Pelan-pelan Randu sudah mau dengan Utary. Butuh waktu yang tidak sedikit bagi anak itu untuk beradaptasi dan menerima bahwa Utary adalah ibu kandungnya.Saat ini Rajendra sedang memerhatikan Randu yang bermain sendirian. Anak itu bermain lego. Balok-balok berwarna-warni itu begitu menarik perhatiannya. Namun sepanjang pengamatan Rajendra Randu adalah anak yang mudah lelah dan pembosan."Sini, Sayang," panggil Rajendra.Randu merangkak mendekati Rajendra. Rajendra memeriksa anak itu."Randu udah dikasih Mama makan belum?""Am am am ...," jawab Randu dengan bahasa bayinya."Ih, perutnya endut." Rajendra menggelitik perut Randu yang agak besar. Anak itu tertawa terpingkal-pingkal.Sambil memangku Randu, sebuah ingatan membawa Rajendra pada Livia yang sedang hamil.Bagaimana keadaan wanita itu? Ini adalah hari kedelapan mereka tidak bertemu dan tidak juga berkomunikasi.Apa dia baik-baik saja?'Ah, dia kan sudah terbiasa sendiri, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan,' bisik hati Rajen
Rajendra menatap tulisan di post it itu dengan tangan gemetar. Rasanya seperti dihantam berkali-kali tepat di dadanya. Kata-kata 'jangan cari saya' terus berkelindan di kepalanya.Ke mana Livia pergi? Di mana saat ini ia bersembunyi? Rajendra tidak yakin ke rumah ibu tirinya. Kalau Livia memang ke sana ia pasti sudah menerima laporan dari Jihan. Livia juga tidak punya teman. Satu-satunya yang dekat dengannya hanya Langit. Ya, laki-laki itu pasti tahu di mana keberadaan Livia. Tidak mungkin tidak.Tanpa membuang waktu Rajendra langsung menelepon Langit. Tapi tidak ada jawaban."Sialan. Dia pasti sengaja."Rajendra akan ke tempat langit sekarang. Tapi sebelumnya ia memeriksa CCTV selama delapan hari ke belakang. Hasilnya nihil. Livia mematikannya.Rajendra hampir saja melempar ponselnya akibat terlalu frustrasi. Napasnya memburu. Pikirannya dilingkupi oleh berbagai spekulasi yang membakar dadanya. Nama Langit terus berputar di benaknya.Langit adalah satu-satunya orang yang mungkin tahu
Rajendra berada di luar apartemen Langit setelah didorong dengan paksa oleh lelaki itu. Pintu apartemen dibanting keras hingga nyaris menghantam wajahnya. "Crap!" rutuk Rajendra sembari mengelus-elus dahinya yang hampir saja menjadi korban. Amarah yang menggelegak di dalam dirinya tidak kunjung surut. Berdiri di koridor, pandangan Rajendra terpusat ke arah pintu apartemen Langit yang kini terkunci rapat. Napasnya terengah-engah. Perasaan kusut melingkupinya. Perkataan Langit terus menusuk-nusuk gendang telinganya. 'Gue nggak tahu dia ada di mana. Kalo pun gue tahu, gue nggak bakal ngasih tahu lo.' Perkataan tersebut begitu mengganggunya. Menusuk ke relung hatinya yang paling dalam. Ia benci mengakuinya. Tapi mungkin Langit benar. Livia pergi karena dia sudah terlalu lelah dengan semua Rajendra. Di balik perasaan bersalah yang mulai menelusup Rajendra tidak bisa membiarkan segalanya terjadi begitu saja. Tidak peduli betapa buruknya hubungan mereka selama ini, Livia tetap istr
