Rajendra terpaksa berkenalan dengan Tedi. Kemudian duduk bergabung bersama ketiganya."Jadi, Pak Rajendra, saya ke sini mau menjemput dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk mengurus perceraian Bapak dan Ibu Livia," kata Tedi mengawali percakapan."Siapa yang akan bercerai?" ujar Rajendra dingin.Mendadak keheningan mengisi ruangan. Langit dan Livia saling menatap, sedangkan Tedi membetulkan posisi duduknya, berusaha tetap profesional di tengah-tengah suasana yang mulai memanas.Kemudian Tedi angkat bicara. Ia berkata dengan tenang. "Pak Rajendra, saya mengerti bahwa hal ini mungkin mengejutkan atau tidak sesuai dengan harapan anda. Tapi Ibu Livia sudah memutuskan untuk mengambil jalan ini. Dan saya ada di sini untuk membantu memfasilitasi proses tersebut.Rajendra memajukan tubuhnya, menatap Tedi dengan sorot tajam. "Dengar saya baik-baik, Pak Tedi. Saya nggak pernah menyetujui perceraian ini. Dan saya yakin anda mengerti bahwa keputusan seperti ini tidak bisa dibuat secara sepihak. Ja
Rajendra memasuki kantor sebuah firma hukum terkenal di pusat kota. Ia memutuskan memilih tempat ini untuk menangani kasusnya setelah mendengar reputasi firma hukum tersebut melalui seorang rekan bisnisnya.Setelah pintu terbuka Rajendra disambut seorang sekretaris yang mengarahkannya ke sebuah ruangan."Selamat datang, Pak Rajendra. Silakan duduk," kata seorang pria dengan setelan jas abu-abu. Namanya Yosef, pengacara ternama yang tidak pernah kalah dalam menangani kasus perceraian.Rajendra dan Yosef saling berjabat tangan. Kemudian Rajendra duduk di kursi yang tersedia."Langsung saja, Pak Yosef, saya butuh bantuan anda untuk menangani kasus perceraian saya. Istri saya ingin bercerai tapi saya tidak mau."Yosef tersenyum tipis kemudian berkata, "Kalau boleh tahu kenapa dia ingin bercerai dengan anda?""Dia cemburu melihat teman wanita saya. Dari dulu orangnya memang cemburuan. Nggak bisa ngeliat saya sama perempuan sedikit pasti akan langsung marah."Yosef tertawa mendengar keteran
Hari pertama setelah Rajendra pergi ke Singapura Livia memanfaatkannya dengan bermain sepuasnya bersama Randu. Karena saat inilah kesempatannya untuk berinteraksi dengan anak itu sepuasnya. Sedangkan di depan Rajendra Livia sengaja bersikap pura-pura membenci Randu.Saat ini Livia dan Randu sedang berada di tempat tidur. Randu telungkup sedang Livia berbaring miring menghadap anak itu. Randu menggenggam telunjuk Livia sambil memain-mainkannya."Ini namanya jari, Nak," ujar Livia pelan. Ada kehangatan mengaliri hatinya saat bersentuhan dengan anak itu.Di umurnya yang sekarang Randu sudah bisa menggenggam, menggerakkan tangan untuk meraih sesuatu dan menggoyangkan benda di dekatnya."Sekarang kita main bola aja yuk." Livia meletakkan bola mainan di dekat Randu. Sedangkan anak itu begitu antusias untuk mendapatkannya. Begitu berhasil, ia menggoyang-goyangkannya, anak itu tertawa dan asyik bermain bersama bolanya.Hari itu Livia total mengurus Randu. Mulai dari mengganti diaper, membuat
