POV Bik Ina
Pagi ini saya ditugaskan Mbak Alya mengawasi mantan suaminya. Sebenarnya saya tidak menyukai pekerjaan ini, tapi demi beliau yang teramat saya sayangi, saya bersedia melakukannya.
Sudah lima tahun saya bekerja di rumah majikan saya ini, tepat setelah beliau melahirkan anak pertamanya bernama Akbar.
Saat itu beliau tinggal di rumah eyangnya di Kota Malang. Yang saya tahu, beliau baru ditalak oleh suami dan diusir oleh ibu mertuanya.
Seharusnya pula, beliau tinggal bersama ibu kandung yang berposisi di Kudus. Tapi kenyataan, di daerah itu pula sudah tersiar kabar bahwa beliau mengandung anak hasil hubungan terlarang.
Saya tahu benar bagaimana kehidupan beliau. Kepahitan serta kepiluan yang beliau rasa. Selama masih mengandung, beliau setiap saat dalam keadaan murung, selalu menanti mantan suaminya datang untuk merujuk. Tapi ternyata, lelaki itu baru datang setelah Mbak Alya melahirkan.
Entah apa sebenarnya yang terjadi diantara mereka, tapi satu yang saya tahu, bahwa mereka bercerai secara tidak wajar.
Setelah Akbar berusia dua bulan, Mbak Alya memutuskan untuk kembali ke rumah ibunya. Disitulah saya meminta ikut bersama beliau. Saya ingin mengabdikan diri pada wanita setegar dan sesabar dirinya.
Alhamdulillah, hingga sekarang saya masih sangat betah melayani dan menjaga beliau serta anak satu-satunya yang beliau punya.
Selama saya di sini, Mas Radit kerap datang berkunjung. Normalnya sebulan sekali, pernah sebulan dua kali. Tapi satu kali pun Mbak Alya tidak mau menemuinya. Saya yang bertugas membawa Akbar untuk menemui lelaki itu.
Setahun belakangan ini justru hal aneh kembali terjadi. Beberapa kali saya ketemui, yang datang berkunjung tidak hanya Mas Radit seorang diri, tapi ada istri mudanya dan satu orang lagi. Entah siapa orang itu, sebab orang tersebut tidak pernah turun dari mobil.
Mas Radit meski saya baca sekilas adalah yang paling bersalah dalam hal ini, tapi beliau tidak lupa akan tanggung jawabnya. Setiap bulan, beliau tidak pernah lupa memberikan uang belanja yang ia titipkan melalui saya untuk Akbar. Tapi ya begitu, sepertinya luka hati majikan saya belum ada penawarnya.
Dia tidak pernah menerima sekalipun pemberian tersebut. Saya yang kerap ia minta untuk menyedekahkan uang tersebut ke panti atau tempat rumah ibadah.
Miris! Iya, saya sangat menyayangkan apa yang sudah terjadi diantara mereka. Mas Radit dan Mba Alya, kedua-duanya jika saya lihat, masih sama-sama saling mencintai. Lalu mengapa mereka bisa berpisah, adalah sebuah pertanyaan besar yang menjadi tanda tanya untuk saya pribadi.
*
"Mas Radit mau kemana?"
Pelan saya bertanya, melihat lelaki itu sudah rapi dan hendak memasuki kamar Akbar.
"Saya mau pamit, Bik. Tapi sebelumnya, ijinkan saya bertemu Akbar terlebih dahulu."
"Bukannya Mas Radit masih sakit?"
"Saya sudah tidak apa-apa Bik, barusan minum obat yang diberikan Alya. In Syaa Allah nanti kurang. Boleh 'kan Bik, saya masuk sebentar?"
Sebenarnya ini menyalahi janji saya pada Mbak Alya, tapi melihat lelaki ini, rasanya tak tega jika harus melarangnya bertemu dengan darah dagingnya sendiri.
"Yasudah monggo, Mas."
Pelan, ia masuk ke dalam, pintu tidak ditutupnya rapat. Menyisakan celah hingga saya bisa memantau kejadian di dalam sana.
