"Jangan pergi, Dek. Jangan siksa Mas lagi," ucapnya dengan mulai membuka mata. Jadi daritadi, dia berpura-pura tidur?
Kubuang napas sambil memendam kekesalan. Harus kuakui hati ini seolah tercerabut paksa mendengar permintaan yang kembali keluar dari mulut Mas Radit. Aku jadi tak mengerti, atau jangan-jangan dia amnesia hingga lupa bahwa yang memilih berpisah adalah dia, bukan diriku!
Jika banyak wanita akan mengamuk untuk meluapkan kekesalan hatinya, tapi tidak denganku. Dari dulu tabiat ini memang tidak berubah. Kukumpulkan kekuatan untuk hanya mengeluarkan suara.
"Mas sudah terlalu banyak berbicara semenjak kemarin. Saya minta Mas jangan sampai salah paham perihal keijinan untuk menginap di rumah ini. Semua saya lakukan demi Akbar."
Ucapanku pelan namun tegas. Dia tergerak, seperti hendak berbicara.
"Tolong beri Mas kesempatan untuk menjelaskan semuanya, Dek."
"Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, Mas. Talak yang Mas ucapkan enam tahun yang lalu sudah menjelaskan semuanya. Saya hanya minta agar Mas mau menghargai status kita sekarang. Betapa sulit saya menjelaskan pada Akbar tentang hubungan kita yang sudah terpisah ini. Saya harap Mas tidak mengotori pikiran Akbar dengan berbagai keinginan Mas sekarang."
Dia terlihat menelan saliva, sepertinya mulai pasrah. Sedang di sini, aku tak lagi kuasa berlama-lama. Dengan berat kembali kugerakkan langkah.
"Tunggu Dek, ijinkan Mas menjelaskan semuanya. Harusnya penjelasan ini sudah semenjak lima tahun yang lalu Mas berikan, tapi kamu terus menolak untuk bertemu."
Aku terdiam sejenak.
"Entah dari mana harus Mas memulai, tapi semua tak seperti yang ada dalam pikiranmu, Dek."
Aku mulai tak sabaran menghadapi sikapnya. Ternyata kalau sudah bertemu langsung rasanya memang berbeda. Jika dahulu saat hanya diam-diam menikmati wajahnya, aku merasa bahagia. Tapi kini, melihat dia banyak berbicara, hatiku malah sakit dan bertambah kecewa.
"Maaf Mas, saya sibuk! Saya harus berangkat kerja! Jika sudah sehat, saya harap Mas segera meninggalkan rumah ini!"
Aku berlalu dari kamar. Kesempatan sudha pernah kuberikan baginya. Bukankah masa iddahku cukup lama, sebab diri ini dicerai saat sedang hamil. Kemana dirinya, bukan kata rujuk yang kuterima tetapi surat cerai.
Tak bisa kututupi rasa perih yang kini menghujam dada. Dia bilang aku sudah menyiksanya? Apa dia pikir selama ini aku bahagia menjalani hidup.
Ah, dia mana tahu semua kepahitan yang kualami, jika tak kupikir masih ada cinta, sudah tertancap sebilah pisau menembus jantung Mas Radit.
Ternyata benar, berurusan dengan mantan tak boleh mengedepankan perasaan, tapi realita. Faktanya, Mas Radit sudah mencampakkan aku, lalu dia berbahagia hidup dengan istri dan anak-anaknya selama enam tahun.
Sedang aku? Remuk redam mencoba bangkit dan membangun kembali hati yang hancur karena ulahnya.
Kini, hatiku tidak boleh goyah. Maaf memang sudah kuberi, tapi untuk kembali sampai kapanpun tidak!
*
Akbar masih terlelap dalam tidur. Sejenak langkah terhenti untuk menelusuri tiap lekukan pada wajah anak semata wayangku itu. Rasa iba kembali menyusup dinding pertahanan hati, mengingat ia memiliki seorang ayah yang tidak bisa membersamai seumur usianya.
