"Coba Mama lihat Sayang, mana jam oleh-oleh dari Ayah?"
Kucoba kembali membuka percakapan seusai makan siang. Sebab entah kenapa aku mulai mencemburui Mas Radit perihal jam yang kini melekat di jemari Akbar. Ia begitu menyukainya, bahkan lupa jika akupun memberinya hadiah lain.
Akbar bangkit dan menunjukkan jam di tangannya padaku.
"Wah, bagus. Kamu senang dapat hadiah ini dari Ayah?"
Akbar mengangguk girang. Setelah itu ia berusaha menarik lenganku menuju kamarnya.
"Ma, kamar Akbar kurang bagus deh. Kayaknya harus dibikin lebih menarik."
Dia melepas tanganku dan naik ke atas ranjang. Menarik sprei, menghentak-hentakkan bantal hingga sarungnya terlepas. Lalu menggulung semua kain tersebut dan memberi padaku.
"Akbar mau yang warna lebih lelaki, Ma. Warna biru dengan motif bola."
Aku mendelik, bukankah sprei ini baru kemarin dipakai.
"Kok ganti lagi, Sayang? 'Kan kasihan Bik Ina capek nyuci sebentar-bentar. Padahal sprei ini baru kemarin diganti?"
Akbar mengulum senyum.
"Ini semua udah bau Ma. Nanti malam 'kan Ayah nginap di kamar Akbar, jadi semua harus diganti biar Ayah suka dan nanti sering-sering temenin Akbar tidur."
Kuhela napas berat. Ya Allah, kenapa Engkau beri hamba cobaan seberat ini? Tubuhku terduduk lemas di atas ranjang.
"Akbar, sini sebentar, Mama mau bicara."
Ia ikuti perintahku untuk duduk di atas ranjang.
"Sayang, Ayah sama Mama sudah tidak terikat hubungan lagi. Jadi tidak bisa sesuka hati Akbar untuk meminta Ayah sering menginap di rumah ini."
Akbar tampak kebingungan. Kuabaikan tanda tanya yang sudah pasti memenuhi benaknya, jika sudah sampai waktu, pasti dia akan mengerti. Kini yang terpenting adalah bagaimana caraku membuat supaya Mas Radit tidak bisa masuk ke dalam rumah ini namun tetap bisa menemani Akbar tidur.
"Akbar ngapain repot-repot ganti semua ini, Nak. Mending bikin kemah di taman belakang, terus suruh Ayah buat api unggun. Bukannya Akbar kemarin ngomong ke Mama kalau pengen bisa berkemah sama Ayah?"
Wajah Akbar seketika berubah. Dia bangkit untuk kemudian melompat ala pahlawan kesukaannya.
"Wah, benar juga, Ma. Nanti malam Akbar mau buat kemah ya, Ma?" pintanya penuh suka cita.
"Tentu boleh Sayang, biar Mama minta Bibik untuk bangun kemahnya ya. Jadi nanti malam kalian tinggal buat api unggun aja. Gimana?"
"Setuju Ma. Setuju!"
Alhamdulillah, rasanya lega, bisa membuat Akbar bahagia tanpa merusak tatanan hatiku yang pasti akan kacau bila kembali bertemu Mas Radit. Kini Akbar tampak sibuk mengeluarkan tenda yang baru bulan lalu kami gunakan untuk berkemah. Dengan susah payah ia keluarkan dan menyeret benda itu keluar ruangan untuk kemudian pasti menuju kamar Bik Ina.
Kubiarkan dia bekerja sendiri, hitung-hitung sebagai latihan kemandirian. Sebab ia berbeda dari anak lain yang sedikit-sedikit pasti selalu dibantu ayahnya. Akbarku berbeda. Dia punya ayah, tapi ayahnya milik anak-anak lain.
Kutarik napas dalam, rasa perih kembali merajai hati. Kulayangkan pandang ke arah depan, dimana sebuah foto seorang lelaki tampan terpajang di sana.
'Mas Radit.'
Dadaku kembali berdesir jika mengingat semua ucapannya tadi pagi.
"Kenapa sulit sekali melupakanmu Mas, harusnya atas segala yang terjadi, aku membencimu. Tapi ternyata tidak. Aku tidak pernah bisa membencimu seutuhnya ...."
Perih, rasa itu kembali memenuhi ruang hati. Namun teralihkan saat tiba-tiba netra ini berhasil melirik amplop putih yang tadi diberikan Mas Radit padaku.
Surat dari Mama. Penasaran, aku segera kembali ke kamar untuk membacanya.
