Valeria menunduk menatap lantai putih yang dia pijaki. Tangannya menyatu sedari tadi. Luka-luka di tubuhnya seolah tak berarti apapun.Sudah tiga jam lamanya Morgan masuk ke dalam ruang operasi, tapi dia belum keluar juga. Hanya petugas medis yang sejak tadi bolak-balik keluar masuk dari sana.Hati Valeria menjadi semakin gelisah. Dia tak tahu harus berbuat apa jika sampai hal buruk terjadi kepada Morgan. Dia benar-benar tidak bisa memikirkan itu.Ingin rasanya Valeria menangis, tapi wanita itu menahannya. Dia ingin fokus berada di samping Morgan seperti halnya pria itu selalu menjaganya.Derap langkah seseorang terdengar mendekat. Dia berhenti tepat di depan Valeria. Dia berlutut di depan Valeria, membuat wanita itu mendongak menatap siapakah orang tersebut."Salvatore?"Wajah Salvatore jelas-jelas terlihat sangat khawatir. Dia langsung menangkup pipi Valeria."Valeria, kamu baik-baik saja? Huh?" Napas Salvatore bahkan terlihat memburu. Dia datang menemui Valeria sambil berlari. Mata
Cahaya matahari menyinari sebuah ruangan bernuansa putih. Hembusan angin sepoi-sepoi menerpa gorden biru tipis di jendela.Valeria terbaring di atas ranjang rumah sakit. Dia terlihat damai dalam tidurnya setelah apa yang terjadi kemarin.Wajah dan tangannya memiliki beberapa perban. Selang infus menjuntai di punggung tangannya.Rasa nyeri di kakinya membuat Valeria terbangun. Aroma antiseptik langsung menyengat indra penciumannya. Dia bergumam lirih lalu melihat Salvatore duduk di sofa dengan tenang sambil membaca tablet di tangannya."Salvatore," panggilnya lirih.Salvatore langsung menoleh. Dia buru-buru menaruh tabletnya di atas meja lalu menghampiri ranjang Valeria karena melihat wanita itu hendak duduk."Jangan banyak gerak dulu."Salvatore memegangi bahu Valeria lalu membantunya bersandar. Valeria terlihat lebih lemah dari kemarin. Bukan hanya fisiknya, kejadian kemarin juga berpengaruh pada kesehatan mental Valeria. Dia masih belum menerima perasaan kehilangan seseorang karena
Valeria terbaring lemah di tempat tidurnya di rumah sakit, dengan perban melilit kakinya yang terkilir dan beberapa luka di tubuhnya. Meskipun fisiknya terasa lemah, pikirannya terus berputar, mencoba menghubungkan kejadian kecelakaan yang menimpanya di lokasi proyek kemarin.Terakhir kali dia melihat Sofia di sana. Rupanya, Sofia kini tidak lagi berpura-pura di depannya. Dia menyerang Valeria dengan brutal. Valeria yakin, orang yang mendorongnya kemarin adalah Sofia. Dia tidak akan membiarkannya lepas dengan mudah karena telah melukai Morgan. Jika tidak ada Morgan, mungkin Valeria sudah mati tertimpa beton kemarin.Di samping tempat tidurnya, Salvatore duduk setia, menemaninya sepanjang hari, memastikan Valeria merasa nyaman dan aman. Kehadirannya yang tenang membuat suasana sedikit lebih baik, meski Valeria tahu ada masalah yang lebih besar yang harus ia hadapi.Meskipun Salvatore terlalu protektif kepadanya. Tak jarang, mereka pun cek-cok untuk hal-hal kecil, yang selalu berakhir d
"Lima menit saja, ya? Ya?" rengek Valeria."Tidak, kamu harus kembali ke kamar." Salvatore menggelengkan kepalanya sambil mendorong kursi roda Valeria."Tapi tadi aku cuma lihat Morgan sebentar.""Besok lagi.""Salvatore," rengeknya lagi."Valeria ...."Valeria mengerucutkan bibirnya. Valeria baru saja selesai menjenguk Morgan di ruangan yang tak jauh dari kamarnya. Morgan masih dalam kondisi yang cukup kritis setelah insiden runtuhan di proyek, namun untungnya tim medis yakin dia akan pulih meski memerlukan waktu. Valeria sendiri masih merasa lelah, tapi dia bersyukur karena keadaannya tidak seburuk Morgan.Salvatore dengan lembut mendorong kursi roda Valeria kembali ke kamarnya. Meski diam, Valeria bisa merasakan perhatian dari Salvatore, membuatnya sedikit lebih tenang. Ya, meskipun dia juga sedikit kesal dengan sifat pemaksa yang dimiliki Salvatore.Saat mereka masuk ke kamar, Valeria mendapati seseorang sudah berdiri di depan jendela, sosok yang langsung dikenalnya—Marvelion. Dia
