Share

2. Semalam Saja

Penulis: Wahyuni SST
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Terimalah kembali diri yang penuh dosa ini, Dek. Enam tahun Mas menunggu. Ditiap malam, Mas selalu bertanya kabarmu pada angin, mereka diam membisu, seakan begitu membenci ketololan diri yang sudah melepasmu demi wanita lain. Hati ini masih milikmu, Dek. Tidak ada yang berubah."

Aku tercenung sesaat mendengar kalimat penyesalan yang keluar dari mulutnya. Andai dulu ia tidak termakan fitnah yang dibuat oleh ibunya sendiri, tentu aku dan Akbar tak pernah tahu bagaimana sakitnya ditinggalkan. Tak akan pernah merasa hina dengan tuduhan berzina, sedang jelas anak dalam kandunganku ini adalah darah dagingnya.

Andai Mas, andai saja kamu bisa terus berpegang pada janjimu, bahwa jangan pernah goyah, apapun hasutan yang dibuat oleh ibu dan calon istrimu, tentu kami tak akan pernah merasa kesepian disetiap malam, merasa takut setiap kali petir terdengar membelah langit. 

Tentu kami tidak harus pindah dari satu tempat ke tempat lain, demi menghindari amukan warga yang menganggapku wanita kotor. Andai kamu tahu sedemikian sakitnya aku melalui semuanya seorang diri, Mas. Tentu kamu tidak akan berani memintaku kembali.

"Alya ...."

Panggilan Mas Radit membuyarkan lamunanku. Kubuang wajah.

Penyesalan sudah terlambat, Mas! Nasi sudah menjadi bubur. Sampai kapanpun, aku tak akan membuka hatiku kembali padamu. Kisah kita sudah usai semenjak ucapan talak itu sah keluar dari mulutmu.

Kuhela napas berat, mata kini kembali memanas. 

"Ma, Akbar juga mau disuapin."

Perhatianku teralihkan oleh permintaan Akbar, segera kusendoki nasi kuning dan menyuapinya ke dalam mulut anak lelakiku. 

Detik kini terasa lebih kaku, kami hanya sesekali saling bertatapan. Bersyukur Akbar cukup riang untuk diajak diam. Mulutnya tak berhenti bertanya. Hingga ia sampai pada sebuah pertanyaan, pertanyaan yang amat sulit untuk kami jawab bersama.

"Ma, boleh nggak malam ini Ayah menginap di rumah kita? Akbar pengin tidur barengan sama Ayah dan Mama. Sekali ... aja."

Aku tersentak, jantungku kembali berdegup cepat. Permintaan Akbar kali ini tidak mungkin diiyakan.

"Ayah nggak bisa tidur di sini, Sayang. Kasihan Bunda Ika, Bunda Ika 'kan lagi hamil?" jawabku setenang mungkin.

"Bisa kok, Ayah bisa nginap di sini. Nanti Ayah bilang sama Bunda kalau Ayah pengen nemeni Mama sama Akbar semalam. Berhubung hari ini hari lahirnya Akbar, anggap ini sebagai kado terindah dari Ayah."

Mas Radit tampak memandangiku.

"Itupun jika Mama mengijinkan," tambahnya lagi.

Akbar segera menoleh. Bujukan demi bujukan pun kembali ia lancarkan padaku.

"Boleh 'kan Ma, sekali ... aja."

Aku menghela napas berat. Ini tidak boleh terjadi! Enam tahun aku menahan diri, hari ini semua bagai terbalik seratus delapan puluh derajat.

Tidak bisa dibiarkan!

"Mas, aku nggak mau ada perdebatan sama istrimu yang sedang hamil itu," ucapku sinis.

Mas Radit kembali tersenyum sambil mengelus kepala Akbar.

"Nggak bakalan kok, Mas udah dapat ijin."

"Ijin?"

"Iya, ijin untuk kembali sama kamu."

"Apa?"

Dia kembali tersenyum, senyum yang tak bisa kuartikan, perpaduan bahagia dan kepuasan. Sedang di sini aku mulai terusik. Mas Radit benar-benar membuatku tak waras hari ini. Harusnya memang tadi aku tidak mengiyakan keinginan Akbar untuk menemuinya. Huh!

Titit.

Ponsel Mas Radit tiba-tiba berdering. Lelaki itu tampak segera menjawab panggilan tersebut.

[Hallo, Assalamualaikum.]

[...]

[Baik, saya segera kesana.]