Livia mencari Asih lalu mengajak untuk pulang bersamanya. Wanita itu terheran-heran lantaran sikap Livia yang mendadak ingin meninggalkan rumah sakit."Kalau kita pulang, Randu bagaimana, Bu?" tanyanya bingung."Papa Randu sudah datang. Dia menyuruh kita agar istirahat di rumah."Asih tampak percaya pada semua perkataan Livia. Mereka menaiki taksi pulang ke rumah.Livia menyimpan emosinya akibat sikap Rajendra tadi. Giliran ada maunya laki-laki itu berbuat baik padanya. Tapi ketika merasa tidak membutuhkan Livia, dia bersikap seenaknya."Apa tidak apa-apa Bapak sendirian di rumah sakit, Bu?" Asih bertanya ketika mereka sudah di rumah."Nggak apa-apa. Bapak sudah biasa mengurus Randu. Bi Asih tidur aja ya. Dari semalam belum tidur. Saya juga mau tidur," pungkas Livia lalu melangkah ke kamarnya.Setiba di kamar Livia langsung naik ke sofanya. Ia benar-benar lelah dan ngantuk.Livia yang berada di sofa tidak langsung tertidur. Banyak pikiran berputar-putar di kepalanya. Perasaannya campu
Rajendra memegang amplop tersebut dengan tangan gemetar. Surat panggilan sidang cerai yang ditujukan kepadanya bagaikan pukulan keras di dada.Rajendra membaca isi surat itu sekali lagi. Ia memastikan bahwa ini bukan kesalahpahaman atau salah lihat. Namun nama Livia tercetak dengan jelas di sana sebagai penggugat.Sulit untuk dipercaya bahwa Livia benar-benar berani melakukannya. Rajendra pikir Livia membawa pengacara waktu itu hanya untuk menggertaknya.Livia muncul di kamar dengan sorot dingin. Ia melihat amplop di tangan Rajendra. Livia melanjutkan langkahnya dan melintas di depan Rajendra."Livia ...," panggil Rajendra sembari menahan amarahnya dan mencoba untuk tetap tenang. "Kamu yakin akan melakukan ini?""Tentu saja." Livia menjawab tanpa ragu.Rajendra meremas amplop tersebut dengan geram. "Percayalah, usahamu akan sia-sia.""Oh ya? Kenapa?" Livia berujar sambil tersenyum sinis."Karena kamu akan kalah.""Kita lihat saja nanti," jawab Livia ringan lalu berlalu meninggalkan Ra
Suasana tegang di ruang sidang tadi berlangsung hingga ke rumah. Rajendra dan Livia tidak saling bicara. Rajendra yakin bahwa setelah ini Livia dan pengacaranya akan mengajukan bukti-bukti. Oleh sebab itu ia harus menyembunyikan Utary, menahan perempuan itu agar berlibur lebih lama di luar negeri. Rajendra keluar dari kamar menuju balkon. Ia menutup pintu rapat-rapat agar tidak ada yang tahu ia di sana.Rajendra benar-benar kesal karena selama ini Utary tidak bisa dihubungi. Rajendra mengeluarkan handphonenya dari saku celana kemudian mencoba menghubungi Utary.Thanks God, kali ini panggilan Rajendra masuk. Dalam tiga detik ia mendengar suara Utary."Ndraaaa, aku kangen kamu Sayang," ucap Utary di seberang telepon dengan nada manja seperti biasa."Gimana kabar kamu, Tar?" tanya Rajendra datar."Ndraaa, duit aku habis. Di sini semuanya mahal, Ndra. Aku juga kalap belanja banyak-banyak."Rajendra menghela napas sembari memijit pelipisnya. Utary memang selalu begini. Boros dan tidak bi
Seketika suasana hening menyelimuti kamar itu. Pernyataan yang terlontar dari mulut Rajendra mengguncang emosi Livia yang sudah terlalu lelah dengan segala kekacauan ini."Jadi selain Utary masih ada wanita lain yang kamu cintai?" tanya Livia dengan perasaan shock yang tidak bisa disembunyikan.Rajendra tidak seketika menjawab. Ia berdiri di tempatnya sembari terpaku."Luar biasa kamu, Ndra. Kamu menikahi saya, hidup dengan Utary, namun ternyata masih menyimpan wanita lain. I'm speechless," ucap Livia sambil tersenyum getir.Keheningan melingkupi seisi ruangan. Livia benar-benar tidak mengerti pada Rajendra. Lelaki itu aneh, sukar ditebak, dan sepertinya juga menyimpan banyak misteri. Selain yang barusan dikatakannya, entah apa lagi yang disimpan Rajendra di hatinya dan menyembunyikannya dari Livia."Kalau kita cerai kamu bisa menikahi wanita yang kamu cintai itu. Jadi apa lagi?" ucap Livia akhirnya."Nggak segampang itu, Liv," bantah Rajendra dengan tampang putus asa."Kenapa?""Suli
