu, nanti kalau Bunda sudah pulang kita tanya sama-sama ke Bunda siapa papanya Adis dan di mana dia sekarang. Oke? Sekarang kita turun. Adis harus mandi. Sebentar lagi Bunda pulang."Javier membuka pintu mobil lalu memutarinya
Javier menarik napasnya dalam-dalam sebelum mulai bicara pada Livia."Liv, aku mohon kamu jujur. Sebenarnya siapa Rajendra?"Livia agak terkejut mendengar perkataan Javier. Jantungnya berdegup cepat.Tapi ia mencoba untuk tetap tenang seolah sesuatu yang barusan didengarnya adalah hal yang biasa."Rajendra mana ya, Jav?"Mendengarnya, Javier tersenyum asimetris. Ia salut pada Livia yang cukup pandai berpura-pura dalam hal ini."Rajendra Geraldy. Kompetitor bisnisku. Orang yang kita temui di hari pertama Gadis sekolah dan langsung mengenalmu tapi kamu pura-pura nggak kenal."Kata-kata 'pura-pura nggak kenal' membidik Livia tepat pada sasaran. Membuatnya merasa harus jujur mengenai semuanya pada Javier."Mungkin kamu ingin cerita sesuatu padaku mengenai Rajendra," pancing Javier.Livia terdiam cukup lama. Batinnya berkecamuk. Ia rasa tiada gunanya lagi menyembunyikan fakta itu dari Javier. Javier bukan orang bodoh. Lelaki itu tidak bisa lagi dikibuli."Rajendra adalah masa lalu yang sud
Cukup lama Rajendra menanti sampai mobil Javier bergerak pergi dari rumah Livia."Shit! Entah apa yang dia lakukan di sana," umpat Rajendra memaki. Rasanya ia kesal sekali. Sudah sejak tadi ia menanti bermeter-meter dari rumah Livia, ia menunggu di bawah pohon rindang.Rajendra menarik hand brake. Kemudian mobilnya bergerak pelan menuju rumah Livia.Turun dari mobil, Rajendra mengedarkan matanya ke sekeliling. Suasana halaman rumah itu persis yang digambar Gadis di bukunya.Ragu-ragu tangan Rajendra terangkat hendak mengetuk pintu. Benaknya memetakan beberapa kemungkinan.Apa yang akan Livia lakukan jika nanti melihat Rajendralah yang datang?Apa nanti Livia akan mengusirnya? Mengata-ngatainya? Atau menerimanya dengan baik-baik?Atau sebaiknya ia menunggu waktu yang tepat untuk berkunjung ke rumah itu?Tidak. Ia tidak perlu menunda apa pun. Karena waktu yang tepat adalah saat ini. Semakin cepat akan semakin bagus.Maka yang kemudian Rajendra lakukan adalah memberanikan diri mengetuk p
Livia dan Rajendra sama kagetnya melihat keberadaan Gadis. Entah apa yang membuat anak itu terbangun."Livia, please, jangan sampai kita bertengkar di depan Gadis," bisik Rajendra pelan sebelum kemudian tersenyum pada Gadis.Rajendra yang sejak tadi berdiri di sisi pintu melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah Livia.Rajendra bersimpuh sambil mengembangkan tangannya untuk memeluk Gadis. Namun ketika melihat tatapan tajam sang bunda, Gadis yang juga hendak memeluk Rajendra mengurungkan niatnya. Anak itu masih berdiri kaku di tempatnya dan terlihat takut pada Livia.Livia melangkah mendekat kemudian bertanya pada Gadis. "Adis kenapa bangun? Ayo tidur lagi, Nak. ""Adis lapar, Nda. Adis mau makan." Gadis kecil itu memegang perutnya.Livia mengesahkan napas. Ia baru ingat tidak ada makanan untuk makan malam. Hari ini lantaran pekerjaannya terlalu banyak ia tidak sempat memasak."Kebetulan kalau gitu. Papa juga belum makan. Kita makan di luar yuk, Dis? Papa lapar nih," ucap Rajendra yan
Livia baru saja menemani Gadis menggosok gigi dan mengganti piyama. Sekarang mereka berbaring di tempat tidur ditemani oleh lampu tidur yang redup. Gadis memeluk boneka Mashanya dengan erat."Bunda ...," panggil Gadis pelan."Iya, Sayang?" Livia menjawab sambil menyibak rambut Gadis yang menutupi sedikit wajahnya."Apa benar Papa Rajendra itu papanya Adis? Kenapa Bunda bilang kalau papanya Adis udah meninggal?"Livia terdiam sesaat. Pertanyaan tersebut datang lebih cepat dari yang ia kira. Matanya menatap wajah Gadis yang polos tapi penuh rasa ingin tahu. Gadis memang masih kecil. Tapi banyak pertanyaan-pertanyaannya yang tidak mampu Livia jawab."Bunda ..." Gadis menggoyangkan tangan Livia dengan pelan, menunggu jawaban.Livia menelan saliva lalu mencoba merangkai kata-kata. "Sayang, dulu Bunda kira Papa memang sudah meninggal soalnya Papa dan Bunda sangat lama berpisah, tapi ternyata Papanya Adis masih hidup.""Jadi Bunda bohongin Adis?" Gadis mengerutkan keningnya."Nggak, Sayang.
