Rajendra memegang amplop tersebut dengan tangan gemetar. Surat panggilan sidang cerai yang ditujukan kepadanya bagaikan pukulan keras di dada.Rajendra membaca isi surat itu sekali lagi. Ia memastikan bahwa ini bukan kesalahpahaman atau salah lihat. Namun nama Livia tercetak dengan jelas di sana sebagai penggugat.Sulit untuk dipercaya bahwa Livia benar-benar berani melakukannya. Rajendra pikir Livia membawa pengacara waktu itu hanya untuk menggertaknya.Livia muncul di kamar dengan sorot dingin. Ia melihat amplop di tangan Rajendra. Livia melanjutkan langkahnya dan melintas di depan Rajendra."Livia ...," panggil Rajendra sembari menahan amarahnya dan mencoba untuk tetap tenang. "Kamu yakin akan melakukan ini?""Tentu saja." Livia menjawab tanpa ragu.Rajendra meremas amplop tersebut dengan geram. "Percayalah, usahamu akan sia-sia.""Oh ya? Kenapa?" Livia berujar sambil tersenyum sinis."Karena kamu akan kalah.""Kita lihat saja nanti," jawab Livia ringan lalu berlalu meninggalkan Ra
Suasana tegang di ruang sidang tadi berlangsung hingga ke rumah. Rajendra dan Livia tidak saling bicara. Rajendra yakin bahwa setelah ini Livia dan pengacaranya akan mengajukan bukti-bukti. Oleh sebab itu ia harus menyembunyikan Utary, menahan perempuan itu agar berlibur lebih lama di luar negeri. Rajendra keluar dari kamar menuju balkon. Ia menutup pintu rapat-rapat agar tidak ada yang tahu ia di sana.Rajendra benar-benar kesal karena selama ini Utary tidak bisa dihubungi. Rajendra mengeluarkan handphonenya dari saku celana kemudian mencoba menghubungi Utary.Thanks God, kali ini panggilan Rajendra masuk. Dalam tiga detik ia mendengar suara Utary."Ndraaaa, aku kangen kamu Sayang," ucap Utary di seberang telepon dengan nada manja seperti biasa."Gimana kabar kamu, Tar?" tanya Rajendra datar."Ndraaa, duit aku habis. Di sini semuanya mahal, Ndra. Aku juga kalap belanja banyak-banyak."Rajendra menghela napas sembari memijit pelipisnya. Utary memang selalu begini. Boros dan tidak bi
Seketika suasana hening menyelimuti kamar itu. Pernyataan yang terlontar dari mulut Rajendra mengguncang emosi Livia yang sudah terlalu lelah dengan segala kekacauan ini."Jadi selain Utary masih ada wanita lain yang kamu cintai?" tanya Livia dengan perasaan shock yang tidak bisa disembunyikan.Rajendra tidak seketika menjawab. Ia berdiri di tempatnya sembari terpaku."Luar biasa kamu, Ndra. Kamu menikahi saya, hidup dengan Utary, namun ternyata masih menyimpan wanita lain. I'm speechless," ucap Livia sambil tersenyum getir.Keheningan melingkupi seisi ruangan. Livia benar-benar tidak mengerti pada Rajendra. Lelaki itu aneh, sukar ditebak, dan sepertinya juga menyimpan banyak misteri. Selain yang barusan dikatakannya, entah apa lagi yang disimpan Rajendra di hatinya dan menyembunyikannya dari Livia."Kalau kita cerai kamu bisa menikahi wanita yang kamu cintai itu. Jadi apa lagi?" ucap Livia akhirnya."Nggak segampang itu, Liv," bantah Rajendra dengan tampang putus asa."Kenapa?""Suli
