Setelah makan malam, Valeria memutuskan untuk pulang. Meskipun Salvatore sudah beberapa kali membujuknya, wanita itu tetap saja kekeh. Padahal Salvatore masih ingin berlama-lama dengan Valeria.Mau tidak mau Salvatore pun mengantarkan Valeria pulang. Sayangnya, Amara terus saja mengikuti mereka. Valeria mulai jengah dengan sikap manja Amara yang seolah di buat-buat.Di dalam mobil, suasana terasa tegang dan canggung. Salvatore yang duduk di depan, sesekali melirik ke arah Valeria yang terlihat resah di sampingnya. Setiap kali Salvatore mencoba berbicara lebih dekat dengan Valeria, Amara yang duduk di jok belakang selalu saja menyela percakapan mereka dengan hal-hal yang sepele."Sepertinya aku akan mampir sebentar untuk menyapa Tuan Lorenzo. Aku merasa sudah lama tidak berbicara dengannya."Valeria tersenyum. "Aku rasa, Daddy sedang minum teh di jam seperti ini. Kau bisa-""Valeria, rumahmu jauh dari sini?" Amara bertanya dengan nada ceria, memotong ucapan Valeria, seakan tidak menyad
Keesokan harinya, Valeria berjalan menuju gedung kantor dengan langkah biasa. Dia terlihat sangat profesional dan elegan. Apapun yang terjadi, Valeria tetap mengutamakan pekerjaannya.Saat dia mendekati pintu masuk, tiba-tiba saja seorang pria tak dikenal dengan cepat mendekat dan tanpa peringatan menyiramkan kopi panas ke arahnya. Valeria terkejut, menjerit kesakitan, merasa panas di lengan dan bahunya."Akh!""Hai kau!" teriak seseorang saat melihat pria itu menyiram Valeria.Semua orang yang ada di sana langsung menoleh ke arah Valeria dan pria itu langsung berlari kabur dari sana. Para staf di sekitar gedung segera membantu dan membawa Valeria ke rumah sakit terdekat.Berita mengenai insiden tersebut dengan cepat sampai ke telinga Salvatore. Wajahnya memucat saat mendengar laporan itu, perasaannya campur aduk antara marah dan khawatir. Dia segera meninggalkan semua pekerjaannya dan bergegas menuju rumah sakit.Saat tiba, Salvatore menemui Valeria yang tengah dirawat. Luka bakar di
Valeria kembali ke kantor walaupun tangannya masih terluka dan melepuh akibat insiden penyiraman kopi panas. Meskipun dokter, Salvatore dan orang tuanya, terutama Mommy-nya, telah memintanya untuk beristirahat, Valeria keras kepala. Dia merasa sudah terlalu lama meninggalkan pekerjaannya dan tidak mau membiarkan tanggung jawabnya terabaikan lebih lama."Apa yang kau pikirkan, Valeria? Kau seharusnya di rumah, beristirahat." Elena memarahi dengan nada khawatir melalui telepon. "Luka di tanganmu belum sembuh. Kau tidak perlu terburu-buru kembali ke kantor.""Aku baik-baik saja, Mom. Aku sudah terlalu lama absen. Ada banyak hal yang harus diselesaikan," jawab Valeria, mencoba menenangkan."Mommy gak mau tau, kamu pulang sekarang.""Gak bisa, Mom.""Mommy akan menyuruh seseorang untuk menyeret kamu pulang."Valeria mendesah pelan. Bagaimanapun juga, Elena akan benar-benar melakukan itu, jadi Valeria harus melakukan negosiasi dengannya."Sampai jam makan siang, oke? Setelah itu aku akan pu