Siang itu Rajendra membawa kakinya masuk ke kantor dengan ekspresi muram. Ketika melihatnya muncul, Tasia, sekretarisnya berjalan menyongsong dengan setumpuk dokumen di tangan."Pak, ada beberapa dokumen yang harus segera ditandatangani. Termasuk proposal kerjasama dengan PT. Budi Baik." Tasia menyampaikan, mencoba bersikap profesional tanpa ia tahu suasana hati Rajendra sedang tidak baik-baik saja.Rajendra berhenti di depan meja kerjanya, memandangi tumpukan dokumen di tangan Tasia dengan sorot menusuk. Irama napasnya begitu berat dan pikirannya bercampur aduk soal Livia yang menghilang tanpa jejak."Kamu pikir saya nggak punya kerjaan lain selain tanda tangan kertas-kertas nggak penting itu?" tegur Rajendra dengan suara keras.Tasia kaget, wajahnya berubah pucat. "Saya hanya mengikuti arahan Bapak. Dokumen ini urgent--""Semua kamu anggap urgent! Kamu nggak lihat wajah saya lagi kusut? Apa saya harus peduli sama dokumen itu sekarang?"Suasana mendadak tegang. Tasia terdiam ketaku
Rajendra pulang ke apartemen yang disambut oleh wajah masam Utary. Perempuan itu kesal lantaran kemarin Rajendra tidak menginap di tempatnya. Banyak panggilan telepon darinya yang juga Rajendra abaikan.Rajendra membuka pintu apartemen dengan ekspresi lelah. Badannya yang tadi sempat kena hujan membuatnya kedinginan."Ke mana aja kamu semalaman?" ketus Utary begitu melihat wajah Rajendra. Ia berdiri dengan tangan bersedekap di dada dengan tatapan tajam ke arah Rajendra.Lelaki yang ditanya tidak seketika menjawab. Ia meletakkan kunci mobil di meja dan menyampirkan jasnya di punggung kursi. "Kan udah kukasih tahu tadi," ucapnya singkat."Apa rumah itu ada magnetnya sampai-sampai kalau udah di sana kamu lupa sama kamu dan anak kita? Apa yang perempuan cacat itu kasih ke kamu, hah?" Utary mencecar Rajendra tanpa jeda.Rajendra batal melangkah. Kalimat terakhir yang dilempar Utary membuat darahnya mendidih. Ia menatap Utary dengan sorot tajam yang mampu membuat siapa saja gentar."Watch y
Beberapa hari yang lalu ...Malam itu Livia merasakan udara begitu dingin. Angin malam berembus dari celah-celah jendela. Membuat tubuhnya yang lelah bertambah menggigil.Livia duduk sendiri di sofa ruang tamu ditemani kesunyian. Ini adalah hari kelima Rajendra pergi dari rumah dan menginap di apartemen Utary. Sebelumnya Livia sempat mendengar pembicaraan Rajendra melalui telepon yang akan menjemput Utary ke bandara. Sebelum pergi Rajendra memberhentikan Asih lalu pergi membawa Randu dan tidak kembali hingga saat ini.Sambil menyelesaikan rajutan sweater untuk Rajendra yang tinggal sedikit lagi, Livia memegangi perutnya yang semakin berat. Bayi di dalam kandungannya sangat aktif bergerak. Namun kali ini setiap pergerakannya membuat Livia merasa sakit.Livia mengelus perutnya dan berujar pelan. "Kenapa, Nak? Kamu baik-baik aja kan, Sayang?"Lama kelamaan rasa sakit tersebut terasa semakin hebat, seperti gelombang besar yang menghantam tiba-tiba. Livia menggigit bibir, menahan erangan d
Aroma khas rumah sakit memenuhi ruang rawat berwarna putih.Livia terbaring lemah di atas bed dengan wajah pucat pasi. Sepasang matanya terpejam rapat. Irama napasnya terdengar pelan namun berat. Sebuah infus terpasang di tangan kirinya, mengalirkan cairan berisi nutrisi untuk tubuhnya.Sedangkan Langit duduk di kursi di samping tempat tidur Livia dengan wajah yang masih diselimuti kekhawatiran. Ia menatap Livia dengan sorot sedih yang tidak bisa disembunyikan. Sebelah tangannya terus menggenggam tangan Livia yang dingin, seakan ingin memberitahu Livia bahwa ia tidak sendirian. Ada Langit yang menemaninya.Sepuluh menit kemudian kelopak mata Livia terbuka dengan perlahan. Pandangannya buram, akan tetapi ia bisa melihat presensi langit yang duduk di dekatnya. Livia mencoba untuk bicara. Namun, hanya suara lirih yang keluar."Langit, ini kamu?"Langit memberi senyum tipis walaupun matanya masih memancarkan kekhawatiran. "Iya, ini aku, Liv. Aku akan tetap di sini jagain kamu. Kamu istira