*
Assalamualaikum ...
Kuhentikan membaca, mencoba menetralisir degup jantung yang tiba-tiba seperti genderang perang. Ya Allah, baru membaca Assalamualaikum saja, aku sudah tak bisa tenang begini. Bismillah, mudahkan ya Allah, kuatkan hati ini, penuhi ia dengan kemaafan yang tinggi.
Kulanjutkan membaca.
Alya menantuku yang Mama sayangi.
Deg!
Kulipat kembali surat itu, aku menyerah!
Belum sanggup hati ini untuk membacanya. Dengan cepat kumasukkan surat itu kembali ke dalam amplop dan membuangnya keluar melalui jendela.
Semoga surat itu musnah tanpa harus aku baca. Aku takut, takut jika membacanya maka semua ingatan tentang masa lalu kembali membuat hatiku sakit. Sedang jiwa ini sudah sekuat tenaga berusaha memaafkan semua kesalahan mereka.
Ya Allah maafkanlah semua ketidakberdayaan diri ini.
*
Flast back
Sudah dua hari Mas Radit ke luar negeri untuk mengikuti pelatihan tentang sosialisasi alat-alat kedokteran terbaru. Selama ia pergi, aku terus mendapat tekanan dari ibu mertua yang menginginkan agar aku mundur seperti permintaan calon maduku.
Aku tahu, selama enam tahun pernikahan, mama mertua tidak pernah ikhlas menerimaku sebagai menantunya. Apalah aku yang hanya seorang perawat, sedang yang dia inginkan sebagai menantu adalah wanita bergelar dokter agar sepadan dengan gelar spesialis yang kini disandang anaknya.
Beberapa kali aku terus menolak lamaran Mas Radit, tapi lelaki itu tidak pantang menyerah. Segala bujuk rayu ia lancarkan agar ibunya mau datang memintaku pada satu-satunya orang tua tunggal yang saat itu masih kumiliki.
Hingga akhirnya pernikahan sederhana kami dilangsungkan. Meski bisa digelar dengan mewah, nyatanya mama hanya mengundang kerabat dekat. Sedang untuk menjamu sahabat serta rekan seperjuangannya, Mas Radit membuat acara khusus lain di sebuah gedung. Tapi saat itu, mama tidak hadir. Hanya aku dan Mas Radit dengan penampilan biasa.
Enam tahun hidup seatap, mungkin akulah wanita yang terus sabar menanggapi pedasnya kelakuan ibu mertua. Kenapa aku bertahan, karena Mas Radit adalah sumber kekuatan.
Dia yang selalu menyemangati, menyenangkan hati ketika luka yang ditorehkan ibunya membekas dalam dada.
Ia yakinkan diri ini, bahwa jika sudah punya momongan nanti, pasti ibunya akan bersikap lebih bijaksana. Tapi ternyata, aku tidak jua diberi kesempatan untuk sekali saja merasakan benih itu menetap lama dalam kandungan.
Jika ditanya usaha, tidak satu cara kami usahakan untuk dapat segera memiliki momongan. Bahkan usaha inseminasi buatan sudah pernah kami jalani. Namun Allah belum berkehendak ada. Usaha kami mengalami kegagalan di bulan kedua proses itu berlangsung. Aku keguguran.
"Mama heranlah sama perempuan satu itu, memang udah dari sononya nggak bisa kasih Radit keturunan, tapi masih aja keras kepala. Jadinya sia-sia aja Radit menghabiskan uangnya untuk inseminasi sedemikian banyak," ucap mama pada calon maduku sehari sebelum petaka menimpaku.
"Udah lah Ma, jangan dibahas lagi. Sebentar lagi aku pastikan Mama bakalan nimbang cucu dari Mas Radit, setelah kami resmi menikah tentunya."
"Oh iya, Sayang. Mama yakin kamu bisa memberi Radit banyak keturunan. Secara saudaramu semuanya punya banyak keturunan 'kan? Lha dia, dari sononya lahir ke dunia memang sendiri. Pantes aja udah enam tahun kagak bisa ngelahirin satu bayi pun. Huh capek sebenarnya Mama ngurusin dia selama ini!"
Astaghfirullah! Aku hanya bisa mengurut dada sambil mengucap istighfar. Kucoba mengalihkan sedih dengan menyibukkan diri membaca Al Quran, nyatanya justru air mata terus tumpah tanpa permisi.
