POV RaditSatu jam lebih kami berada dalam satu mobil tanpa saling menyapa, rasanya lebih menyakitkan dari menerima kenyataan akan dipenjara selama puluhan tahun. Jika bukan karena sudah mempersiapkan segalanya, aku tidak mungkin memilih puncak Selam Semliro sebagai tempat yang akan kukunjungi bersama Alya. Sebab diamnya wanita itu seperti panah yang menembus kuat melalui jantung."Kenapa harus sejauh ini sih Mas jika cuma mau bicara? Kasihan Akbar, dia sedang membutuhkan saya?"Perkataan pertama setelah sejaman membungkam mulut. Kutanggapi dengan senyuman, sambil mengeluarkan ponsel. Nomor handphone Bik Ina menjadi tujuan. Semua sudah kusiapkan, termasuk Akbar yang sudah berjanji padaku untuk membuat sedikit drama.[Assalamualaikum Sayang.][Waalaikum salam. Ayah ...]Mendengar suara Akbar yang sengaja aku loadspeaker 'kan, Alya bergidik.[Ayah dimana?]Kuarahkan ponsel yang sedang tersambung video call pada Alya.[Mama ...]Panggilan Akbar berhasil membuat Alya tersenyum, tampak ca
Sampai di ujung koridor, aku berhenti berlari. Menarik napas dalam-dalam sembari menyapu mata. Seharusnya aku tidak menuruti kemauan Mas Radit, sebab tahu akan begini sakit jika kubiarkan diri berbicara empat mata dengannya. Tapi diri ini tak kuasa untuk terus menolak ajakan itu.Kuangkat wajah sejenak, kelebat ucapan Mas Radit kembali membuat dada ini terasa sesak.'Tidak bisakah kita kembali, Dek. Apa sudah tidak ada cinta di hatimu untuk Mas?'Cinta? Tentu ada Mas. Bahkan tidak pernah berkurang sedikit pun. Tapi untuk kembali bersama, saya takut Mas. Saya takut tidak bisa seperti dulu dalam mengabdikan diri. Hiks.Air mata kembali luruh, kuusap bola mata dengan kasar. Tak ingin keadaanku diketahui oleh satu orang pun di rumah sakit ini. Sekuat tenaga kembali aku mengangkat langkah. Namun terhenti oleh sapaan dari seseorang yang suaranya sudah sangat familiar di telinga.Dokter Adam.Kucoba membalikkan tubuh."Alya, tunggu."Dia kembali menjeritkan namaku di kejauhan. Saat sudah
Dokter Adam tampak cemas, jemari tangannya mengetuk-ngetuk meja. "Tinggal sebentar ya, Dok," tegur Mbak Mifta pada dokter itu. Lalu ia berjalan di depan, sedang aku di belakangnya. Saat tangan rekan kerjaku itu hendak membuka tirai pembatas antar bed, seketika wajah Mas Radit tampak di sebaliknya."Lho Dok, sudah sehatkah?"Mas Radit tersenyum tipis, matanya menatapku."Sudah, tadi cuma kelelahan aja.""Tapi ini mau kemana, Dok?""Mau langsung pulang."Deg!Entah kenapa aku merasa begitu mengkhawatirkan Mas Radit. Inginku melarangnya pulang, beristirahat setidaknya beberapa jam lagi. Tapi semua itu tertahan di tenggorokan."Apa nggak istrihat sebentar lagi, dok. Tekanan darah dokter rendah.""Tidak apa-apa, nanti saya istirahat begitu sampai di Jakarta," ucapnya tegas. Mas Radit memang keras kepala. Dibilangin untuk kebaikan malah membantah. Jika aku masih jadi istrinya, sudah kuceramahi ia panjang lebar.Tapi, haruskah aku memintanya untuk tidak pulang?Kelebat pikiran bercampur ad
