"Alya."
Langkahku terhenti, tatkala suara panggilan seseorang terdengar di belakang. Sejenak aku menoleh untuk memastikan siapa yang sudah memanggilku tersebut.
"Dokter Adam?"
Duda sombong itu memanggilku? Nggak salah?
Atas apa yang sudah ia lakukan tadi pagi, aku harus mengacuhkan panggilannya.
Kubuang wajah, tak perduli. Langkahku tak terhenti walau sejenak.
"Alya."
Kini dia berhasil menyeimbangkan posisinya denganku.
"Saya baru tahu, selain kurang hati-hati, kamu juga kurang bisa mendengar."
Apa katanya? Kurang bisa mendengar?
Baik akan saya layani segala keinginanmu, Dokter.
"Maksud Dokter apa? Apa kurang cukup mempermalukan saya di depan pasien tadi pagi? Saya ini manusia, punya hati, Dok."
Lelaki itu terdiam.
"Jadi selain yang dua tadi, kamu juga mudah tersinggung."
Aku mengeram di hadapannya. Kehentakkan dua tangan, lalu berlari menuju tempat parkiran. Dia hanya termanggu di tempatnya berdiri. Tanpa usaha untuk mengejar apalagi meminta maaf. Ingat, sampai kapanpun saya tidak akan memaafkanmu sebelum kamu meminta maaf, Dok.
*
Tepat pukul tiga siang hari, aku sampai di rumah. Suasana tampak hening, Akbar pun tak terdengar suaranya. Kutarik langkah semakin dalam memasuki rumah, lalu mata ini membidik pada kamar tamu yang seharusnya tadi di tiduri oleh Mas Radit.
Dia sudah pergi.
Ada yang kembali menghilang dari jiwaku. Kehadirannya lagi, entah. Walau satu sisi aku membenci ia kembali, tapi sisi yang lain, aku bahagia.
Kuluangkan waktu untuk memasuki kamar itu. Aku mendudukkan diri di atas ranjang, tepat di tempat dimana tadi ia berbaring.
Kutatap lama tempat itu, seolah melihatnya berbaring dan tersenyum. Aku merindukannya.
"Astaghfirullah!"
Kugeleng-gelengkan kepala mengusir bayang wajah Mas Radit dari benak. Sampai kapan jarak akan terus menjadi rindu. Tidak bisakah dia tak lagi menjadi candu?
Aku lelah ya Allah, terus mengenangnya dalam setiap helaan napas.
Tak sanggup merasakan sakit di dada, kupaksakan tubuh untuk beringsut. Namun, sesuatu membuat langkah ini terurungkan.
Mas Radit melupakan dompetnya. Benda itu tergeletak di bawah bantal tidur.
Kuraih benda tersebut, lalu ragu mulai membuka. Sejumlah uang berwarna biru ada di kantong tengah. Penasaran aku mulai membuka bagian samping, tempat ia meletakkan segala jenis kartu.
Kukeluarkan semua yang ada di dalam tiap saku. Saku pertama, aku menemukan foto pernikahan kami dahulu masih tersimpan di sana. Sesaat hati dipenuhi tunas-tunas cinta yang siap bermekaran. Sudah sekian tahun, ternyata Mas Radit masih menyimpannya.
Seulas senyum terkembang indah pada wajah ini.
Lalu aku mulai menelisik bagian saku lainnya. Rasa sakit kini menghujam dada, tatkala mendapati foto pernikahan dengan Ika pun ada di deretan kartu tersebut.
Aku kembali membalik-balikkan semua kartu hingga muncul satu foto lain. Foto Mas Radit bersama Ika dan anak-anaknya beserta Mas Tyo.
Sepertinya ini pada acara ulang tahun anaknya yang ke berapa ya, aku tak paham.
Kuperhatikan dengan seksama, anak-anak Mas Radit dari pernikahan keduanya. Semua berwajah berbeda dari anak lain normalnya.
Yang paling jelas adalah yang sulung.
"Ya Allah, apakah semua anak-anak Mas Radit tidak normal?"
Aku mengembuskan napas berat. Jadi ini yang membuatmu tak pernah ingin mundur Mas? Apa kamu menginginkan Akbar?