"Papa, kita ke mana? Kok jalannya bukan jalan ke sekolah?" tanya Lunetta begitu mereka berbelok ke sebelah kiri di perempatan lalu lintas. Biasanya jalan ke sekolah mereka adalah lurus."Kita jemput Gadis dulu ya," jawab Rajendra yang sedang menyetir.Lunetta berdecak mendengarnya. "Emang dia siapa sih, Pa? Kenapa harus pergi sekolah sama kita?""Lunetta, Papa kan udah bilang kalau Gadis itu saudara kalian juga. Dia juga anak Papa," kata Rajendra memberi pengertian.Lunetta langsung memberengut dan membuang pandangannya ke jalan."Jangan ngambek dong. Gadis itu anak baik. Kamu belum nyoba main sama dia kan?" Rajendra tersenyum sambil mengelus rambut Lunetta.Sementara Randu yang duduk di belakang tidak banyak protes. Ia tidak menganggap Gadis sebagai saingannya. Hanya merasa heran atas semua kejadian yang tiba-tiba ini. Tiba-tiba punya saudara, tiba-tiba menjadi keluarga.Mobil Rajendra berhenti tepat di depan rumah Livia. Dari arah berlawanan sebuah Range Rover hitam ikut berhenti. D
"Kok aku bawaannya pengen nyium celana dalam kamu terus ya, Liv?" "Apa sih, Ndra?" Livia mendelik malu, mukanya sedikit memerah."Iya, Sayang, aku serius," jawab Rajendra sungguh-sungguh. "Sini!" Rajendra merenggut celana dalam bekas pakai Livia setelah Livia membukanya. Saat itu mereka akan mandi berdua.Livia terpaksa memberikannya pada Rajendra. Lelaki itu langsung mencium dan menjilatinya tepat di bagian kewanitaan Livia."Astaga, Ndra!" Livia geleng-geleng kepala melihat tingkah suaminya. Ternyata Rajendra kalau bucin gini amat ya?"Wanginya khas, aku suka," kata Rajendra yang membuat Livia bertambah malu."Sini, Ndra! Balikin nggak?" Livia berusaha merebut dari tangan Rajendra tapi Rajendra menjauhkan celana dalam itu dengan mengangkatnya tinggi-tinggi."Cuma celana dalam aja, Sayang. Pelit banget sih." Rajendra tertawa melihat ekspresi Livia yang sudah kehabisan akal."Tapi kamu itu aneh. Masa maunya celana dalam aku. Nggak cukup apa nyium yang ini?" Livia menunjuk organ vital
lHari demi hari berlangsung dengan damai. Kehidupan rumah tangga Livia dan Rajendra berlangsung harmonis bersama anak-anak mereka. Sesekali Rajendra menelepon Lunetta, namun gadis kecil itu tidak ingin berbicara dengannya. Lunetta masih merajuk lantaran Rajendra meninggalkannya di tempat sang nenek.Sementara itu Rajendra menjadi ayah yang siaga untuk Ananta. Hampir setiap malam Rajendra menemani Livia begadang untuk menyusui atau mengurus Ananta jika anak itu tidak mau tidur. Mereka saling bahu membahu dan berbagi tugas. Setiap tumbuh kembang Ananta tidak lepas dari perhatian Rajendra. Rajendra tidak ingin kehilangan momen-momen penting itu karena tidak akan bisa diulang kembali. Tanpa terasa sekarang Ananta sudah berusia satu tahun. Anak itu sudah bisa berjalan walau kakinya belum terlalu kokoh. Sore itu Rajendra pulang lebih cepat dari biasanya sehingga ia punya banyak waktu bermain dengan Ananta."Ndra, tolong jagain Ananta sebentar ya, aku mau nyiapin makanannya," ujar Livia."