Livia dan Langit melangkah menjauh meninggalkan Rajendra. Langit menggandeng tangan Livia dengan lembut menuju mobilnya yang terparkir.Livia masih terlihat lemah, tapi kehadiran Langit memberikan rasa aman yang sedikit menguatkannya.Rajendra tidak dapat berbuat apa-apa memandangi kepergian mereka. Sepasang matanya penuh dengan amarah. Menyaksikan Livia memilih berlindung pada Langit membuat egonya terluka.Setelah sekian menit yang terasa begitu lama Rajendra masuk ke dalam mobilnya. Ia meninju setir dengan frustasi."Livia ..." Ia bergumam dengan nada rendah disertai tarikan napas panjang. Di balik semua kemarahan itu ada perasaan aneh yang ia coba abaikan. Semacam perasaan bersalah yang terus mengganggu dirinya. ***Livia duduk diam di dalam mobil Langit sambil memandang keluar jendela. Bulir-bulir air mata masih menggenang di pelupuknya dan siap untuk jatuh. Tetapi Livia menahannya.Sesekali Langit mencuri pandang, cemas menyaksikan kondisi wanita di sebelahnya."Liv," panggil
Rumah besar Livia dan Rajendra kini terasa sunyi. Anak-anak sudah besar dan berkeluarga. Tapi di setiap akhir pekan rumah mereka selalu ramai oleh tawa canda cucu dan cicit mereka. Anak-anak selalu menawarkan Rajendra dan Livia untuk tinggal bersama mereka tapi keduanya menolak. Mereka lebih memilih untuk tinggal berdua saja dan menghabiskan masa tua bersama.Rajendra dan Livia saat ini sedang berada di kamar mereka. Rajendra sudah berumur 90 tahun sedangkan Livia 3 tahun di bawahnya. Keduanya berbaring di tempat tidur."Hujannya lama ya, Ndra, dari tadi nggak berhenti-henti," kata Livia sembari memandang ke luar jendela, pada titik-titik hujan yang terus berjatuhan."Iya, Sayang. Sekarang kan lagi musim hujan.""Dingin ..." Rajendra merengkuh Livia, memberi lengannya untuk istrinya itu berbaring sedangkan satu tangannya lagi memeluk tubuh Livia. Meski rambut mereka sudah sepenuhnya memutih dan wajah mereka sudah keriput tapi cinta mereka begitu kuat.Livia tersenyum. "Berada di peluk
Hari-hari setelah kehamilannya terasa berat bagi Gadis. Setiap hari ia mengalami morning sickness yang menyebabkan susah makan.Randu yang biasanya pagi-pagi berangkat ke kedutaan kini harus mengurus Gadis lebih dulu sebelum pergi ke kantornya."Makan dikit ya, Abang bikinin sup hangat atau maunya roti coklat aja?" kata Randu sambil mengelus pundak Gadis yang terduduk lemas di sofa.Gadis menggelengkan kepalanya. "Adis nggak mau apa-apa, Bang. Adis nggak selera makan apa pun.""Tapi setidaknya Adis harus makan sedikit biar ada isi perutnya. Ingat, Dis, anak kita juga butuh asupan."Gadis tersenyum melihat perhatian Randu dan kepanikannya di waktu yang sama. "Ya udah, Adis mau minum teh hangat aja sama roti coklat," putusnya walau kemudian kembali berakhir dengan muntah.Malam harinya saat video call dan mengetahui keadaan Gadis, Livia langsung mengambil keputusan."Ndra, aku harus berangkat.""Ke mana?" tanya Rajendra."Ke Turki. Aku harus nemenin Gadis. Dia butuh aku saat ini. Ini ke