Tapi biar bagaimanapun, lelaki itu tetaplah harus menjadi panutan yang mesti dibanggakan Akbar. Terlepas dari perbuatannya dahulu padaku. Aku hanya ingin Akbar berbakti pada kedua orang tua. Sekalipun itu sudah tidak bersama.
Kukecup pelan kening anak semata wayangku. Lalu langkah kini tergerak untuk menuju rumah sakit. Banyak laporan yang harus diselesaikan hari ini. Sebab sudah tiga hari aku mengambil cuti tahunan.
Pasti hari ini akan menjadi hari melelahkan. Kutinggalkan Mas Radit di rumah, dengan memberi beberapa pesan pada Bik Ina. Terutama tentang pengawasan yang harus dilakukannya terkait keberadaan Mas Radit di dalam rumah.
Kuijinkan Bik Ina memberi Mas Radit sepiring nasi goreng beserta lauk. Dan meminta wanita itu agar memastikan bahwa Mas Radit harus sudah angkat kaki sebelum aku kembali ke rumah.
Sebelum berangkat, pikiran sejenak diajak menelusuri perihal surat dari mantan ibu mertua yang sudah kubuang. Ah, paling nanti akan masuk tong sampah ketika Bik Ina menyapu taman belakang. Aku tak ingin membacanya. Walau tak tahu kebenaran seratus persen, tapi aku bisa menebak surat itu isinya permintaan maaf karena sudah memfitnahku dahulu. Dan ternyata, aku telah lebih dahulu memaafkannya sebelum surat ini sampai.
*
Sepanjang perjalanan, pikiran tak henti tertuju pada rumah. Mengetahui kabar Mas Radit dan Akbar sekarang menjadi hal utama yang kuingin segera sampai.
Bagaimana keadaannya setelah kutinggalkan tadi pagi, apakah sakitnya sudah mereda, apakah dia sudah makan, ah kenapa aku justru mengkhawatirkannya.
CK!
Kuusir sekuat tenaga bayang-bayang Mas Radit. Sambil memendam beban di jiwa yang seberat bongkahan batu, langkah kupercepat mengingat waktu operan hanya tinggal sepuluh menit lagi.
Begitu kaki menginjak ruang UGD, ruangan tempatku mengabdi kini. Rasa penat kembali menghampiri. Ruangan penuh sesak oleh keluarga pasien. Sepertinya ada pasien kecelakaan yang baru saja sampai.
Semua bed penuh, perawat dan dokter jaga tampak sibuk. Tidak ada yang dalam posisi duduk.
"Al, tolong pasang infus pasien di bed sepuluh, ya."
Kak Sani kepala ruangan langsung membanjiriku perintah meski belum saatnya untuk diri ini berdinas. Tanpa membantah kuiikuti perintahnya, mulai menyiapkan perlengkapan untuk pemasangan infus. Kusibak tirai yang menjadi pembatas antar bilik.
Seorang pasien lelaki tua tampak tertidur dengan seorang keluarga menjaga di sampingnya.
"Tolong Mbak, Bapak susah bernapas."
"Kita pasang oksigen, ya."
Lelaki tua itu tampak kesulitan bernapas. Sesak. Kutarik selang oksigen lalu membantu memakaikan pada rongga hidungnya. Dia masih nampak kesulitan bernapas.
Kuatir posisi tempat tidur pada keadaan semi Fowler atau miring 45 derajat. Sesaknya sedikit terkendali.
"Sabar sebentar ya Pak, saya pasang infusnya dulu."
Dengan cepat kutarik selang infuset lalu menusukkan ke dalam botol cairan infus. Selanjutnya membuka jarum abocat untuk mulai melakukan penusukan. Setelah membendung lengan pasien, aku mulai mencari keberadaan vena yang lurus untuk kemudian melakukan penusukan.
Tiba-tiba ...
"Berapa lama kamu sudah magang di rumah sakit ini?"
Wajahku terangkat seketika. Seraut wajah menakutkan ada di depan mata. Kedua netra dr. Adam membidik mataku tajam.