Sore itu, Salvatore tiba di kantor Valeria dengan niat untuk menjemputnya setelah hari yang panjang. Namun, Amara memaksa ikut bersamanya. Meskipun Salvatore tidak menolaknya, dia merasa sedikit terganggu dengan kehadiran sepupunya, terutama karena Valeria belum sepenuhnya nyaman dengan Amara. Saat Salvatore dan Amara menunggu di depan gedung kantor, Alessio tiba-tiba muncul. Dia turun dari mobil, tampak santai namun penuh percaya diri, berjalan ke arah Valeria dengan senyum lebar di wajahnya. Alessio tidak pernah menyembunyikan rasa tertariknya pada Valeria, dan dia tidak ragu untuk menunjukkan perhatiannya di depan orang lain. Valeria yang baru saja keluar dari gedung kini memicingkan matanya melihat Alessio. Dia benar-benar muak dengan keadaan hari ini. Belum lagi dia harus siap mendengarkan omelan Elena saat sampai di rumah karena dia telah melanggar janji untuk pulang setelah makan siang. Melihat Alessio yang mendekati Valeria, Salvatore pun turun dari mobilnya. Dia juga mengha
Mobil mewah Salvatore berhenti tepat di sebuah bangunan mewah apartemen. Setelah Amara turun dari mobilnya, Salvatore tak mengucapkan apa-apa dan melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh.Amara menggerutu kesal melihat tingkah Salvatore yang terlihat tak lagi menjaga perasaannya. "Salvatore menyebalkan!""Bukankah sudah aku bilang sebelumnya."Suara seseorang di belakang Amara mengejutkannya. Dia menoleh dan mendapati Alessio bersandar dibalik dinding pagar dengan santainya sambil menghisap putung rokok disela jari-jari panjangnya."Wanita itu sudah membuat Salvatore-mu sangat berubah," lanjut Alessio tanpa menoleh ke arah Amara.Gurat amarah di wajah Amara semakin terlihat. Dia benar-benar sangat emosi. Kedatangannya di Milan hanya ingin memastikan bahwa kabar Salvatore memiliki kekasih tidaklah benar. Namun, semuanya jelas sangat nyata, Salvatore menayukai Valeria."Aku pikir dia hanya bagian dari wanita-wanita kesenangan Salvatore, tapi tidak disangka jika dia benar-benar mengambi
"Semuanya sudah selesai Nyonya," kata Mona.Valeria melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Kerja bagus Mona. Sudah jam pulang, pergilah."Mona tersenyum lebar sambil mengangguk. "Baik, Nyonya." Perempuan itu melangkahkan kakinya hendak pergi tapi kembali berbalik ke meja kerja Valeria. "Oh ya, Nyonya. Beberapa menit yang lalu saya melihat mobil Tuan Salvatore masuk ke basement."Valeria hanya menatap kepergian punggung Mona. Tidak ada alasan, Mona hanya ingin memberitahu jika Salvatore ada di sini.Sejak kejadian kopi panas, Salvatore tidak pernah absen sedikitpun untuk mengantar atau menjemput Valeria. Meskipun dia sendiri sangat sibuk di luar sana.Tok! Tok!"Masuk!" Valeria langsung menoleh ke arah pintu."Hai Dolcezza." Salvatore masuk ke dalam dan menutup pintunya kembali."Cepat sekali sampai, apa semua urusanmu sudah selesai?"Salvatore meraih tengkuk Valeria dan mengecup bibirnya sekilas. "Belum, tapi aku bisa lanjutkan nanti. Aku sangat merindukanmu.""Omong ko
Niat hati Salvatore mengajak Valeria ke markas untuk menunjukkan sisi dunianya yang lain dan juga ingin mengajaknya makan malam. Bahkan Salvatore sudah menyiapkan semuanya di mansion besar itu. Namun, karena Amara berada di sana, Salvatore yakin makan malamnya pasti tidak akan lancar. Dia memutuskan untuk membawa Valeria ke restoran.Di restoran bintang lima yang elegan, Valeria duduk berhadapan dengan Salvatore. Cahaya lilin di meja makan menciptakan suasana romantis, tapi suasana hati Valeria jauh dari itu. Dia sibuk mengoceh tentang Amara, melampiaskan semua kekesalan yang terpendam sejak tadi sore.“Dia itu benar-benar tidak tahu batas, Salvatore. Kenapa kamu membiarkan dia bersikap seperti itu? Menurutku, dia sengaja membuatku merasa tidak nyaman di depanmu,” Valeria berkata dengan nada kesal, sambil memainkan garpu di tangannya.Salvatore, yang sejak tadi mendengarkan dengan tenang, mencoba menenangkan Valeria. "Amara memang selalu manja sejak kecil, Dolcezza. Tapi dia tidak pun
