Langit datang sore harinya ke rumah Livia. Lelaki itu terkejut ketika ia dilarang masuk oleh lelaki yang katanya sekuriti rumah itu.Langit berdiri dengan alis mengernyit. Ia tidak pernah melihat sekuriti sebelumnya. Sekuriti itu menghalanginya masuk."Maaf, Mas, tapi siapa pun yang datang dilarang masuk tanpa izin dari pemilik rumah!" Danu berujar dengan nada tegas.Langit tertawa mendengarnya. "Saya ini saudara Rajendra, Pak. Saya sudah sering ke sini dan nggak ada masalah. Tolong panggil Livia, saya harus bicara dengan dia," ujar Langit dengan nada kesal."Sekali lagi maaf, Mas. Tidak bisa. Saya hanya menjalankan perintah."Langit mulai kehilangan kesabaran lantaran diperlakukan seperti itu. "Tolong jangan buat saya marah ya, Pak. Kalau Bapak nggak mau bukain pintunya saya akan telepon Rajendra sekarang."Nama Rajendra yang disebut membuat sekuriti itu terlihat ragu sejenak. Sebelum ia sempat memberi jawaban, suara lembut namun tegas terdengar dari arah rumah."Langit!" Livia seger
"Shit!" Rajendra mengumpat ketika mobil yang ia kendarai terjebak di lampu merah. Ini sudah dua kali terjadi. Rajendra sudah sigap untuk melaju begitu lampu hijau menyala, tapi mobil yang di depannya berjalan lambat seperti siput hingga ia terperangkap lagi dalam lampu merah yang lama.Sebenarnya Rajendra punya supir. Namanya Geri, tapi Rajendra jarang memakainya. Ia lebih suka menyetir sendiri. Palingan Rajendra memakai Geri hanya untuk hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan kantor.Setelah lampu hijau menyala Rajendra membelokkan mobilnya ke kanan. Ke arah apartemen Utary. Wanita itu marah-marah padanya lantaran kemarin Rajendra tidak jadi menginap di apartemennya.Lelaki dengan nama lengkap Rajendra Geraldy itu memarkir mobilnya di basement dengan kasar, seolah menunjukkan suasana hatinya yang sedang tidak baik. Sebelum keluar dari mobilnya Rajendra terduduk lama sambil menghela napas panjang berkali-kali. Ia mencoba meredam amarah yang sudah membakar sejak kemarin malam akibat
Livia terkejut ketika malam itu Rajendra pulang dengan membawa Randu. Lengkap dengan stroller, bouncher dan pakaiannya. Tanpa ada Utary. "Ndra, Randu kenapa?" tanya Livia meminta penjelasan."Untuk sementara Randu akan tinggal di sini." Rajendra menjawab sambil menggendong Randu yang sudah terlelap sejak di mobil tadi ke dalam kamar.Livia menyusul Rajendra dari belakang. Ikut menuju kamar. Ia melihat Rajendra membaringkan Randu di atas tempat tidur tepat di tengah-tengah. Livia masih tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi hingga Rajendra membawa Randu ke sini."Utary mana? Kenapa Randu nggak sama dia?" tanyanya penasaran."Utary mau healing, liburan ke luar negeri, jadi Randu di sini dulu. Selama dia di sini kamu yang urus Randu."Perkataan Rajendra refleks membuat Livia termangu. "Jadi dia pergi liburan tanpa Randu?""Iya." Rajendra menjawab singkat sambil menyelimuti tubuh Randu dan memastikan anak itu merasa nyaman. "Utary butuh me time. Dia capek mengurus Randu sendiri. Jad