Gadis dan Randu memulai kehidupan mereka sebagai suami istri begitu tiba di Ankara, ibukota Turki. Kota itu terasa begitu berbeda dengan suasana di Indonesia. Udara dingin menusuk di musim gugur. Arsitektur Eropa bercampur dengan sentuhan Ottoman serta hiruk pikuk kehidupan yang begitu asing bagi Gadis.Randu sebagai diplomat muda langsung disibukkan dengan pekerjaannya di kedutaan besar Indonesia. Seringkali ia harus menghadiri rapat dengan pejabat Turki, menerima delegasi dari Indonesia, atau menghadiri acara-acara diplomatik. Sementara itu gadis masih beradaptasi dengan kehidupan barunya. Awalnya ia merasa canggung tinggal di negeri orang. Namun Randu selalu berusaha membuatnya nyaman. Mereka tinggal di sebuah apartemen yang luas dengan pemandangan kota Ankara yang indah.Setiap pagi Randu berangkat ke kedutaan, sementara gadis mulai membangun rutinitasnya sendiri. Ia mengambil kursus bahasa Turki agar bisa lebih mudah berkomunikasi dengan orang-orang sekitar. Selain itu ia juga se
Hari keberangkatan Gadis dan Randu ke Turki semakin dekat. Di rumah keluarga Rajendra suasana haru kian terasa.Livia sibuk memastikan semua keperluan Gadis sudah siap. Ia berulang kali memeriksa koper putrinya hanya demi memastikan tidak ada barang penting yang tertinggal."Adis, kamu yakin semuanya udah lengkap? Paspor, obat-obatan, udah?" tanya Livia dengan suara bergetar.Gadis tersenyum tipis, ia mencoba menenangkan perasaan ibunya. "Udah, Bunda. Tenang aja, Adis udah cek berkali-kali, sama kayak Bunda."Namun, Livia tetap terlihat cemas. Tangannya gemetar saat merapikan baju-baju Gadis di koper."Nda, udah. Jangan kayak gini. Nanti Adis bakal sering nelepon dan video call sama Bunda kok," kata Gadis menenangkan sang bunda.Livia mengangguk tapi matanya mulai berkaca-kaca. Ia belum siap berpisah dengan Gadis, namun juga tidak mungkin menahan Gadis agar tetap bersamanya karena Gadis sudah menikah.Rajendra juga mencoba untuk tegar. Ia diam saja, memerhatikan semua persiapan denga
Akad nikah Gadis dan Randu sudah selesai dilaksanakan. Acara disambung dengan resepsi pernikahan.Acara tersebut tampak meriah. Para tamu yang datang terlihat puas. Baik oleh penyelenggaraan acaranya maupun dari hidangan yang disajikan. Wedding singer yang berada di atas panggung yang berada tidak jauh dari pelaminan tidak ada hentinya menyanyikan lagu romantis, membuat atmosfer penuh cinta semakin terasa."Liv, aku mau nyanyi boleh nggak?" kata Rajendra tiba-tiba."Hah?" Mata Livia melebar mendengarnya. "Emang kamu bisa nyanyi?""Bisa dong walau suara aku pas-pasan," kekeh Rajendra.Livia ikut tertawa. "Ya udah gih, nyanyi sana biar anak-anak tahu kalau papanya ada bakat terpendam.""Kamu mau ikutan nyanyi sama aku?""Aku ngeliat dari sini aja."Rajendra berjalan ke belakang panggung, berbicara dengan seseorang lalu naik ke atas panggung. Mikrofon yang tadinya ada di tangan wedding singer berpindah ke tangan Rajendra."Bang, itu Papa mau ngapain?" tanya Gadis yang duduk di pelaminan
Begitu mendapatkan restu dari Erwin, persiapan pernikahan Gadis dan Randu segera disiapkan.Livia yang paling sibuk. Ia memastikan bahwa semua berjalan lancar dan sempurna untuk anak perempuannya. Begitu pula dengan Rajendra. Ia lebih disibukkan dengan urusan administratif.Gadis menginginkan pernikahan yang sederhana tapi tetap elegan. Setelah berdiskusi panjang akhirnya mereka memutuskan menyewa gedung yang memiliki nuansa taman di dalamnya dengan lampu-lampu gantung. Sementara untuk dekorasinya sendiri dihiasi nuansa putih dan hijau yang menyimbolkan kesan alami dan damai.Untuk pakaian pengantin Randu mengenakan beskap putih klasik. Sedangkan Gadis memilih gaun putih gading dengan detail bordir yang lembut. Saat pertama kali mencobanya ia termenung di depan cermin, menyadari bahwa sebentar lagi hidupnya akan berubah.Mengenai undangan mereka mencetak undangan simpel dengan desain minimalis. Gadis dan Randu memutuskan hanya mengundang orang-orang terdekat. Meskipun begitu Rajendra