"Saya akan urus beberapa berkasnya dulu, Nyonya," kata Mona."Ya, aku akan mencari toilet. Kalau sudah selesai tunggu saja di lobi.""Baik."Di lorong sempit di luar restoran tempat Valeria baru saja menyelesaikan pertemuan dengan klien, Julian berdiri dengan wajah penuh amarah. Dia menunggu Valeria keluar, dan begitu dia melihatnya, dia langsung mendekat dengan langkah cepat.Julian sudah beberapa hari ini memendam amarahnya yang menggebu-gebu karena Valeria. Hari ini melihat Valeria masuk ke restoran semakin membuatnya meradang."Valeria," panggil Julian dengan nada dingin, memotong jalan Valeria. "Kita perlu bicara."Valeria mengerutkan kening, merasa terganggu dengan keberadaan Julian yang tiba-tiba. "Apa yang mau kamu bicarakan, Julian? Aku sedang sibuk." Valeria hendak pergi tapi langsung dihadang lagi oleh Julian.Julian menatapnya tajam, ekspresi wajahnya dipenuhi kemarahan yang dia pendam. "Jangan berpura-pura tidak tahu! Semua yang terjadi padaku ..., semua kegagalan ini ...
Matahari siang di Milan menyinari jendela kamar rumah sakit, menciptakan bayangan lembut di lantai keramik putih. Sofia duduk di tepi ranjangnya, jemarinya gemetar saat merapikan pakaian ke dalam koper kecil. Tubuhnya sudah membaik, dan sesuai keputusan pengadilan, hari ini dia harus kembali ke penjara.Isabella, ibunya, dengan sabar membantu melipat baju dan memasukkannya ke dalam koper. Namun, keheningan di antara mereka terasa berat.Tak ada lagi percakapan ringan atau tawa seperti dulu. Hanya suara gesekan kain dan resleting koper yang mengisi ruangan.Pintu kamar terbuka perlahan. Julian, muncul di ambang pintu dengan ekspresi datar. "Mom, dokter memanggilmu," katanya singkat.Isabella menoleh, sejenak ragu. "Julian, tolong bantu adikmu berkemas, ya? Mommy akan segera kembali."Tanpa menunggu jawaban, Isabella melangkah keluar, meninggalkan Julian dan Sofia berdua.Julian mengambil alih koper, tangannya dengan terampil memasukkan barang-barang Sofia tanpa suara. Gerakannya efisie
Musim semi di Jepang selalu memancarkan pesona tersendiri. Bunga sakura yang bermekaran, angin sepoi-sepoi yang membawa harum bunga, dan sinar matahari yang hangat menyelimuti halaman rumah sakit.Valeria duduk di kursi roda, menikmati pemandangan itu dengan senyum tipis di wajahnya. Firgo mendorong kursi rodanya perlahan, memastikan Valeria merasa nyaman."Indah, ya?" gumam Valeria, matanya tak lepas dari kelopak bunga sakura yang beterbangan tertiup angin."Memang," jawab Firgo. "Seindah keberanianmu malam itu. Kau tahu, aku masih tidak habis pikir kenapa kau begitu nekat."Valeria menoleh, keningnya sedikit berkerut. "Kau marah padaku?""Bukan marah." Firgo menghela napas. "Lebih ke jengkel. Kau tidak memikirkan keselamatanmu sendiri dan itu membuat panik seluruh pasukan saat melihatmu berlari ke arah Tuan Salvatore dan menodong pria yang menyerangnya dengan pistol. Tapi ..., aku salut. Kau benar-benar berbeda dari kebanyakan wanita."Valeria tersenyum. "Aku hanya melakukan apa yan