Mas Radit menutup telpon setelah menjawab salam. Aku mulai menebak-nebak siapa yang baru saja menelpon, pasti istri jelitanya yang berstatus dokter itu.Ya, siapa lagi? Wajah Mas Radit seketika berubah tak enak begitu menutup telpon. Pasti perempuan itu sudah tak lagi bisa duduk tenang. Menyebalkan!

Huh! Ada apa dengan diri ini? Apa jangan-jangan aku mulai menaruh cemburu? Apa hakku? Astaghfirullah!

"Siapa Yah yang nelpon?"

Pertanyaan Akbar mewakili kata hatiku.

"Teman Ayah, Nak. Ayah harus balik ke rumah sakit, ada operasi mata yang harus Ayah tangani."

"Yah, Ayah. Baru juga sesuap makannya," rengek Akbar manja.

Mas Radit tampak melempar pandang ke atasku. Dengan secepat kilat kubuang pandangan. Tak kubiarkan hati ini kembali terpana olehnya.

"Nanti malam Ayah 'kan kemari lagi."

Seketika mataku membelalak, menatapnya penuh tanya. Kapan aku mengijinkan dia tidur di rumah ini? Tapi pertanyaan itu, kembali urung untuk kulempar, Akbar menyambar kesempatanku berbicara.

"Benaran Yah? Alhamdulillah."

Ia memeluk ayahnya erat. Pemandangan yang begitu membuat mataku tak kuasa menahan tangis. Air mataku tumpah. Untuk pertama kali aku melihat Akbar dipeluk oleh lelaki bergelar ayah. 

Mas Radit melihatku menyeka air mata, buru-buru kupindahkan tangan. Dia tidak boleh tahu jika sejujurnya, diri ini amatlah rapuh. Rapuh karena terlalu mencintainya yang jelas-jelas tak setia.

"Jangan nangis Dek, Mas nggak bohong, yang nelpon bukan Ika. Tapi pegawai rumah sakit. Ika udah janji nggak akan menganggu waktu Mas bersama kamu dan Akbar."

Deg!

Apa maksud perkataannya? Tidak mungkin Ika membiarkan suaminya berada di rumahku tanpa ada rasa was-was sedikitpun. 

Sebenarnya ada apa? Sandiwara apa yang kembali mereka susun, apa tujuannya untuk kembali membuatku hancur?

Mas Radit tersenyum sambil menggerakkan tangannya hendak menyapu pipiku. Segera kupindahkan wajah.

"Boleh 'kan Dek malam ini Mas menginap di rumahmu? Mas janji, nggak bakalan ganggu kamu tidur. Mas hanya ingin tidur semalam saja sama satu-satunya anak lelaki yang Mas miliki. Tolong ijinkan Dek, sekali ... aja?" 

Ia mengemis sambil kini mengangkat Akbar dalam gendongan. Entah kenapa, hati yang selama ini beku, terasa sedikit mencair. Enam tahun kukubur perasaan untuknya, kenapa hari ini seolah kembali ada yang bermekaran?

"Baiklah, saya ijinkan Mas menginap. Tapi dengan catatan, Mas hanya boleh berada di dalam kamar Radit, tidak boleh ke ruang manapun, kapanpun. Sampai pagi tiba, Mas sudah harus langsung angkat kaki!"

"Siap laksanakan, Ratu."

Aku menatapnya tajam. Dulu, panggilan itu adalah panggilan manjanya untukku. Tapi sekarang, dia tidak berhak lagi memanggilku dengan sebutan itu!

Mas Radit mengerti kesalahannya. Ia mengusap tengkuk baru kemudian mengecup pucuk kepala Akbar. Lalu ia menurunkan bocah itu sambil kemudian mengusap kepalanya.

"Anak Ayah hebat, kamu jagain Mama dari kecil sampai sebesar ini. Masya Allah, Ayah jadi malu nggak bisa sehebat Akbar dalam hal jagain Mama."

Dia kembali melempar pandang pada mataku. 

"Ayah cuma punya ini untuk hadiah ulang tahun anak Ayah yang ganteng ini. Dipergunakan dengan baik ya."

Mas Radit mengambil sebuah kotak yang ia letakkan di atas meja. Lalu membuka kotak tersebut. Akbar histeris kegirangan mendapati hadiah sebuah jam yang lagi ngetrend di kalangan anak-anak kini ada di hadapannya.

"Ini untuk Akbar, Yah?"

"Iya, kamu suka?"

"Suka Yah."

"Sini Ayah pakaikan. Wah, pas benar. Warna birunya cocok sama baju yang lagi Akbar pakai."

Akbar tersenyum-senyum menunjukkan jam pemberian Mas Radit padaku.

