'Lelaki ini benar-benar sudah gila,' batin Livia sambil melihat seluruh pakaiannya yang berada di dalam koper kini berserakan di lantai.Ketika pandangannya beradu dengan pintu ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Rajendra mengunci pintu dan mengantongi di dalam sakunya.'Mungkin kejiwaannya perlu diperiksa,' batin Livia lagi.Bagaimana tidak? Sikap Rajendra berubah dengan cepat. Emosinya tidak stabil. Dan perbuatannya pun aneh. Siapa yang tidak heran kalau begitu.Dengan susah payah Livia mengemasi pakaiannya dari lantai kemudian menyusunnya kembali dengan rapi di dalam lemari. Sementara itu Rajendra berbaring di tempat tidur dengan mata tertutup. Livia tidak tahu apa laki-laki itu sudah benar-benar tidur atau masih tidur-tidur ayam.Yang Livia tahu, tadi ia melihat Rajendra mematikan ponselnya kemudian meletakkan di nakas. Sedangkan kunci kamar berada di saku celana laki-laki itu karena ia takut Livia akan kabur.***Livia terbangun sedikit lebih lambat pagi ini. Semalam sete
Livia menegakkan tubuhnya, merasa topik pembicaraan ini begitu penting. Ia juga meletakkan kaus kaki mungil rajutannya di pangkuan."Iya, Tante, gimana?""Sebelumnya Tante minta maaf karena harus membicarakan ini dengan kamu. Tapi Tante rasa kamu perlu tahu. Atau apa Rajendra sudah membicarakannya secara khusus dengan kamu?"Livia menjawab dengan gelengan kepala."Oh, mungkin dia hanya ingin menjaga perasaan kamu."'Perasaan? Perasaan apa yang dia jaga? Yang terjadi dia hanya terus menyakitiku,' batin Livia.Livia menunggu sampai Lola menyampaikan apa yang hendak dikatakannya."Beberapa hari yang lalu Rajendra datang ke rumah untuk menemui Tante dan papinya. Rajendra membawa surat hasil tes DNA itu. Dan hasilnya dinyatakan kalau Randu adalah anak kandung Rajendra."Livia terdiam. Kalau soal anak kandung ia sudah tahu dari Rajendra. Ia hanya tidak tahu kapan tes itu dilakukan."Iya, Tante. Rajendra sudah bilang begitu kalau Randu adalah anak kandungnya.""Kamu yang sabar ya, Liv. Ini m
Langit datang sore harinya ke rumah Livia. Lelaki itu terkejut ketika ia dilarang masuk oleh lelaki yang katanya sekuriti rumah itu.Langit berdiri dengan alis mengernyit. Ia tidak pernah melihat sekuriti sebelumnya. Sekuriti itu menghalanginya masuk."Maaf, Mas, tapi siapa pun yang datang dilarang masuk tanpa izin dari pemilik rumah!" Danu berujar dengan nada tegas.Langit tertawa mendengarnya. "Saya ini saudara Rajendra, Pak. Saya sudah sering ke sini dan nggak ada masalah. Tolong panggil Livia, saya harus bicara dengan dia," ujar Langit dengan nada kesal."Sekali lagi maaf, Mas. Tidak bisa. Saya hanya menjalankan perintah."Langit mulai kehilangan kesabaran lantaran diperlakukan seperti itu. "Tolong jangan buat saya marah ya, Pak. Kalau Bapak nggak mau bukain pintunya saya akan telepon Rajendra sekarang."Nama Rajendra yang disebut membuat sekuriti itu terlihat ragu sejenak. Sebelum ia sempat memberi jawaban, suara lembut namun tegas terdengar dari arah rumah."Langit!" Livia seger