Aku harus kuat, sudah kuputuskan untuk minta pisah rumah pada Mas Radit jika besok dia pulang. Aku ingin hidup tenang tentunya dengan tidak seatap dengan madu. Meski aku sudah ikhlas, tapi melihat kekompakan ibu mertua dan perempuan itu. Sepertinya aku tidak akan tahan jika harus serumah dengan mereka.
*
Malam itu aku sedikit gelisah. Entah kenapa sudah lewat tengah malam, mata ini belum jua mau terpejam. Kuputuskan untuk keluar kamar mengambil segelas minuman. Lalu dengan cepat aku kembali ke dalam kamar.
Setelah meneguk air hingga tak bersisa, kuputuskan untuk kembali ke peraduan. Tiba-tiba entah dari mana muncul sosok itu.
Mang Kasim?
Supir pribadi suamiku ada di dalam kamar. Aku segera bangkit dari ranjang dan berdiri di samping nakas. Sedang lelaki itu berdiri beberapa langkah di depanku. Sepertinya ia masuk saat aku keluar mengambil minum dan bersembunyi di balik gorden.
"Sedang apa Mamang di kamar saya?" teriakku cukup keras. Rasa takut memenuhi dada tatkala tahu jika lelaki itu baru saja habis menenggak minuman beralkohol. Dia mabuk.
Jalannya sempoyongan tapi tak pelak semakin mendekat. Aku mulai kalap, mata menelisik apapun yang bisa kugunakan untuk melindungi diri.
"Nyonya mau punya momongan 'kan? Suami Nyonya itu mandul, lemah syahwat! Saya kuat Nyonya, saya pastikan setelah sekali celup, Nyonya bakalan hamil!" ucapnya tak tahu malu.
"Cuih! Kamu sudah lancang Kasim! Saya akan laporkan kelakuanmu pada Mas Radit! Keluar dari kamar saya sekarang juga!" gertakku semakin kencang.
Dia tak gentar sedikitpun, justru langkahnya semakin mendekat. Tak lagi berdiri tegak, kubalikkan badan menaiki ranjang, berharap bisa berlalu dari sisi kanan dan berlari keluar kamar.
Tapi ternyata, ia berhasil menangkap pergelangan kakinya. Aku terjerembab ke atas ranjang.
"Kurang ajar kamu Kasim, lepaskan saya!"
Kuhentakkan kaki sambil tangan memegang pinggiran ranjang agar dia tak berhasil menarik tubuh ini.
"Sudahlah Nyonya jangan jual mahal, pasti Nyonya sudah sangat menginginkannya 'kan!"
Dia menghentak kakiku dengan sekali hentakan kuat. Seolah terlepas tulang gerak bawah dari rangka atas, pegangan tanganku pun ikut terlepas.
"Tolong! Tolong."
Aku menjerit sekencang mungkin. Berharap ibu mertua bisa mendengar dan segera menolongku dari iblis ini.
Tak ada yang datang!
"Tolong ... tolong!"
Kupukul-pukul wajahnya yang semakin mendekat, dia terlihat murka. Tangannya dia alihkan untuk memegang kuat lenganku yang berusaha terus meronta.
Sedang kakinya menindih kedua kakiku dengan kuat. Sesakit apapun yang kurasakan saat itu, tapi aku harus bisa bertahan agar dia tidak sampai merenggut kesucian diri.
"Tolong ...!"
Lelaki bangsat itu berhasil mencumbui wajah hingga leherku. Aku menangis sambil tak henti melawan. Entah jeritan keberapa kali kulakukan, akhirnya pertolongan datang.
"Ada apa ini?"
Mama mertua muncul di depan pintu yang lupa kukunci.
Lelaki yang menghimpit tubuhku lekas bangkit.
"Kasim! Apa yang sudah kamu lakukan di kamar ini?"
"Nyonya Alya meminta saya untuk menggaulinya Nyonya."
"Astaghfirullah! Itu fitnah Ma. Tolong jujur Mang, jangan memfitnah."
Aku tak menyangka Kasim akan berdusta. Allah akan melaknat perbuatannya. Kuusahakan untuk bangkit hendak kembali membela diri, tapi kakiku terasa begitu lemah.
"Ternyata kamu semurahan ini Alya! Begini kelakuanmu jika suamimu pergi?"
"Astaghfirullah Ma, Alya tidak pernah melakukan semua yang dituduhkan Kasim itu, semua ini fitnah," ucapku sambil tak kuasa menahan tangis.
"Kasim, katakan sejujurnya, apa benar Alya yang memintamu ke kamar ini?"
"Ayla nggak pernah minta, Ma--"
"Diam kamu!"
