Tak ingin ada masalah dengan mereka aku segera bangkit. "Maaf Pak Daffa saya kembali dulu." Aku pamit kembali ke devisiku. Namun baru selangkah aku berjalan Mas Daffa segera menangkap tanganku. "Mel maaf." Ujar Mas Daffa. Aku tersenyum menatapnya, "Nggak papa Mas, santai saja. Silakan lanjut ngobrolnya." Lalu melepas tangannya. Saat hendak berjalan lagi wanita itu tiba-tiba menghalangiku. "Tunggu!" "Aku perhatikan sepertinya aku pernah melihatmu sebelumnya." Dia menatapku dengan lekat. Ucapannya membuat ingatanku terbang melayang wajahnya juga tak asing bagiku, pernah bertemu tapi di mana? Aku berjuang keras mengingat dimana bertemu dengan wanita ini hingga akhirnya aku ingat dia adalah wanita yang kutemui di saat malam peresmian restoran milik Mas Daffa. "Oh kamu!" Aku dan dia berucap barengan. "Pantes aku hampir tak mengenalimu sekarang kamu sudah tidak hamil." Tatapannya terlihat mengejek. Ingin sekali aku membalas ucapannya namun aku mengurungkan niatku, toh penilaianny
Aku duduk di sofa sambil terus menghubungi Mas Raka. "Berdering tapi gak diangkat." Rasa cemas terus menggrogotiku.Selang kemudian kudengar suara langkah kaki mendekat. Aku segera memasang gestur waspada. "Sayang kamu sudah bangun?" Ternyata Mas Raka. Segera aku menghambur ke arahnya lalu memeluknya dengan erat."Kamu kenapa meninggalkan aku Mas? aku takut." Seperti anak kecil aku menangis. "Tidur kamu nyenyak sekali sayang, aku nggak tega membangunkanmu. Ujar Mas Raka dengan mengelus rambutku. "Rencananya aku merapikan kamar kita dulu baru setelahnya aku akan menggendong kamu masuk." Mas Raka melepas pelukanku. Netranya menatapku sendu lalu dia menghapus air mataku. "Kamu seharusnya membangunkan aku Mas, aku hampir mati ketakutan." Kataku lalu memeluknya lagi. "Maafkan aku sayang." Ujarnya. Mas Raka mengajak aku naik ke atas, dia menunjukkan kamar yang memiliki view yang sangat indah.Jendela kamar itu menghadap ke laut, tak hanya itu kamar yang Mas Rafa pilih juga memiliki b
"Sangat siap Mas." Bisikku. Kami berdua hanyut dalam suasana malam yang sahdu, dibawah sinar rembulan dan suara deburan ombak kami berdua memadu kasih, sungguh nikmat dunia ini tiada tara.Suara erangan kenikmatan kami bersahutan dengan suara dari ombak sungguh pengalaman bercinta yang tiada terlupakan.Dia memberikan aku sebuah hal indah yang tidak pernah aku dapatkan sebelumnya. 'Mas Raka terima kasih atas pengalaman yang luar biasa ini'Setelah mendapatkan pelepasan, kami berdua berpelukan di bawah langit. meski udara sangat dingin namun pelukan mas Raka jauh begitu hangat membuat rasa dingin terhempas. "Makasih Sayang." Dia mengecup keningku.Usai bertempur membuat mataku mengantuk lalu aku meminjamkan mata. Dalam sekejab aku pindah ke alam mimpi. Meski sudah di alam mimpi namun aku masih bisa merasakan nikmatnya sebuah percintaan. Aku terpental dari alam mimpi, dan bangun-bangun aku telat berpindah ke tempat tidur. Pasti semalam mas Raka lah yang menggendongku masuk ke dalam.