"Saya karyawan, Dok."
"Saya kira siswa yang baru lepas almamater. Kamu lihat, banyak udara di sepanjang selang infus yang mau kamu pasang ke tubuh pasien. Apa kamu tahu jika gelembung udara dalam infus ini berbahaya jika masuk ke dalam darah secara langsung?"
Dia berbicara tanpa titik koma. Ya Rabbi, dokter galak ini tidak segan-segan menceramahiku di depan pasien.
"Udara yang masuk ke dalam pembuluh darah akan dianggap benda asing oleh tubuh, sehingga akan menimbulkan gumpalan darah. Jika menyumbat pembuluh darah jantung bisa terjadi serangan jantung, jika menyumbat ke paru-paru bisa terjadi gagal napas. Apa kamu tidak paham akan hal itu?"
Ya Allah, rasanya tulang belulang terlepas dari persendiannya. Kenapa bisa seceroboh ini?
"Jika semua perawat seperti kamu, bagaimana nasib ratusan pasien yang tidak tahu apa-apa ini?"
Aku menghela napas. Hatiku sakit, namun tak berani membantah. Teganya dokter itu menceramahiku di depan pasien.
Entah kenapa, tiba-tiba mata ini terasa berat.
"Segera buang udaranya baru lanjutkan pemasangan infus."
Aku tetap terdiam dan melakukan perintahnya. Kubuka pengunci selang untuk membebaskan semua gumpalan udara disepanjang selang tersebut.
Kemudian aku kembali mencari vena. Sepertinya pasien ini sudah dehidrasi, sulit sekali menemukan pembuluh darahnya.
Kubuka karet pembendung lalu hendak memasang sedikit ke atas. Tiba-tiba tangan dokter bermata coklat itu mencengkeram lengan pasien.
Tanpa berbicara, dia menunjuk pada sebuah urat yang samar mulai terlihat. Tak menoleh, aku melakukan penusukan pada vena tersebut.
'Alhamdulillah, berhasil.'
Sejenak kutatap matanya. Rasanya masih menaruh kesal karena kelakuannya padaku tadi, tapi yasudahlah. Tak ingin lagi berada satu kamar dengannya, langkahku tergerak untuk menyibak tirai lalu memilih ke kamar mandi.
Di dalam ruangan itu, sesuatu yang sedari tadi terasa berat di pelupuk akhirnya luruh. Entah siapa penyebabnya. Mungkin Mas Radit, mungkin juga dokter kurang adab itu. Ya Allah, kenapa Kau beri diri ini bertemu dengan lelaki seperti mereka.
***
Bersambung
POV Bik InaPagi ini saya ditugaskan Mbak Alya mengawasi mantan suaminya. Sebenarnya saya tidak menyukai pekerjaan ini, tapi demi beliau yang teramat saya sayangi, saya bersedia melakukannya.Sudah lima tahun saya bekerja di rumah majikan saya ini, tepat setelah beliau melahirkan anak pertamanya bernama Akbar. Saat itu beliau tinggal di rumah eyangnya di Kota Malang. Yang saya tahu, beliau baru ditalak oleh suami dan diusir oleh ibu mertuanya.Seharusnya pula, beliau tinggal bersama ibu kandung yang berposisi di Kudus. Tapi kenyataan, di daerah itu pula sudah tersiar kabar bahwa beliau mengandung anak hasil hubungan terlarang.Saya tahu benar bagaimana kehidupan beliau. Kepahitan serta kepiluan yang beliau rasa. Selama masih mengandung, beliau setiap saat dalam keadaan murung, selalu menanti mantan suaminya datang untuk merujuk. Tapi ternyata, lelaki itu baru datang setelah Mbak Alya melahirkan.Entah apa sebenarnya yang terjadi diantara mereka, tapi satu yang saya tahu, bahwa mereka