Sejenak kupejamkan mata, mengusir pikiran buruk yang baru saja menghinggapi diri. Tidak boleh dibiarkan, sampai kapanpun Mas Radit tidak boleh memiliki Akbar sepenuhnya!
*
Gerimis Mulai berjatuhan, memasuki bulan November sudah pasti bumi takkan pernah kering dari siraman air yang berasal dari langit.
Kubuka gawai sambil merebahkan diri di samping Akbar yang sudah tertidur lelap. Malam inipun rasanya tak ingin tidur sendiri. Bayang Mas Radit masih kerap menghantui jiwa. Setiap kali aku menatap ke samping tempat tidur, seolah nyata, Mas Radit tidur di sana.
Ya Rabb ...
Kenapa hati ini begitu merinduinya?
Tiba-tiba, sebuah notif terlihat di layar ponsel. Segera aku mengecek siapa gerangan yang mengirimiku pesan di malam hari begini.
'Mas Radit.'
Apakah dia sudah baikan? Kubaca pesan darinya.
[Assalamualaikum Dek. Dompet Mas apa ketinggalan di situ, ya?]
Huhft ... cobaan.
[Waalaikum salam. Nggak tahu Mas, belum saya cek.]
Aku terpaksa berbohong. Diri ini tak ingin ia tahu, bahwa mengetahui tentangnya adalah kabar pertama yang begitu kunanti. Pulang dari tempat kerja, bahwa adalah ia orang pertama yang ingin kutemui.
[Oh yasudah tidak apa-apa, tapi kayaknya ketinggalan Dek. Besok Mas kesitu lagi ya?]
Kali ini aku menghela napas panjang, cemas mulai kembali menghantui. Aku takut bertemu dengannya lagi. Sebab sekali bertatapan, butuh waktu lama untuk melupakan.
[Biar saya cek aja, Mas. Kalau ada nanti biar saya titip melalui JNE. Mas nggak perlu repot-repot kemari, apalagi cuma buat ngambil dompet.]
[Yah, jangan Dek, masak iya dititipin ke JNE. Mas ambil aja nanti, dekat kok jarak kita.]
Dekat apanya, aku ingin tertawa. Enam jam lebih dikata dekat?
[Yasudah, tapi cukup sampai teras.]
[Siap Ratu.]
[Berhenti memanggil saya begitu, Mas.]
[Siap salah, Dek]
Kesel campur amarah, bersatu padu di dalam jiwa mendapatinya mulai bercanda kembali denganku seperti dahulu kala.
Entah kenapa di detik ini aku merasa dia adalah lelaki terburuk yang pernah kukenal. Apa dia berniat menduakan Ika kembali seperti dahulu menduakan diri ini?
Seketika benci kembali merampas jiwa. Rasanya terlalu munafik, melalui telpon dia menggombaliku, tapi setelah itu ia memeluk dan menggombali istrinya!
Dasar lelaki mata keranjang!
[Dek ...]
Masih juga dia memperpanjang mukaddimah. Aku kembali dibakar api entahlah, mungkin api cemburu, mungkin juga api kekecewaan.
[Ada apa lagi, Mas? Rasanya saya benar-benar sudah tidak mengenal lagi siapa Mas sekarang.
[Emang kenapa, Dik.]
[Pikir saja sendiri, Mas.]
[Mas sudah berpikir, dan sangat lama berpikir. Mas ingin rujuk sama kamu.]
Keningku berkerut sesaat.
[Dasar suami tukang selingkuh!]
Entah kenapa kata-kata itu sah kukirimkan ke ponselnya.
Dia segera melakukan panggilan telpon.
Segera saja kureject. Tak berhenti di satu kali panggilan yang kureject, ia melakukan panggilan kembali. Lelah tangan ini mereject terus hingga ia berhenti menelpon dan mengirimkan sebuah pesan.
[Maaf, Dek.]
[Semua kesalahan Mas sudah saya maafkan. Saya hanya berharap Mas tidak mengulangi apa yang pernah Mas lakukan pada saya, tidak untuk Ika.]
[Kita perlu bicara empat mata, Dek. Please, Mas mohon.]