Selepas jalan-jalan kami pulang untuk bersiap kembali ke rumah. Sebenarnya Mas Raka mengajak nanti malam hanya saja aku tidak ingin dia terlalu lelah. Singkat cerita kita telah tiba di rumah, kami berdua segera naik ke atas untuk istirahat. "Mas terima kasih atas kencan luar biasanya." Kupeluk tangannya dengan erat. Mas Raka tersenyum, "Sudah kewajiban seorang suami mengajak istrinya kencan jadi jangan berterima kasih Sayang." Anggukan kecil aku tunjukkan lalu aku memejamkan mata. Bahagia aku rasakan bertubi-tubi, apa ini buah kesabaranku? Keesokan paginya, aku bangun terlebih dahulu. Aku singkirkan pelan tangan Mas Raka yang melingkar di perutku. "Maaf ya Mas, aku harus menyiapkan sarapan untuk kamu." Gumamku lalu mengecup keningnya. Di dapur aku membuka kulkas, kulihat bahan makanan yang ada. Setelah menentukan mau masak apa aku keluarkan bahan-bahannya, pelayan yang ingin membantu aku minta untuk mengerjakan pekerjaan lainnya karena aku ingin memasak untuk keluarga Mas Rak
"Mas kamu kenapa?" Aku sangat panik melihatnya kesakitan, tapi Mas Raka segera menenangkanku. "Tidak apa-apa sayang nyeri sedikit saja," katanya. Aku tatap dia, aku coba meyakinkannya sekali lagi, apa benar hanya nyeri sedikit? "Mas jangan bohong Mas kalau memang ada masalah dengan perut kamu kita ke rumah sakit." Mataku sudah berkaca, aku sangat takut jika terjadi apa-apa dengannya. Ketakutanku bukan perkara lebay hanya saja suamiku memang hanya hidup dengan satu ginjal, jadi aku sangat takut jika dia mengeluh sakit perut. Mas Raka tersenyum lalu mengelus rambutku, "Beneran hanya nyeri sedikit tadi." Ujarnya. "Syukurlah Mas, kamu banyak-banyak istirahat ya, jangan terlalu diforsir tenaganya." Kutangkupkan kedua tanganku di wajahnya. "Iya Sayang jangan khawatir." Kembali sederet giginya kulihat. Karena tak ingin terjadi apa-apa dengan suamiku aku memilih kembali ke kantor menggunakan taksi online, tak peduli Mas Raka berusaha mencegah, tapi aku tetap bersiker
Wajahku jadi tak karuan setelah keluar dari ruangan Mas Daffa, bahkan sampai ke divisiku aku masih menunjukkan ekspresi yang sama hingga mengundang pertanyaan salah satu teman ku. "Kamu kenapa Mel? Kenapa mukamu begitu?" Aku memaksakan senyumanku lalu berdalih. "Nggak apa-apa tadi aku heran saja dengan perintah Pak Daffa." "Memangnya kamu disuruh apa?" Temanku satunya turut bertanya. Haduh, mengapa pada malah bertanya sementara aku tidak mungkin mengungkap permintaan Mas Daffa tadi. "Dia meminta aku menyelesaikan banyak laporannya." Kataku berbohong. Untungnya temanku percaya dengan ucapanku sehingga mereka berhenti tidak bertanya lagi. Keinginan Mas Daffa benar-benar membuatku tidak bisa fokus bekerja, bagaimana bisa dia menginginkan sedikit waktuku untuknya kalau seperti ini aku merasa mengkhianati mas Raka. Sungguh aku hanya menyayangkan diriku sendiri yang tidak bisa tegas pada Mas Daffa, yang mana ujungnya aku repot sendiri. Setelah jam kerja selesai aku keluar,