Hari-hari yang dilalui Rajendra terasa hampa. Hampir setiap hari ia datang ke rumah. Namun rumah itu tetap kosong. Tidak ada Livia di sana. Kejadian yang terjadi pada kehidupan pribadinya sampai terbawa ke dunia kerja. Rajendra jadi sering marah pada para pegawainya.Rajendra duduk di kursi kerjanya dengan raut kusut. Kertas-kertas berserakan di mejanya tatapi tidak ada satu pun yang dipedulikannya. Pikirannya tidak jauh-jauh dari Livia yang sudah pergi meninggalkan rumah. Seharusnya saat ini Rajendra bahagia lantaran Livia, istrinya yang cacat dan membuatnya malu sudah pergi. Yang terjadi malah sebaliknya. Ia tidak bisa membuang perempuan itu jauh-jauh dari pikirannya meski sudah dua minggu berlalu. Ke mana pun ia memandang hanya wajah Livia yang terlihat.Sikap Rajendra berubah dengan dratis. Ia mudah marah pada siapa pun termasuk karena hal-hal sepele. Para pegawainya mulai sering membicarakan Rajendra di belakangnya. Membahas sikap dan perilaku atasan mereka yang semakin tidak ter
Rajendra cuma bisa berdiri di depan pintu ruang bersalin yang tertutup rapat. Perasaan tidak karuan menghantamnya dari segala arah.Ia menyandarkan punggungnya ke dinding dengan tangan terkepal erat. Tatapannya kabur, bukan karena ia rabun, tetapi karena menahan air mata agar tidak jatuh.Dirinya laki-laki. Pantang baginya untuk menangis, namun ini terlalu menyakitkan. Dirinya yang punya anak dan akan menjadi bapak, tetapi kenapa orang lain yang harus mendampingi istrinya?Di dalam ruangan bersalin terdengar samar suara Livia yang mengerang menahan sakit. Ingin rasanya Rajendra menerobos masuk ke dalam ruangan itu dan mengatakan bahwa dirinyalah yang berhak mendampingi Livia, bukan Langit. Lola kemudian mendekat. Disentuhnya bahu Rajendra dengan lembut. "Nggak usah sedih, Ndra. Jangan pernah lupakan, sakit yang kamu rasakan nggak ada apa-apanya dengan yang dirasakan Livia dulu.""Tapi ini kelewatan, Tante. Aku yang seharusnya berada di sana, bukan laki-laki lain," lirih Rajendra putu
Napas Livia tertahan. Dadanya langsung sesak begitu melihat sosok yang telah ia coba lupakan berdiri tidak jauh dari tempatnya.Rajendra terlihat berbeda. Sosoknya lebih kurus dan wajahnya tampak lelah.Langit yang memerhatikan ekspresi Livia memegang tangannya dengan erat. "Kita pergi ke arah lain atau tunggu sampai mereka selesai?" tanyanya.Livia menggerakkan kepalanya ke arah Langit. "Kita hadapi saja. Mungkin sudah saatnya saya ketemu sama mereka.""Kamu yakin?"Livia mengangguk penuh keyakinan. Perutnya kembali ditendang dari dalam, membuatnya meringis kesakitan.Tangisan keras Randu tiba-tiba terdengar. Tangisan yang pernah mengisi hari-hari Livia. Membuat Livia tanpa sadar melangkah ke arah mereka. Dan Langit tidak sempat mencegah.Rajendra memandang ke sumber suara langkah yang menghampirinya. Kedua matanya refleks melebar ketika menyaksikan wanita yang selama ini ia cari ada di dekatnya. Seluruh badannya gemetar. Ia ingin melafalkan nama wanita itu tapi suaranya tercekat."L