"Hihihi ...."Ibunda Dokter Adam tertawa lebar. Sedang di sisinya, aku duduk sembari membelalak. "Jangan serius gitu, Ibu cuma bercanda."Fuih. Kuembuskan napas panjang. Wanita di hadapanku menghentikan tawanya."Dokter Adam anak Ibu satu-satunya?"Entah kenapa aku malah tertarik mengajukan pertanyaan."Bukan, Adam itu bungsu. Mereka semua bertiga, satu sekarang sudah di pulau Sumatera, tepatnya di Aceh. Bekerja di Pabrik Minyak Bumi dan Gas Alam. Yang satu lagi ada di Kota Bandung. Buka Restaurant Nasi Padang, soalnya istrinya itu orang Padang. Dari ketiga anak, Saya lebih nyaman tinggal sama Adam, sudah semenjak dahulu bahkan saat mendiang istrinya masih hidup.""Kalau boleh Ibu tahu, kamu bercerai dari suamimu karena apa?"Sejenak aku menatapnya tanpa kata. Berat jika harus kuceritakan pada orang lain tentang kisah hidupku. Tapi entah kenapa, melihat wanita ini, seperti menatap almarhumah ibu kandungku sendiri."Saya difitnah, Bu."Wanita itu tampak terkejut."Difitnah kenapa?"Ha
"Terima kasih banyak Mbak Alya sudah mau mengantar Bibik ke terminal. In Syaa Allah, Bik Ina tidak akan lama di kampung. Jika sudah selesai urusan, saya akan langsung balik.""Iya, Bik. Tidak apa-apa. Ini ada sedikit oleh-oleh untuk orang di rumah."Kuberikan beberapa makanan yang tadi sempat terbeli di setengah perjalanan menuju terminal. Wanita paruh baya itu meraih sembari menyalami tanganku."Mbak, sebelum Bibik pergi, ada satu hal yang mau Bibik sampaikan sama sampeyan."Kedua alisku terangkat. Sepertinya Bik Ina sangat serius."Tentang apa, Bik?"Dia menelan saliva, tampak ragu untuk mengutarakan."Katakan saja, Bik.""Surat ini saya temukan saat membersihkan halaman belakang, Mbak. Maaf, saya sudah lancang membuka dan membaca isinya."Aku terhenyak menatap apa yang ada di tangan Bik Ina. Itukan surat dari alhamrhumah Mama mertua yang belum sempat kubaca. Jadi Bik Ina yang sudah menemukannya."Maaf saya lancang Mbak, tapi saya berharap Mbak Alya bisa kembali lagi bersama Mas Rad
Kami menuruni bus lalu menaiki taksi agar sampai di rumah sakit. Di setengah perjalanan, ponselku tiba-tiba berdering. Kurogoh benda itu lalu lekas mencari tahu siapa yang kini sedang menelpon.Dokter Adam.Kuluangkah waktu untuk mengangkat panggilan tersebut.[Assalamualaikum Dok.][Waalaikum salam. Maaf saya tidak menemukanmu di ruangan, kamu sakit?]Kuhela napas panjang. Dokter Adam membuat perasaanku kembali bergejolak.[Saya ijin ke Jakarta, Dok.][Ke Jakarta?]Sejenak bibir ini terasa kelu.[Saya ke Jakarta menjenguk Ayahnya Akbar yang di rawat di rumah sakit, Dokter.]Dia terdiam.[Kamu kembali padanya?][Belum, Dok.][Hem ... Harusnya saya bisa ikut mengantar?][Tidak usah repot-repot, Dok. Saya bisa pergi berdua dengan Akbar.][Boleh saya menyusul?][Untuk apa, Dok?][Hanya untuk memastikan kalian tidak kembali pulang dengan menaiki bus.][Tidak usah, Dok. Kami tidak apa-apa naik bus.]Dia tampak menghela napas.[Yasudah, berhati-hatilah.][Iya.]Kututup telpon dari dokter Ad
Hati sudah tidak tenang semenjak tahu dokter onkologi yang tadi pagi kutelpon ternyata bukan sebatas temannya Mas Radit, tapi juga dokter yang sedang menangani mantan suamiku itu. Seserius itukah penyakit yang dialami Mas Radit? Ya Allah...Tak sanggup lagi menahan diri, akhirnya kuberanikan untuk bertanya."Mas Radit sebenarnya sakit apa?"Dokter berkaca mata di hadapanku terdiam sejenak. Ia hanya tersenyum samar, lalu kembali menoleh pada Mas Radit. "Nanti juga Adek tahu," jawab Mas Radit tenang.Dengan membiarkan pertanyaanku menggantung, Mas Radit justru kembali berbicara pada Dokter Andre."Khusus untuk hari ini, saya ijin pulang, Dre."Dokter Andre tampak terkejut."Pulang?""Saya ingin membawa Akbar keliling Jakarta. Hanya sehari, besok saya janji tidak akan membatalkan lagi janji kita.""Yeeeyy!"Sorakan kegembiraan Akbar mengundang pandangan dokter Adam. Ia ikut tertawa, meski jelas terlihat kecewa."Semua menjadi tanggung jawabmu, Dit."Mas Radit mengangguk."Oke! Hanya unt