[Maaf Mas, Saya mau istirahat. Assalamualaikum]
Kuhela napas sambil menanti balasan pesan darinya. Kesal sekali dia terus ingin memberi alasan, paling alasan murahan disertai keinginannya untuk rujuk. Tentu tidak semudah itu!
[Selamat tidur, Dek. Semoga hati Adek segera terbuka untuk mau mendengarkan penjelasan dari Mas. Semoga Allah kabulkan.]
Hatiku sedikit remuk dengan harapannya diakhir, sebenarnya apa sih hal besar yang mau ia jelaskan? Kuabaikan sambil mencoba memejamkan mata. Tiba-tiba gawaiku kembali kemasukan notif.
"Ah, kenapa lagi sih sama kamu, Mas? Aku bisa gila jika kamu bersikap begini terus?"
Kuabaikan pesannya sambil sekuat tenaga memejamkan mata. Hingga waktu yang tak dapat kuprediksi, kedua netra ini terpejam sempurna.
***
UGD tampak lenggang dari ramainya pengunjung, tapi tak mengurangi aktivitas para pegawai yang berdinas di hari itu.
Sebelum operan, shif malam tampak sibuk melengkapi laporan dan status pasien.
Kulayangkan pandangan pada beberapa bed yang nampak kosong. Terlihat oleh netraku dua adik siswa sedang duduk sambil melengkapi catatan mereka di atas salah satu bed.
"Eh, tahu nggak kemarin Mbak Alya nggak benar pasang infus. Sampai dimarahi sama Dokter Adam di depan pasien."
Kupingku mulai panas.
"Salah, palingan karena kegeeran sama Dokter Adam, pan walau duda masih anget gitu. Aku aja mah mau jadi istri simpanannya, kalau dia mau."
"Gila lu! Huwa aku nggak rela jika mereka saling falling on love."
Mereka sudah terlalu banyak bicara.
Kuhampiri dengan memasang wajah sangar.
"Lagi ngapain, Dek?"
Mereka tersentak.
"Oh, nggak ada Mbak."
"Beresin semua bed, sebentar lagi operan."
Mereka bangkit seketika. Menyebalkan, pagi-pagi udah ngegosip ria. Jika aku mentor mereka saat ini, sudah kuturuni nilai etika mereka menjadi 0! Nggak ada akhlak memang!
Tak lama, netraku teralih ke muka pintu. Dokter Adam masuk duduk di kursi perawat. Pandangannya tajam menatapku tanpa bicara.
Kubuang wajah, kenapa akhir-akhir ini dia sering sekali singgah ke UGD, padahal tidak ada pasien paru di ruangan ini? Kutinggalkan ruangan dengan memberi alasan mengisi perut ke kantin.
Tiba-tiba ponselku kemaukan notif kembali. Dengan cepat tangan ini membuka pesan yang masuk itu.
Dokter Adam? Dua pesan?
Kuklik untuk membaca pesan dari lelaki itu.
[Maaf kemarin sudah kasar padamu. Sebagai ucapan maaf, besok pagi saya traktir kamu makan di kantin.]
Terkirim tadi malam.
Kubaca pesan yang dikirimkan beberapa detik yang lalu.
"Ternyata selain memiliki sekian banyak kekurangan, kamu itu angkuh!"
Huh! Dasar duda berhati batu! Kukutuk kau jadi Malin Kundang, jadi batu kau!
***
Bersambung.
Jazakumullahu Khairan sudah singgah, jangan lupa subscribe dan lovenya. Koment yang banyak biar tambah semangat.