Ia duduk di pinggir tubuh Akbar. Membelai lembut pucuk kepala lalu mencium kening bocah itu. Sekali terlihat ia mengusap mata, membuat saya tahu bahwa Mas Radit sedang menangis.
'Jika masih cinta, kenapa bercerai?'
Andai bisa saya tanyakan. Tapi untuk kesekian kali pertanyaan itu hanya akan tertahan di dalam dada.
Lelaki itu tiba-tiba bergerak, buru-buru saya menjauh.
"Bik, ini tolong berikan untuk Alya. Ini untuk Bibik."
Mas Radit mengarahkan dua amplop pada saya.
"Wah, jangan Mas."
"Tidak apa-apa, Bik. Terima saja. Ini tak seberapa dengan kebaikan Bibik pada Alya dan anak saya."
"Ini memang sudah tugas saya Mas, saya 'kan digaji."
"Itu gaji dari Alya, ini gaji dari saya. Terima ya, Bik."
Lama mata ini menatap amplop itu. Karena tak sabaran sebab tak jua saya ambil, akhirnya Mas Radit meraih jemari tangan saya lalu meletakkan uang itu diatasnya.
"Terima kasih, Mas."
"Sama-sama. Oya Bik, boleh saya tanya sesuatu sama Njenengan?"
"Punten, silahkan Mas."
"Selama enam tahun, baru kali ini saya diijinkan masuk terlalu jauh. Tapi saya sangat terkejut, saat mendapati foto saya ada di beberapa ruangan. Termasuk di kamar Radit. Apakah Bibik tahu, Alya pernah dekat dengan lelaki lain atau tidak?"
Wajah Mas Radit nampak serius. Saya jadi nggak tega jika tak menjawab pertanyaan itu.
"Kata Mbak Alya, semua itu ia lakukan supaya Den Akbar tahu siapa ayahnya. Kalau yang di luar ini, semua Akbar yang meminta digantung. Lihat saja, fotonya semua sama, hanya ukurannya yang berbeda. Mengenai kedekatan, sepertinya saya tidak pernah menemukan Mbak Alya dekat dengan lelaki manapun."
Terlihat wajah lelaki itu merona, seperti bahagia dengan kenyataan yang sampai ke telinganya.
"Kalau begitu saya pamit dulu, Bik."
"Tunggu sebentar Mas saya juga mau bertanya."
Lelaki itu berhenti melangkah.
"Apa wanita yang sering ikut bersama Mas saat berkunjung ke rumah ini, adalah istri Mas Radit sekarang?"
Waduh, lancangnya mulut ini. Tapi sungguh saya tak sanggup lagi memendam rasa penasaran.
"Bukan."
Mata ini tercengang, ingin bertanya lebih tapi Mas Radit keburu mengambil langkah. Cukup membuat misteri, sebenarnya ada apa diantara mereka. Jika bukan istri, lantas wanita itu siapanya Mas Radit?
*
Selepas kepergian Mas Radit, saya kembali mengerjakan tugas harian. Dimulai dari menyapu dan membereskan halaman belakangan.
Setelah membereskan perlengkapan kemah yang kotor karena percikan hujan. Lalu mulai mengutip sampah. Hingga sampai pada jendela kamar Mbak Alya. Mata saya sedikit memicing melihat sesuatu tergeletak di tanah tepat di bawah jendela kamar Mbak Alya yang tertutup.
Akhirnya saya berjalan hendak memungut, tapi apa yang saya lakukan terjeda sesaat. Rasa penasaran menuntun tangan ini untuk membuka amplop tersebut.
*
Assalamualaikum warahmatullahi Wabarakatuh.
Alya menantuku yang sangat saya hormati.
Bagaimana keadaanmu beserta cucu Mama? Semoga kalian selalu dalam lindungan Allah SWT. Tak dapat Mama gambarkan betapa rindu hati ini ingin sekali saja mengusap pipi Akbar, tapi apa daya, rasa malu karena ulah enam tahun silam masih begitu kentara.
Hingga di penghujung usia ini pun, langkah masih terasa berat untuk mengunjungi kalian.