Air mataku jatuh berderai, teganya Mang Kasim memfitnahku. Sedang ibu mertua tak mau mendengar penjelasan. Bagaimana jika Mas Radit sampai tahu perihal kebohongan ini. Ya Allah ...
"Katakan Kasim, apa benar Alya yang memintamu ke kamar ini?"
"Jujur Mang!"
"Diam kamu!"
Ya Allah Mama ...
"Be-be-benar Nyonya!"
"Itu fitnah, Ma!"
"Diam kamu! Kamu sudah mempermainkan anak saya!"
Plakkk! Plakkk!
Pipiku remuk oleh tamparan sepuluh jemari ibu mertua. Aku tergugu, tak bisa berkata apapun kecuali hanya menangis.
"Dengar Alya, malam ini juga kamu bukan lagi menantu di rumah ini! Saya akan mengabarkan perihal ini pada Radit supaya dia cepat-cepat mengusir kamu dari kehidupan kami!"
Mama berlalu setelah membanting pintu dengan kuat.
*
Flash off
Kutarik napas panjang. Ingatan itu membuat dadaku bergemuruh hebat.
"Mas, andai kamu mendengarkanku saat itu. Mereka telah memfitnahku. Andai kamu hanya mempercayai kata-kataku sebagai istrimu. Tentu saat ini kita masih bersama, Mas."
***
Bersambung
Terima kasih sudah membaca
Utamakan baca Al Quran, ya.
Sudah jam lima sore, Akbar masih menanti kedatangan Mas Radit di depan teras. Sudah hampir satu jam dia tidak beranjak. Rasanya kasihan juga jika sampai Mas Radit membatalkan kedatangannya malam ini."Nunggunya di dalam aja Nak, sambil nonton televisi," tawarku melihat dia mulai jenuh."Nggak Ma, Akbar mau nunggu di sini. Di dalam Akbar kayak ngerasa kepanasan gitu, Ma."Tersenyum aku mendengar alasan yang keluar dari mulutnya. Meski tanpa dampingan Mas Radit, namun dia sepenuhnya menuruni kecerdikan sang ayah. Ah, andai Mas Radit ikut mengasuhnya bersamaku, pasti ia tumbuh menjadi sosok yang lebih luar biasa dari sekarang.Astaghfirullah, aku mengelus dada akan andai-andai yang tidak berdalil ini. Lalu memilih duduk di sofa ruang tamu. Entah kenapa hati inipun diam-diam menanti kedatangannya.*Tepat pukul enam, saat azan magrib hampir mengumandang. Terdengar deru mobil berhenti di depan pagar. Aku mengangkat tubuh dari kegiatan mengisi laporan ruangan, sambil menyibak sedikit gorden
"Jangan pergi, Dek. Jangan siksa Mas lagi," ucapnya dengan mulai membuka mata. Jadi daritadi, dia berpura-pura tidur?Kubuang napas sambil memendam kekesalan. Harus kuakui hati ini seolah tercerabut paksa mendengar permintaan yang kembali keluar dari mulut Mas Radit. Aku jadi tak mengerti, atau jangan-jangan dia amnesia hingga lupa bahwa yang memilih berpisah adalah dia, bukan diriku!Jika banyak wanita akan mengamuk untuk meluapkan kekesalan hatinya, tapi tidak denganku. Dari dulu tabiat ini memang tidak berubah. Kukumpulkan kekuatan untuk hanya mengeluarkan suara."Mas sudah terlalu banyak berbicara semenjak kemarin. Saya minta Mas jangan sampai salah paham perihal keijinan untuk menginap di rumah ini. Semua saya lakukan demi Akbar."Ucapanku pelan namun tegas. Dia tergerak, seperti hendak berbicara."Tolong beri Mas kesempatan untuk menjelaskan semuanya, Dek.""Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, Mas. Talak yang Mas ucapkan enam tahun yang lalu sudah menjelaskan semuanya. Saya ha
POV Bik InaPagi ini saya ditugaskan Mbak Alya mengawasi mantan suaminya. Sebenarnya saya tidak menyukai pekerjaan ini, tapi demi beliau yang teramat saya sayangi, saya bersedia melakukannya.Sudah lima tahun saya bekerja di rumah majikan saya ini, tepat setelah beliau melahirkan anak pertamanya bernama Akbar. Saat itu beliau tinggal di rumah eyangnya di Kota Malang. Yang saya tahu, beliau baru ditalak oleh suami dan diusir oleh ibu mertuanya.Seharusnya pula, beliau tinggal bersama ibu kandung yang berposisi di Kudus. Tapi kenyataan, di daerah itu pula sudah tersiar kabar bahwa beliau mengandung anak hasil hubungan terlarang.Saya tahu benar bagaimana kehidupan beliau. Kepahitan serta kepiluan yang beliau rasa. Selama masih mengandung, beliau setiap saat dalam keadaan murung, selalu menanti mantan suaminya datang untuk merujuk. Tapi ternyata, lelaki itu baru datang setelah Mbak Alya melahirkan.Entah apa sebenarnya yang terjadi diantara mereka, tapi satu yang saya tahu, bahwa mereka