"Sayang kamu mau makan apa?" tanya Mas Raka sambil menatapku. Entah kenapa melihat makanan yang ada di menu itu membuat aku tak bernafsu. Sebenarnya aku ingin memakan makanan yang ada di pinggir jalan. "Aku makan salad aja Mas." Sambil menutup buku menu makanan. Mas Raka mengerutkan alisnya seolah tidak setuju jika aku hanya memesan salad saja. "Kenapa hanya salad? apa nggak ingin makan yang lainnya?" Tanyanya heran. "Berat badan aku sudah naik tiga kilo Mas jadi aku mau diet." Jawabanku membuat Mas Raka tertawa, dia sampai menggelengkan kepala."Tak masalah sayang, meski berat badan kamu naik 10 kilo, 20 kilo bahkan 30 kilo aku tetap cinta kok. Sudah kamu jangan mikir yang aneh-aneh sekarang pokoknya kamu harus makan." Katanya. Aku mendengus kesal, "Mana ada tetap cinta, berat badan istri naik 30 kilo suami pasti nyari yang bening di luar." Mas Raka kembali tertawa, "Untuk apa mencari yang bening diluar kalau di rumah udah ada yang super bening." "Ah so sweet tapi aku nggak
"Tadi kan sudah Mas," kataku dengan gugup. "Kita bisa mengulangnya kembali jika kamu menginginkannya Sayang." Bisik Mas Raka. Hembusan nafas Mas Raka membuat aku melayang, tanganku mencengkeram baju dengan kuat. Meskipun berhasrat tapi aku sudah mandi malas sekali jika harus mandi lagi. "Tidak Mas nanti malam saja." Buru-buru aku melepaskan diri dari pelukannya. "Lagipula kita harus ke rumah Ibu nanti keburu siang," kataku lalu bersiap. Kulihat masyarakat tersenyum, harus kuakui senyumannya bikin aku tak tahan, suamiku ini kenapa begitu menawan. Setelah kami bersiap kami segera turun lalu berangkat ke rumah ibu dan ayah. Tak lupa di jalan kami belanja keperluan rumah untuk orang tuaku. Tak selang lama mobil Mas Raka sudah tiba di tempat rumah tuaku, aku yang sudah rindu pada mereka lambung turun tanpa menunggunya. "Assalamualaikum, Ibu Ayah Amel pulang." Aku terus memanggil kedua orang tuaku. Sautan terdengar dari dalam, "Amel kamu pulang Nak." Ujar ibu.
Waktu terus berlalu, tak terasa Arkan sudah berumur tujuh bulan, mama yang masih memegang teguh adatnya hendak melakukan syukuran yang disebut "Mudun lemah" atau turun tanah. Di usia tujuh bulan bayi sudah diperbolehkan untuk diturunkan ke bawah mengingat mereka harus belajar berjalan. "Amel persiapannya sudah selesai apa belum?" tanya Mama yang memantau aku di dapur. "Sudah ma, anak ayam yang mama pesan sudah dikirim." Kataku sambil tersenyum. Memang dalam syukuran kali ini kami menggunakan anak ayam, entahlah kenapa ada adat seperti itu. Ayah dan ibuku juga datang untuk membantu, aku yang lelah memutuskan ke kamar sejenak untuk istirahat. Beberapa saat kemudian, Mas Raka menyusulku. Dia yang juga kelelahan turut berbaring di sampingku. "Adat terkadang itu menyusahkan, tinggal syukuran saja kenapa ribet banget yang inilah itulah, lagian kenapa ada acara turun tanah, Arkan tinggal ditaruh bawah kan udah beres." Mas Raka menggerutu sendiri. Mendengar gerutuannya
Mas Raka menatapku tak percaya, "Kamu setuju Sayang?" tanyanya sambil memegang pundakku. "Iya Mas, kuakui aku tak sanggup mengurus Arkan sendirian." Mas Raka langsung memelukku, dia mengecup keningku berkali-kali. Setelah berbincang aku dan Mas Raka memutuskan pulang, sesampainya di rumah Mama menyambutku. Sama seperti Mas Raka mama memelukku dengan erat. Sebenarnya aku heran pada mereka, takut sekali jika aku pergi. "Ma tolong carikan yayasan terbaik, kami akan menggunakan jasa baby sitter." Ujar Mas Raka. Mama sangat senang mendengar kabar ini lalu beliau menghubungi Yayasan yang sudah diakui para majikan. Beberapa foto calon baby sitter mama tunjukkan padaku, dan pilihanku jatuh pada baby sitter yang sudah berumur. Aku sengaja mencari yang tidak manarik karena takut Mas Raka akan tergodo seperti di film-film. Keputusan kami buat, dan besok orangnya akan dikirim ke rumah. Malam itu, Mas Raka lah yang menidurkan Arkan, dia juga menemani aku begadang meng