Alya, sebelum Mama membuat pengakuan tentang semua yang pernah Mama perbuat padamu, ijinkan diri ini bersimpuh memohon maaf yang sedalam-dalamnya, atas semua fitnah yang pernah Mama perbuat di enam tahun silam.
Alya, Radit tidak bersalah Nak. Ia hanya korban keserakahan dan keegoisan diri Mama yang tidak menginginkan ada yang lebih ia cintai selain Mama. Jujur, mama cemburu melihat perlakuannya padamu. Ia mencintaimu lebih dari mencintai Mama.
Padahal mama adalah orang yang paling mencintainya. Sekalipun saat itu ayah Radit sendiri meminta agar Mama menggugurkan kandungan mama. Mama pertahankan ia, meski pada akhirnya mama harus mengandung seorang diri tanpa pengakuan dari lelaki yang sudah merebut kesucian Mama dengan paksa.
Alya, sejujurnya malam itu, Mama yang sudah bersekongkol dengan Kasim untuk membuat kamu seolah berselingkuh. Semua resiko Mama yang tanggung, termasuk pemecatan dan uang ganti rugi yang tiap bulan Mama kirimkan untuk Kasim. Semua Mama tanggung hingga terakhir ia tertabrak sebuah truk tahun lalu dan menutup usia karena kejadian itu.
Lalu, Mama pula yang telah memanas-manasi Radit hingga ia lepas kontrol dan mengucap kata talak padamu. Dan, mengenai surat cerai dari pengadilan, Mama yang sudah mengurus surat itu. Mama membohongimu dan Radit, Mama bilang kamu yang mendesak Mama agar meminta Radit menandatangani surat cerai itu.
Radit yang sedang dibakar api cemburu pada Kasim, langsung menandatangani tanpa membaca bahwa surat itu dikeluarkan pengadilan atas namanya.
Maafkan semua kesalahan Mama, Alya. Andai umur Mama panjang, hanya satu yang ingin Mama lakukan, yaitu bersujud di kakimu. Kesalahan Mama sudah terlalu besar padamu, tapi maafmu akan sangat membantu Mama jika memang benar sudah sampai waktunya Mama mengakhiri hidup di bumi ini.
Masih banyak yang ingin Mama ceritakan, tapi tangan ini sudah tidak kuasa untuk digerakkan. Enam bulan yang lalu, Mama divonis mengalami kanker hati stadium empat.
Mungkin ini adalah buah dari apa yang sudah Mama lakukan padamu dan Radit. Semoga masih ada waktu untuk kita bertemu. Mama begitu rindu ingin memeluk cucu, menantuku.
Sekian surat ini Mama tulis dengan linangan air mata penyesalan. Semoga masih terbuka pintu maaf untuk Mama di sisimu Alya.
Salam sayang
Mama mertua.
Wassalamualaikum warahmatullahi Wabarakatuh.
*
Kedua lutut ini terasa lemas, seakan kehilangan kekuatan untuk berdiri. Jadi seperti ini kisah hidup Mbak Alya dan Mas Radit. Ya Allah, kasihan sekali mereka.
Apakah Mbak Alya sudah membaca surat ini? Seharusnya jika sudah dibaca, maka sikap yang ditunjukkan bukan seperti sikapnya sekarang pada Mas Radit. Atau jangan-jangan?