"Alya."Langkahku terhenti, tatkala suara panggilan seseorang terdengar di belakang. Sejenak aku menoleh untuk memastikan siapa yang sudah memanggilku tersebut."Dokter Adam?"Duda sombong itu memanggilku? Nggak salah? Atas apa yang sudah ia lakukan tadi pagi, aku harus mengacuhkan panggilannya.Kubuang wajah, tak perduli. Langkahku tak terhenti walau sejenak."Alya."Kini dia berhasil menyeimbangkan posisinya denganku."Saya baru tahu, selain kurang hati-hati, kamu juga kurang bisa mendengar."Apa katanya? Kurang bisa mendengar?Baik akan saya layani segala keinginanmu, Dokter."Maksud Dokter apa? Apa kurang cukup mempermalukan saya di depan pasien tadi pagi? Saya ini manusia, punya hati, Dok."Lelaki itu terdiam."Jadi selain yang dua tadi, kamu juga mudah tersinggung."Aku mengeram di hadapannya. Kehentakkan dua tangan, lalu berlari menuju tempat parkiran. Dia hanya termanggu di tempatnya berdiri. Tanpa usaha untuk mengejar apalagi meminta maaf. Ingat, sampai kapanpun saya tidak a
Tak ingin peduli pada pesan terakhir yang dikirimkan dokter Adam ke ponselku. Aku kembali menapak kaki hingga ke kantin. Suasana di tempat itu masih lenggang dari pengunjung. Hanya beberapa bangku yang terisi. Kupilih duduk di kursi dekat taman. Ingatan ini sejenak terlempar pada dokter paru yang baru berdinas di rumah sakit sekitar enam bulan lalu. Selama ini memang kami jarang bertemu. Sesekali hanya berpas-pasan di koridor atau di ruangan rawatan saat aku mengantar pasien untuk rawat inap. Selebihnya pernah dua kali berada dalam satu ruang rapat. Artinya aku dan dia memang tidak pernah terlibat pertikaian, tapi kenapa sikapnya seolah sangat tidak menyukaiku?Apa benar cuma karena salah pasang infus kemarin? Masak iya sampai ngatain diri ini tidak beradap.Aneh! Bikin pusing.Saat kedua tangan baru membuka bungkusan nasi gurih di atas meja, seketika pandangan teralih pada beberapa meter ke depan.Yang baru saja menjadi topik dalam benak melangkah mendekat bersama beberapa staf UGD
Dulu aku mengikhlaskan Mas Radit untuk dimadu dengannya, tapi apa balasan yang kuterima? Dia mencampakkanku sedemikian lihai!"Alya.***Aku menangis sejadi-jadinya di dalam kamar. Kubiarkan air mata yang selama ini hanya boleh menetes tersebab mengingat dosa, kali ini berderai mengingat mantan. Enam tahun kugunakan seluruh usiaku untuk melupakan masa-masa indah bersamanya, tapi sungguh aku tak bisa. Tak pernah dalam hidup dia menyakitiku melainkan oleh fitnah yang ditimbulkan oleh ibunya. Dan hari ini, aku sudah membiarkan tanganku menyentuhnya kembali. Aku bersalah ya Allah. Dia yang tak boleh lagi kusentuh!Allah ...Harusnya memang tak kubiarkan dia terlalu jauh kembali.Kejadian ini semakin menyadarkanku, bahwa setegar apapun diri ini. Aku tetaplah wanita.Satu jam kubiarkan menangis tanpa ada seorangpun yang mengusik. Memasuki menit di jam kedua, kamarku diketuk pelan. Lalu Akbar muncul di sebaliknya.Kubalikkan tubuh menghadap tembok, menutupi sisa-sisa air mata dari pengliha