Pertanyaan ibu tirinya tentang sang istri seolah melempar pukulan tidak kasat mata pada Rajendra.Livia. Nama itu membuat dadanya sesak. Ia menunduk, menghindari tatapan Lola padanya. Sedangkan Erwin yang masih berdiri dengan tangan berkacak pinggang mendengkus keras."Liv ... Livia--" Rajendra membuka mulut tetapi kata-katanya terhenti begitu saja."Kenapa, Ndra? Livia baik-baik aja kan?" Lola bertanya lagi dengan penuh rasa ingin tahu."Livia nggak di rumah, Tante," jawab Rajendra pada akhirnya dengan suara seperti bisikan.Lola terlihat kaget. "Maksud kamu apa? Livia ke mana? Kenapa nggak ada di rumah?"Rajendra telan salivanya. Ia mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab. "Livia ... pergi, Tante. Waktu itu aku salah paham tentang dia. Dan akhirnya dia pergi dari rumah."Erwin yang mendengarkan keterangan Rajendra spontan menggebrak meja di hadapannya. "Apaan lu, Ndra? Cewek yang benar malah lu usir, yang nipu malah lu sayang-sayang. Otak lu ditaruh di mana, hah? Atau jangan-
Akhirnya malam itu Rajendra membawa Randu kembali bersamanya. Sepanjang malam ia hampir tidak bisa tidur memikirkan keputusan besar yang yang telah diputuskannya.Membiarkan Randu tetap bersamanya sama artinya dengan berkomitmen ia akan mengurus, menjaga dan merawat anak itu. Ia akan menjadi bapak dari anak itu.Keesokan harinya Rajendra terbangun dengan kepala berat, sebab ia hanya tidur beberapa jam saja. Randu sudah terbangun lebih dulu. Anak itu mengoceh sendirian sambil mencolek-colek tangan Rajendra."Hai, kamu mau bangunin Papa ya?"Randu terus mengoceh tanpa tahu kekalutan hati Rajendra."Papa harus kerja hari ini. Di rumah ini nggak ada siapa-siapa. Papa juga belum sempat nyari pengasuh buat kamu. Dan kamu nggak mungkin Papa tinggalin sendiri di rumah."Rajendra menghela napas panjang memikirkan segala keruwetan itu. Ia tidak mungkin membawa Randu ke kantor. Para pegawainya pasti heboh. Ia juga tidak yakin mendapatkan pengasuh secepat ia mendapatkan Asih dulu."Coba kalau ada
"Persetan dengan semuanya. Anak ini bukan anak gue. Gue nggak ada sangkut pautnya sama dia. Dia cuma bakal jadi beban buat gue. Masalah gue udah banyak, gue nggak mau nambah lagi." Itulah kesimpulan Rajendra setelah mempertimbangkan apakah akan meletakkan Randu ke panti asuhan.Randu membelokkan mobilnya ke apartemen. Ia akan mengambil perlengkapan Randu di sana seperti pakaian, selimut dan susu. "Shit!" makinya ketika sepatunya menginjak pecahan kaca besar yang hampir membuatnya tersandung.Sejak ngamuk waktu itu Rajendra membiarkan apartemennya porak poranda. Nggak ada gunanya juga dibersihkan.Ia menendang pecahan kaca di lantai dengan jengkel, yang membuat bunyi berderak, memecah keheningan apartemen. Tempat yang kacau balau tersebut lebih mirip dengan area perperangan ketimbang sebagai kediaman. Serpihan-serpihan kaca, potongan-potongan foto, dan barang yang berserakan di mana-mana menjadi reminder kemarahannya beberapa hari yang lalu.Rajendra membawa langkahnya menuju kamar u
Sudah tiga hari pasca operasi Randu dirawat di rumah sakit. Hari ini anak itu sudah boleh dibawa pulang. Tapi Rajendra masih bingung. Ia tidak tahu akan membawa Randu ke mana. Sebenarnya Rajendra bisa saja meninggalkan Randu di rumah sakit, tapi pasti pihak rumah sakit akan mencarinya karena data-data Rajendra sebagai orang tua Randu tercantum di sana.Rajendra memandang Randu yang terbaring di ranjang rumah sakit. Anak itu begitu kecil dan rapuh. Kalau ingin mengikuti keegoisan hatinya Rajendra bisa saja membuangnya di jalan."Mau gue bawa ke mana anak ini?" Rajendra bergumam dalam kebingungan. Ia sudah mencoba mencari Utary dengan menghubungi teman-teman perempuan itu. Namun tidak satu pun yang mengetahui keberadaan Utary. Atau mungkin mereka berbohong? Entahlah."Pak Rajendra," suara pelan seorang perawat mengeluarkan Rajendra dari lamunannya.Rajendra menoleh."Apa sudah ada yang akan menjemput atau mengantar Bapak dan Randu pulang ke rumah?"Rajendra termangu dalam keterdiaman.