Antonio berdiri di samping brankar tidurnya, tubuhnya yang masih dipenuhi perban bergerak perlahan saat dia mengganti pakaian rumah sakit dengan setelan kasual. Luka-luka di tubuhnya masih terlihat jelas, namun dia sepertinya tidak terganggu dengan itu. Pintu kamar rawat terbuka perlahan, dan Salvatore masuk dengan langkah hati-hati."Kau sudah mau pergi?" tanya Salvatore dengan nada khawatir.Antonio tersenyum tipis. "Aku sudah terlalu lama di sini. Ada banyak hal yang harus kuurus."Salvatore berjalan mendekat, meski kakinya masih gemetar, ia mencoba menunjukkan bahwa ia baik-baik saja. "Biar aku yang bantu. Apa yang bisa kulakukan?""Tidak perlu." Antonio menggeleng pelan, memasukkan kemejanya ke dalam celana. "Kau percayalah padaku. Aku akan mengurus semuanya. Saat ini, yang perlu kau lakukan adalah fokus pada kesembuhanmu."Salvatore menghela napas. "Tapi—""Jangan khawatir." Antonio menepuk bahu Salvatore, "kita sudah sejauh ini. Kau hanya perlu pulih dulu. Biar aku yang jaga se
Sinar matahari sore menembus jendela rumah sakit, memberikan kilau hangat di ruangan putih yang biasanya terasa dingin. Salvatore mendorong pintu perlahan, mencoba tidak membuat suara yang mengganggu. Matanya langsung tertuju pada Valeria, yang masih terbaring di ranjangnya dengan wajah pucat namun tersenyum manis begitu melihatnya."Hei," sapa Salvatore dengan lembut.Valeria langsung menoleh ke arahnya dan tersenyum ceria. Senyuman itu—senyuman yang sejak dulu selalu membuatnya merasa tenang, Salvatore mengingat rasa itu. Namun senyuman itu kini justru membuat dadanya berdegup lebih kencang.Valeria membalas sapaan itu dengan suara pelan. "Kau kembali.""Ya, bagaimana keadaanmu? Merasa lebih baik?"Valeria mengangguk pelan. "Hm, lebih baik daripada kemarin."Salvatore mengangkat kantong belanja di tangannya. "Aku membawakanmu makanan dan buah-buahan. Juga susu vanilla, seperti yang kau inginkan."Tatapan Valeria berbinar. "Susu vanilla? Kau ingat?"Salvatore tersipu, meletakkan bara
Firgo mengetuk pintu kamar rawat inap Valeria sebelum masuk. Wajahnya tenang, tetapi matanya menyiratkan kekhawatiran. Dia menyerahkan telepon genggamnya kepada Valeria. "Morgan ingin bicara."Valeria mengangkat alis, "Oh, sepertinya akan ada sesi ceramah gratis."Begitu telepon menempel di telinganya, suara Morgan langsung terdengar—keras dan penuh emosi."Valeria! Apa yang kau pikirkan?! Pergi tanpa bilang apa-apa, ikut operasi berbahaya dalam keadaan hamil pula! Kau tahu betapa gilanya aku mencari-cari kabar tentangmu?!"Valeria menarik napas panjang, memegang telepon dengan satu tangan, sementara tangan lainnya dengan lembut mengelus perutnya yang masih terasa perih. "Aku baik-baik saja, Morgan. Kau tidak perlu berteriak begitu.""Jangan bilang aku tidak perlu berteriak! Kau pikir ini lelucon? Bagaimana jika terjadi sesuatu padamu?! Dan bayi itu?!" Di ujung sana Morgan sedang mondar-mandir di lobi markas Il Leone d'Ombra.Senyum kecil menghiasi wajah Valeria. "Bayi ini baik-baik s
Valeria membuka matanya perlahan. Cahaya lampu kamar rawat terasa menyilaukan, tetapi bukan itu yang membuatnya tercekat. Di sampingnya, Salvatore duduk dengan ekspresi penuh kekhawatiran. Tatapan pria itu tajam, tetapi terselip kegelisahan yang sulit disembunyikan."Salvatore ...." Suara Valeria serak, hampir berbisik. "Bagaimana dengan bayiku?"Begitu mendengar suaranya, Salvatore langsung menggenggam tangannya erat. "Kau sudah sadar? Dia ..., baik-baik saja."Valeria menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Rasa sakit di perutnya masih terasa, tetapi lebih dari itu, ada perasaan lain yang membuat dadanya sesak—haru, rindu, dan kelegaan yang begitu mendalam.Salvatore ada di sini.Tangannya gemetar saat dia mengangkatnya, menyentuh pipi pria itu dengan lembut. "Aku ..., aku pikir aku tak akan pernah melihatmu lagi." Suaranya pecah dalam isakan kecil.Salvatore mengeraskan rahangnya, menahan emosinya sendiri. "Aku di sini. Aku ..., tidak akan ke mana-mana."Air mata Valeria ak
