Ponsel Mas Rahman bergetar, pertanda pesan masuk. Aku malas membukanya karena sedang menyusui Hafiz Zeeshan Bayi mungil ini diberi nama oleh Mas Rahman yang artinya pelindung martabat. Kelak akan menjadi anak yang sholeh, berbakti pada kedua orang tuanya.
Namun, kembali benda pipih itu bergetar beberapa kali. Karena merasa terganggu aku pun membukanya. Di dalam ruang kerjanya Mas Rahman sedang memeriksa data siswa. Seminggu lagi pondok pesantren akan libur, dia sedang meninjau para murid yang berprestasi untuk diberi beasiswa.
[Maafkan aku, Mas. Sepertinya aku takbisa untuk menjauh darimu]
[Mas, lambat laun Ayi juga akan tahu kalau kita punya hubungan yang spesial]
[Jangan menghindar dariku karena aku akan semakin mendekat]
[Aku mencintaimu, Mas. Aku tak mau jauh darimu]
Barisan pesan dari Nurul begitu panjang tertulis lewat aplikasi hijau itu. Aku yang membaca isi pesannya merasa terbebani dengan kata-kata mesra ya
"Nurul?" Ayi terkejut melihat siapa pengirim pesan dari ponsel suaminya.Tangannya gemetar memegang benda pipih yang ada dalam genggamannya. Benda pipih itu terus saja berdering seolah tidak putus asa menghubungi suaminya."Siapa yang menelpon, Ay?" tanya Ustaz Rahman keluar dari kamar mandi.Ayi memberikan handphone milik suaminya, dia lantas berlalu begitu saja sambil menggendong Hafiz. Kening Ustaz Rahman mengernyit saat melihat pesan dari Nurul dan juga panggilan yang tak terjawab sebanyak lima kali selama ada di dalam kamar mandi."Nurul? Ada apa dia menelponku malam-malam begini? Bukankah tadi aku sudah mengantarkannya ke rumah sakit?" gumam Ustaz Rahman.Ting. Satu pesan lagi masuk ke aplikasi hijau miliknya, Ustaz Rahman membaca pesan itu. Nurul memintanya untuk datang ke rumah sakit, Anisa kritis dan membutuhkan dirinya. Bocah itu selalu memanggil nama Ustaz Rahman."Mas, ayo makan
"Mas Rahman!"Lelaki yang aku tunggu kedatangannya ada bersama seorang wanita. Dia sedang tertawa bahagia dengan Nuru, hati ini sakit melihat kenyataan pahit. Tadi pagi Mas Rahman berpamitan ingin menjenguk Anisa, ingin memastikan keadaannya baik-baik saja.Sampai lebih lima jam aku menunggu kedatangannya di rumah, menyiapkan makan siang. Namun, sampai detik ini dia tidak kembali. Ku coba menghubungi ponselnya tapi tidak diangkat.Sudah tujuh kali aku melakukan panggilan, namun tetap saja tidak direspon. Nada sambungnya berdering, tetapi tak ada jawaban dari Mas Rahman. Aku cemas, khawatir, dan takut dia kenapa-napa. Belum pernah dia mengabaikanku seperti ini, mungkinkah terjadi sesuatu padanya? Membuat diri ini berpikiran pada hal-hal buruk."Kenapa harus berbohong, Mas? Mengapa tidak sempat menerima teleponku," gumamku menghapus jejak air mata.Hati sakit melihat pemandangan
Pulang dari rumah sakit, Mas Rahman ingin berbicara empat mata denganku. Dia memintaku duduk, dan berbicara hanya berdua saja. Sementara Hafiz dijaga Nara dan Izah. Hanya ada kami di ruangan tertutup ini. Mas Rahman menarik napas sebelum mulai berbicara."Ada apa Mas memintaku datang ke sini?" tanyaku hati-hati. Aku tidak ingin Mas Rahman tersinggung dengan pertanyaan."Maafkan aku, Sayang. Ini mungkin berat bagimu. Tapi aku harus melakukannya."Aku semakin bingung dibuatnya. Ada apa dengan Mas Rahman. Kenapa jantungku seperti berdetak dengan kencang, perasaan jadi tidak karuan. Mas Rahman berbicara dengan serius."Maaf untuk apa, Mas?""Aku sudah menikah dengan Nurul tanpa seizin mu." Mas Rahman berkata pelan, namun jelas terdengar.Bumi tempatku berpijak seakan runtuh seketika. Belahan jiwaku telah berkhianat. Dia menikah siri secara diam-diam. Bahkan izin berpoligami juga tidak pernah diutarak