***
Bersambung
"Alya."Langkahku terhenti, tatkala suara panggilan seseorang terdengar di belakang. Sejenak aku menoleh untuk memastikan siapa yang sudah memanggilku tersebut."Dokter Adam?"Duda sombong itu memanggilku? Nggak salah? Atas apa yang sudah ia lakukan tadi pagi, aku harus mengacuhkan panggilannya.Kubuang wajah, tak perduli. Langkahku tak terhenti walau sejenak."Alya."Kini dia berhasil menyeimbangkan posisinya denganku."Saya baru tahu, selain kurang hati-hati, kamu juga kurang bisa mendengar."Apa katanya? Kurang bisa mendengar?Baik akan saya layani segala keinginanmu, Dokter."Maksud Dokter apa? Apa kurang cukup mempermalukan saya di depan pasien tadi pagi? Saya ini manusia, punya hati, Dok."Lelaki itu terdiam."Jadi selain yang dua tadi, kamu juga mudah tersinggung."Aku mengeram di hadapannya. Kehentakkan dua tangan, lalu berlari menuju tempat parkiran. Dia hanya termanggu di tempatnya berdiri. Tanpa usaha untuk mengejar apalagi meminta maaf. Ingat, sampai kapanpun saya tidak a
Tak ingin peduli pada pesan terakhir yang dikirimkan dokter Adam ke ponselku. Aku kembali menapak kaki hingga ke kantin. Suasana di tempat itu masih lenggang dari pengunjung. Hanya beberapa bangku yang terisi. Kupilih duduk di kursi dekat taman. Ingatan ini sejenak terlempar pada dokter paru yang baru berdinas di rumah sakit sekitar enam bulan lalu. Selama ini memang kami jarang bertemu. Sesekali hanya berpas-pasan di koridor atau di ruangan rawatan saat aku mengantar pasien untuk rawat inap. Selebihnya pernah dua kali berada dalam satu ruang rapat. Artinya aku dan dia memang tidak pernah terlibat pertikaian, tapi kenapa sikapnya seolah sangat tidak menyukaiku?Apa benar cuma karena salah pasang infus kemarin? Masak iya sampai ngatain diri ini tidak beradap.Aneh! Bikin pusing.Saat kedua tangan baru membuka bungkusan nasi gurih di atas meja, seketika pandangan teralih pada beberapa meter ke depan.Yang baru saja menjadi topik dalam benak melangkah mendekat bersama beberapa staf UGD
Dulu aku mengikhlaskan Mas Radit untuk dimadu dengannya, tapi apa balasan yang kuterima? Dia mencampakkanku sedemikian lihai!"Alya.***Aku menangis sejadi-jadinya di dalam kamar. Kubiarkan air mata yang selama ini hanya boleh menetes tersebab mengingat dosa, kali ini berderai mengingat mantan. Enam tahun kugunakan seluruh usiaku untuk melupakan masa-masa indah bersamanya, tapi sungguh aku tak bisa. Tak pernah dalam hidup dia menyakitiku melainkan oleh fitnah yang ditimbulkan oleh ibunya. Dan hari ini, aku sudah membiarkan tanganku menyentuhnya kembali. Aku bersalah ya Allah. Dia yang tak boleh lagi kusentuh!Allah ...Harusnya memang tak kubiarkan dia terlalu jauh kembali.Kejadian ini semakin menyadarkanku, bahwa setegar apapun diri ini. Aku tetaplah wanita.Satu jam kubiarkan menangis tanpa ada seorangpun yang mengusik. Memasuki menit di jam kedua, kamarku diketuk pelan. Lalu Akbar muncul di sebaliknya.Kubalikkan tubuh menghadap tembok, menutupi sisa-sisa air mata dari pengliha