POV RaditBagi dunia, kamu mungkin hanya satu orang.Tapi bagiku, kamu adalah dunia.Enam tahun tanpamu, aku kehilangan duniaku, Al.Kembalilah, aku butuh kamu sebagai tempatku berpijak.***Kubaringkan kepala sembari menatap langit-langit kamar, bayang Alya menari-nari di sana. Ah, andai waktu bisa kembali, aku ingin menarik ulang kata-kataku. Sungguh aku masih sangat mencintainya. Sedikitpun tidak ada yang berubah.Enam tahun, jika ia beri sedikit saja kesempatan untuk kujelaskan semuanya. Tentu hidup kami tidak akan seperti ini, tentu tidak ada rindu yang tersia-siakan tanpa bisa berbagi. Semua bahkan terlewati dengan terus membawa duka. Ibarat kata, kami berada di dua dunia. Hanya tau tanpa pernah bertemu.Kulirik surat wasiat Mama sebelum beliau menutup mata. Harusnya mama meminta agar aku membacanya bersama Alya. Huh, apakah Alya sudah membaca surat miliknya, kira-kira apa yang Mama tuliskan?Aku hanya bisa membayangkan, mungkin lebih baik kubaca surat ini terlebih dahulu. Kub
Sudah satu jam sejak kepergian Akbar bersama Mas Radit, aku terduduk dengan pikiran penuh tanya di sini. Tak tahan terus didera rasa penasaran, akhirya kuputuskan untuk menghubungi Bik Ina.[Assalamualaikum Mbak Alya.][Waalaikum salam Bik.]Sejenak bibirku kelu, entah apa yang ingin kutanyakan pada wanita itu. Perihal keadaan Mas Radit, tentu aneh. Alangkah lebih beralasan jika yang kutanyakan adalah Akbar.[Akbar bagaimana, Bik?][Oh, Den Akbar baik Mbak. Lagi asyik main air sama Bapake.][Air? Emang dimana ini Bik?][Den Akbar minta ke Waterboom Mbak, yang di Dawe itu.][Wah, lumayan jauh 'kan?][Kata Mas Radit cuma sebentar.][Sebentar, pasti lupa waktu itu kalau udah di air. Bibik ingatin, ya. Kalau udah jam limaan, segera udahan.][Iya, nanti Bibik ingatin, Mbak.]Kututup telpon dengan perasaan gusar, dasar Mas Radit, sekalinya dikasih, malah dibawa ke tempat nggak aman begitu. Akbar 'kan punya riwayat alergi, gimana kalau kelamaan mandi terus alerginya kambuh.Kulirik terus jam
"Ayo meneran Mbak, sedikit lagi. Tarik napasnya, yuk. Bismillah."Sekuat tenaga kukumpulkan kekuatan untuk meneran. Untuk ketiga kali, akhirnya rasa ini kembali menghampiri. Rasanya mustahil manusia sanggup terbiasa dengan penderitaan sepedih ini. Namun, dengan sang kekasih di sisi yang terus menyemangati, mengusap peluh di kening, menggosok punggung yang terasa sakit, semua akan terlewati dengan mudah. Ya, kali ini ada Mas Radit yang menemaniku melewati semuanya.Dia yang sedari awal mulai kontraksi terus menjadi tempat tangan ini menggenggam. Dia yang sedari awal bahkan rela meninggalkan segalanya demi mendampingiku. Aku sangat bersyukur di persalinan ketiga ini, Allah memberi kesempatan merasakan dampingan seorang suami dalam bertarung antara hidup dan mati. Demi melahirkan seorang bayi ke dunia."Ayo Mbak, sedikit lagi.""Bismillah."Doa dan zikir menggema hingga akhirnya, tangisan bayi terdengar membelah kesunyian malam kala itu. Bidan yang menolong segera mengikat tali pusat l
[Saya sudah dapat informasi siapa yang membawamu pulang malam itu, Al]Sebuah pesan dari Nina berhasil membuat dada ini bergemuruh hebat. Segera aku melakukan panggilan ke nomor sahabatku itu.[Hallo, Nin.][Iya, Al.][Siapa Nin orangnya?][Resty, mantan pacarnya Tama dulu, pas masih di Poltekkes.][Hah? Benarkah, Nin?][Iya, benaran. Suamiku yang lihat. Ni aku kirim alamat rumahnya ya. Biar kamu bisa langsung samperin orangnya.][Oh iya, Nin. Makasih ya.][Sama-sama.]Setelah menutup telpon, langsung saja kulakukan panggilan pada ponselnya Mas Radit, siapa tahu Mas Radit sedang tidak ada kegiatan dan bisa mengantarkanku ke sana.[Iya, Sayang?][Mas, barusan Nina hubungi Alya, katanya yang bawa saya malam itu mantan pacarnya Mas Tama.][Benar, Yank?][Iya, Mas. Nina juga kasih alamat rumah, supaya kita bisa tanyakan langsung sama orang itu.][Hm, tapi Mas masih ada pasien ni. Setengah jam lagi Mas pulang, ya.][Iya, Mas. Alya tunggu.]*Seperti ucapannya, setengah jam dari kumenutup t
