Salvatore mengantarkan Valeria ke tempat kerjanya, dengan suasana yang cukup tenang sepanjang perjalanan. Setelah sampai di depan gedung Morreti Club, dia memastikan bahwa Valeria baik-baik saja sebelum pergi."Aku akan menjemputmu saat makan siang," janji Salvatore dengan senyum lembut."Katanya kamu sibuk," balas Valeria."Tentu saja, tapi aku akan selalu punya waktu untukmu."Valeria tersenyum kecil lalu hanya mengangguk singkat. Salvatore membantunya melepaskan sabuk pengaman padahal itu sangat tidak perlu karena Valeria bisa melakukannya sendiri. Namun, Salvatore memperlakukannya bak seorang putri."Ingat jangan minum kopi seberapapun banyaknya pekerjaan kamu," kata Salvatore mengingatkan."Iya, iya. Aku turun sekarang.""Cium?"Tangan Valeria yang hendak membuka pintu pun kini terhenti. "Cium segala?"Salvatore tertawa kecil lalu menarik tengkuk Valeria dan mengecup keningnya dengan lembut. Setelah itu dia menjauhkan dirinya lalu tersenyum kecil membuat hati Valeria menghangat.
Valeria keluar dari mobil. Sepatu hak tingginya menapak di halaman hotel mewah. Helaan napas kasarnya mengudara. Keluarganya mengadakan makan malam mendadak, padahal malam ini Valeria ingin belajar tentang bisnis.Malam itu, suasana di ruangan hotel sangat hangat dan megah. Valeria duduk dengan anggun di kursinya.Makan malam kali ini terasa istimewa, karena selain menyambut kerabat jauh mereka yang baru tiba di Milan, ini juga merupakan momen spesial bagi Valeria, yang baru-baru ini berhasil membuktikan kinerjanya dalam mengelola Morreti Club.Roberto, yang merupakan salah satu mentor dan paman Valeria, duduk di ujung meja sambil memuji Valeria berkali-kali. "Valeria, kami semua sangat bangga denganmu. Kau telah membuktikan bahwa Morreti Club berada di tangan yang tepat. Semua usahamu tidak sia-sia."Valeria tersenyum lembut, merasa tersanjung dengan pujian itu, meskipun ia masih merasa ada banyak tantangan yang harus ia hadapi. Terutama dengan keadaan Morgan yang belum stabil, karen
Di markas Salvatore yang tersembunyi di pinggiran kota, suasana terasa tegang meskipun di luar malam tampak tenang. Antonio berdiri dengan gelisah di depan meja di ruangan Salvatore, memandang Salvatore yang duduk santai dengan tatapan yang sulit ditebak. Beberapa anak buah Salvatore lainnya berada di ruangan itu, tetapi tak ada yang berani membuka mulut.Salvatore dengan tenang memandang Antonio, sambil menyesap anggurnya. Dia kemudian meletakkan gelas itu dengan perlahan dan berbicara, suaranya lembut namun penuh kewibawaan. "Antonio, bagaimana dengan tugas yang aku berikan padamu? Apakah ada perkembangan?"Antonio yang sejak awal merasa was-was, akhirnya mengambil napas dalam dan mulai berbicara. "Tuan, aku harus mengakui bahwa aku belum melaporkan sesuatu yang penting. Ada pengkhianatan di antara kita, dan aku mencoba menyelesaikan masalah ini tanpa mengganggu Anda. Namun, orang-orang yang berkhianat masih dalam pelarian, dan kami belum berhasil menemukan mereka."Wajah Antonio ta
Pagi yang cerah itu, Salvatore tiba di kediaman keluarga Morreti dengan mobil hitam mewahnya. Pelayan di kediaman itu langsung melapor ke Elena dan memerintahkan pelayan untuk membawa Salvatore ke tuang makan.Begitu memasuki ruang makan, seperti biasa, ia disambut hangat oleh kedua orang tua Valeria. Lorenzo dan istrinya, sekarang seakan sudah menganggapnya bagian dari keluarga.Entah kenapa, Lorenzo dan juga Elena begitu menyukai Salvatore. Mereka berharap, Salvatore bisa mencairkan hati putri tunggalnya. Lagipula, baru pertama kali ini ada pria yang berani datang ke rumah mereka untuk Valeria, meskipun alasan Salvatore adalah hanya untuk menjemput wanita itu. Mereka berbincang dengan akrab, sementara Valeria yang baru saja datang, duduk di meja makan, diam namun mengamati semuanya dengan cermat."Salvatore, kau benar-benar harus datang lagi untuk makan malam bersama keluarga besar nanti," kata Elena dengan tawa ringan. "Kami selalu menghargai tamu yang penuh perhatian seperti dirim