POV RaditBagi dunia, kamu mungkin hanya satu orang.Tapi bagiku, kamu adalah dunia.Enam tahun tanpamu, aku kehilangan duniaku, Al.Kembalilah, aku butuh kamu sebagai tempatku berpijak.***Kubaringkan kepala sembari menatap langit-langit kamar, bayang Alya menari-nari di sana. Ah, andai waktu bisa kembali, aku ingin menarik ulang kata-kataku. Sungguh aku masih sangat mencintainya. Sedikitpun tidak ada yang berubah.Enam tahun, jika ia beri sedikit saja kesempatan untuk kujelaskan semuanya. Tentu hidup kami tidak akan seperti ini, tentu tidak ada rindu yang tersia-siakan tanpa bisa berbagi. Semua bahkan terlewati dengan terus membawa duka. Ibarat kata, kami berada di dua dunia. Hanya tau tanpa pernah bertemu.Kulirik surat wasiat Mama sebelum beliau menutup mata. Harusnya mama meminta agar aku membacanya bersama Alya. Huh, apakah Alya sudah membaca surat miliknya, kira-kira apa yang Mama tuliskan?Aku hanya bisa membayangkan, mungkin lebih baik kubaca surat ini terlebih dahulu. Kub
Sudah satu jam sejak kepergian Akbar bersama Mas Radit, aku terduduk dengan pikiran penuh tanya di sini. Tak tahan terus didera rasa penasaran, akhirya kuputuskan untuk menghubungi Bik Ina.[Assalamualaikum Mbak Alya.][Waalaikum salam Bik.]Sejenak bibirku kelu, entah apa yang ingin kutanyakan pada wanita itu. Perihal keadaan Mas Radit, tentu aneh. Alangkah lebih beralasan jika yang kutanyakan adalah Akbar.[Akbar bagaimana, Bik?][Oh, Den Akbar baik Mbak. Lagi asyik main air sama Bapake.][Air? Emang dimana ini Bik?][Den Akbar minta ke Waterboom Mbak, yang di Dawe itu.][Wah, lumayan jauh 'kan?][Kata Mas Radit cuma sebentar.][Sebentar, pasti lupa waktu itu kalau udah di air. Bibik ingatin, ya. Kalau udah jam limaan, segera udahan.][Iya, nanti Bibik ingatin, Mbak.]Kututup telpon dengan perasaan gusar, dasar Mas Radit, sekalinya dikasih, malah dibawa ke tempat nggak aman begitu. Akbar 'kan punya riwayat alergi, gimana kalau kelamaan mandi terus alerginya kambuh.Kulirik terus jam
POV RaditMobil melaju dengan kecepatan sedang, sesuai permintaan Akbar, hari ini kami akan mengunjungi Waterboom Mulia Kudus. Banyak pertanyaan yang terlontar dari mulut mungil anak semata wayangku. Tapi semua tak khusuk kutanggapi. Pikiran ini masih saja dipenuhi bayang-bayang Alya. Sentuhan kembali tangannya pada pipi, sungguh aku menanti hal ini semenjak enam tahun yang lalu. Aku merindumu Al. Tendang aku sepuasnya, tapi berjanjilah bahwa kau akan kembali.Pandangan ini sedikit kabur, serasa ada yang memenuhi pelupuk mata."Yah ....""Iya, Nak?"Suara Akbar membuatku terhenyak. Kembali dia menceritakan kisah sekolahnya, teman-temannya. Bagaimana ia mendapat pujian setiap hari dari guru-gurunya. Akbar memang anak hebat, tentu sebab diasuh oleh wanita sehebat Alya.Perlahan suara Akbar menghilang. Pikiranku kembali terlempar pada Alya. Berbagai pertanyaan seperti diurutkan dalam benak. Apakah Alya sudah membaca surat dari Mama? Tapi kenapa sikapnya seolah masih begitu memendam am
Kami sampai di rumah saat senja mulai melukis langit. Indah, aku jadi terkenang masa-masa dimana kerap melukis cinta bersama Mas Radit di senja hari. Ah, andai kami masih bersama, tentu kini aku ada dalam pelukannya. Melukis cinta yang tiap hari kian memupuk. Astaghfirullah! Kugeleng-gelengkan kepala mengusir bayang Mas Radit dalam benak."Ini rumahmu, Al?"Pertanyaan Dokter Adam sedikit membuatku terhenyak. Ternyata kami sudah sampai di depan pagar rumah."Iya, Dok."Tatapan kami kembali bertemu sejenak. Sepertinya dia gugup, cepat dia kembali menoleh ke depan."Terima kasih ya Dok, atas semua bantuannya hari ini," ucapku sebelum menuruni mobilnya. Dia hanya menjawab dengan senyuman yang tampak pada cermin depan. Tapi apa yang dilakukannya hari ini, mampu mengganti semua kelakuan buruknya padaku kemarin hari. Setidaknya aku tahu, ada sisi lain dalam hati lelaki itu selain galak.Kututup pintu perlahan, tidak ingin membangunkan Aisyah yang sudah tertidur di kursi depan. Pelan pula b