"Iya Bu, Amel akan memikirkannya lagi." Kataku sambil menatap ibuku. Arkan menangis, ibu memintaku untuk menyusuinya langsung karena asi yang aku pompa kemarin sudah habis. Setelah aku menyusui Arkan, ibu meminta bayiku kembali. Ibuku memang ibu terbaik di dunia. Beliau tidak ingin aku lelah. "Enak ya digendong nenek." Aku mengusap pipi Arkan. Dari depan terdengar suara mobil berhenti, bibirku menyunggingkan senyuman saat tahu yang berhenti adalah mobil Mas Raka. Mas Raka berjalan mendekat dan bersamaan Arkan muntah sehingga aku berlari masuk ke dalam. Dari belakang aku mendengar Mas Raka memanggilku. "Sayang." Mas Raka mengekori aku yang ingin mengambil tisu. Dia langsung memelukku. "Maafkan aku." Dia berbisik. Aku melepas pelukannya bukan tidak senang dengan kedatangannya tapi aku harus mengusap muntah Arkan. Ibu segera meminta tisu dariku, lalu beliau lah yang mengusap bibir Arkan. Setelah bersih dari muntahan, aku menatap suamiku yang sudah memasan
Di dalam kamar aku menangis, sungguh aku merasa sedih dengan sikap Mas Raka. Kenapa semua seolah aku yang salah? padahal aku hanya ingin merawat Arkan dengan tanganku sendiri? "Kenapa kamu begini Mas?" Aku bermonolog dengan diriku sendiri. Kukira Mas Raka akan mengerti keadaanku, seorang ibu baru yang mengalami perubahan segala siklus hidup namun nyatanya tidak. Di saat seperti ini bukankah peran suami adalah mensupport istri? tapi mengapa malah balik menyalahkan? ArrggggAku berteriak sambil mengusap rambutku dengan kasar. Meskipun aku mengurus Arkan sendiri aku tidak pernah mengganggu tidurnya, seberapa repotnya aku tiap malam aku tidak pernah membangunkannya karena aku sadar dia harus bekerja. Tapi kenapa dia tidak mengerti? bukankah masa-masa seperti ini tidak lama, ketika bayi semakin besar dia pasti akan jarang bangun malam dan aku bisa mengurusnya kembali? Hati yang meradang membuat aku terus menangis hingga suara ketukan dari luar menghentikan tangisku. Aku berjalan u
Kutunggui dia yang sedang makan, entah mengapa melihat Mas Raka makan, aku merasa iba. Emosi yang memburu tiba-tiba menghilang. "Aku sudah selesai makan, apa yang ingin dibicarakan?" Dia menatapku. "Ayo le kamar." Tak ingin di dengar pelayan dan Mama aku mengajak Mas Raka ke kamar. Tapi Mas Raka menolak dengan alasan kekenyangan jadi malas naik. "Kamu tuh kenapa sih Mas, bicara di kamar lebih leluasa tidak didengar banyak orang!" Aku memberengut kesal. "Apa masalahmu?" Nafasku kembali memburu, dia tidak pulang dan dia bertanya apa masalahnya? "Kamu tuh nyadar gak sih kalau salah! nggak pulang apa menurut kamu itu wajar?" Air mataku yang kutahan memberontak keluar, sehingga kini aku menangis di hadapannya. "Apa yang kamu tangisi bukanlah semua keinginan kamu?" Mendengar ucapannya sontak aku membuat aku kembali menatapnya, "Apa maksud kamu?" "Ya kamu lelah dengan Arkan bukanlah itu keinginan kamu? dari awal aku sudah mencoba menawarkan baby sitter tapi kamu selalu menolak."