Tak ingin peduli pada pesan terakhir yang dikirimkan dokter Adam ke ponselku. Aku kembali menapak kaki hingga ke kantin. Suasana di tempat itu masih lenggang dari pengunjung. Hanya beberapa bangku yang terisi. Kupilih duduk di kursi dekat taman. Ingatan ini sejenak terlempar pada dokter paru yang baru berdinas di rumah sakit sekitar enam bulan lalu. Selama ini memang kami jarang bertemu. Sesekali hanya berpas-pasan di koridor atau di ruangan rawatan saat aku mengantar pasien untuk rawat inap. Selebihnya pernah dua kali berada dalam satu ruang rapat. Artinya aku dan dia memang tidak pernah terlibat pertikaian, tapi kenapa sikapnya seolah sangat tidak menyukaiku?Apa benar cuma karena salah pasang infus kemarin? Masak iya sampai ngatain diri ini tidak beradap.Aneh! Bikin pusing.Saat kedua tangan baru membuka bungkusan nasi gurih di atas meja, seketika pandangan teralih pada beberapa meter ke depan.Yang baru saja menjadi topik dalam benak melangkah mendekat bersama beberapa staf UGD
Dulu aku mengikhlaskan Mas Radit untuk dimadu dengannya, tapi apa balasan yang kuterima? Dia mencampakkanku sedemikian lihai!"Alya.***Aku menangis sejadi-jadinya di dalam kamar. Kubiarkan air mata yang selama ini hanya boleh menetes tersebab mengingat dosa, kali ini berderai mengingat mantan. Enam tahun kugunakan seluruh usiaku untuk melupakan masa-masa indah bersamanya, tapi sungguh aku tak bisa. Tak pernah dalam hidup dia menyakitiku melainkan oleh fitnah yang ditimbulkan oleh ibunya. Dan hari ini, aku sudah membiarkan tanganku menyentuhnya kembali. Aku bersalah ya Allah. Dia yang tak boleh lagi kusentuh!Allah ...Harusnya memang tak kubiarkan dia terlalu jauh kembali.Kejadian ini semakin menyadarkanku, bahwa setegar apapun diri ini. Aku tetaplah wanita.Satu jam kubiarkan menangis tanpa ada seorangpun yang mengusik. Memasuki menit di jam kedua, kamarku diketuk pelan. Lalu Akbar muncul di sebaliknya.Kubalikkan tubuh menghadap tembok, menutupi sisa-sisa air mata dari pengliha
POV RaditBagi dunia, kamu mungkin hanya satu orang.Tapi bagiku, kamu adalah dunia.Enam tahun tanpamu, aku kehilangan duniaku, Al.Kembalilah, aku butuh kamu sebagai tempatku berpijak.***Kubaringkan kepala sembari menatap langit-langit kamar, bayang Alya menari-nari di sana. Ah, andai waktu bisa kembali, aku ingin menarik ulang kata-kataku. Sungguh aku masih sangat mencintainya. Sedikitpun tidak ada yang berubah.Enam tahun, jika ia beri sedikit saja kesempatan untuk kujelaskan semuanya. Tentu hidup kami tidak akan seperti ini, tentu tidak ada rindu yang tersia-siakan tanpa bisa berbagi. Semua bahkan terlewati dengan terus membawa duka. Ibarat kata, kami berada di dua dunia. Hanya tau tanpa pernah bertemu.Kulirik surat wasiat Mama sebelum beliau menutup mata. Harusnya mama meminta agar aku membacanya bersama Alya. Huh, apakah Alya sudah membaca surat miliknya, kira-kira apa yang Mama tuliskan?Aku hanya bisa membayangkan, mungkin lebih baik kubaca surat ini terlebih dahulu. Kub