"Kanker, Mas?"Aku tergugu, isak kutahan agar tak terdengar oleh Akbar yang sedang asyik dengan rumah pasirnya.Mas Radit menghela napas lalu kembali berucap,"Kata dokter usia Mas tidak lama lagi, Dek. Jika kemarin-kemarin Mas bersemangat ingin kembali rujuk, saat ini, keinginan itu sepertinya harus Mas kubur rapat-rapat.""Kenapa, Mas?" "Karena Mas tak ingin kamu kembali terluka, Dek. Buat apa kembali jika pada kenyataan lelaki yang akan mendampingimu sesaat lagi akan tutup usia."Emosiku melonjak mendengar ucapan Mas Radit."Emangnya dokter itu Tuhan, apa mereka yang meniupkan roh ke dalam jasad manusia, Mas? Kenapa Mas malah mempercayai hal remeh begitu?"Dadaku terasa sesak, sedang napas naik turun mendapati kenyataan pahit yang kini menimpa Mas Radit. Terlebih saat tahu Mas Radit malah mempercayai prediksi dokter tentang umur hidup manusia. Padahal yang harus diyakini manusia adalah hidup mati karena Allah. Dia yang menghidupkan, Dia pula yang berhak mematikan.Kutarik napas da
"Ayo meneran Mbak, sedikit lagi. Tarik napasnya, yuk. Bismillah."Sekuat tenaga kukumpulkan kekuatan untuk meneran. Untuk ketiga kali, akhirnya rasa ini kembali menghampiri. Rasanya mustahil manusia sanggup terbiasa dengan penderitaan sepedih ini. Namun, dengan sang kekasih di sisi yang terus menyemangati, mengusap peluh di kening, menggosok punggung yang terasa sakit, semua akan terlewati dengan mudah. Ya, kali ini ada Mas Radit yang menemaniku melewati semuanya.Dia yang sedari awal mulai kontraksi terus menjadi tempat tangan ini menggenggam. Dia yang sedari awal bahkan rela meninggalkan segalanya demi mendampingiku. Aku sangat bersyukur di persalinan ketiga ini, Allah memberi kesempatan merasakan dampingan seorang suami dalam bertarung antara hidup dan mati. Demi melahirkan seorang bayi ke dunia."Ayo Mbak, sedikit lagi.""Bismillah."Doa dan zikir menggema hingga akhirnya, tangisan bayi terdengar membelah kesunyian malam kala itu. Bidan yang menolong segera mengikat tali pusat l
[Saya sudah dapat informasi siapa yang membawamu pulang malam itu, Al]Sebuah pesan dari Nina berhasil membuat dada ini bergemuruh hebat. Segera aku melakukan panggilan ke nomor sahabatku itu.[Hallo, Nin.][Iya, Al.][Siapa Nin orangnya?][Resty, mantan pacarnya Tama dulu, pas masih di Poltekkes.][Hah? Benarkah, Nin?][Iya, benaran. Suamiku yang lihat. Ni aku kirim alamat rumahnya ya. Biar kamu bisa langsung samperin orangnya.][Oh iya, Nin. Makasih ya.][Sama-sama.]Setelah menutup telpon, langsung saja kulakukan panggilan pada ponselnya Mas Radit, siapa tahu Mas Radit sedang tidak ada kegiatan dan bisa mengantarkanku ke sana.[Iya, Sayang?][Mas, barusan Nina hubungi Alya, katanya yang bawa saya malam itu mantan pacarnya Mas Tama.][Benar, Yank?][Iya, Mas. Nina juga kasih alamat rumah, supaya kita bisa tanyakan langsung sama orang itu.][Hm, tapi Mas masih ada pasien ni. Setengah jam lagi Mas pulang, ya.][Iya, Mas. Alya tunggu.]*Seperti ucapannya, setengah jam dari kumenutup t