"Shit!" Rajendra mengumpat ketika mobil yang ia kendarai terjebak di lampu merah. Ini sudah dua kali terjadi. Rajendra sudah sigap untuk melaju begitu lampu hijau menyala, tapi mobil yang di depannya berjalan lambat seperti siput hingga ia terperangkap lagi dalam lampu merah yang lama.Sebenarnya Rajendra punya supir. Namanya Geri, tapi Rajendra jarang memakainya. Ia lebih suka menyetir sendiri. Palingan Rajendra memakai Geri hanya untuk hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan kantor.Setelah lampu hijau menyala Rajendra membelokkan mobilnya ke kanan. Ke arah apartemen Utary. Wanita itu marah-marah padanya lantaran kemarin Rajendra tidak jadi menginap di apartemennya.Lelaki dengan nama lengkap Rajendra Geraldy itu memarkir mobilnya di basement dengan kasar, seolah menunjukkan suasana hatinya yang sedang tidak baik. Sebelum keluar dari mobilnya Rajendra terduduk lama sambil menghela napas panjang berkali-kali. Ia mencoba meredam amarah yang sudah membakar sejak kemarin malam akibat
Livia terkejut ketika malam itu Rajendra pulang dengan membawa Randu. Lengkap dengan stroller, bouncher dan pakaiannya. Tanpa ada Utary. "Ndra, Randu kenapa?" tanya Livia meminta penjelasan."Untuk sementara Randu akan tinggal di sini." Rajendra menjawab sambil menggendong Randu yang sudah terlelap sejak di mobil tadi ke dalam kamar.Livia menyusul Rajendra dari belakang. Ikut menuju kamar. Ia melihat Rajendra membaringkan Randu di atas tempat tidur tepat di tengah-tengah. Livia masih tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi hingga Rajendra membawa Randu ke sini."Utary mana? Kenapa Randu nggak sama dia?" tanyanya penasaran."Utary mau healing, liburan ke luar negeri, jadi Randu di sini dulu. Selama dia di sini kamu yang urus Randu."Perkataan Rajendra refleks membuat Livia termangu. "Jadi dia pergi liburan tanpa Randu?""Iya." Rajendra menjawab singkat sambil menyelimuti tubuh Randu dan memastikan anak itu merasa nyaman. "Utary butuh me time. Dia capek mengurus Randu sendiri. Jad
Rajendra tertegun di tempatnya. Rahang lelaki itu terkatup rapat. Irama napasnya terdengar memburu, menahan kejengkelan yang sudah tidak bisa ditaklukkan. Rajendra memandangi Livia yang sudah kembali tidur dengan lelap seolah semua yang terjadi di rumah tersebut bukanlah urusannya. "Luar biasa," ujarnya pelan dengan nada sinis. Sembari menahan emosi Rajendra membersihkan kotoran Randu. Tangisan anak itu menjadi-jadi, membuat keheningan malam menjadi pecah. Dengan gerakan canggung Rajendra mengganti diaper Randu. Tangannya gemetaran, kepalanya terasa panas, dan pikirannya dipenuhi oleh rasa frustasi. Selesai urusan BAB, Rajendra membuatkan susu untuk Randu. Sambil menuang air ke botol ia terus mengumpat sendiri. "Kenapa semua orang bikin hidup gue susah? Damn!" Selepas membuat susu Rajendra naik ke atas tempat tidur dan memberi Randu susu melalui botol. Bayi berumur tiga bulan itu mulai tenang walaupun wajahnya masih merah oleh sisa tangisan. Rajendra memandangi wajah mungil
Rajendra berdiri membatu di depan pintu rumah ibunya. Ia bagaikan dilempar ke jurang tanpa tali. Randu menggeliat di dalam gendongannya, mengeluarkan rengekan kecil. Dengan perasaan kecewa Rajendra membawa Randu kembali masuk ke mobil. "Yang sabar ya, Nak," ujarnya sambil meletakkan Randu di atas car seat. Lama Rajendra berpikir pagi itu. Akan ke mana ia membawa Randu? Di dalam perjalanan kepalanya penuh dengan pikiran yang tidak menentu. Ia terjebak dalam situasi yang tidak pernah dibayangkannya. Utary pergi, Livia tidak peduli dan sekarang ibunya juga menolak untuk membantu. Akhirnya Rajendra memutuskan kembali ke rumah. Suasana sunyi menyambutnya. Entah di mana Livia. Rajendra menurunkan Randu dari mobil dan membawanya masuk ke rumah. Sesudah menempatkan Randu di stroller Rajendra duduk di sofa dengan wajah lesu. "Kenapa semua orang tega pada gue?" gumamnya putus asa. Beberapa saat kemudian Livia muncul. Ia berjalan melewati Rajendra tanpa sepatah kata pun terlon