"Tuan, Solara Crop mulai menyelidiki tentang bangunan roboh beberapa waktu yang lalu."Kening Julian mengkerut. "Tetap saja mereka mendengar kabar itu, cepat selesaikan.""Baik, Tuan." Dia langsung pergi dari ruangan Julian.Baru saja Julian hendak duduk di kursinya. Tiba-tiba satu karyawannya yang lain masuk ke dalam ruangannya."Tuan, maaf. Aku harus melaporkan hal penting.""Huhft, apa?""Ada yang diam-diam mengambil data pribadi kita," ucapa pria itu sambil menyodorkan tablet ke arah Julian.Mata Julian meneliti semua laporan yang ada di dalam tablet itu. Tatapannya menjadi tajam, hawa di ruangan seketika langsung berubah."Pergi untuk cari tahu lebih lanjut," ujar Julian, memberikan lagi tablet itu."Baik, tuan." Segera dia pergi dari sana.Julian semakin tertekan setelah menyadari bahwa ada seseorang yang diam-diam mengambil data rahasia proyek mereka. Dengan kegelisahan yang membara, dia duduk di kursinya, mencoba menghubungkan setiap titik dan memikirkan siapa yang mungkin tel
Sore harinya, Valeria pulang dari kantor dengan diantar anak buah Salvatore. Pria itu masih ada rapat penting yang harus dihadiri. Valeria bisa memakluminya, mengingat akhir-akhir ini kedekatannya dengan Salvatore semakin intens, dia pasti juga membagi waktu antara jadwal padatnya dengan Valeria.Saat Valeria masuk ke dalam rumah besar bak istana itu, Valeria memelankan kakinya saat melihat beberapa orang duduk di sofa ruang tamu. Elena, duduk di sana menyambut tamu. George Lin, bersama istrinya, Sarah Lin tengah duduk dan bercanda tawa di sana.Mata tajam seseorang membuat Valeria merasa diperhatikan. Rupanya, Alessio sudah memperhatikannya sejak Valeria masuk ke dalam rumah."Vale! Sini!" Elena melambaikan tangannya.Dengan helaan napas panjang, Valeria berjalan ke sana. Semua mata tertuju kepadanya."Paman dan bibi Lin mampir, sapa mereka."Valeria menunduk memberi hormat. "Salam, paman, bibi.""Jangan sungkan-sungkan Valeria, kita ini keluarga," kata Goerge, "tidak perlu seformal
"Ah! Julian, jangan sekarang. Kita masih di kantor."Tangannya terhenti saat membuka gagang pintu ruangan Julian–suaminya. Senyum Valeria yang sudah terpancar sejak tadi pun langsung kandas usai mendengar kalimat itu.Jantungnya berdetak kencang mendengar sebuah suara dari dalam ruangan Julian."Siapa suruh kamu pakai pakaian seksi hari ini.""Ahh! Julian, no!"Valeria membungkam mulutnya, tak percaya. Suara yang dia dengar sangatlah tidak asing. Itu benar suara Julian, dan perempuan itu, Valeria seperti mengenalinya. “Tapi, tidak mungkin….” Valeria mencoba tak mempercayai dugaanya, dia ingin memastikan jika semua itu tidaklah nyata.Dengan tangan bergetar dan air mata yang hampir menetes, Valeria membuka pintu dengan cepat. Hal yang tak pernah Valeria duga sebelumnya, dia melihat suaminya bercinta dengan sekretarisnya sendiri. Julian tampak belum menyadari kehadiran Valeria, dia masih sibuk menenggelamkan wajahnya di kedua kaki mulus Margareta. Perempuan seumuran Valeria itu tengah
"Nyonya sudah pulang?"Seorang pelayan yang tadi pagi Valeria titipkan anaknya–Nolen langsung menyambutnya kala dia memasuki kamar. Gegas Valeria mengusap air matanya. "Ya, terimakasih sudah menjaga Nolen. Kamu bisa mengerjakan pekerjaan kamu yang lain.""Baik Nyonya." Pelayan itu menunduk lalu pergi dari sana.Valeria kemudian menghampiri sang anak yang tengah tertidur di ranjangnya."Sayang, maafin Mommy, ya. Seharunya kamu mendapatkan kehidupan yang bahagia, karena itu cita-cita Mommy untuk kamu. Sayangnya, mulai sekarang Nolen harus bahagia bersama Mommy aja ya," bisik Valeria dengan air mata berlinang.Setelah mengecup kening Nolen, Valeria langsung beranjak dari tempatnya. Dia mengambil koper dan memasukkan beberapa barang-barang Nolen kedalam koper tersebut. Valeria sudah memantapkan hati, dia akan pergi dari rumah ini dan tidak akan membiarkan Julian mengambil Nolen.Valeria mengambil Nolen dan menggendongnya sambil menyeret sebuah koper. Dia beruntung, karena saat itu rumah