Rajendra tertegun di tempatnya. Rahang lelaki itu terkatup rapat. Irama napasnya terdengar memburu, menahan kejengkelan yang sudah tidak bisa ditaklukkan. Rajendra memandangi Livia yang sudah kembali tidur dengan lelap seolah semua yang terjadi di rumah tersebut bukanlah urusannya. "Luar biasa," ujarnya pelan dengan nada sinis. Sembari menahan emosi Rajendra membersihkan kotoran Randu. Tangisan anak itu menjadi-jadi, membuat keheningan malam menjadi pecah. Dengan gerakan canggung Rajendra mengganti diaper Randu. Tangannya gemetaran, kepalanya terasa panas, dan pikirannya dipenuhi oleh rasa frustasi. Selesai urusan BAB, Rajendra membuatkan susu untuk Randu. Sambil menuang air ke botol ia terus mengumpat sendiri. "Kenapa semua orang bikin hidup gue susah? Damn!" Selepas membuat susu Rajendra naik ke atas tempat tidur dan memberi Randu susu melalui botol. Bayi berumur tiga bulan itu mulai tenang walaupun wajahnya masih merah oleh sisa tangisan. Rajendra memandangi wajah mungil
Rajendra berdiri membatu di depan pintu rumah ibunya. Ia bagaikan dilempar ke jurang tanpa tali. Randu menggeliat di dalam gendongannya, mengeluarkan rengekan kecil. Dengan perasaan kecewa Rajendra membawa Randu kembali masuk ke mobil. "Yang sabar ya, Nak," ujarnya sambil meletakkan Randu di atas car seat. Lama Rajendra berpikir pagi itu. Akan ke mana ia membawa Randu? Di dalam perjalanan kepalanya penuh dengan pikiran yang tidak menentu. Ia terjebak dalam situasi yang tidak pernah dibayangkannya. Utary pergi, Livia tidak peduli dan sekarang ibunya juga menolak untuk membantu. Akhirnya Rajendra memutuskan kembali ke rumah. Suasana sunyi menyambutnya. Entah di mana Livia. Rajendra menurunkan Randu dari mobil dan membawanya masuk ke rumah. Sesudah menempatkan Randu di stroller Rajendra duduk di sofa dengan wajah lesu. "Kenapa semua orang tega pada gue?" gumamnya putus asa. Beberapa saat kemudian Livia muncul. Ia berjalan melewati Rajendra tanpa sepatah kata pun terlon
Rajendra menatap Livia sekilas sebelum membawa langkah keluar rumah. Kalimat terakhir Livia menusuk dalam ke hati Rajendra. Ia tahu hubungan mereka sudah di ujung tanduk. Namun mendengar langsung Livia mengatakan tidak mencintainya terasa begitu menyakitkan.Sambil menyetir Rajendra mencoba fokus pada tujuan utamanya yaitu menemukan pengasuh untuk Randu. Namun ternyata tidak semudah yang ia bayangkan.Saat sesekali Randu menggeliat di car seat-nya, Rajendra ikut melihat pada anak itu."Sabar ya, Sayang. Kita pasti ketemu pengasuh buat kamu," bisiknya pelan walau ia tidak sepenuhnya yakin pada ucapannya itu.Sesudah mengunjungi agen pengasuh anak dan melakukan wawancara kilat, Rajendra akhirnya menemukan pengasuh sementara untuk Randu. Dia seorang perempuan paruh baya yang bernama Bu Asih. Bu Asih terlihat lembut, pembawaannya tenang, berpengalaman, serta memiliki sertifikat pelatihan pengasuh anak.Rajendra akhirnya bisa bernapas lega walau ada kekhawatiran yang mengendap di hatinya.