"Alya."Langkahku terhenti, tatkala suara panggilan seseorang terdengar di belakang. Sejenak aku menoleh untuk memastikan siapa yang sudah memanggilku tersebut."Dokter Adam?"Duda sombong itu memanggilku? Nggak salah? Atas apa yang sudah ia lakukan tadi pagi, aku harus mengacuhkan panggilannya.Kubuang wajah, tak perduli. Langkahku tak terhenti walau sejenak."Alya."Kini dia berhasil menyeimbangkan posisinya denganku."Saya baru tahu, selain kurang hati-hati, kamu juga kurang bisa mendengar."Apa katanya? Kurang bisa mendengar?Baik akan saya layani segala keinginanmu, Dokter."Maksud Dokter apa? Apa kurang cukup mempermalukan saya di depan pasien tadi pagi? Saya ini manusia, punya hati, Dok."Lelaki itu terdiam."Jadi selain yang dua tadi, kamu juga mudah tersinggung."Aku mengeram di hadapannya. Kehentakkan dua tangan, lalu berlari menuju tempat parkiran. Dia hanya termanggu di tempatnya berdiri. Tanpa usaha untuk mengejar apalagi meminta maaf. Ingat, sampai kapanpun saya tidak a
Tak ingin peduli pada pesan terakhir yang dikirimkan dokter Adam ke ponselku. Aku kembali menapak kaki hingga ke kantin. Suasana di tempat itu masih lenggang dari pengunjung. Hanya beberapa bangku yang terisi. Kupilih duduk di kursi dekat taman. Ingatan ini sejenak terlempar pada dokter paru yang baru berdinas di rumah sakit sekitar enam bulan lalu. Selama ini memang kami jarang bertemu. Sesekali hanya berpas-pasan di koridor atau di ruangan rawatan saat aku mengantar pasien untuk rawat inap. Selebihnya pernah dua kali berada dalam satu ruang rapat. Artinya aku dan dia memang tidak pernah terlibat pertikaian, tapi kenapa sikapnya seolah sangat tidak menyukaiku?Apa benar cuma karena salah pasang infus kemarin? Masak iya sampai ngatain diri ini tidak beradap.Aneh! Bikin pusing.Saat kedua tangan baru membuka bungkusan nasi gurih di atas meja, seketika pandangan teralih pada beberapa meter ke depan.Yang baru saja menjadi topik dalam benak melangkah mendekat bersama beberapa staf UGD
Dulu aku mengikhlaskan Mas Radit untuk dimadu dengannya, tapi apa balasan yang kuterima? Dia mencampakkanku sedemikian lihai!"Alya.***Aku menangis sejadi-jadinya di dalam kamar. Kubiarkan air mata yang selama ini hanya boleh menetes tersebab mengingat dosa, kali ini berderai mengingat mantan. Enam tahun kugunakan seluruh usiaku untuk melupakan masa-masa indah bersamanya, tapi sungguh aku tak bisa. Tak pernah dalam hidup dia menyakitiku melainkan oleh fitnah yang ditimbulkan oleh ibunya. Dan hari ini, aku sudah membiarkan tanganku menyentuhnya kembali. Aku bersalah ya Allah. Dia yang tak boleh lagi kusentuh!Allah ...Harusnya memang tak kubiarkan dia terlalu jauh kembali.Kejadian ini semakin menyadarkanku, bahwa setegar apapun diri ini. Aku tetaplah wanita.Satu jam kubiarkan menangis tanpa ada seorangpun yang mengusik. Memasuki menit di jam kedua, kamarku diketuk pelan. Lalu Akbar muncul di sebaliknya.Kubalikkan tubuh menghadap tembok, menutupi sisa-sisa air mata dari pengliha