"Yah, aku rindu sama Ayah Radit."Ucapan Akbar membuat mulut ini terhenti dari membacakan sirah nabi. Kututup buku serta merespon apa yang sedang dirasakan anak sambungku itu."Kalau Akbar rindu sama Almarhum Ayah, berarti Akbar harus ngirim doa. Minimal Alfatihah. Biar Ayah merasa bahagia karena sudah meninggalkan anak yang shaleh di dunia ini."Akbar mengangguk lalu mengangkat kedua tangan. Pelan lafaz surat Al-Fatihah mengalun dari bibirnya."Yah, apa ayah Radit bisa melihatku di sana?"Lagi-lagi aku dibuat bergetar dengan pertanyaan Akbar. Sekian lama menikahi ibunya, baru malam ini dia bercerita tentang almarhum sang ayah. Ternyata benar seperti kata Alya, Akbar adalah bocah yang sangat pintar memanage perasaan."Tentu bisa Sayang, makanya Akbar harus jadi anak baik, rajin shalat dan mengaji serta sayang sama Mama dan Dedek Maryam.""Aku udah ngelakuin semuanya, Yah.""Kalau gitu, pasti Ayah Radit sangat bangga pada Akbar.""Benar, Yah?""Iya, Sayang.""Akbar mau ngomong sama Mam
"Mas, ada flek ini." Alya berlari dari dalam kamar mandi sambil menunjuk sesuatu. Jantungku berdegup kuat menatap apa yang ada di tangan Alya. Fleknya lumayan banyak. Apakah ini efek dari berturut-turut bercocok tanam? Astaghfirullah! "Mas sih, lasak. Alya 'kan sudah ingatin." Dia merengut sambil merebahkan kepalanya di atas pundakku. Entah bagaimana jika istriku ini sedang menaruh kesal. Sebab yang aku tahu, saat kesal, Alya selalu menempel di tubuh ini. "Maaf ya, Mas janji nggak akan melakukannya lagi," ucapku terbata sambil mengelus pipinya Masih dengan rasa khawatir yang memenuhi rongga dada. Alya terlonjak dan menatapku seketika. Kenapa? Apa aku salah bicara? "Benar, Mas nggak akan melakukannya lagi? Sampai sembilan bulan?" Mataku berkedip cepat, melakukan apa? Sejenak kepala dengan cepat berpikir. Ketika sudah paham yang Alya maksud, jiwa ini malah bergidik ngeri. Tidak melakukan selama sembilan bulan? Hmm, lumayan lama. "Maksud Mas, nggak akan lasak lagi jika kita sed
POV Radit***Oooeekkk!Oooeekkk!Sudah beberapa kali aku keluar masuk kamar mandi. Tiba-tiba perut ini terasa mulas, dan ingin mengeluarkan isinya. Tapi hingga berkali-kali kumuntahkan, tak ada satupun yang keluar dari lambung.Alya mengurut punggungku sambil membaluri dengan minyak telon. Eh, bau minyak itu malah membuatku kembali mual."Mas ...."Istriku menyentuh lengan ini saat diri sudah kembali rebah di atas ranjang. Jam baru menunjukkan pukul lima subuh."Iya, Yank."Aku memandanginya sambil mengelus pipi. Seharusnya dimana-mana kalau istri sedang hamil, dia akan muntah-muntah di pagi hari. Lalu seperti suami siaga lain, aku ada di sisinya untuk menyemangati dan mengurangi segala keluhan. Tapi yang terjadi pada kami? Alya malah yang harus melayaniku."Kayaknya Mas mengalami morning sickness deh."Dua bola mataku membelalak mendengar ucapannya."Masak iya kamu yang hamil Mas yang morning sickness?"Kedua sudut bibirnya kembali tertarik menjauh. Lalu dia memelukku."'Kan emang a
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Mata belum juga mau terpejam. Kulangkahkan kaki perlahan menuju kamar Akbar, rasa menuntun diri untuk kembali melihatnya. Pelan, aku membuka pintu. Tampak di mata, suamiku sedang duduk bersandar pada kepala ranjang. Di tangannya sebuah buku biografi Buya Hamka menemani.Tak berani masuk, aku menutup pintu dan memilih kembali ke kamar. Entah untuk pukul berapa, mata ini akhirnya terpejam juga.*Sebelum subuh, diri ini sudah lebih dahulu terjaga. Dapur masih sepi, bahkan kamar ART saja masih tertutup rapat. Kusiapkan sarapan istimewa untuk Mas Radit, hari ini dia harus mau berbicara. Akan kuberi perhatian lebih, dimulai dari segala persiapannya kerja, lanjut sarapan.Tepat saat azan berkumandang, aku menyerahkan sisa pekerjaan pada ART dan bergegas ke kamar Akbar. Pelan aku membuka pintu kamar anakku itu. Sesuai rencana, Mas Radit masih berbalut selimut. Aku mendekati ranjang lalu duduk di sisi suamiku tertidur.Pelan, kukecup keningnya sam