"Yah, aku rindu sama Ayah Radit."Ucapan Akbar membuat mulut ini terhenti dari membacakan sirah nabi. Kututup buku serta merespon apa yang sedang dirasakan anak sambungku itu."Kalau Akbar rindu sama Almarhum Ayah, berarti Akbar harus ngirim doa. Minimal Alfatihah. Biar Ayah merasa bahagia karena sudah meninggalkan anak yang shaleh di dunia ini."Akbar mengangguk lalu mengangkat kedua tangan. Pelan lafaz surat Al-Fatihah mengalun dari bibirnya."Yah, apa ayah Radit bisa melihatku di sana?"Lagi-lagi aku dibuat bergetar dengan pertanyaan Akbar. Sekian lama menikahi ibunya, baru malam ini dia bercerita tentang almarhum sang ayah. Ternyata benar seperti kata Alya, Akbar adalah bocah yang sangat pintar memanage perasaan."Tentu bisa Sayang, makanya Akbar harus jadi anak baik, rajin shalat dan mengaji serta sayang sama Mama dan Dedek Maryam.""Aku udah ngelakuin semuanya, Yah.""Kalau gitu, pasti Ayah Radit sangat bangga pada Akbar.""Benar, Yah?""Iya, Sayang.""Akbar mau ngomong sama Mam
"Mas, ada flek ini." Alya berlari dari dalam kamar mandi sambil menunjuk sesuatu. Jantungku berdegup kuat menatap apa yang ada di tangan Alya. Fleknya lumayan banyak. Apakah ini efek dari berturut-turut bercocok tanam? Astaghfirullah! "Mas sih, lasak. Alya 'kan sudah ingatin." Dia merengut sambil merebahkan kepalanya di atas pundakku. Entah bagaimana jika istriku ini sedang menaruh kesal. Sebab yang aku tahu, saat kesal, Alya selalu menempel di tubuh ini. "Maaf ya, Mas janji nggak akan melakukannya lagi," ucapku terbata sambil mengelus pipinya Masih dengan rasa khawatir yang memenuhi rongga dada. Alya terlonjak dan menatapku seketika. Kenapa? Apa aku salah bicara? "Benar, Mas nggak akan melakukannya lagi? Sampai sembilan bulan?" Mataku berkedip cepat, melakukan apa? Sejenak kepala dengan cepat berpikir. Ketika sudah paham yang Alya maksud, jiwa ini malah bergidik ngeri. Tidak melakukan selama sembilan bulan? Hmm, lumayan lama. "Maksud Mas, nggak akan lasak lagi jika kita sed
POV Radit***Oooeekkk!Oooeekkk!Sudah beberapa kali aku keluar masuk kamar mandi. Tiba-tiba perut ini terasa mulas, dan ingin mengeluarkan isinya. Tapi hingga berkali-kali kumuntahkan, tak ada satupun yang keluar dari lambung.Alya mengurut punggungku sambil membaluri dengan minyak telon. Eh, bau minyak itu malah membuatku kembali mual."Mas ...."Istriku menyentuh lengan ini saat diri sudah kembali rebah di atas ranjang. Jam baru menunjukkan pukul lima subuh."Iya, Yank."Aku memandanginya sambil mengelus pipi. Seharusnya dimana-mana kalau istri sedang hamil, dia akan muntah-muntah di pagi hari. Lalu seperti suami siaga lain, aku ada di sisinya untuk menyemangati dan mengurangi segala keluhan. Tapi yang terjadi pada kami? Alya malah yang harus melayaniku."Kayaknya Mas mengalami morning sickness deh."Dua bola mataku membelalak mendengar ucapannya."Masak iya kamu yang hamil Mas yang morning sickness?"Kedua sudut bibirnya kembali tertarik menjauh. Lalu dia memelukku."'Kan emang a