Rajendra menatap Livia sekilas sebelum membawa langkah keluar rumah. Kalimat terakhir Livia menusuk dalam ke hati Rajendra. Ia tahu hubungan mereka sudah di ujung tanduk. Namun mendengar langsung Livia mengatakan tidak mencintainya terasa begitu menyakitkan.Sambil menyetir Rajendra mencoba fokus pada tujuan utamanya yaitu menemukan pengasuh untuk Randu. Namun ternyata tidak semudah yang ia bayangkan.Saat sesekali Randu menggeliat di car seat-nya, Rajendra ikut melihat pada anak itu."Sabar ya, Sayang. Kita pasti ketemu pengasuh buat kamu," bisiknya pelan walau ia tidak sepenuhnya yakin pada ucapannya itu.Sesudah mengunjungi agen pengasuh anak dan melakukan wawancara kilat, Rajendra akhirnya menemukan pengasuh sementara untuk Randu. Dia seorang perempuan paruh baya yang bernama Bu Asih. Bu Asih terlihat lembut, pembawaannya tenang, berpengalaman, serta memiliki sertifikat pelatihan pengasuh anak.Rajendra akhirnya bisa bernapas lega walau ada kekhawatiran yang mengendap di hatinya.
"Lho, Ndra? Katanya mau pulang malam," kata Lola saat melihat Rajendra muncul di rumah pukul enam sore."Aku mau mengantar Gadis pulang dulu, Tante.""Emangnya Livia udah pulang dari kantor?""Barusan aku chat katanya udah."Lola senyum-senyum sendiri mendengar jawaban Rajendra."Kok senyum, Tante?""Nggak. Tante cuma lagi senang melihat hubungan kamu dan Livia makin membaik. Kalau boleh Tante kasih saran kenapa kalian nggak kembali bersama, Ndra?"Rajendra yang sedang menyingsingkan kemejanya hanya bisa tersenyum kecut. Ia tahu pertanyaan itu akan muncul cepat atau lambat."Tante masih berharap aku dan Livia kembali bersama?" "Tentu saja." Lola menjawab tanpa ragu. "Tante yakin perasaan kalian berdua masih ada. Kenapa harus terus membantah?"Rajendra menghela napas lalu menatap Lola dengan pandangan lelah. "Tante, hubunganku dengan Livia nggak sesederhana itu. Sudah terlalu banyak hal yang terjadi. Aku dan Livia juga sudah sepakat untuk bercerai."Lola mengerutkan dahinya. "Apa, Nda
Javier baru saja memarkirkan mobilnya ketika matanya menangkap Livia yang keluar dari kendaraan yang bukan miliknya. Javier tahu itu mobil milik Rajendra. Rajendra bahkan memayungi Livia sampai lobi kantor, seolah mereka masih pasangan suami istri yang harmonis. Rahangnya refleks mengeras. Javier tahu masih ada urusan yang harus diselesaikan di antara mereka berdua. Namun melihat keduanya bersama seperti ini tetap membuat dadanya panas.Javier turun dari mobilnya lalu terburu-buru mengejar Livia."Livia!"Livia menoleh dan tersenyum. Ia juga bisa menangkap ketidaksenangan Javier. "Hei, Jav."Javier berhenti di depan Livia lalu melirik pada Rajendra yang berdiri beberapa langkah dari mereka. "Dia yang mengantar kamu?" tanyanya meskipun jawabannya sudah jelas."Ya. Tadi aku hujan-hujanan nunggu taksi dan kebetulan ada Rajendra.""Aku bisa jemput kamu kalau kamu bilang dari awal.""Aku buru-buru, Jav. Lagian nggak enak kalau anak-anak kantor ngeliat kita terlalu sering bersama."Javier