"Yang benar aja kamu, Ndra. Nggak mungkin Gadis nikah sama Randu!" Begitu kata Erwin di saat Rajendra mengatakan tentang rencana menikahkan kedua anaknya."Aku dan Livia juga kaget, Pi. Tapi mau bagaimana lagi? Mereka berdua saling mencintai," ujar Rajendra pada Erwin."Kayak nggak ada orang lain aja." Erwin terlihat tidak setuju atas rencana pernikahan keduanya."Ya mau gimana lagi, Pi. Namanya juga cinta."Erwin terdiam. Ia kehilangan kata untuk menjawab kata-kata Rajendra."Pi, kita restui saja mereka. Jangan dipersulit," pinta Rajendra." Aku nggak ingin melihat anakku menderita apalagi kalau mereka sampai kawin lari."Erwin menghela napasnya lalu bertanya, "Sejak kapan mereka pacaran?""Sudah cukup lama, Pi. Livia yang punya firasat itu tapi aku nggak percaya. Sampai akhirnya keduanya mengaku."Erwin terdiam lagi seolah sedang memikirkan perkataan Rajendra. "Kamu nggak lupa siapa orang tua Randu kan, Ndra? Jangan lupa dia anak Utary dan nggak tahu siapa bapaknya.""Aku udah lupakan
"Liv love, kamu ngeliat Gadis nggak?" tanya Rajendra setelah masuk ke ruangan Livia. Setelah semua yang terjadi Livia juga bekerja di kantor menjadi asisten pribadi Rajendra. Lagi pula anak-anak sudah besar."Paling pergi makan siang bareng Randu," jawab Livia sambil merapikan ikatan rambutnya."Makin hari mereka semakin dekat," komentar Rajendra."Iya. Aku pun ngeliatnya begitu." Livia menimpali. "Kamu ngerasa nggak sih, kalau hubungan mereka kayak udah nggak wajar?""Nggak wajar gimana?" Rajendra mengerutkan dahinya.Livia tampak ragu namun tak urung mengatakan. "Aku ngeliat mereka kayak orang lagi pacaran. Benar nggak?"Rajendra tertawa mendengarnya. "Kamu ada-ada aja, Sayang. Randu dan Gadis kan dari kecil sudah tumbuh bersama. Mereka itu kakak adik. Nggak mungkin mereka seperti yang kamu bilang."Livia terdiam. Yang dikatakan Rajendra ada benarnya. Tapi firasatnya berkata lain. Sebagai seorang ibu ia tahu persis ada yang berbeda dalam hubungan Randu dan Gadis. Cara Randu menatap
Waktu terus berlalu tanpa bisa dihentikan. Setiap detik yang terlewati bagaikan anak panah yang melesat dengan cepat.Anak-anak sekarang sudah dewasa. Randu sudah bekerja sebagai salah satu staff di Kemenlu. Sedangkan Gadis melanjutkan kerajaan bisnis Rajendra bersama dengan Livia. Hubungan Gadis dengan Randu sangat dekat. Bahkan tidak bisa lagi dibilang sebagai kakak adik biasa. Tumbuh bersama sejak kecil dan melewatkan berbagai hal berdua membuat mereka saling terikat satu sama lain. Meski tidak ada pernyataan cinta yang terucap namun keduanya menyadari bahwa mereka berdua saling mencintai. Hanya saja mereka tidak menunjukkannya secara terang-terangan. Rajendra dan Livia menganggap keduanya saling menyayangi sebagai kakak dan adik. Tidak sedikit pun terbersit di pikiran mereka bahwa keduanya akan melewati batas itu."Dis, Abang pengen ngomong. Bisa nggak kita ketemuan makan siang nanti?" Itu pesan yang diterima Gadis dari Randu ketika ia sedang sibuk-sibuknya bekerja di kantor."Ha