Malam di Milan terasa dingin. Julian berjalan keluar dari rumah sakit dengan langkah tenang, tetapi pikirannya kacau. Ibunya masih di dalam, menjaga Sofia—adiknya yang telah menghancurkan hidupnya. Sang ayah, Giovani, bahkan tak peduli lagi dengan keluarga mereka sejak nama besar Ricci runtuh.Saat Julian hendak berjalan ke mobilnya, suara familiar menghentikan langkahnya."Julian?"Dia mendesah pelan, lalu menoleh. Margareta berdiri tak jauh darinya, mengenakan mantel mahal yang dulu mungkin ia beli dari uang Julian sendiri. Wajah wanita itu masih sama—cantik, angkuh, penuh percaya diri. Tapi Julian tak lagi melihatnya seperti dulu."Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya datar.Margareta tersenyum, mendekatinya dengan langkah gemulai. "Aku kebetulan lewat. Lalu aku melihatmu ..., jadi aku ingin menyapa."Julian mengangkat alis. "Kebetulan lewat di rumah sakit, malam-malam begini?" Nada suaranya terdengar sarkastik.Margareta tertawa kecil. "Aku ingin tahu ..., bagaimana keadaanmu s
Begitu roda pesawat menyentuh landasan Jepang, Salvatore segera bangkit dari kursinya. Dia tak peduli pada tubuhnya yang masih lemah, langkahnya langsung mengikuti para anak buah yang membawa Valeria ke luar pesawat dengan tandu.Udara malam Jepang yang dingin menusuk kulit, tetapi keringat dingin tetap mengalir di pelipisnya. Mereka semua bergerak cepat menuju kendaraan yang sudah disiapkan. Firgo sudah lebih dulu mengatur segalanya—termasuk mencari rumah sakit yang aman, tempat dokter-dokternya bisa dibayar untuk menutup mulut.Di perjalanan menuju rumah sakit, Salvatore duduk diam di samping Valeria. Matanya terus mengamati wajah wanita itu. Wajah yang seharusnya asing, tetapi justru terasa familiar. Wajah yang entah mengapa, menjadi yang pertama muncul dalam pikirannya saat dia mulai sadar dari kegelapan ingatannya yang hilang.Jika dia istriku… berarti aku sangat mencintainya, bukan?Tapi kenapa? Kenapa dia tidak bisa mengingatnya?Salvatore menggigit bibir bawahnya, frustrasi de
Di dalam pesawat pribadi yang terbang di atas Samudra Pasifik, suasana terasa tegang. Lampu-lampu kabin berpendar samar, menciptakan bayangan-bayangan panjang di wajah-wajah yang kelelahan dan terluka.Di salah satu kursi, Valeria terbaring lemah dengan napas tersengal. Wajahnya pucat, keringat dingin membasahi dahinya, dan matanya sesekali terpejam menahan rasa sakit. Wanita itu sudah setengah kehilangan kesadarannya. Darah masih merembes dari perban darurat yang melilit perutnya, bukti dari luka yang Alessio tinggalkan.Salvatore duduk di sampingnya, menggenggam erat tangannya yang juga berlumuran darah. Jari-jarinya sedikit gemetar, bukan karena rasa takut, melainkan karena sesuatu yang mengusik pikirannya.Dia masih belum sepenuhnya memahami kenapa melihat Valeria seperti ini membuat hatinya terasa seakan diremas. Sebuah perasaan yang familiar, namun asing pada saat yang bersamaan.Antonio, yang duduk tak jauh dari mereka, tampak lelah dengan luka di lengannya yang terus mengalirk