"Jaga kesehatanmu, Dit. Jangan terlalu lelah."Andre, dokter sekaligus sahabatku berpesan entah untuk keberapa kalinya dalam sebulan ini. Aku hanya mengangguk, tanpa banyak membantah. Kenyataannya memang bulan ini kondisi kesehatanku begitu drop. Bolak balik Jakarta-Kudus demi menemui Alya, membuat waktu yang seharusnya kugunakan untuk beristirahat berganti menjadi waktu untuk mengemudi.Kuusap wajah pelan. Bimbang, sebenarnya ada yang lebih penting dari sekadar menjaga kesehatan. Yaitu Alya. Haruskah kuceritakan pada Andre bagaimana kegigihanku selama ini telah berbuah hasil. Bukankah selama ini Andrew pula yang paling tahu bagaimana usaha yang kulakukan untuk bertemu Alya, dimana tak pernah satu kali pun usaha itu ditanggapi.Baik, aku akan jujur, Andre berhak tahu perkembangan ini. Kulirik dia sekejap."Dre ...."Dia menoleh."Aku memintanya kembali."Sejenak suasana hening, kuperhatikan kembali dua bola mata milik Andre. Dia sering berbohong, terlebih untuk menyemangatiku perihal
"Ayo meneran Mbak, sedikit lagi. Tarik napasnya, yuk. Bismillah."Sekuat tenaga kukumpulkan kekuatan untuk meneran. Untuk ketiga kali, akhirnya rasa ini kembali menghampiri. Rasanya mustahil manusia sanggup terbiasa dengan penderitaan sepedih ini. Namun, dengan sang kekasih di sisi yang terus menyemangati, mengusap peluh di kening, menggosok punggung yang terasa sakit, semua akan terlewati dengan mudah. Ya, kali ini ada Mas Radit yang menemaniku melewati semuanya.Dia yang sedari awal mulai kontraksi terus menjadi tempat tangan ini menggenggam. Dia yang sedari awal bahkan rela meninggalkan segalanya demi mendampingiku. Aku sangat bersyukur di persalinan ketiga ini, Allah memberi kesempatan merasakan dampingan seorang suami dalam bertarung antara hidup dan mati. Demi melahirkan seorang bayi ke dunia."Ayo Mbak, sedikit lagi.""Bismillah."Doa dan zikir menggema hingga akhirnya, tangisan bayi terdengar membelah kesunyian malam kala itu. Bidan yang menolong segera mengikat tali pusat l
[Saya sudah dapat informasi siapa yang membawamu pulang malam itu, Al]Sebuah pesan dari Nina berhasil membuat dada ini bergemuruh hebat. Segera aku melakukan panggilan ke nomor sahabatku itu.[Hallo, Nin.][Iya, Al.][Siapa Nin orangnya?][Resty, mantan pacarnya Tama dulu, pas masih di Poltekkes.][Hah? Benarkah, Nin?][Iya, benaran. Suamiku yang lihat. Ni aku kirim alamat rumahnya ya. Biar kamu bisa langsung samperin orangnya.][Oh iya, Nin. Makasih ya.][Sama-sama.]Setelah menutup telpon, langsung saja kulakukan panggilan pada ponselnya Mas Radit, siapa tahu Mas Radit sedang tidak ada kegiatan dan bisa mengantarkanku ke sana.[Iya, Sayang?][Mas, barusan Nina hubungi Alya, katanya yang bawa saya malam itu mantan pacarnya Mas Tama.][Benar, Yank?][Iya, Mas. Nina juga kasih alamat rumah, supaya kita bisa tanyakan langsung sama orang itu.][Hm, tapi Mas masih ada pasien ni. Setengah jam lagi Mas pulang, ya.][Iya, Mas. Alya tunggu.]*Seperti ucapannya, setengah jam dari kumenutup t