Tanganku mengepal, emosiku meledak-ledak melihatnya. Melihatku Mas Raka hanya menghela nafas. "Aku lelah, jangan marah-marah seperti ini." Katanya lalu dia merebahkan diri di tempat tidur. Tak rela jika amarahku berakhir begitu saja aku pun menghampirinya, ku tarik tangannya agar bangun untuk mendengar omelanku. Tapi bukannya bangun Mas Raka justru menarik tubuhku dan membawaku ke dalam dekapannya. "Arkan tidur lebih baik kamu tidur jangan marah-marah." Katanya. Aku melongo melihat suamiku ini, seketika emosiku yang sedari tadi berapi-api padam begitu saja. Dan dalam dekapannya aku merasa hangat hingga air mataku tak terasa meleleh. "Nyatanya lelahku hilang dalam dekapannya." Batinku sambil terus menatap Mas Raka yang sudah memejamkan mata. Baru saja aku terpejam suara Arkan membangunkan aku, malas dan lelah tapi aku harus bangun untuk menenangkan malaikat kecilku itu. "Kamu haus ya." Kataku sambil membuka kancing baju untuk menyusuinya. Saking ngantukn
Aku hanya tersenyum mendengar pesan Mama, entah mengapa aku ingin tanganku sendiri yang mengurus bayi ini. "Nanti Amel pikirkan ya Ma." Tak ingin Mama kecewa aku berkata demikian. Bayiku kini berusia tujuh hari, hari ini adalah hari dimana Mama mengadakan syukuran pemberian nama. Adat kami memang seperti itu, ada beberapa syukuran yang wajib digelar oleh keluarga yang baru saja memiliki keturunan. "Namanya Arkan Ma, diambil dari Amel dan Raka." Ujar Mas Raka. "Tapi sama Mas Raka ditambahi n," sambungku. Mama tertawa, sebenarnya aku yang ingin Mas Raka menambahkan paten n, karena aku ngefans sekali dengan salah satu sama pemain bola tanah air. Setelah acara syukuran pemberian nama selesai aku dan Mas Raka pamit ke atas untuk istirahat. Di dalam kamar, Mas Raka duduk di sampingku. "Sayang, besok pagi sekali aku ada dinas keluar kota kamu bisa nggak bangun pagi dan mengurusi aku." Dia menatapku. "Aku upayakan ya Mas, bayi kita sering rewel kalau malam jadi aku ga bisa
Ini bukan stimulasi Asi melainkan memancing hasrat, alhasil hasratku lah yang terpancing keluar. "Mas, ah...." Aku malah mendesah merasakan setiap hisapan yang mas Raka berikan. Tanganku menarik rambutnya, mataku justru terpejam. "Mas sudah." Aku menekan kepalanya. Entah apa yang ada di kepalaku, saat seperti ini aku malah terjerumus dalam hal ini. Mas Raka menyudahi aksinya, "Gimana sayang, apa sudah cukup stimulasinya?" Dia tersenyum licik. "Ini bukan stimulasi mas, tapi memancing hasrat." Sahutku kesal. Dia tertawa, suamiku sungguh mesum sekali. "Maafkan aku sayang," katanya lalu mencubit pipiku. Netraku menatap wajahnya kemudian turun ke bawah dan aku melihat ada sesuatu yang menyembur dari balik celananya. Deretan gigiku terlihat, ternyata dia juga terpancing perbuatannya sendiri. "Itu kamu juga berdiri." Kataku sambil menahan tawa. Sebenarnya aku ingin tertawa lepas mengejeknya hanya saja luka operasi jika dibuat tertawa terasa sangat sakit. Tau aku mengejeknya Mas
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, hari ini aku dan seluruh keluarga besarku dan Mas Raka pergi ke rumah sakit. Sengaja kami memilih hari ini karena hari ini bertepatan dengan ulang tahun Mas Raka jadi anakku nanti memiliki hari ulang tahun sama dengan papanya. "Mas aku takut." Aku terus memegangi tangan mas Raka. Ingatan waktu itu, membuat nyaliku menciut. Memang operasi sesar tidak menakutkan tapi setelahnya aku harus kesakitan. "Jangan takut sayang, ada aku." Mas Raka terus mengecup keningku. "Habis operasi sakit sekali Mas." Aku mengubah raut wajahku takut merasakannya lagi. Mas Raka tersenyum, dia bilang kalau nanti sakitnya terbayarkan dengan hadirnya anak kami. Aku tersenyum mendengar ucapannya. Bayangan bayi menangis menari di kepalaku, tanpa kusadari bibirku terus saja menyunggingkan senyuman. Beberapa waktu kemudian, Dokter datang untuk melakukan pemeriksaan, selain operasi aku juga meminta dokter untuk sekalian memasang kb, rencananya aku akan menunda kehamilan