Pagi ini, aku milihat Nurul sedang menyiapkan sarapan. Dapur berantakan, piring kotor menumpuk di wastafel. Gelas, sendok, dan wajan juga kotor."Apa yang sedang kamu lakukan, Nurul?""Maaf, Mbak. Aku sudah memakai peralatan dapur untuk memasak."Kepalaku terasa ingin pecah, Nurul sudah membuat semuanya berantakan dalam waktu beberapa menit. Bukan hanya saja minyak goreng yang tumpah, namun sisa-sisa makanan juga ada."Kalau kamu tidak bisa memasak lebih baik suruh Izah saja membuatnya.""Aku ingin membuatkan Mas Rahman sarapan pagi, Mbak.""Tapi kamu sudah membuat semuanya berantakan, Nurul. Aku tidak suka kamu mengotori dengan cara seperti ini."Nurul diam, dia menunduk memegang panci."Bereskan kekacauan ini, Nurul! Aku tidak ingin melihat semuanya berantakan.""I … iya, Mbak." Nurul menjawab dengan gugup."Sehabis masak bersihkan piring kotor, meja dan kompo
"Apa yang sudah kau lakukan di sini? Kenapa kamu bisa ada di dalam kamarku." Aku terkejut, ketika melihat Nurul berada di ranjang Mas Rahman.Wanita yang memakai baju tidur itu menoleh, lalu memandang dengan tatapan sinis. Perlahan, dia bangkit dan duduk di sofa yang berhadapan dengan ranjang. Kakinya yang satu lagi ditopang kan ke atas paha. Terlihat betisnya yang putih mulus."Ini kamar Mas Rahman. Itu artinya … kamarku juga."Apa katamu?!" Aku membentak menatap Nurul. Bisa-bisanya Nurul mengakui kamar yang aku tempati adalah miliknya.Sejak Nurul menjadi istri kedua Mas Raman, dia seakan menjadi penguasa di rumah ini. Bahkan, dia sudah tidak punya rasa sungkan tidur di atas ranjang suamiku. Tempat kami melabuhkan cinta."Maaf, Mbak. Mas Rahman memintaku tidur di sini. Kamar kami sedang direnovasi."
Aku menatap matahari yang baru tenggelam di ufuk barat. Sinar keemasannya mulai menghilang di garis cakrawala. Terasa hawa dingin menyusup dalam tubuh yang baru saja melaksanakan ritual mandi wajib. Yah, masa nifasku sudah berakhir. Dua bulan aku dan Mas Rahman tidak pernah melakukan hubungan suami-istri. Malam ini saatnya aku membuatnya bahagia.Ingin kuhabiskan malam-malam romantis dengannya. Setelah melahirkan Hafiz dia tidak pernah lagi menyentuhku. Apalagi sekarang ada Nurul yang selalu siap melayaninya. Hati ini terbakar cemburu, jiwa meronta ingin mencabik-cabik wajah maduku. Wanita itu dengan sengaja masuk ke dalam rumah tangga kami. Sebagai wanita ketiga yang tak diundang."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Aku menoleh ke belakang. Mas Rahman baru pulang dari pondok pesantren. Wajah lelahnya kelihatan sekali dari suara yang mengucap salam.
Seketika air mataku merembes keluar tanpa diminta. Aku melepas kepergian Habib dan Nara. Kini sudah saatnya mereka menentukan jalan hidup sendiri. Aku tidak ingin menjadi penghalang untuk Habib, dan Nara meraih cita-citanya."Bunda jangan sedih. Habib pasti akan kembali jika tugas ini sudah selesai," ucap Habib menghapus jejak air mataku."Iya, Nak. Bunda akan menunggu kalian di sini.""Ayah, tolong jaga Bunda selama Habib pergi!" Pintanya kepada Ustaz Rahman."Iya, Habib. Tentu Ayah akan menjaga ibumu dengan baik. Kamu tetap saja fokus mengajar di sana. Ayah pasti akan menjaga amanahmu," kata Ustaz Rahman."Jaga dirimu baik-baik di sana, Nak!" Lirihku.Bibir ini bergetar seiring pilu yang menyayat hati. Ketika melepas dua buah hatiku merantau di kampung orang. Wajahku menengadah menatap Habib, lalu bergantian Nara. Gadis manis yang kini sudah tumbuh dewasa. Cantik, Soleha dan juga pi
Beberapa Tahun KemudianMobil masuk ke halaman pesantren MTTQ melewati dua pos penjagaan. Dari dalam mobil bisa kulihat barisan para santri yang sedang menuju ke masjid. Mereka melaksanakan salat berjamaah bersama. Waktu sudah menunjukan pukul tiga lewat empat puluh lima menit. Sudah saatnya tiba melaksanakan salat asar.Para santri putri hilir mudik melewati santri putra. Mereka hilir mudik memenuhi pondok pesantren yang dipimpin oleh Kyai Hasyim. Sementara santri pria bergerombolan menuju ke masjid. Sarung berkibar bak bendera yang memberi hormat tertiup angin. Aku juga memperhatikan hijab santri putri yang melambai dipermainkan angin. Udara di pesantren ini sangat sejuk. Letaknya di daerah Kabanjahe."Nyonya, kita sudah sampai," ucap sopir membukakan pintu. Lamunanku ambyar seletika begitu sudah sampai di rumah."Em … iya, Pak," jawabku gugup.Aku turun dari mobil dengan disambut