Livia dan Langit melangkah menjauh meninggalkan Rajendra. Langit menggandeng tangan Livia dengan lembut menuju mobilnya yang terparkir.Livia masih terlihat lemah, tapi kehadiran Langit memberikan rasa aman yang sedikit menguatkannya.Rajendra tidak dapat berbuat apa-apa memandangi kepergian mereka. Sepasang matanya penuh dengan amarah. Menyaksikan Livia memilih berlindung pada Langit membuat egonya terluka.Setelah sekian menit yang terasa begitu lama Rajendra masuk ke dalam mobilnya. Ia meninju setir dengan frustasi."Livia ..." Ia bergumam dengan nada rendah disertai tarikan napas panjang. Di balik semua kemarahan itu ada perasaan aneh yang ia coba abaikan. Semacam perasaan bersalah yang terus mengganggu dirinya. ***Livia duduk diam di dalam mobil Langit sambil memandang keluar jendela. Bulir-bulir air mata masih menggenang di pelupuknya dan siap untuk jatuh. Tetapi Livia menahannya.Sesekali Langit mencuri pandang, cemas menyaksikan kondisi wanita di sebelahnya."Liv," panggil
Langit menegakkan tubuhnya, menatap Rajendra dengan rahang tegang. "Gue nggak bermaksud nggak sopan. Jadi nggak perlu lo bersikap kasar sama Livia."Rajendra mengabaikan keterangan Langit. Tangannya masih mencekal tangan Livia dengan erat, membuat Livia meringis kecil. "Kalo lo sopan lo nggak bakal pegang-pegang perut istri gue," balas Rajendra masih marah."Cukup, Ndra!" Livia membuka mulutnya sambil menatap tidak suka pada pria yang mengakui Livia sebagai istrinya. "Langit nggak melakukan apa pun, jadi kamu nggak usah lebay."Rajendra memalingkan wajahnya ke arah Livia. Amarah bercampur rasa terluka terukir di wajahnya. "Dia pegang-pegang perut kamu, Livia. Apa menurutmu itu hal yang benar?""Benar atau salah apa hubungannya denganmu? Toh anak ini bukan anakmu kan?"Balasan Livia membuat Rajendra kalah telak. Lelaki itu kehilangan kata. Wajahnya merah padam. Kesempatan itu digunakan Langit untuk berpamitan karena ia tidak ingin membuat Rajendra bertambah marah."Liv, aku pulang. Jag
Rajendra menanti di area kedatangan internasional. Tangannya memegang stroller kecil tempat Randu berada.Kedua mata Rajendra menatap gelisah ke arah pintu otomatis yang berganti terbuka, memperlihatkan wajah-wajah penumpang yang baru tiba. Hatinya dipenuhi berbagai perasaan tidak menentu. Ada rasa rindu, tegang dan juga marah.Di kala pintu itu terbuka lagi, sosok yang sejak tadi dinantikannya akhirnya muncul. Utary mengenakan crop tee warna merah dan jeans serta membawa koper besar berwarna hitam.Sambil berjalan kedua matanya mengelana ke sekeliling sampai bertemu pandangan dengan Rajendra. Bibirnya sontak mengembangkan senyum lebar."Rajendra!" Utary memanggil dengan suara riang mengandung kerinduan.Rajendra membalas dengan lambaian tangannya. Setelah mereka berdekatan Utary langsung memeluk Rajendra dan meluapkan kerinduannya. "Kangen banget sama kamu, Ndra.""Me too," jawab Rajendra kelu.Setelah pelukan mereka terurai tatapan Utary tertuju pada stroller di samping Rajendra. Pe
Pelan-pelan Randu sudah mau dengan Utary. Butuh waktu yang tidak sedikit bagi anak itu untuk beradaptasi dan menerima bahwa Utary adalah ibu kandungnya.Saat ini Rajendra sedang memerhatikan Randu yang bermain sendirian. Anak itu bermain lego. Balok-balok berwarna-warni itu begitu menarik perhatiannya. Namun sepanjang pengamatan Rajendra Randu adalah anak yang mudah lelah dan pembosan."Sini, Sayang," panggil Rajendra.Randu merangkak mendekati Rajendra. Rajendra memeriksa anak itu."Randu udah dikasih Mama makan belum?""Am am am ...," jawab Randu dengan bahasa bayinya."Ih, perutnya endut." Rajendra menggelitik perut Randu yang agak besar. Anak itu tertawa terpingkal-pingkal.Sambil memangku Randu, sebuah ingatan membawa Rajendra pada Livia yang sedang hamil.Bagaimana keadaan wanita itu? Ini adalah hari kedelapan mereka tidak bertemu dan tidak juga berkomunikasi.Apa dia baik-baik saja?'Ah, dia kan sudah terbiasa sendiri, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan,' bisik hati Rajen