Sudah satu jam sejak kepergian Akbar bersama Mas Radit, aku terduduk dengan pikiran penuh tanya di sini. Tak tahan terus didera rasa penasaran, akhirya kuputuskan untuk menghubungi Bik Ina.[Assalamualaikum Mbak Alya.][Waalaikum salam Bik.]Sejenak bibirku kelu, entah apa yang ingin kutanyakan pada wanita itu. Perihal keadaan Mas Radit, tentu aneh. Alangkah lebih beralasan jika yang kutanyakan adalah Akbar.[Akbar bagaimana, Bik?][Oh, Den Akbar baik Mbak. Lagi asyik main air sama Bapake.][Air? Emang dimana ini Bik?][Den Akbar minta ke Waterboom Mbak, yang di Dawe itu.][Wah, lumayan jauh 'kan?][Kata Mas Radit cuma sebentar.][Sebentar, pasti lupa waktu itu kalau udah di air. Bibik ingatin, ya. Kalau udah jam limaan, segera udahan.][Iya, nanti Bibik ingatin, Mbak.]Kututup telpon dengan perasaan gusar, dasar Mas Radit, sekalinya dikasih, malah dibawa ke tempat nggak aman begitu. Akbar 'kan punya riwayat alergi, gimana kalau kelamaan mandi terus alerginya kambuh.Kulirik terus jam
POV RaditMobil melaju dengan kecepatan sedang, sesuai permintaan Akbar, hari ini kami akan mengunjungi Waterboom Mulia Kudus. Banyak pertanyaan yang terlontar dari mulut mungil anak semata wayangku. Tapi semua tak khusuk kutanggapi. Pikiran ini masih saja dipenuhi bayang-bayang Alya. Sentuhan kembali tangannya pada pipi, sungguh aku menanti hal ini semenjak enam tahun yang lalu. Aku merindumu Al. Tendang aku sepuasnya, tapi berjanjilah bahwa kau akan kembali.Pandangan ini sedikit kabur, serasa ada yang memenuhi pelupuk mata."Yah ....""Iya, Nak?"Suara Akbar membuatku terhenyak. Kembali dia menceritakan kisah sekolahnya, teman-temannya. Bagaimana ia mendapat pujian setiap hari dari guru-gurunya. Akbar memang anak hebat, tentu sebab diasuh oleh wanita sehebat Alya.Perlahan suara Akbar menghilang. Pikiranku kembali terlempar pada Alya. Berbagai pertanyaan seperti diurutkan dalam benak. Apakah Alya sudah membaca surat dari Mama? Tapi kenapa sikapnya seolah masih begitu memendam am
Kami sampai di rumah saat senja mulai melukis langit. Indah, aku jadi terkenang masa-masa dimana kerap melukis cinta bersama Mas Radit di senja hari. Ah, andai kami masih bersama, tentu kini aku ada dalam pelukannya. Melukis cinta yang tiap hari kian memupuk. Astaghfirullah! Kugeleng-gelengkan kepala mengusir bayang Mas Radit dalam benak."Ini rumahmu, Al?"Pertanyaan Dokter Adam sedikit membuatku terhenyak. Ternyata kami sudah sampai di depan pagar rumah."Iya, Dok."Tatapan kami kembali bertemu sejenak. Sepertinya dia gugup, cepat dia kembali menoleh ke depan."Terima kasih ya Dok, atas semua bantuannya hari ini," ucapku sebelum menuruni mobilnya. Dia hanya menjawab dengan senyuman yang tampak pada cermin depan. Tapi apa yang dilakukannya hari ini, mampu mengganti semua kelakuan buruknya padaku kemarin hari. Setidaknya aku tahu, ada sisi lain dalam hati lelaki itu selain galak.Kututup pintu perlahan, tidak ingin membangunkan Aisyah yang sudah tertidur di kursi depan. Pelan pula b
"Jaga kesehatanmu, Dit. Jangan terlalu lelah."Andre, dokter sekaligus sahabatku berpesan entah untuk keberapa kalinya dalam sebulan ini. Aku hanya mengangguk, tanpa banyak membantah. Kenyataannya memang bulan ini kondisi kesehatanku begitu drop. Bolak balik Jakarta-Kudus demi menemui Alya, membuat waktu yang seharusnya kugunakan untuk beristirahat berganti menjadi waktu untuk mengemudi.Kuusap wajah pelan. Bimbang, sebenarnya ada yang lebih penting dari sekadar menjaga kesehatan. Yaitu Alya. Haruskah kuceritakan pada Andre bagaimana kegigihanku selama ini telah berbuah hasil. Bukankah selama ini Andrew pula yang paling tahu bagaimana usaha yang kulakukan untuk bertemu Alya, dimana tak pernah satu kali pun usaha itu ditanggapi.Baik, aku akan jujur, Andre berhak tahu perkembangan ini. Kulirik dia sekejap."Dre ...."Dia menoleh."Aku memintanya kembali."Sejenak suasana hening, kuperhatikan kembali dua bola mata milik Andre. Dia sering berbohong, terlebih untuk menyemangatiku perihal