POV RaditBagi dunia, kamu mungkin hanya satu orang.Tapi bagiku, kamu adalah dunia.Enam tahun tanpamu, aku kehilangan duniaku, Al.Kembalilah, aku butuh kamu sebagai tempatku berpijak.***Kubaringkan kepala sembari menatap langit-langit kamar, bayang Alya menari-nari di sana. Ah, andai waktu bisa kembali, aku ingin menarik ulang kata-kataku. Sungguh aku masih sangat mencintainya. Sedikitpun tidak ada yang berubah.Enam tahun, jika ia beri sedikit saja kesempatan untuk kujelaskan semuanya. Tentu hidup kami tidak akan seperti ini, tentu tidak ada rindu yang tersia-siakan tanpa bisa berbagi. Semua bahkan terlewati dengan terus membawa duka. Ibarat kata, kami berada di dua dunia. Hanya tau tanpa pernah bertemu.Kulirik surat wasiat Mama sebelum beliau menutup mata. Harusnya mama meminta agar aku membacanya bersama Alya. Huh, apakah Alya sudah membaca surat miliknya, kira-kira apa yang Mama tuliskan?Aku hanya bisa membayangkan, mungkin lebih baik kubaca surat ini terlebih dahulu. Kub
Sudah satu jam sejak kepergian Akbar bersama Mas Radit, aku terduduk dengan pikiran penuh tanya di sini. Tak tahan terus didera rasa penasaran, akhirya kuputuskan untuk menghubungi Bik Ina.[Assalamualaikum Mbak Alya.][Waalaikum salam Bik.]Sejenak bibirku kelu, entah apa yang ingin kutanyakan pada wanita itu. Perihal keadaan Mas Radit, tentu aneh. Alangkah lebih beralasan jika yang kutanyakan adalah Akbar.[Akbar bagaimana, Bik?][Oh, Den Akbar baik Mbak. Lagi asyik main air sama Bapake.][Air? Emang dimana ini Bik?][Den Akbar minta ke Waterboom Mbak, yang di Dawe itu.][Wah, lumayan jauh 'kan?][Kata Mas Radit cuma sebentar.][Sebentar, pasti lupa waktu itu kalau udah di air. Bibik ingatin, ya. Kalau udah jam limaan, segera udahan.][Iya, nanti Bibik ingatin, Mbak.]Kututup telpon dengan perasaan gusar, dasar Mas Radit, sekalinya dikasih, malah dibawa ke tempat nggak aman begitu. Akbar 'kan punya riwayat alergi, gimana kalau kelamaan mandi terus alerginya kambuh.Kulirik terus jam
POV RaditMobil melaju dengan kecepatan sedang, sesuai permintaan Akbar, hari ini kami akan mengunjungi Waterboom Mulia Kudus. Banyak pertanyaan yang terlontar dari mulut mungil anak semata wayangku. Tapi semua tak khusuk kutanggapi. Pikiran ini masih saja dipenuhi bayang-bayang Alya. Sentuhan kembali tangannya pada pipi, sungguh aku menanti hal ini semenjak enam tahun yang lalu. Aku merindumu Al. Tendang aku sepuasnya, tapi berjanjilah bahwa kau akan kembali.Pandangan ini sedikit kabur, serasa ada yang memenuhi pelupuk mata."Yah ....""Iya, Nak?"Suara Akbar membuatku terhenyak. Kembali dia menceritakan kisah sekolahnya, teman-temannya. Bagaimana ia mendapat pujian setiap hari dari guru-gurunya. Akbar memang anak hebat, tentu sebab diasuh oleh wanita sehebat Alya.Perlahan suara Akbar menghilang. Pikiranku kembali terlempar pada Alya. Berbagai pertanyaan seperti diurutkan dalam benak. Apakah Alya sudah membaca surat dari Mama? Tapi kenapa sikapnya seolah masih begitu memendam am