Rajendra menatap tulisan di post it itu dengan tangan gemetar. Rasanya seperti dihantam berkali-kali tepat di dadanya. Kata-kata 'jangan cari saya' terus berkelindan di kepalanya.Ke mana Livia pergi? Di mana saat ini ia bersembunyi? Rajendra tidak yakin ke rumah ibu tirinya. Kalau Livia memang ke sana ia pasti sudah menerima laporan dari Jihan. Livia juga tidak punya teman. Satu-satunya yang dekat dengannya hanya Langit. Ya, laki-laki itu pasti tahu di mana keberadaan Livia. Tidak mungkin tidak.Tanpa membuang waktu Rajendra langsung menelepon Langit. Tapi tidak ada jawaban."Sialan. Dia pasti sengaja."Rajendra akan ke tempat langit sekarang. Tapi sebelumnya ia memeriksa CCTV selama delapan hari ke belakang. Hasilnya nihil. Livia mematikannya.Rajendra hampir saja melempar ponselnya akibat terlalu frustrasi. Napasnya memburu. Pikirannya dilingkupi oleh berbagai spekulasi yang membakar dadanya. Nama Langit terus berputar di benaknya.Langit adalah satu-satunya orang yang mungkin tahu
Sepuluh menit setelah Rajendra pergi, Langit langsung menelepon Livia. Ia ingin memastikan keadaannya saat ini."Halo, Lang." Suara lembut Livia menyambut panggilan Langit."Halo, Liv," balas Langit. Suaranya lebih serius dari biasa. "Rajendra baru aja ke sini. Dia nyari kamu kayak orang gila.""Maafin saya, Lang. Tapi Rajendra nggak apa-apain kamu kan? Dia nggak mukul dan segala macam kan?" suara Livia terdengar khawatir lantaran ia tahu betapa bencinya Rajendra pada Langit. Dan itu adalah karena dirinya."Kamu tenang aja, Liv. Dia cuma ngomel-ngomel nggak jelas. Nggak ada kekerasan fisik." Langit sedikit berbohong agar Livia tidak khawatir."Syukurlah." Livia terdengar lega."Gadis mana?""Dia sudah tidur.""Aman kan di sana?""Sejauh ini aman. Makasih ya udah bantuin aku pindahan." "Kamu makasih melulu, Liv. Kalau dihitung-hitung makasih kamu tuh udah nggak terhitung."Livia tertawa. Tadi siang ketika Langit sudah di kantornya ia menelepon lelaki itu, mengatakan keinginannya untu
Rajendra menyetir mobilnya dengan kencang. Emosinya meluap-luap. Tujuannya adalah apartemen Langit. Ia tidak yakin Livia ada di sana karena Langit pasti menyembunyikannya. Tapi ia akan memaksa Langit untuk bicara. Malam ini juga ia harus tahu keberadaan Livia dan putrinya.Sesampainya di area apartemen Langit, Rajendra memarkir mobilnya dengan kasar. Dengan langkah lebar ia menuju lift. Tangannya Terkepal erat, siap melampiaskan emosinya.Setelah pintu lift terbuka, Rajendra keluar dengan napas berat. Tepat ketika kakinya berhenti di depan unit Langit, ia langsung mengetuk pintu dengan keras. "Buka pintunya, Lang!" suruhnya dengan nada menggelegar.Tidak adanya jawaban dari dalam sana membuat Rajendra terus mengetuk bahkan menggedor, hingga para tetangga sekitar mulai mengintip.Lama kelamaan pintu pun terbuka. Memunculkan Langit yang menghadapinya dengan wajah tenang. Sesuai dengan penampilannya yang santai. Lelaki itu mengenakan kaus oblong dan celana pendek."Oh, lo, Ndra. Ngapa