POV AlyaHujan turun begitu deras, bulir-bulir sebesar biji jagung kini menghujam tubuh. Seharusnya tadi aku bisa lebih cepat sampai jika saja tidak ada pergantian ruangan tempat berdinas. Sedikit tak menyangka jika sekarang durasi bertemu dokter Adam akan semakin bertambah, dengan ditempatkannya aku di ruang ICU. Jika diibaratkan rumah, ICU adakah kamarnya.Fuih!Hari ini pun sudah beberapa kali aku bertemu dengannya. Sedikit jengkel jika Dokter Tania ada juga di ruangan itu. Sepertinya perempuan tersebut menyengaja menampakkan kedekatannya dengan dokter Adam. Bahkan tadi aku melihat dengan mata kepala sendiri, Dokter Tania menyelipkan tangan pada lengan dokter Adam. Apa lelaki itu nggak sadar jika sedang didekati? Oh, pasti sadar donk, namanya sama-sama suka.Ck! Biarlah! Apa peduliku.Sudah sepuluh menit lamanya menerobos hujan, mata sudah terasa perih. Bulir-bulir hujan kian membesar, semakin menyiksa ketika menghantam tubuh. Tak seperti biasa, jarak Jati-Demak, terasa sangat pan
"Ayo meneran Mbak, sedikit lagi. Tarik napasnya, yuk. Bismillah."Sekuat tenaga kukumpulkan kekuatan untuk meneran. Untuk ketiga kali, akhirnya rasa ini kembali menghampiri. Rasanya mustahil manusia sanggup terbiasa dengan penderitaan sepedih ini. Namun, dengan sang kekasih di sisi yang terus menyemangati, mengusap peluh di kening, menggosok punggung yang terasa sakit, semua akan terlewati dengan mudah. Ya, kali ini ada Mas Radit yang menemaniku melewati semuanya.Dia yang sedari awal mulai kontraksi terus menjadi tempat tangan ini menggenggam. Dia yang sedari awal bahkan rela meninggalkan segalanya demi mendampingiku. Aku sangat bersyukur di persalinan ketiga ini, Allah memberi kesempatan merasakan dampingan seorang suami dalam bertarung antara hidup dan mati. Demi melahirkan seorang bayi ke dunia."Ayo Mbak, sedikit lagi.""Bismillah."Doa dan zikir menggema hingga akhirnya, tangisan bayi terdengar membelah kesunyian malam kala itu. Bidan yang menolong segera mengikat tali pusat l
[Saya sudah dapat informasi siapa yang membawamu pulang malam itu, Al]Sebuah pesan dari Nina berhasil membuat dada ini bergemuruh hebat. Segera aku melakukan panggilan ke nomor sahabatku itu.[Hallo, Nin.][Iya, Al.][Siapa Nin orangnya?][Resty, mantan pacarnya Tama dulu, pas masih di Poltekkes.][Hah? Benarkah, Nin?][Iya, benaran. Suamiku yang lihat. Ni aku kirim alamat rumahnya ya. Biar kamu bisa langsung samperin orangnya.][Oh iya, Nin. Makasih ya.][Sama-sama.]Setelah menutup telpon, langsung saja kulakukan panggilan pada ponselnya Mas Radit, siapa tahu Mas Radit sedang tidak ada kegiatan dan bisa mengantarkanku ke sana.[Iya, Sayang?][Mas, barusan Nina hubungi Alya, katanya yang bawa saya malam itu mantan pacarnya Mas Tama.][Benar, Yank?][Iya, Mas. Nina juga kasih alamat rumah, supaya kita bisa tanyakan langsung sama orang itu.][Hm, tapi Mas masih ada pasien ni. Setengah jam lagi Mas pulang, ya.][Iya, Mas. Alya tunggu.]*Seperti ucapannya, setengah jam dari kumenutup t