Tanpa mengulur waktu, lekas aku menelpon Mas Radit. Jantung sudah tidak bisa kugambarkan lagi dentumannya. Panggilan pertamaku direject.Tak putus asa, aku kembali menelpon. Direject lagi.Ya Allah ...Kucoba ketiga kali, tetap direject. Tak lagi menelpon, kini aku mengetik sebuah pesan.[Tolong angkat telponnya, Mas. Alya bisa jelaskan semua ini.]Tak ada balasan. Kini ponselnya malah tidak lagi aktif. Semua terlambat. Andai dari semalam aku jujur, tentu tak akan seperti ini kejadiannya.Tubuhku terduduk lemah di atas ranjang. Sejenak, anganku terlempar pada kejadian enam tahun silam. Seperti ada yang menghunus jantung ini. Sakitnya terasa hingga ke sekujur tubuh. Ya Allah, tolong beri kesempatan bagi hamba untuk menjelaskan semuanya pada Mas Radit.*Akbar turun di depan gerbang sekolah. Meski tak ingin melakukan kegiatan apapun tersebab hati masih dipenuhi kekhawatiran, tapi aktifitas tidak boleh berhenti. Akbar harus tetap ke sekolah. Masalah yang sedang kuhadapi dengan Mas Radit
Mata kami bertemu sejenak hingga aku lepas kontrol dan berlari menuju pintu. Kugedor-gedor pintu kamar sambil berteriak minta tolong."Tolong! Buka pintunya!"Seperti kesurupan, aku berlari mencari celah agar bisa keluar. Tapi gerakanku tak mendapat cegahan. Sedang biasa, jika seorang lelaki hendak memperkosa, pasti dia akan langsung menyerang. Kenapa Mas Tama justru tidak begitu?Lelah berlari, akhirnya aku memilih berhenti, duduk kembali di atas ranjang dengan terengah-engah.Kumenoleh menatap Mas Tama yang ... sudah selesai berpakaian."Udah lari-larinya? Kamu lucu, Al."Dia terkekeh-kekeh menahan tawa. Sedang di sini, aku masih dengan emosi yang tak terkendali."Kenapa saya ada di sini? Mas Tama udah apain saya?"Dia menoleh, membuat degup jantung ini kian menyentak."Saat kamu keluar dari rumah Nina, saya ngikuti. Terus kamu dibawa oleh seorang wanita yang saya nggak kenal siapa. Dan di tengah jalan, mobilmu diberhentikan. Dia keluar untuk kemudian menaiki taksi."Dua bola matak
Selepas kepergian Mas Radit, meski tak bergairah aku tetap harus menjalani semua aktivitas seperti biasa. Mengurus dua anak serta membantu di rumah ibu mertua sebisa mungkin. Juga tak lupa mengawasi rumah almarhum Mas Radit yang kini ditempati oleh Ina beserta seorang sanak keluarganya. Hingga malam tiba, aku sangat terkejut dengan mampirnya sebuah nomor yang tak lain adalah nomor ponsel Nina, sahabat karibku semasa kuliah dahulu.[Assalamualaikum, Al.][Waalaikum salam.][Apa kabar, Al?][Alhamdulillah sehat, Nin. Kamu sekeluarga gimana?][Alhamdulillah, kami semua sehat. Al, besok malam ada kegiatan apa?][Kegiatan? Kalau malam sih nggak pernah ada kegiatan.][Datang ke acara syukuran kecil-kecilan di rumahku ya, Al. Acaranya habis isya, ajak suami dan anak-anakmu juga. Biar bisa saling kenal.][Suamiku lagi tugas luar kota, Nin.][Yah, padahal pengen sekali ketemu sama kamu, Al. Kemarin di acara reuni kampus juga kamu nggak datang.]Suara Nina di ujung telpon terdengar pilu. Seben