Livia terbangun lebih cepat dari biasanya. Bisa dibilang ia hampir tidak bisa tidur semalaman. Ancaman dari Rajendra membuatnya tidak tenang walau ia sudah mencoba berbagai cara menenangkan diri.Sambil mendorong stroller Gadis yang masih mengantuk, ia melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan.Langit sudah lebih dulu ada di sana. Ia sedang menyeduh kopi."Pagi, Liv. Tidur kamu nyenyak?"Livia menjawab dengan gelengan kepala. "Saya hampir nggak bisa tidur. Saya nggak bisa berhenti memikirkan ancaman Rajendra."Langit berhenti menyeduh kopinya. Ditatapnya Livia dengan serius. "Aku akan pergi dari sini untuk sementara. Jadi kamu aman. Nggak apa-apa kan kalau kamu cuma berdua dengan Gadis?""Nggak apa-apa, Lang. Gadis masih bayi. Saya masih bisa mengatasinya. Kecuali kalau dia sudah pandai merangkak mungkin saya agak kesulitan," jawab Livia. Livia juga tidak ingin menahan Langit agar bersamanya. Meski sejujurnya langit memberi banyak bantuan dan membuatnya merasa aman dari orang-orang
Rajendra mengemudi dengan kecepatan di atas normal. Rasa marah, frustrasi dan sedih bercampur menjadi satu mengisi hatinya.Setiap kali memikirkan bahwa Livia tinggal di bawah atap yang sama dengan Langit, emosinya naik ke ubun-ubun. Bagaimana mungkin wanita yang dulu menjadi istrinya menolaknya dengan keras, namun membiarkan lelaki lain masuk ke dalam kehidupannya?"Gue nggak bakal biarin ini berlangsung lebih lama," gumamnya sambil mencengkeram setir kuat-kuat.Setelah tiba di depan rumah Livia, Rajendra mematikan mesin mobil. Setelah turun dari sana, ia melangkah lebar ke depan pintu rumah Livia dan mengetuknya dengan kuat."Livia!" serunya keras. "Livia, buka pintunya atau aku dobrak!"Livia sedang menidurkan Gadis ketika mendengar suara keras itu. Ia terkejut mendengarnya. Gadis mengerjap kecil dengan setengah tertidur.Livia bangkit dari tempat tidur dan menarik napas panjang sebelum membuka pintu kamarnya.Langit yang juga mendengar keributan itu lebih dulu sampai ke ruang tamu
Selepas Lola pergi, Livia mengembuskan napas panjang. Rasanya begitu lega. Siapa pun yang ada kaitannya dengan Rajendra membuatnya tidak nyaman.Livia tidak percaya kalau Rajendra mencintainya seperti yang dikatakan Langit. Livia yakin di balik ingin kembalinya Rajendra hanya untuk menindas Livia. Livia masih ingat betul segala perkataan Rajendra dulu bahwa dia tidak ingin menceraikan Livia agar hidup Livia menderita karena Livia juga sudah membuatnya menderita. Gara-gara Livia Rajendra harus kehilangan wanita yang dicintainya. Lalu kini Livia menyimpulkan. Agar Livia menderita maka Rajendra sengaja mencari wanita lain untuk menyakitinya, yaitu Utary.Livia tidak ingin kejadian yang sama terulang dua kali. Livia tidak tahu siapa sesungguhnya wanita yang dicintai Rajendra. Entah wanita itu masih hidup atau sudah mati. Bisa saja sewaktu-waktu wanita itu muncul ke dalam kehidupannya dan Rajendra. Terlepas dari semua kejahatan Rajendra dulu, bagi Livia, inilah jalan terbaik. Hidup berdua
Sudah dua minggu lamanya Gadis bernapas di dunia. Hampir setiap hari ada paket yang datang ke rumah melalui ekspedisi. Isinya adalah perlengkapan bayi seperti baju, selimut, dan yang lainnya. Tidak ada nama pengirim di sana. Tapi Livia yakin 100% bahwa yang mengirimnya adalah Rajendra. Kalau dulu Livia mengembalikan semua barang-barang yang diberi lelaki itu ke rumahnya, sekarang setiap ada paket yang datang berisi perlengkapan Gadis maka Livia akan membuangnya tanpa pikir panjang.Pintu rumah diketuk ketika Livia sedang merajut. Saat itu Gadis tengah tidur, jadi ia bisa memanfaatkan waktunya untuk berkarya.Livia mengembuskan napasnya. Ia curiga jangan-jangan pihak ekspedisi lagi yang datang untuk mengantar paket dari Rajendra.Meraih tongkatnya, Livia berjalan dengan terpincang-pincang untuk membuka pintu rumah. Ia sudah bersiap-siap menolak jika paket itu tanpa nama. Namun yang dilihatnya bukan tukang paket, melainkan Lola, mertua tirinya."Tante Lola?" Livia terkejut atas banyak