Keesokan harinya, Valeria kembali ribut dengan Salvatore karena terus saja menyuapinya makanan. Sejak bersama Salvatore, sifat kekanak-kanakan Valeria selalu saja muncul dan juga dia terdengar lebih cerewet daripada biasanya."Sudah aku bilang, kan. Aku sudah kenyang."Salvatore menaruh mangkuk ke meja dorong. "Oke, oke. Sekarang minum dulu obatmu.""Astaga. Apa kau akan terus membuatku terlihat seperti anak kecil? Aku bisa sendiri," protes Valeria."Aku tau, aku hanya ingin memanjakanmu." Salvatore mengarahkan obat di tangannya dan segelas air putih. "Setalah minum obat maka aku akan mengantarkanmu ke tempat Morgan.""Benarkah?""Ya.""Oke!"Valeria langsung meminum obat itu tanpa menunggu lama. Bagaimana pun juga, di dalam hati Valeria sangat berterimakasih kepada Salvatore karena telah menjaganya. Valeria bahkan bisa melihat Salvatore terjaga di malam hari karenanya. Ketulusan Salvatore rupanya mengetuk pintu hati Valeria sedikit demi sedikit.Setelah selesai, Salvatore menepati ja
Valeria duduk di kursi kulit mewah pesawat pribadi yang disiapkan oleh Salvatore. Pandangannya kosong, matanya menatap jendela yang memperlihatkan langit biru tanpa awan. Meski tubuhnya sudah jauh lebih baik, pikirannya terus dikepung oleh kekhawatiran. Semalam, Morgan dibawa oleh anak buah Salvatore ke luar negeri untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik, namun Valeria merasa bersalah karena tidak bisa ikut menemani pria yang telah melindunginya.Dia merasa berat meninggalkan Morgan, namun di sisi lain, ada tugas besar yang menunggunya di Milan. Di tangannya, dia memegang berkas yang diberikan oleh Morgan lewat anak buahnya kemarin. Dokumen itu berisi bukti-bukti kuat mengenai kebobrokan RC Group dan keterlibatan Julian dalam berbagai praktik kotor.Salvatore, yang duduk di seberang Valeria, memperhatikannya dengan seksama. Meski wajahnya tenang, dia tahu bahwa Valeria sedang berperang dengan dirinya sendiri. Tanpa berkata apa-apa, Salvatore mendekati Valeria, duduk di sampingnya
Di bawah langit cerah Milan, Julian duduk santai di tepi kolam renang mewah di rumah keluarga Ricci, seolah dunia ini miliknya. Gelas anggur di tangannya bergoyang lembut, matanya menatap kosong ke permukaan air kolam yang tenang. Sudah tiga hari sejak dia kembali dari Salerno, dan perasaannya campur aduk antara percaya diri dan kelelahan.Beberapa hari yang lalu, dia diberitahu jika proyek rubuh dan korbannya adalah Valeria. Julian mulai was-was, dia tidak mau karena kejadian ini semua rencananya akan terbongkar. Dia menyuruh seseorang untuk menutupi kejadian itu agar tidak sampai terdengar ke Solara Crop.Tiba-tiba langkah kaki terdengar mendekat. Giovani Ricci, ayahnya, datang dengan tatapan serius di wajahnya. Giovani adalah sosok yang selalu tegas dalam setiap langkah bisnis keluarga. Julian tahu pembicaraan ini tidak akan menyenangkan."Julian," suara Giovani terdengar berat, "apa yang sebenarnya kau pikirkan dengan proyek di Salerno? Sejak awal aku sudah bilang, RC Group tidak
Pagi itu, sinar matahari yang cerah menyusup lembut melalui jendela-jendela besar rumah keluarga Morreti yang megah. Setalah sampai di rumah kemarin, Valeria benar-benar istirahat, karena Salvatore dan Elena pasti akan mengomelinya.Valeria turun dari kamarnya, melewati lantai marmer putih yang bersinar, menuju lift yang mengantarkannya ke lantai bawah. Saat pintu lift terbuka, aroma sarapan yang lezat menyambutnya.Dengan langkah santai, Valeria berjalan menuju ruang makan. Namun, saat dia mendekati meja, dia terkejut. Salvatore, pria yang akhir-akhir ini sering mengisi pikirannya, duduk santai di kursi bersebelahan dengan Lorenzo, ayahnya. Yang lebih mengejutkan lagi, Lorenzo—yang biasanya kaku dan dingin—tertawa terbahak-bahak saat berbicara dengan Salvatore, sesuatu yang jarang terjadi."Salvatore?" Valeria memandang keduanya dengan alis terangkat, mencoba menyembunyikan kebingungannya. "Kapan kau datang?"Salvatore menoleh padanya dengan senyum hangat. "Oh, hai. Aku datang tidak