"Makasih ya, Yah."

"Sama-sama Sayang. Terus jagain Mama ya."

"Iya, pasti, Yah."

Akbar berlari meninggalkan kami menuju dapur, pasti ia mau memperlihatkan jamnya pada Bibik. 

Selepas kepergian Akbar, terdengar Mas Radit kembali membuka suara.

"Mama sudah berpulang ke Rahmatullah, Dek."

Aku terhenyak. Mama? Ya Allah. Innalillahi wainnailaihi rajiun.

"Benarkah, Mas?"

"Iya, dua hari yang lalu menghembuskan napas terakhir di Singapura. Sebelum meninggal, Mama menitip surat ini untukmu, Dek."

Mas Radit mengarahkan sebuah surat terbungkus amplop padaku. Hatiku sakit mendapati ibu mertua telah tiada. Memang benar, dulu dia telah memfitnahku sedemian rupa, tapi jujur semua telah kumaafkan. Bahkan tiap saat aku selalu memohonkan hidayah untuknya.

"Pasti Mas sudah baca?"

"Belum, Mas juga mendapat surat yang berbeda."

Aku mendelik.

"Sudah Mas baca isinya?"

"Belum. Mas ingin kita membacanya bersama."

Seketika tensiku naik kembali.

"Tidak perlu Mas. Saya akan membacanya seorang diri. Begitu pula dengan Mas Radit, bacalah surat itu seorang diri."

Mas Radit tampak menghela napas.

"Yasudah kalau itu yang kamu mau. Mas tidak bisa memaksa. Sebelum pergi untuk selamanya, Mama terus nanyain kamu, dia ingin menyampaikan permintaan maafnya jika dahulu pernah membuatmu terluka."

Aku membuang napas, sejujurnya air mata sudah sekian banyak mengantri di pelupuk.

"Yasudah, Mas pamit, ya. Terima kasih, karena nanti malam kamu sudah mengijinkan Mas untuk pertama kalinya menemani Akbar tidur. Andai kamu tahu Dek ...."

Dia berhenti berucap. Matanya tampak berkaca-kaca.

"Tidak pernah selama enam tahun, Mas tidur tanpa memikirkan kalian. Mas minta maaf, Dek. Mas sangat mencintaimu dan anak kita. Tapi Mas tidak kuasa, Dek."

Kini air mata benar-benar luruh dari pelupuk matanya. Ia segera berbalik.

"Mas pamit dulu ya, Dek. Sampaikan pada Bik Ina, ucapan terima kasih terdalam dari Mas karena selama ini ia telah setia menjagamu."

"Ya Allah, adalah yang lebih menyakitkan dari ini semua? Andai amnesia bisa membuatku melupakannya, maka hilangkan lah ingatanku ini ya Rabb ...."

***

Bersambung

Ada yang mewek?🥺

Komen (18)
goodnovel comment avatar
Feri Setiawan
pengen tau lanjutanny
goodnovel comment avatar
Harsa Amerta Nawasena
Mewek sedanau kak
goodnovel comment avatar
Juni Kholilah Nasution
hahaha bener baru pengen coment kalo cuma cinta sama istri gak mungkin sampe punya anak sama yang lain dan tetap pertahanin
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Istri Yang Kau Ceraikan   3. Fitnah Terkeji

    "Coba Mama lihat Sayang, mana jam oleh-oleh dari Ayah?"Kucoba kembali membuka percakapan seusai makan siang. Sebab entah kenapa aku mulai mencemburui Mas Radit perihal jam yang kini melekat di jemari Akbar. Ia begitu menyukainya, bahkan lupa jika akupun memberinya hadiah lain.Akbar bangkit dan menunjukkan jam di tangannya padaku."Wah, bagus. Kamu senang dapat hadiah ini dari Ayah?"Akbar mengangguk girang. Setelah itu ia berusaha menarik lenganku menuju kamarnya."Ma, kamar Akbar kurang bagus deh. Kayaknya harus dibikin lebih menarik."Dia melepas tanganku dan naik ke atas ranjang. Menarik sprei, menghentak-hentakkan bantal hingga sarungnya terlepas. Lalu menggulung semua kain tersebut dan memberi padaku."Akbar mau yang warna lebih lelaki, Ma. Warna biru dengan motif bola."Aku mendelik, bukankah sprei ini baru kemarin dipakai."Kok ganti lagi, Sayang? 'Kan kasihan Bik Ina capek nyuci sebentar-bentar. Padahal sprei ini baru kemarin diganti?"Akbar mengulum senyum."Ini semua udah