Rajendra sampai di rumah sakit dengan pikiran kusut. Ia memarkir mobilnya sembarangan tanpa peduli apakah posisinya sudah benar atau tidak.Ia melangkah cepat menuju ruang tunggu operasi. Rasa marah, sedih, kecewa dan dikhianati berbaur dalam dadanya.Ketika melihat Rajendra muncul, Utary langsung berdiri. Wajah perempuan itu begitu kesal."Ke mana aja sih? Lama banget dari tadi. Randu sudah selesai operasinya!" ketus Utary dengan keras.Rajendra tidak memedulikan pertanyaan itu. Matanya menatap Utary dengan dingin. Mungkin ini adalah untuk pertama kalinya mata yang biasa penuh perhatian itu menyorot penuh kebencian."Kita perlu bicara, Tar," ucap Rajendra dengan nada rendah tapi tajam.Dahi Utary mengernyit. "Mau bicara apa? Randu butuh kita sekarang.""Justru karena Randu kita harus bicara sekarang." Rajendra menarik langkahnya mendekati Utary yang membuat perempuan itu mundur selangkah. "Lo pikir gue nggak tahu apa yang lo sembunyiin selama ini?""Maksud kamu apa sih, Ndra? Aku ngg
Kecurigaan yang terus mengganggu pikirannya mendorong lelaki itu untuk mengambil langkah sulit. Ia tahu hal ini akan merusak hubungan antara dirinya dan Utary. Tapi Rajendra tidak memiliki jalan lain. Jika Utary tidak dapat memberinya kebenaran, maka Rajendra akan menemukannya sendiri.Setelah memastikan Randu tertidur pulas dan Utary sedang berada di luar, Rajendra memiliki kesempatan untuk mengumpulkan sampel DNA. Rajendra mengusap bagian dalam pipi Randu untuk mengambil salivanya menggunakan kapas swab yang sebelumnya ia dapatkan dari laboratorium. "Maafin Papa, Sayang," gumamnya pelan.Rajendra memasukkan swab tersebut dengan hati-hati ke dalam wadah steril. Tak lupa ia juga mengambil beberapa helai rambut Randu sebagai sampel alternatif.Setelahnya ia mengatakan pada Utary akan ke apartemen untuk mengambil baju ganti.Rajendra menyetir menuju laboratorium swasta yang menerima tes DNA dengan cepat dan kerahasiaannya terjaga. Petugas laboratorium mengatakan hasilnya akan keluar se
Keluar dari ruangan dokter, Rajendra terus memikirkan penjelasan yang tadi didengarnya. Walaupun merasa lega lantaran kondisi Randu bisa diatasi namun hatinya tetap dihantui pertanyaan mengenai asal penyakit tersebut.Diliriknya Utary yang berjalan di sebelahnya dengan ekspresi kesal. Rajendra tidak tahu entah kenapa Utary tidak suka dengan keputusan untuk menjalani pemeriksaan. "Kenapa kamu menolak buat diperiksa?" Rajendra bertanya di sela-sela langkah mereka.Utary menghentikan langkahnya dan menatap Rajendra tidak suka. "Aku cuma nggak mau masalah ini jadi besar, Ndra. Apa nggak cukup kita tahu kalau Randu bisa sembuh?""Bukan itu masalahnya, Tar. Kalau memang penyakit ini penyakit genetik, kita harus tahu sumbernya supaya Randu nggak mengalami hal buruk ke depannya.""Kenapa sih kamu bikin rumit semuanya? Kamu cuma mau nyari alasan buat nyalahin aku kan?" Utary menyedekapkan tangannya."Aku nggak mau menyalahkan siapa pun. Aku cuma mau yang terbaik buat Randu," ujar Rajendra men