"Yah, aku rindu sama Ayah Radit."Ucapan Akbar membuat mulut ini terhenti dari membacakan sirah nabi. Kututup buku serta merespon apa yang sedang dirasakan anak sambungku itu."Kalau Akbar rindu sama Almarhum Ayah, berarti Akbar harus ngirim doa. Minimal Alfatihah. Biar Ayah merasa bahagia karena sudah meninggalkan anak yang shaleh di dunia ini."Akbar mengangguk lalu mengangkat kedua tangan. Pelan lafaz surat Al-Fatihah mengalun dari bibirnya."Yah, apa ayah Radit bisa melihatku di sana?"Lagi-lagi aku dibuat bergetar dengan pertanyaan Akbar. Sekian lama menikahi ibunya, baru malam ini dia bercerita tentang almarhum sang ayah. Ternyata benar seperti kata Alya, Akbar adalah bocah yang sangat pintar memanage perasaan."Tentu bisa Sayang, makanya Akbar harus jadi anak baik, rajin shalat dan mengaji serta sayang sama Mama dan Dedek Maryam.""Aku udah ngelakuin semuanya, Yah.""Kalau gitu, pasti Ayah Radit sangat bangga pada Akbar.""Benar, Yah?""Iya, Sayang.""Akbar mau ngomong sama Mam
"Mas, ada flek ini." Alya berlari dari dalam kamar mandi sambil menunjuk sesuatu. Jantungku berdegup kuat menatap apa yang ada di tangan Alya. Fleknya lumayan banyak. Apakah ini efek dari berturut-turut bercocok tanam? Astaghfirullah! "Mas sih, lasak. Alya 'kan sudah ingatin." Dia merengut sambil merebahkan kepalanya di atas pundakku. Entah bagaimana jika istriku ini sedang menaruh kesal. Sebab yang aku tahu, saat kesal, Alya selalu menempel di tubuh ini. "Maaf ya, Mas janji nggak akan melakukannya lagi," ucapku terbata sambil mengelus pipinya Masih dengan rasa khawatir yang memenuhi rongga dada. Alya terlonjak dan menatapku seketika. Kenapa? Apa aku salah bicara? "Benar, Mas nggak akan melakukannya lagi? Sampai sembilan bulan?" Mataku berkedip cepat, melakukan apa? Sejenak kepala dengan cepat berpikir. Ketika sudah paham yang Alya maksud, jiwa ini malah bergidik ngeri. Tidak melakukan selama sembilan bulan? Hmm, lumayan lama. "Maksud Mas, nggak akan lasak lagi jika kita sed
POV Radit***Oooeekkk!Oooeekkk!Sudah beberapa kali aku keluar masuk kamar mandi. Tiba-tiba perut ini terasa mulas, dan ingin mengeluarkan isinya. Tapi hingga berkali-kali kumuntahkan, tak ada satupun yang keluar dari lambung.Alya mengurut punggungku sambil membaluri dengan minyak telon. Eh, bau minyak itu malah membuatku kembali mual."Mas ...."Istriku menyentuh lengan ini saat diri sudah kembali rebah di atas ranjang. Jam baru menunjukkan pukul lima subuh."Iya, Yank."Aku memandanginya sambil mengelus pipi. Seharusnya dimana-mana kalau istri sedang hamil, dia akan muntah-muntah di pagi hari. Lalu seperti suami siaga lain, aku ada di sisinya untuk menyemangati dan mengurangi segala keluhan. Tapi yang terjadi pada kami? Alya malah yang harus melayaniku."Kayaknya Mas mengalami morning sickness deh."Dua bola mataku membelalak mendengar ucapannya."Masak iya kamu yang hamil Mas yang morning sickness?"Kedua sudut bibirnya kembali tertarik menjauh. Lalu dia memelukku."'Kan emang a
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Mata belum juga mau terpejam. Kulangkahkan kaki perlahan menuju kamar Akbar, rasa menuntun diri untuk kembali melihatnya. Pelan, aku membuka pintu. Tampak di mata, suamiku sedang duduk bersandar pada kepala ranjang. Di tangannya sebuah buku biografi Buya Hamka menemani.Tak berani masuk, aku menutup pintu dan memilih kembali ke kamar. Entah untuk pukul berapa, mata ini akhirnya terpejam juga.*Sebelum subuh, diri ini sudah lebih dahulu terjaga. Dapur masih sepi, bahkan kamar ART saja masih tertutup rapat. Kusiapkan sarapan istimewa untuk Mas Radit, hari ini dia harus mau berbicara. Akan kuberi perhatian lebih, dimulai dari segala persiapannya kerja, lanjut sarapan.Tepat saat azan berkumandang, aku menyerahkan sisa pekerjaan pada ART dan bergegas ke kamar Akbar. Pelan aku membuka pintu kamar anakku itu. Sesuai rencana, Mas Radit masih berbalut selimut. Aku mendekati ranjang lalu duduk di sisi suamiku tertidur.Pelan, kukecup keningnya sam