"Yah, aku rindu sama Ayah Radit."Ucapan Akbar membuat mulut ini terhenti dari membacakan sirah nabi. Kututup buku serta merespon apa yang sedang dirasakan anak sambungku itu."Kalau Akbar rindu sama Almarhum Ayah, berarti Akbar harus ngirim doa. Minimal Alfatihah. Biar Ayah merasa bahagia karena sudah meninggalkan anak yang shaleh di dunia ini."Akbar mengangguk lalu mengangkat kedua tangan. Pelan lafaz surat Al-Fatihah mengalun dari bibirnya."Yah, apa ayah Radit bisa melihatku di sana?"Lagi-lagi aku dibuat bergetar dengan pertanyaan Akbar. Sekian lama menikahi ibunya, baru malam ini dia bercerita tentang almarhum sang ayah. Ternyata benar seperti kata Alya, Akbar adalah bocah yang sangat pintar memanage perasaan."Tentu bisa Sayang, makanya Akbar harus jadi anak baik, rajin shalat dan mengaji serta sayang sama Mama dan Dedek Maryam.""Aku udah ngelakuin semuanya, Yah.""Kalau gitu, pasti Ayah Radit sangat bangga pada Akbar.""Benar, Yah?""Iya, Sayang.""Akbar mau ngomong sama Mam
"Mas, ada flek ini." Alya berlari dari dalam kamar mandi sambil menunjuk sesuatu. Jantungku berdegup kuat menatap apa yang ada di tangan Alya. Fleknya lumayan banyak. Apakah ini efek dari berturut-turut bercocok tanam? Astaghfirullah! "Mas sih, lasak. Alya 'kan sudah ingatin." Dia merengut sambil merebahkan kepalanya di atas pundakku. Entah bagaimana jika istriku ini sedang menaruh kesal. Sebab yang aku tahu, saat kesal, Alya selalu menempel di tubuh ini. "Maaf ya, Mas janji nggak akan melakukannya lagi," ucapku terbata sambil mengelus pipinya Masih dengan rasa khawatir yang memenuhi rongga dada. Alya terlonjak dan menatapku seketika. Kenapa? Apa aku salah bicara? "Benar, Mas nggak akan melakukannya lagi? Sampai sembilan bulan?" Mataku berkedip cepat, melakukan apa? Sejenak kepala dengan cepat berpikir. Ketika sudah paham yang Alya maksud, jiwa ini malah bergidik ngeri. Tidak melakukan selama sembilan bulan? Hmm, lumayan lama. "Maksud Mas, nggak akan lasak lagi jika kita sed
POV Radit***Oooeekkk!Oooeekkk!Sudah beberapa kali aku keluar masuk kamar mandi. Tiba-tiba perut ini terasa mulas, dan ingin mengeluarkan isinya. Tapi hingga berkali-kali kumuntahkan, tak ada satupun yang keluar dari lambung.Alya mengurut punggungku sambil membaluri dengan minyak telon. Eh, bau minyak itu malah membuatku kembali mual."Mas ...."Istriku menyentuh lengan ini saat diri sudah kembali rebah di atas ranjang. Jam baru menunjukkan pukul lima subuh."Iya, Yank."Aku memandanginya sambil mengelus pipi. Seharusnya dimana-mana kalau istri sedang hamil, dia akan muntah-muntah di pagi hari. Lalu seperti suami siaga lain, aku ada di sisinya untuk menyemangati dan mengurangi segala keluhan. Tapi yang terjadi pada kami? Alya malah yang harus melayaniku."Kayaknya Mas mengalami morning sickness deh."Dua bola mataku membelalak mendengar ucapannya."Masak iya kamu yang hamil Mas yang morning sickness?"Kedua sudut bibirnya kembali tertarik menjauh. Lalu dia memelukku."'Kan emang a
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Mata belum juga mau terpejam. Kulangkahkan kaki perlahan menuju kamar Akbar, rasa menuntun diri untuk kembali melihatnya. Pelan, aku membuka pintu. Tampak di mata, suamiku sedang duduk bersandar pada kepala ranjang. Di tangannya sebuah buku biografi Buya Hamka menemani.Tak berani masuk, aku menutup pintu dan memilih kembali ke kamar. Entah untuk pukul berapa, mata ini akhirnya terpejam juga.*Sebelum subuh, diri ini sudah lebih dahulu terjaga. Dapur masih sepi, bahkan kamar ART saja masih tertutup rapat. Kusiapkan sarapan istimewa untuk Mas Radit, hari ini dia harus mau berbicara. Akan kuberi perhatian lebih, dimulai dari segala persiapannya kerja, lanjut sarapan.Tepat saat azan berkumandang, aku menyerahkan sisa pekerjaan pada ART dan bergegas ke kamar Akbar. Pelan aku membuka pintu kamar anakku itu. Sesuai rencana, Mas Radit masih berbalut selimut. Aku mendekati ranjang lalu duduk di sisi suamiku tertidur.Pelan, kukecup keningnya sam