Rajendra merasa dunia seakan berhenti sejenak. Kata-kata Livia menggema terasa begitu keras di telinganya. Tangan Rajendra yang mencengkeram setir kini terasa kaku dan tidak bisa mengendalikan mobil.Rajendra tahu. Sudah saatnya Livia melepaskan diri darinya.Livia masih muda dan cantik. Ia tidak mungkin hidup sendiri selamanya. Dan untuk melangkah maju tentu saja terlebih dahulu ia harus melepaskan diri dari Rajendra."Aku nggak tahu harus jawab apa, Liv," ucap Rajendra pada akhirnya. Suaranya terdengar penuh beban. "Aku nggak bisa bayangin kalau kamu benar-benar menikah dengan Javier."Livia terdiam dan merenungkan perasaannya. Di satu sisi ada cinta yang masih tersisa, sedangkan di sisi lain ada luka yang belum sembuh sepenuhnya. Ia takut akan terluka lagi."Aku butuh kepastian, Ndra. Lebih tepatnya kita berdua butuh kepastian agar kita bisa sama-sama melangkah ke depan. Kalau aku yang menggugat, apa kamu siap menerima semuanya?""Kamu yakin ini yang terbaik untuk kita?" Rajendra m
Pagi itu Livia bertemu dengan Rajendra. Rajendra mengantar anak-anak ke sekolah sedangkan Livia datang ke daycare untuk mengatakan bahwa mulai hari ini Gadis tidak dititip lagi ke sana karena sudah ada omanya."Nanti pulangnya dijemput Papa lagi kan?" tanya Adis yang digandeng Rajendra di tangan kanan sedangkan tangan kiri Rajendra menggandeng Lunetta. Di sebelahnya ada Randu."Hmm ... kalo misalnya kali ini Papa nggak bisa jemput Adis, gimana?" Rajendra membuat pengandaian."Papa sibuk kerja ya, Pa?""Lumayan, Sayang. Papa sibuk banget. Papa lagi banyak kerjaan.""Berarti Adis di daycare sampai sore?" Gadis menengadah dan terlihat sedikit kecewa."Nggak juga, Sayang. Nanti Adis, Kak Lunetta dan Bang Randu dijemput sama Om Geri ya?"Dahi Gadis berkerut. Ini adalah untuk pertama kalinya ia mendengar nama itu. Siapa dia? pikirnya."Om Geri tuh siapa, Pa?""Om Geri supir Papa. Orangnya baik dan nggak galak. Adis nggak usah takut pokoknya." "Lebih baik mana dari Om Jav?" Gadis mendongak
Livia terdiam menatap cincin berlian yang berkilau di dalam kotak. Ia tidak tahu harus berkata apa. Semestinya ini momen yang membahagiakan kan? Tapi mengapa ada sesuatu yang terasa berat? Ia teringat bagaimana sentuhan tidak sopan Handi. Dan bagaimana Javier hanya tertawa dan menganggapnya sebagai angin lalu. Malam ini membuka matanya bahwa dunia Javier bukanlah dunianya."Maaf, Jav, aku nggak bisa."Ekspresi Javier seketika berubah. "Maksud kamu.""Aku nggak bisa menerima lamaran kamu. Itu maksudku."Kotak cincin tadi masih berada di tangan Javier namun terasa berada begitu jauh sekarang."Kenapa? Aku pikir kita sudah sangat lama bersama. Aku pikir ini yang kamu inginkan."Livia menggeleng. "Kita berbeda, Jav. Cara kita memandang hidup nggak sama. Selain itu statusku masih istri orang," jelas Livia."Itu makanya aku suruh kamu mengurus perceraian. Agar semua jelas. Jadi kalau pun kamu mau menolakku seenggaknya dalam status bukan sebagai istri orang." Pada bagian ini suara Javier te
Di halaman belakang rumah aroma ikan bakar semakin kuat. Dengan telaten Rajendra membolak-balikkan ikan besar di atas panggangan. Sementara di sebelahnya beberapa ekor ikan kecil sedang digoreng hingga renyah.Gadis duduk di bangku plastik, menunggu dengan sabar sambil mengayun kakinya. Sesekali menghirup aroma ikan bakar dengan penuh rasa antusias. Begitu berbeda dengan Lunetta yang berdiri dengan tangan menyilang di depan dada. Anak itu tampak tidak senang."Papa, kenapa ikan buat aku cuma ikan kecil?" Lunetta memprotes, membandingkan dengan ikan besar yang dibakar untuk Gadis."Tadi Kak Lunetta bilang mau ikan goreng kan? Jadi Papa gorengkan. Lihat nih walau kecil-kecil tapi banyak. Ikan kecil ini kalau dikumpulin bakalan sama kayak ikan bakar Adis.""Tapi tetap aja Adis dapat yang besar sedangkan aku yang kecil. Aku mau ikan yang besar!" Lunetta bersungut-sungut."Kalau Kak Lunetta mau ikan besar, ambil punya Adis aja, Kak," ujar Gadis mengalah."Aku kan udah bilang nggak suka ika