Kami sampai di rumah saat senja mulai melukis langit. Indah, aku jadi terkenang masa-masa dimana kerap melukis cinta bersama Mas Radit di senja hari. Ah, andai kami masih bersama, tentu kini aku ada dalam pelukannya. Melukis cinta yang tiap hari kian memupuk. Astaghfirullah! Kugeleng-gelengkan kepala mengusir bayang Mas Radit dalam benak."Ini rumahmu, Al?"Pertanyaan Dokter Adam sedikit membuatku terhenyak. Ternyata kami sudah sampai di depan pagar rumah."Iya, Dok."Tatapan kami kembali bertemu sejenak. Sepertinya dia gugup, cepat dia kembali menoleh ke depan."Terima kasih ya Dok, atas semua bantuannya hari ini," ucapku sebelum menuruni mobilnya. Dia hanya menjawab dengan senyuman yang tampak pada cermin depan. Tapi apa yang dilakukannya hari ini, mampu mengganti semua kelakuan buruknya padaku kemarin hari. Setidaknya aku tahu, ada sisi lain dalam hati lelaki itu selain galak.Kututup pintu perlahan, tidak ingin membangunkan Aisyah yang sudah tertidur di kursi depan. Pelan pula b
"Ayo meneran Mbak, sedikit lagi. Tarik napasnya, yuk. Bismillah."Sekuat tenaga kukumpulkan kekuatan untuk meneran. Untuk ketiga kali, akhirnya rasa ini kembali menghampiri. Rasanya mustahil manusia sanggup terbiasa dengan penderitaan sepedih ini. Namun, dengan sang kekasih di sisi yang terus menyemangati, mengusap peluh di kening, menggosok punggung yang terasa sakit, semua akan terlewati dengan mudah. Ya, kali ini ada Mas Radit yang menemaniku melewati semuanya.Dia yang sedari awal mulai kontraksi terus menjadi tempat tangan ini menggenggam. Dia yang sedari awal bahkan rela meninggalkan segalanya demi mendampingiku. Aku sangat bersyukur di persalinan ketiga ini, Allah memberi kesempatan merasakan dampingan seorang suami dalam bertarung antara hidup dan mati. Demi melahirkan seorang bayi ke dunia."Ayo Mbak, sedikit lagi.""Bismillah."Doa dan zikir menggema hingga akhirnya, tangisan bayi terdengar membelah kesunyian malam kala itu. Bidan yang menolong segera mengikat tali pusat l
[Saya sudah dapat informasi siapa yang membawamu pulang malam itu, Al]Sebuah pesan dari Nina berhasil membuat dada ini bergemuruh hebat. Segera aku melakukan panggilan ke nomor sahabatku itu.[Hallo, Nin.][Iya, Al.][Siapa Nin orangnya?][Resty, mantan pacarnya Tama dulu, pas masih di Poltekkes.][Hah? Benarkah, Nin?][Iya, benaran. Suamiku yang lihat. Ni aku kirim alamat rumahnya ya. Biar kamu bisa langsung samperin orangnya.][Oh iya, Nin. Makasih ya.][Sama-sama.]Setelah menutup telpon, langsung saja kulakukan panggilan pada ponselnya Mas Radit, siapa tahu Mas Radit sedang tidak ada kegiatan dan bisa mengantarkanku ke sana.[Iya, Sayang?][Mas, barusan Nina hubungi Alya, katanya yang bawa saya malam itu mantan pacarnya Mas Tama.][Benar, Yank?][Iya, Mas. Nina juga kasih alamat rumah, supaya kita bisa tanyakan langsung sama orang itu.][Hm, tapi Mas masih ada pasien ni. Setengah jam lagi Mas pulang, ya.][Iya, Mas. Alya tunggu.]*Seperti ucapannya, setengah jam dari kumenutup t
"Yah, aku rindu sama Ayah Radit."Ucapan Akbar membuat mulut ini terhenti dari membacakan sirah nabi. Kututup buku serta merespon apa yang sedang dirasakan anak sambungku itu."Kalau Akbar rindu sama Almarhum Ayah, berarti Akbar harus ngirim doa. Minimal Alfatihah. Biar Ayah merasa bahagia karena sudah meninggalkan anak yang shaleh di dunia ini."Akbar mengangguk lalu mengangkat kedua tangan. Pelan lafaz surat Al-Fatihah mengalun dari bibirnya."Yah, apa ayah Radit bisa melihatku di sana?"Lagi-lagi aku dibuat bergetar dengan pertanyaan Akbar. Sekian lama menikahi ibunya, baru malam ini dia bercerita tentang almarhum sang ayah. Ternyata benar seperti kata Alya, Akbar adalah bocah yang sangat pintar memanage perasaan."Tentu bisa Sayang, makanya Akbar harus jadi anak baik, rajin shalat dan mengaji serta sayang sama Mama dan Dedek Maryam.""Aku udah ngelakuin semuanya, Yah.""Kalau gitu, pasti Ayah Radit sangat bangga pada Akbar.""Benar, Yah?""Iya, Sayang.""Akbar mau ngomong sama Mam