Tanpa mengulur waktu, lekas aku menelpon Mas Radit. Jantung sudah tidak bisa kugambarkan lagi dentumannya. Panggilan pertamaku direject.Tak putus asa, aku kembali menelpon. Direject lagi.Ya Allah ...Kucoba ketiga kali, tetap direject. Tak lagi menelpon, kini aku mengetik sebuah pesan.[Tolong angkat telponnya, Mas. Alya bisa jelaskan semua ini.]Tak ada balasan. Kini ponselnya malah tidak lagi aktif. Semua terlambat. Andai dari semalam aku jujur, tentu tak akan seperti ini kejadiannya.Tubuhku terduduk lemah di atas ranjang. Sejenak, anganku terlempar pada kejadian enam tahun silam. Seperti ada yang menghunus jantung ini. Sakitnya terasa hingga ke sekujur tubuh. Ya Allah, tolong beri kesempatan bagi hamba untuk menjelaskan semuanya pada Mas Radit.*Akbar turun di depan gerbang sekolah. Meski tak ingin melakukan kegiatan apapun tersebab hati masih dipenuhi kekhawatiran, tapi aktifitas tidak boleh berhenti. Akbar harus tetap ke sekolah. Masalah yang sedang kuhadapi dengan Mas Radit
Mata kami bertemu sejenak hingga aku lepas kontrol dan berlari menuju pintu. Kugedor-gedor pintu kamar sambil berteriak minta tolong."Tolong! Buka pintunya!"Seperti kesurupan, aku berlari mencari celah agar bisa keluar. Tapi gerakanku tak mendapat cegahan. Sedang biasa, jika seorang lelaki hendak memperkosa, pasti dia akan langsung menyerang. Kenapa Mas Tama justru tidak begitu?Lelah berlari, akhirnya aku memilih berhenti, duduk kembali di atas ranjang dengan terengah-engah.Kumenoleh menatap Mas Tama yang ... sudah selesai berpakaian."Udah lari-larinya? Kamu lucu, Al."Dia terkekeh-kekeh menahan tawa. Sedang di sini, aku masih dengan emosi yang tak terkendali."Kenapa saya ada di sini? Mas Tama udah apain saya?"Dia menoleh, membuat degup jantung ini kian menyentak."Saat kamu keluar dari rumah Nina, saya ngikuti. Terus kamu dibawa oleh seorang wanita yang saya nggak kenal siapa. Dan di tengah jalan, mobilmu diberhentikan. Dia keluar untuk kemudian menaiki taksi."Dua bola matak
Selepas kepergian Mas Radit, meski tak bergairah aku tetap harus menjalani semua aktivitas seperti biasa. Mengurus dua anak serta membantu di rumah ibu mertua sebisa mungkin. Juga tak lupa mengawasi rumah almarhum Mas Radit yang kini ditempati oleh Ina beserta seorang sanak keluarganya. Hingga malam tiba, aku sangat terkejut dengan mampirnya sebuah nomor yang tak lain adalah nomor ponsel Nina, sahabat karibku semasa kuliah dahulu.[Assalamualaikum, Al.][Waalaikum salam.][Apa kabar, Al?][Alhamdulillah sehat, Nin. Kamu sekeluarga gimana?][Alhamdulillah, kami semua sehat. Al, besok malam ada kegiatan apa?][Kegiatan? Kalau malam sih nggak pernah ada kegiatan.][Datang ke acara syukuran kecil-kecilan di rumahku ya, Al. Acaranya habis isya, ajak suami dan anak-anakmu juga. Biar bisa saling kenal.][Suamiku lagi tugas luar kota, Nin.][Yah, padahal pengen sekali ketemu sama kamu, Al. Kemarin di acara reuni kampus juga kamu nggak datang.]Suara Nina di ujung telpon terdengar pilu. Seben