Tanpa mengulur waktu, lekas aku menelpon Mas Radit. Jantung sudah tidak bisa kugambarkan lagi dentumannya. Panggilan pertamaku direject.Tak putus asa, aku kembali menelpon. Direject lagi.Ya Allah ...Kucoba ketiga kali, tetap direject. Tak lagi menelpon, kini aku mengetik sebuah pesan.[Tolong angkat telponnya, Mas. Alya bisa jelaskan semua ini.]Tak ada balasan. Kini ponselnya malah tidak lagi aktif. Semua terlambat. Andai dari semalam aku jujur, tentu tak akan seperti ini kejadiannya.Tubuhku terduduk lemah di atas ranjang. Sejenak, anganku terlempar pada kejadian enam tahun silam. Seperti ada yang menghunus jantung ini. Sakitnya terasa hingga ke sekujur tubuh. Ya Allah, tolong beri kesempatan bagi hamba untuk menjelaskan semuanya pada Mas Radit.*Akbar turun di depan gerbang sekolah. Meski tak ingin melakukan kegiatan apapun tersebab hati masih dipenuhi kekhawatiran, tapi aktifitas tidak boleh berhenti. Akbar harus tetap ke sekolah. Masalah yang sedang kuhadapi dengan Mas Radit
Mata kami bertemu sejenak hingga aku lepas kontrol dan berlari menuju pintu. Kugedor-gedor pintu kamar sambil berteriak minta tolong."Tolong! Buka pintunya!"Seperti kesurupan, aku berlari mencari celah agar bisa keluar. Tapi gerakanku tak mendapat cegahan. Sedang biasa, jika seorang lelaki hendak memperkosa, pasti dia akan langsung menyerang. Kenapa Mas Tama justru tidak begitu?Lelah berlari, akhirnya aku memilih berhenti, duduk kembali di atas ranjang dengan terengah-engah.Kumenoleh menatap Mas Tama yang ... sudah selesai berpakaian."Udah lari-larinya? Kamu lucu, Al."Dia terkekeh-kekeh menahan tawa. Sedang di sini, aku masih dengan emosi yang tak terkendali."Kenapa saya ada di sini? Mas Tama udah apain saya?"Dia menoleh, membuat degup jantung ini kian menyentak."Saat kamu keluar dari rumah Nina, saya ngikuti. Terus kamu dibawa oleh seorang wanita yang saya nggak kenal siapa. Dan di tengah jalan, mobilmu diberhentikan. Dia keluar untuk kemudian menaiki taksi."Dua bola matak
Selepas kepergian Mas Radit, meski tak bergairah aku tetap harus menjalani semua aktivitas seperti biasa. Mengurus dua anak serta membantu di rumah ibu mertua sebisa mungkin. Juga tak lupa mengawasi rumah almarhum Mas Radit yang kini ditempati oleh Ina beserta seorang sanak keluarganya. Hingga malam tiba, aku sangat terkejut dengan mampirnya sebuah nomor yang tak lain adalah nomor ponsel Nina, sahabat karibku semasa kuliah dahulu.[Assalamualaikum, Al.][Waalaikum salam.][Apa kabar, Al?][Alhamdulillah sehat, Nin. Kamu sekeluarga gimana?][Alhamdulillah, kami semua sehat. Al, besok malam ada kegiatan apa?][Kegiatan? Kalau malam sih nggak pernah ada kegiatan.][Datang ke acara syukuran kecil-kecilan di rumahku ya, Al. Acaranya habis isya, ajak suami dan anak-anakmu juga. Biar bisa saling kenal.][Suamiku lagi tugas luar kota, Nin.][Yah, padahal pengen sekali ketemu sama kamu, Al. Kemarin di acara reuni kampus juga kamu nggak datang.]Suara Nina di ujung telpon terdengar pilu. Seben