Javier turun dari mobilnya. Hari itu lelaki tersebut berpenampilan casual menggunakan celana jeans dan kaos Polo berwarna navy."Ada tamu, Liv?" tanya pria itu pada Livia yang menyambutnya.Livia mengangguk."Siapa?" Javier memandang ke arah rumah."Rajendra. Sekarang lagi mancing sama Gadis dan dua anak lainnya di belakang."Ekspresi Javier berubah dalam hitungan detik mendengar informasi itu."Kamu gimana sih, Liv? Katanya hari ini kita mau jalan ke mall.""Sorry, Jav. Aku juga nggak tahu kalau Rajendra bakal ke sini. Dia yang bikin janji sama Gadis. Dan Gadis nggak bilang ke aku."Javier berdecak kesal karena Rajendra merusak rencananya. Sejak lelaki itu hadir, hubungannya dengan Livia dan Gadis menjadi kacau."Sekarang panggil Gadis, kita pergi." Javier memerintah."Nggak bisa begitu, Jav. Gadis lagi quality time sama papanya. Aku nggak mungkin tiba-tiba ngerusak kebahagiaan dia. Dia lagi happy-happy-nya.""Kalau begitu kita pergi berdua.""Sorry, Jav. Aku nggak mungkin ninggalin
Pagi itu halaman rumah Livia diterpa cahaya matahari dengan hangat. Gadis asyik membantu Livia menyiram bunga di halaman.Ketika suara mobil terdengar berhenti di luar pagar awalnya Gadis tidak peduli siapa yang datang. Ia pikir teman Livia atau siapa. Namun ketika tahu itu Rajendra, Gadis langsung berseru riang. "Papa!" dan langsung berlari ke arah mobil Rajendra.Livia yang sedang membersihkan halaman rumah ikut memandang ke arah itu. Ia tidak tahu apa maksud kedatangan Rajendra hari ini. Apalagi dengan membawa Randu dan Lunetta."Papa kok ke sini nggak bilang-bilang Adis dulu?" Gadis mendongak penuh rasa penasaran."Kan Papa udah janji hari Minggu kita mau mancing di kolam belakang. Adis lupa ya?""Oh iya ya. Adis baru ingat." Gadis melompat kegirangan.Livia menghela napas pelan melihat Rajendra mengambil alat pancingnya dari bak belakang pick up double cabin. Apalagi lelaki itu juga membawa dua anaknya yang lain."Sini Adis bawa, Pa," ujar Gadis antusias.Rajendra memberi satu p
Ketika Javier berkata akan membantu mengurus perceraian, Livia hanya diam. Jemarinya saling bertautan di atas pangkuannya, berusaha menenangkan gemuruh di dalam dadanya. Semestinya ia merasa lega. Perceraian tersebut adalah akhir dari segala keterikatan dengan Rajendra. Tapi kenapa hatinya justru terasa berat?Livia menatap ke luar jendela mobil dengan sorot kosong. Dadanya semakin terasa sesak."Aku akan bantu kamu bicara sama pengacara," kata Javier yang masih fokus menyetir.Livia mengambil napas dalam. "Javier ..." Ia menggigit bibir, merasa ragu untuk melanjutkan perkataannya."Ya.""Kamu yakin perceraian ini adalah jalan terbaik untukku?""Sure. Setelah semua derita yang kamu alami kamu berhak mendapatkan yang terbaik. Kamu sudah terlalu lama menderita."Terlalu lama menderita.Kalimat itu seharusnya menyadarkan Livia. Menjadi pengingat bahwa Rajendra pernah menyakitinya begitu dalam. Tapi kenapa di dalam hatinya ada suara yang membisikkan bahwa ia masih harus bertahan?Bahwa ia