"Lho, Papa kenapa udah pulang? Katanya Papa pergi liburan?" Gadis tercengang ketika sore itu melihat Rajendra sudah ada di rumah."Papa nggak jadi liburan, Papa tadi pagi cuma mengantar Kak Lunetta ke rumah kakek dan neneknya.""Apa, Pa? Berarti Papa bohongin kita? Kata Papa bohong itu dosa," mulut Gadis mengerucut.Rajendra tertawa karenanya. "Papa nggak bohong, Nak. Papa cuma nggak ingin bikin Adis sedih.""Emangnya Lunetta nggak bakal ke sini lagi ya, Pa?" tanya Randu menimpali.Rajendra menggelengkan kepalanya. "Untuk saat ini nggak. Lunetta tinggal dan sekolah di Surabaya. Nanti kalau liburan dia baru ke sini.""Kasihan Kak Lunetta. Kalau tahu dia mau pergi Adis kan bisa kasih hadiah perpisahan. Lagian emangnya di sana Kak Lunetta main sama siapa, Pa? Kak Lunetta kan nggak punya teman.""Ada, Sayang. Nanti kalau Kak Lunetta sudah sekolah temannya juga banyak seperti di sini. Adis nggak usah khawatir ya." Rajendra me
Taksi berhenti di depan sebuah rumah bercat putih berpagar hitam. Rajendra dan Lunetta turun. Sebelah tangan Rajendra menggeret koper sedangkan sebelahnya lagi menggandeng tangan Lunetta."Papa, kenapa hotelnya kayak gini? Kenapa nggak bagus?" tanya Lunetta keheranan. Matanya mengelana ke sekeliling."Ini bukan hotel, Sayang. Ini rumah nenek dan kakek, orang tuanya mommy Sharon."Lunetta terdiam sejenak sebelum kembali bertanya. "Kita ngapain di sini, Pa?""Kita ngunjungin nenek dan kakek. Selama ini mereka nggak tahu Lunetta itu yang mana. Ayo kita masuk."Berhubung pagar yang tidak dikunci memudahkan Rajendra untuk masuk ke dalam pekarangan. Tepat di depan pintu Rajendra menekan bel. Hanya dalam beberapa detik seorang wanita berusia enam puluhan keluar."Tante Ratih, masih ingat saya?" kata Rajendra mengawali.Wanita itu mengerutkan dahinya seolah sedang berpikir. Setelah ingatannya pulih ia berkata, "Rajendra?""Iya, Tante. Ini saya.""Sudah lama sekali saya tidak ketemu kamu," uja
Pagi itu Gadis keheranan menyaksikan Lunetta yang tidak mengenakan seragam sekolah seperti dirinya."Kak Lunetta mau ke mana?" tanyanya."Mau liburan sama Papa. Kamu nggak diajak ya?" ucap Lunetta bangga lantaran hanya dirinya yang ikut pergi dengan Rajendra."Liburan? Kita kan sekolah. Lagian Papa kok nggak ngajak Adis?""Aku juga nggak diajak." Randu menimpali.Keheranan mereka semakin kentara saat melihat Rajendra muncul dengan membawa koper Lunetta. Koper itu besar seperti digunakan untuk perjalanan jauh."Papa mau liburan ke mana sama Kak Lunetta? Kenapa Adis dan Bang Randu nggak diajak?" Gadis memprotes tindakan ayahnya."Papa ke Surabaya sama Kak Lunetta. Kali ini Adis dan Bang Randu nggak usah ikut ya. Temenin Bunda di rumah jaga adek.""Yaaa ... kita nggak liburan bareng-bareng dong."Lunetta tersenyum puas melihat kekecewaan Gadis."Tapi nggak apa-apa, Pa, ketimbang liburan, Adis lebi
Rajendra mengetuk pintu kamar Lunetta. Pertama-tama tidak ada jawaban sampai Rajendra mengetuk dengan lebih keras lagi."Lunetta, ini Papa. Tolong buka pintunya dulu."Beberapa detik setelahnya daun pintu terbuka bersamaan dengan sosok Lunetta yang muncul dengan wajah masam."Ada apa, Pa?" tanyanya sambil berdiri di celah pintu yang tidak sepenuhnya terbuka. Lunetta hanya membuka setengahnya."Kamu lagi apa? Boleh Papa masuk ke dalam?"Lunetta terpaksa menganggukkan kepalanya dan membiarkan Rajendra melangkahkan kakinya masuk.Rajendra duduk di tepi tempat tidur sedangkan Lunetta berdiri dengan tangan bersedekap seolah-olah sedang menginterogasi Rajendra. Anak itu benar-benar tidak sopan."Lunetta, turunkan tangan kamu lalu duduk di sini." Rajendra menepuk permukaan kasur yang kosong di sebelahnya.Lunetta melakukan apa yang diperintahkan Rajendra, menunggu apa yang akan disampaikan berikutnya."Lunetta, besok Papa mau pergi ke Surabaya. Kamu mau ikut Papa?""Ke Surabaya, Pa?" ulang a