Malam telah larut ketika Rajendra tiba di rumah. Seharian itu ia melalui waktu di kantor dengan pikiran kacau balau. Pembicaraan dengan Livia tadi siang masih terus melekat di benaknya. Termasuk sorot dingin wanita itu yang menyiratkan ketegasan agar menjauh dari hidupnya.Rajendra memarkir mobilnya di halaman rumah dengan rasa lelah. Setelah ia turun, matanya langsung menangkap pemandangan yang membuatnya kaget.Di depan rumahnya tampak perlengkapan bayi yang ia beli untuk Gadis."Apa-apaan?" gerutunya kesal.Rajendra melangkah mendekat dengan deru napas yang bertambah berat. Tangannya menyentuh satu demi satu barang-barang itu seakan ingin memastikan bahwa seluruh barang ini memang barang yang ia belikan untuk putrinya. Barang-barang yang dibawanya ke rumah Livia dengan harapan akan diterima. Yang terjadi, Livia menolak itu semua. Bukan hanya menolak, tapi juga meminta orang untuk mengembalikan ke rumah Rajendra.Terdengar embusan napas panjang dari mulut Rajendra. Kedua tangannya t
Livia sedang duduk di kursi sambil menyusui Gadis. Peristiwa beberapa jam yang lalu masih melekat di benaknya.Rajendra memang sudah pergi, tapi barang-barang yang ia bawa masih ada di depan rumah. Lelaki itu meninggalkannya walau Livia dengan frontal menolak.Sambil terus memberi Gadis asupannya, satu ingatan muncul di kepala Livia. Ketika Rajendra membuang foto USG Gadis dan menganggapnya sebagai sampah. Dari sanalah rasa muaknya pada Rajendra muncul yang memicunya untuk bangkit dari cengkeraman dan penindasan laki-laki itu."Liv, itu di depan kenapa banyak barang-barang bayi? Kamu belanja lagi untuk Gadis?" suara Langit yang baru saja tiba menggilas habis lamunan Livia. Livia menoleh dan menemukan wajah heran Langit."Tadi Rajendra ke sini. Dia membawa barang-barang untuk Gadis seperti yang kamu lihat.""Terus kenapa masih ada di luar? Dia nggak membantu sekalian untuk memasukkannya ke dalam rumah?" tanya Langit lagi begitu ingat keadaan Livia yang tidak mungkin membawa barang-bar
Setelah dua hari berada di rumah sakit, hari ini Livia diizinkan pulang.Sejak pergi dari rumah Rajendra, Livia tinggal di rumah yang dicarikan Langit. Rumah itu berbentuk panjang ke belakang. Rencananya setelah melahirkan dan pulih Livia akan menjadikan bagian depannya sebagai toko. Ia akan menjual hasil rajutannya di sana."Welcome home, Sayang," ucap Livia yang menggendong Gadis begitu mereka masuk ke dalam rumah.Bayi berumur tiga hari itu terlelap dalam gendongannya.Livia melangkah pelan dan hati-hati memasuki rumah tempat ia dan putrinya memulai kehidupan baru. Aroma segar dari pewangi ruangan menyeruak ke dalam penciumannya.Langit berjalan di belakang Livia membawa tas dan perlengkapan yang mereka bawah dari rumah sakit. "Hati-hati, Liv, jangan banyak gerak dulu," kata Langit lembut sambil meletakkan tas. Ia menatap Livia yang masih tampak lelah. Tapi senyum di wajahnya menunjukkan kebahagiaan.Livia mengamati ruang depan rumah yang nantinya akan disulap menjadi toko. Bebera