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Mata belum juga mau terpejam. Kulangkahkan kaki perlahan menuju kamar Akbar, rasa menuntun diri untuk kembali melihatnya. Pelan, aku membuka pintu. Tampak di mata, suamiku sedang duduk bersandar pada kepala ranjang. Di tangannya sebuah buku biografi Buya Hamka menemani.Tak berani masuk, aku menutup pintu dan memilih kembali ke kamar. Entah untuk pukul berapa, mata ini akhirnya terpejam juga.*Sebelum subuh, diri ini sudah lebih dahulu terjaga. Dapur masih sepi, bahkan kamar ART saja masih tertutup rapat. Kusiapkan sarapan istimewa untuk Mas Radit, hari ini dia harus mau berbicara. Akan kuberi perhatian lebih, dimulai dari segala persiapannya kerja, lanjut sarapan.Tepat saat azan berkumandang, aku menyerahkan sisa pekerjaan pada ART dan bergegas ke kamar Akbar. Pelan aku membuka pintu kamar anakku itu. Sesuai rencana, Mas Radit masih berbalut selimut. Aku mendekati ranjang lalu duduk di sisi suamiku tertidur.Pelan, kukecup keningnya sam
Tanpa mengulur waktu, lekas aku menelpon Mas Radit. Jantung sudah tidak bisa kugambarkan lagi dentumannya. Panggilan pertamaku direject.Tak putus asa, aku kembali menelpon. Direject lagi.Ya Allah ...Kucoba ketiga kali, tetap direject. Tak lagi menelpon, kini aku mengetik sebuah pesan.[Tolong angkat telponnya, Mas. Alya bisa jelaskan semua ini.]Tak ada balasan. Kini ponselnya malah tidak lagi aktif. Semua terlambat. Andai dari semalam aku jujur, tentu tak akan seperti ini kejadiannya.Tubuhku terduduk lemah di atas ranjang. Sejenak, anganku terlempar pada kejadian enam tahun silam. Seperti ada yang menghunus jantung ini. Sakitnya terasa hingga ke sekujur tubuh. Ya Allah, tolong beri kesempatan bagi hamba untuk menjelaskan semuanya pada Mas Radit.*Akbar turun di depan gerbang sekolah. Meski tak ingin melakukan kegiatan apapun tersebab hati masih dipenuhi kekhawatiran, tapi aktifitas tidak boleh berhenti. Akbar harus tetap ke sekolah. Masalah yang sedang kuhadapi dengan Mas Radit
Mata kami bertemu sejenak hingga aku lepas kontrol dan berlari menuju pintu. Kugedor-gedor pintu kamar sambil berteriak minta tolong."Tolong! Buka pintunya!"Seperti kesurupan, aku berlari mencari celah agar bisa keluar. Tapi gerakanku tak mendapat cegahan. Sedang biasa, jika seorang lelaki hendak memperkosa, pasti dia akan langsung menyerang. Kenapa Mas Tama justru tidak begitu?Lelah berlari, akhirnya aku memilih berhenti, duduk kembali di atas ranjang dengan terengah-engah.Kumenoleh menatap Mas Tama yang ... sudah selesai berpakaian."Udah lari-larinya? Kamu lucu, Al."Dia terkekeh-kekeh menahan tawa. Sedang di sini, aku masih dengan emosi yang tak terkendali."Kenapa saya ada di sini? Mas Tama udah apain saya?"Dia menoleh, membuat degup jantung ini kian menyentak."Saat kamu keluar dari rumah Nina, saya ngikuti. Terus kamu dibawa oleh seorang wanita yang saya nggak kenal siapa. Dan di tengah jalan, mobilmu diberhentikan. Dia keluar untuk kemudian menaiki taksi."Dua bola matak
Selepas kepergian Mas Radit, meski tak bergairah aku tetap harus menjalani semua aktivitas seperti biasa. Mengurus dua anak serta membantu di rumah ibu mertua sebisa mungkin. Juga tak lupa mengawasi rumah almarhum Mas Radit yang kini ditempati oleh Ina beserta seorang sanak keluarganya. Hingga malam tiba, aku sangat terkejut dengan mampirnya sebuah nomor yang tak lain adalah nomor ponsel Nina, sahabat karibku semasa kuliah dahulu.[Assalamualaikum, Al.][Waalaikum salam.][Apa kabar, Al?][Alhamdulillah sehat, Nin. Kamu sekeluarga gimana?][Alhamdulillah, kami semua sehat. Al, besok malam ada kegiatan apa?][Kegiatan? Kalau malam sih nggak pernah ada kegiatan.][Datang ke acara syukuran kecil-kecilan di rumahku ya, Al. Acaranya habis isya, ajak suami dan anak-anakmu juga. Biar bisa saling kenal.][Suamiku lagi tugas luar kota, Nin.][Yah, padahal pengen sekali ketemu sama kamu, Al. Kemarin di acara reuni kampus juga kamu nggak datang.]Suara Nina di ujung telpon terdengar pilu. Seben