Setelah dirawat di rumah sakit akhirnya Livia diizinkan pulang. Kondisinya sudah jauh membaik. Baik dari segi fisik maupun ingatannya.Ketika masuk ke dalam rumah Livia merasakan kehangatan yang familier. Tidak ada yang berubah dari rumah itu dari terakhir kali yang ia ingat."Welcome home, Love." Rajendra merangkul pinggul Livia untuk memasuki rumah tersebut. Sedangkan Gadis dan Randu membantu mendorong stroller yang berisi Ananta. Di belakang kedua anak itu ada Lunetta yang merasa tidak senang. Kehadiran Ananta merenggut perhatian semua orang, terutama Rajendra. Livia tersenyum sambil mengedarkan pandangannya ke seisi rumah. Tidak ada yang berubah di rumah itu. "Ndra, aku jadi kangen pengen ngerajut. Rasanya udah satu abad aku nggak ngelakuin itu."Rajendra terkekeh mendengarnya. "Kamu bisa ngerajut yang banyak, tapi nanti ya. Ananta lebih butuh perhatian kamu."Livia dan Rajendra masuk ke kamar pribadi mereka. Setelah memberikan Ananta dan bercanda dengannya Gadis dan Randu keluar
Hari-hari berlalu tanpa kepastian. Livia masih terbaring lemah tidak sadarkan diri. Gadis terus menanyakan kapan bundanya akan bangun. Anak itu juga menangis karena takut kehilangan Livia. Sama dengan Rajendra yang tidak berhenti mengeluarkan air matanya.Para kolega bisnis dan bawahannya berdatangan menyampaikan empati. Hanya saja mereka dilarang masuk ke ruangan Livia. Mereka hanya bertemu dengan baby Ananta yang saat ini sudah berumur tujuh hari.Langit adalah salah satu dari orang yang datang menghibur Rajendra. Walaupun selama ini ia menjauh namun ia tidak bisa tinggal diam mendengar musibah yang dialami Rajendra."Gue ikut sedih, Ndra. Gue cuma bisa bantu doa biar Livia cepat sadar. Lo yang sabar ya," kata Langit menghibur Rajendra."Gue udah lebih dari sabar," jawab Rajendra. "Gue udah sabar menunggu Livia sadar dan menanggung rasa takut ini sendirian." Suara Rajendra terdengar serak. Matanya pun memerah. Langit tahu Rajendra adalah orang yang tidak mudah menunjukkan kelemahan
Suara bip mesin pemantau detak jantung memenuhi ruang operasi. Begitu pun dengan cahaya lampu bedah yang terang ikut menyorot tubuh Livia yang terbaring lemah di atas meja operasi. Para dokter dan asistennya bekerja dengan sigap. Livia yang seharusnya akan melahirkan satu minggu lagi terpaksa harus menjalani operasi caesar saat ini demi menyelamatkan bayinya. Sedangkan Livia sendiri berada dalam keadaan tidak sadarkan diri.Di luar ruang operasi Rajendra menunggu dengan gelisah. Perasaannya tidak tenang. Hatinya kalut. Dari tadi yang dilakukannya hanya mondar-mandir di depan ruang operasi sambil berharap operasi selesai lalu dokter atau siapa pun keluar untuk memberi kabar baik."Ndra, udah, yang tenang, jangan mondar-mandir melulu. Duduk di sini," kata Erwin yang juga berada di tempat yang sama. Pria itu langsung meluncur ke rumah sakit setelah Rajendra mengabarinya."Gimana aku bisa tenang, Pi? Gimana kalau Livia nggak akan bangun lagi?" ucap Rajendra emosional. Matanya memerah mena