"Mas, ada flek ini." Alya berlari dari dalam kamar mandi sambil menunjuk sesuatu. Jantungku berdegup kuat menatap apa yang ada di tangan Alya. Fleknya lumayan banyak. Apakah ini efek dari berturut-turut bercocok tanam? Astaghfirullah! "Mas sih, lasak. Alya 'kan sudah ingatin." Dia merengut sambil merebahkan kepalanya di atas pundakku. Entah bagaimana jika istriku ini sedang menaruh kesal. Sebab yang aku tahu, saat kesal, Alya selalu menempel di tubuh ini. "Maaf ya, Mas janji nggak akan melakukannya lagi," ucapku terbata sambil mengelus pipinya Masih dengan rasa khawatir yang memenuhi rongga dada. Alya terlonjak dan menatapku seketika. Kenapa? Apa aku salah bicara? "Benar, Mas nggak akan melakukannya lagi? Sampai sembilan bulan?" Mataku berkedip cepat, melakukan apa? Sejenak kepala dengan cepat berpikir. Ketika sudah paham yang Alya maksud, jiwa ini malah bergidik ngeri. Tidak melakukan selama sembilan bulan? Hmm, lumayan lama. "Maksud Mas, nggak akan lasak lagi jika kita sed
POV Radit***Oooeekkk!Oooeekkk!Sudah beberapa kali aku keluar masuk kamar mandi. Tiba-tiba perut ini terasa mulas, dan ingin mengeluarkan isinya. Tapi hingga berkali-kali kumuntahkan, tak ada satupun yang keluar dari lambung.Alya mengurut punggungku sambil membaluri dengan minyak telon. Eh, bau minyak itu malah membuatku kembali mual."Mas ...."Istriku menyentuh lengan ini saat diri sudah kembali rebah di atas ranjang. Jam baru menunjukkan pukul lima subuh."Iya, Yank."Aku memandanginya sambil mengelus pipi. Seharusnya dimana-mana kalau istri sedang hamil, dia akan muntah-muntah di pagi hari. Lalu seperti suami siaga lain, aku ada di sisinya untuk menyemangati dan mengurangi segala keluhan. Tapi yang terjadi pada kami? Alya malah yang harus melayaniku."Kayaknya Mas mengalami morning sickness deh."Dua bola mataku membelalak mendengar ucapannya."Masak iya kamu yang hamil Mas yang morning sickness?"Kedua sudut bibirnya kembali tertarik menjauh. Lalu dia memelukku."'Kan emang a
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Mata belum juga mau terpejam. Kulangkahkan kaki perlahan menuju kamar Akbar, rasa menuntun diri untuk kembali melihatnya. Pelan, aku membuka pintu. Tampak di mata, suamiku sedang duduk bersandar pada kepala ranjang. Di tangannya sebuah buku biografi Buya Hamka menemani.Tak berani masuk, aku menutup pintu dan memilih kembali ke kamar. Entah untuk pukul berapa, mata ini akhirnya terpejam juga.*Sebelum subuh, diri ini sudah lebih dahulu terjaga. Dapur masih sepi, bahkan kamar ART saja masih tertutup rapat. Kusiapkan sarapan istimewa untuk Mas Radit, hari ini dia harus mau berbicara. Akan kuberi perhatian lebih, dimulai dari segala persiapannya kerja, lanjut sarapan.Tepat saat azan berkumandang, aku menyerahkan sisa pekerjaan pada ART dan bergegas ke kamar Akbar. Pelan aku membuka pintu kamar anakku itu. Sesuai rencana, Mas Radit masih berbalut selimut. Aku mendekati ranjang lalu duduk di sisi suamiku tertidur.Pelan, kukecup keningnya sam