Rajendra terpaksa berkenalan dengan Tedi. Kemudian duduk bergabung bersama ketiganya."Jadi, Pak Rajendra, saya ke sini mau menjemput dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk mengurus perceraian Bapak dan Ibu Livia," kata Tedi mengawali percakapan."Siapa yang akan bercerai?" ujar Rajendra dingin.Mendadak keheningan mengisi ruangan. Langit dan Livia saling menatap, sedangkan Tedi membetulkan posisi duduknya, berusaha tetap profesional di tengah-tengah suasana yang mulai memanas.Kemudian Tedi angkat bicara. Ia berkata dengan tenang. "Pak Rajendra, saya mengerti bahwa hal ini mungkin mengejutkan atau tidak sesuai dengan harapan anda. Tapi Ibu Livia sudah memutuskan untuk mengambil jalan ini. Dan saya ada di sini untuk membantu memfasilitasi proses tersebut.Rajendra memajukan tubuhnya, menatap Tedi dengan sorot tajam. "Dengar saya baik-baik, Pak Tedi. Saya nggak pernah menyetujui perceraian ini. Dan saya yakin anda mengerti bahwa keputusan seperti ini tidak bisa dibuat secara sepihak. Ja
Rajendra memasuki kantor sebuah firma hukum terkenal di pusat kota. Ia memutuskan memilih tempat ini untuk menangani kasusnya setelah mendengar reputasi firma hukum tersebut melalui seorang rekan bisnisnya.Setelah pintu terbuka Rajendra disambut seorang sekretaris yang mengarahkannya ke sebuah ruangan."Selamat datang, Pak Rajendra. Silakan duduk," kata seorang pria dengan setelan jas abu-abu. Namanya Yosef, pengacara ternama yang tidak pernah kalah dalam menangani kasus perceraian.Rajendra dan Yosef saling berjabat tangan. Kemudian Rajendra duduk di kursi yang tersedia."Langsung saja, Pak Yosef, saya butuh bantuan anda untuk menangani kasus perceraian saya. Istri saya ingin bercerai tapi saya tidak mau."Yosef tersenyum tipis kemudian berkata, "Kalau boleh tahu kenapa dia ingin bercerai dengan anda?""Dia cemburu melihat teman wanita saya. Dari dulu orangnya memang cemburuan. Nggak bisa ngeliat saya sama perempuan sedikit pasti akan langsung marah."Yosef tertawa mendengar keteran
Setelah dua hari berada di Singapura, Rajendra pulang ke Indonesia dengan membawa berbagai perasaan.Pengkhianatan Utary serta fakta yang ditemuinya mengenai perempuan itu membuat penyesalannya pada Livia menjadi semakin dalamSetelah tiba di bandara Geri sudah menunggu. Rajendra menyuruh menjemputnya. Sedangkan Tasia pulang naik taksi."Ke rumah Papi," kata Rajendra setelah mereka meninggalkan area bandara."Baik, Pak," jawab Geri.Rajendra bukan ingin bertemu dengan Erwin ataupun Lola. Ia hanya rindu pada Randu. Setelah fakta mengejutkan yang membuatnya syok ia menjadi sangat kasihan pada anak itu. Ia tidak akan pernah mengizinkan Randu hidup dengan perempuan seperti Utary."Pak, selama Bapak pergi saya sudah coba mencari ibu Livia," lapor Geri dari balik kemudi."Nggak usah dicari dulu. Biarin aja."Jawaban Rajendra membuat Geri mengerutkan keningnya. Biasanya Rajendralah yang paling antusias tapi kali ini tampak tidak bersemangat."Kenapa begitu, Pak?" tanya Geri penasaran."Saya
Utary terduduk di lantai memegangi pergelangan kakinya yang terasa nyeri. Matanya mencari Indra, tetapi lelaki itu sudah menghilang di antara keramaian.Air mata yang sejak tadi ditahannya agar tidak tumpah akhirnya meleleh juga, bercampur dengan perasaan malu dan frustrasi.Rajendra masih berdiri di dekat Utary, menyaksikan pemandangan tersebut dengan ekspresi tanpa belas kasih. Tangannya bersedekap di dada, matanya menatap dingin ke arah wanita yang dulu pernah menjadi bagian hidupnya."Kenapa masih duduk di sana? Udah nggak sanggup berdiri?" ujar Rajendra mengejek.Utary mendongak dan menatap Rajendra dengan matanya yang basah. "Kamu nggak bakal ngerti perasaanku, Ndra."Rajendra tertawa mendengarnya. Sebuah kekehan yang lebih menyerupai cemoohan. "Gue nggak ngerti lo bilang? Ya emang gue nggak ngerti. Sekarang bilang ke gue siapa bapaknya Randu? Gue perlu tahu."Utary menggeleng pelan. Air matanya mengucur semakin kencang. "Aku nggak tahu, Ndra," lirihnya nyaris tak terdengar.Dah