Tanpa mengulur waktu, lekas aku menelpon Mas Radit. Jantung sudah tidak bisa kugambarkan lagi dentumannya. Panggilan pertamaku direject.Tak putus asa, aku kembali menelpon. Direject lagi.Ya Allah ...Kucoba ketiga kali, tetap direject. Tak lagi menelpon, kini aku mengetik sebuah pesan.[Tolong angkat telponnya, Mas. Alya bisa jelaskan semua ini.]Tak ada balasan. Kini ponselnya malah tidak lagi aktif. Semua terlambat. Andai dari semalam aku jujur, tentu tak akan seperti ini kejadiannya.Tubuhku terduduk lemah di atas ranjang. Sejenak, anganku terlempar pada kejadian enam tahun silam. Seperti ada yang menghunus jantung ini. Sakitnya terasa hingga ke sekujur tubuh. Ya Allah, tolong beri kesempatan bagi hamba untuk menjelaskan semuanya pada Mas Radit.*Akbar turun di depan gerbang sekolah. Meski tak ingin melakukan kegiatan apapun tersebab hati masih dipenuhi kekhawatiran, tapi aktifitas tidak boleh berhenti. Akbar harus tetap ke sekolah. Masalah yang sedang kuhadapi dengan Mas Radit
Mata kami bertemu sejenak hingga aku lepas kontrol dan berlari menuju pintu. Kugedor-gedor pintu kamar sambil berteriak minta tolong."Tolong! Buka pintunya!"Seperti kesurupan, aku berlari mencari celah agar bisa keluar. Tapi gerakanku tak mendapat cegahan. Sedang biasa, jika seorang lelaki hendak memperkosa, pasti dia akan langsung menyerang. Kenapa Mas Tama justru tidak begitu?Lelah berlari, akhirnya aku memilih berhenti, duduk kembali di atas ranjang dengan terengah-engah.Kumenoleh menatap Mas Tama yang ... sudah selesai berpakaian."Udah lari-larinya? Kamu lucu, Al."Dia terkekeh-kekeh menahan tawa. Sedang di sini, aku masih dengan emosi yang tak terkendali."Kenapa saya ada di sini? Mas Tama udah apain saya?"Dia menoleh, membuat degup jantung ini kian menyentak."Saat kamu keluar dari rumah Nina, saya ngikuti. Terus kamu dibawa oleh seorang wanita yang saya nggak kenal siapa. Dan di tengah jalan, mobilmu diberhentikan. Dia keluar untuk kemudian menaiki taksi."Dua bola matak
Selepas kepergian Mas Radit, meski tak bergairah aku tetap harus menjalani semua aktivitas seperti biasa. Mengurus dua anak serta membantu di rumah ibu mertua sebisa mungkin. Juga tak lupa mengawasi rumah almarhum Mas Radit yang kini ditempati oleh Ina beserta seorang sanak keluarganya. Hingga malam tiba, aku sangat terkejut dengan mampirnya sebuah nomor yang tak lain adalah nomor ponsel Nina, sahabat karibku semasa kuliah dahulu.[Assalamualaikum, Al.][Waalaikum salam.][Apa kabar, Al?][Alhamdulillah sehat, Nin. Kamu sekeluarga gimana?][Alhamdulillah, kami semua sehat. Al, besok malam ada kegiatan apa?][Kegiatan? Kalau malam sih nggak pernah ada kegiatan.][Datang ke acara syukuran kecil-kecilan di rumahku ya, Al. Acaranya habis isya, ajak suami dan anak-anakmu juga. Biar bisa saling kenal.][Suamiku lagi tugas luar kota, Nin.][Yah, padahal pengen sekali ketemu sama kamu, Al. Kemarin di acara reuni kampus juga kamu nggak datang.]Suara Nina di ujung telpon terdengar pilu. Seben