Di dalam butik tersebut Rajendra menemukan Utary sedang mencoba sebuah kalung berlian mahal. Di samping perempuan itu Indra berdiri memuji kecantikan Utary."Kalungnya cantik banget, Tar.""Jadi cuma kalungnya doang nih yang cantik?" Utary pura-pura merajuk sambil menatap Indra dengan manja.Indra tertawa. "Dua-duanya dong. Ya kalungnya, ya orangnya. Tapi kalungnya jauh lebih cantik kalau kamu yang pakai. Kalau orang lain yang pakai belum tentu akan secantik ini."Utary tersipu-sipu mendengar pujian yang dilayangkan Indra padanya. "Pasti harganya mahal," ucapnya sambil menyentuh kalung itu dengan jemarinya.Rajendra yang sudah tidak tahan lagi menahan emosi, menampakkan dirinya di depan kedua manusia itu."Kalung itu memang mahal, bahkan sangat mahal. Tapi harga diri lo ternyata jauh lebih murah dari yang gue pikir."Utary dan Indra sama terkejutnya. Wajah Utary memucat ketika melihat Rajendra berdiri di depan mereka dengan tatapan tajam."Ra ... jendra ..." Utary tergagap. "Eh, lo d
Sepeninggal Livia Rajendra termenung. Walaupun belum bisa menaklukkan Livia tapi ia senang melihat perempuan itu melunak karena janji pengobatannya tadi. Rajendra tidak main-main dengan ucapannya. Kalau Livia setuju ia akan langsung membawa perempuan itu berobat.Selanjutnya pikiran Rajendra tertuju pada perdebatan dengan Livia di ruang tunggu poli anak, mengenai nafkah. Rajendra baru sadar ia tidak memberikan sepeser uang pun pada Livia untuk biaya hidupnya dan Gadis.'Wanita menyukai uang. Dia pasti takluk kalau aku kasih uang,' bisiknya di dalam hati. Tanpa berpikir panjang Rajendra membuka aplikasi M-banking di ponselnya. Ia mengetikkan sejumlah angka dengan nominal yang besar. Dalam sekejap mata uang sebesar seratus juta rupiah berpindah dari rekeningnya ke rekening Livia.Tanpa sadar bibir Rajendra menyimpul senyum. Setelah Livia kembali dari toilet nanti ia akan mengatakannya. Ia yakin Livia akan melunak dan jalannya untuk kembali pada perempuan itu akan terbuka lebar.Tapi n
Livia susah payah menahan geram di saat melihat Rajendra masih berdiri di dekat pintu seperti seorang bodyguard.Livia sadar, semakin lama ia berada di sana semakin besar kemungkinan Rajendra mengejarnya.Menarik napas panjang, Livia memikirkan cara agar bisa pergi tanpa Rajendra yang terus membuntutinya.Sayangnya kondisi fisik Livia tidak mengizinkannya untuk berlari. Ia hanya bisa berjalan ke dalam lift. Dan seperti yang ia duga Rajendra mengikutinya."Tunggu aku, Livia!" panggil Rajendra. Tapi Livia tidak merespon. Ia terus berjalan dengan langkah tertatih.Livia menekan tombol lift dan menanti pintu terbuka. Ketika lift tiba ia masuk dengan cepat. Seperti yang bisa ditebak Rajendra juga ikut masuk. Livia menghentikannya."Jangan ikuti saya, Ndra. Saya ingin sendiri.""Aku hanya ingin memastikan kalian aman," balas Rajendra."Saya dan Gadis aman. Kamulah yang membuat kami jadi nggak nyaman. Jadi pergilah."Dengan perlahan pintu lift tertutup. Dan Rajendra tetap berada di dalam. Be
Livia duduk di ruang tunggu poli anak Alva Hospital dengan Gadis di dalam dekapannya. Wajah Livia terlihat tegang, pikirannya juga terusik. Sejak tadi beberapa kali ia merasa seperti sedang diawasi, namun tidak menemukan siapa pun yang mencurigakan. Diusapnya kepala Gadis yang tertidur pulas. Anak itu tampak begitu damai. Ia tidak tahu pada kekacauan yang terjadi di sekitarnya. "Livia!" Dengan refleks Livia menoleh. Di detik itu jantungnya seperti hampir terlepas dari rongganya ketika menyaksikan Rajendra berdiri di ambang ruang tunggu. Kedua mata lelaki itu menatapnya dengan lekat. Lalu dengan mantap langkahnya mendekat. "Rajendra ...," suara Livia begitu lirih dan hampir tidak terdengar. "Gimana kamu bisa--" "Ya aku tahu kamu ada di sini," sela Rajendra memutus perkataan Livia lalu duduk di sebelahnya. "Aku cuma mau kita bicara baik-baik. Aku nggak akan macam-macam," ucapnya dengan wajah terpaku di wajah Livia. Livia mendekap Gadis dengan lebih erat. Tubuhnya terasa kak
Sepuluh menit setelah Rajendra pergi, Langit langsung menelepon Livia. Ia ingin memastikan keadaannya saat ini. "Halo, Lang." Suara lembut Livia menyambut panggilan Langit. "Halo, Liv," balas Langit. Suaranya lebih serius dari biasa. "Rajendra baru aja ke sini. Dia nyari kamu kayak orang gila." "Maafin saya, Lang. Tapi Rajendra nggak apa-apain kamu kan? Dia nggak mukul dan segala macam kan?" suara Livia terdengar khawatir lantaran ia tahu betapa bencinya Rajendra pada Langit. Dan itu adalah karena dirinya. "Kamu tenang aja, Liv. Dia cuma ngomel-ngomel nggak jelas. Nggak ada kekerasan fisik." Langit sedikit berbohong agar Livia tidak khawatir. "Syukurlah." Livia terdengar lega. "Gadis mana?" "Dia sudah tidur." "Aman kan di sana?" "Sejauh ini aman. Makasih ya udah bantuin saya pindahan." "Kamu makasih melulu, Liv. Kalau dihitung-hitung makasih kamu tuh udah nggak terhitung." Livia tertawa. Tadi siang ketika Langit sudah di kantornya ia menelepon lelaki itu, meng
Rajendra menyetir mobilnya dengan kencang. Emosinya meluap-luap. Tujuannya adalah apartemen Langit. Ia tidak yakin Livia ada di sana karena Langit pasti menyembunyikannya. Tapi ia akan memaksa Langit untuk bicara. Malam ini juga ia harus tahu keberadaan Livia dan putrinya.Sesampainya di area apartemen Langit, Rajendra memarkir mobilnya dengan kasar. Dengan langkah lebar ia menuju lift. Tangannya Terkepal erat, siap melampiaskan emosinya.Setelah pintu lift terbuka, Rajendra keluar dengan napas berat. Tepat ketika kakinya berhenti di depan unit Langit, ia langsung mengetuk pintu dengan keras. "Buka pintunya, Lang!" suruhnya dengan nada menggelegar.Tidak adanya jawaban dari dalam sana membuat Rajendra terus mengetuk bahkan menggedor, hingga para tetangga sekitar mulai mengintip.Lama kelamaan pintu pun terbuka. Memunculkan Langit yang menghadapinya dengan wajah tenang. Sesuai dengan penampilannya yang santai. Lelaki itu mengenakan kaus oblong dan celana pendek."Oh, lo, Ndra. Ngapa
Livia terbangun lebih cepat dari biasanya. Bisa dibilang ia hampir tidak bisa tidur semalaman. Ancaman dari Rajendra membuatnya tidak tenang walau ia sudah mencoba berbagai cara menenangkan diri.Sambil mendorong stroller Gadis yang masih mengantuk, ia melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan.Langit sudah lebih dulu ada di sana. Ia sedang menyeduh kopi."Pagi, Liv. Tidur kamu nyenyak?"Livia menjawab dengan gelengan kepala. "Saya hampir nggak bisa tidur. Saya nggak bisa berhenti memikirkan ancaman Rajendra."Langit berhenti menyeduh kopinya. Ditatapnya Livia dengan serius. "Aku akan pergi dari sini untuk sementara. Jadi kamu aman. Nggak apa-apa kan kalau kamu cuma berdua dengan Gadis?""Nggak apa-apa, Lang. Gadis masih bayi. Saya masih bisa mengatasinya. Kecuali kalau dia sudah pandai merangkak mungkin saya agak kesulitan," jawab Livia. Livia juga tidak ingin menahan Langit agar bersamanya. Meski sejujurnya langit memberi banyak bantuan dan membuatnya merasa aman dari orang-orang