  • Istri Yang Kau Ceraikan   4. Pembalasan Yang Tak Seberapa

    Sudah jam lima sore, Akbar masih menanti kedatangan Mas Radit di depan teras. Sudah hampir satu jam dia tidak beranjak. Rasanya kasihan juga jika sampai Mas Radit membatalkan kedatangannya malam ini."Nunggunya di dalam aja Nak, sambil nonton televisi," tawarku melihat dia mulai jenuh."Nggak Ma, Akbar mau nunggu di sini. Di dalam Akbar kayak ngerasa kepanasan gitu, Ma."Tersenyum aku mendengar alasan yang keluar dari mulutnya. Meski tanpa dampingan Mas Radit, namun dia sepenuhnya menuruni kecerdikan sang ayah. Ah, andai Mas Radit ikut mengasuhnya bersamaku, pasti ia tumbuh menjadi sosok yang lebih luar biasa dari sekarang.Astaghfirullah, aku mengelus dada akan andai-andai yang tidak berdalil ini. Lalu memilih duduk di sofa ruang tamu. Entah kenapa hati inipun diam-diam menanti kedatangannya.*Tepat pukul enam, saat azan magrib hampir mengumandang. Terdengar deru mobil berhenti di depan pagar. Aku mengangkat tubuh dari kegiatan mengisi laporan ruangan, sambil menyibak sedikit gorden

  • Istri Yang Kau Ceraikan   5. Lelaki Tak Berhati

    "Jangan pergi, Dek. Jangan siksa Mas lagi," ucapnya dengan mulai membuka mata. Jadi daritadi, dia berpura-pura tidur?Kubuang napas sambil memendam kekesalan. Harus kuakui hati ini seolah tercerabut paksa mendengar permintaan yang kembali keluar dari mulut Mas Radit. Aku jadi tak mengerti, atau jangan-jangan dia amnesia hingga lupa bahwa yang memilih berpisah adalah dia, bukan diriku!Jika banyak wanita akan mengamuk untuk meluapkan kekesalan hatinya, tapi tidak denganku. Dari dulu tabiat ini memang tidak berubah. Kukumpulkan kekuatan untuk hanya mengeluarkan suara."Mas sudah terlalu banyak berbicara semenjak kemarin. Saya minta Mas jangan sampai salah paham perihal keijinan untuk menginap di rumah ini. Semua saya lakukan demi Akbar."Ucapanku pelan namun tegas. Dia tergerak, seperti hendak berbicara."Tolong beri Mas kesempatan untuk menjelaskan semuanya, Dek.""Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, Mas. Talak yang Mas ucapkan enam tahun yang lalu sudah menjelaskan semuanya. Saya ha

  • Istri Yang Kau Ceraikan   6. Kejujuran Almarhum Ibu Mertua

    POV Bik InaPagi ini saya ditugaskan Mbak Alya mengawasi mantan suaminya. Sebenarnya saya tidak menyukai pekerjaan ini, tapi demi beliau yang teramat saya sayangi, saya bersedia melakukannya.Sudah lima tahun saya bekerja di rumah majikan saya ini, tepat setelah beliau melahirkan anak pertamanya bernama Akbar. Saat itu beliau tinggal di rumah eyangnya di Kota Malang. Yang saya tahu, beliau baru ditalak oleh suami dan diusir oleh ibu mertuanya.Seharusnya pula, beliau tinggal bersama ibu kandung yang berposisi di Kudus. Tapi kenyataan, di daerah itu pula sudah tersiar kabar bahwa beliau mengandung anak hasil hubungan terlarang.Saya tahu benar bagaimana kehidupan beliau. Kepahitan serta kepiluan yang beliau rasa. Selama masih mengandung, beliau setiap saat dalam keadaan murung, selalu menanti mantan suaminya datang untuk merujuk. Tapi ternyata, lelaki itu baru datang setelah Mbak Alya melahirkan.Entah apa sebenarnya yang terjadi diantara mereka, tapi satu yang saya tahu, bahwa mereka

  • Istri Yang Kau Ceraikan   7. Semua Anak Mas Radit Berkelainan

    "Alya."Langkahku terhenti, tatkala suara panggilan seseorang terdengar di belakang. Sejenak aku menoleh untuk memastikan siapa yang sudah memanggilku tersebut."Dokter Adam?"Duda sombong itu memanggilku? Nggak salah? Atas apa yang sudah ia lakukan tadi pagi, aku harus mengacuhkan panggilannya.Kubuang wajah, tak perduli. Langkahku tak terhenti walau sejenak."Alya."Kini dia berhasil menyeimbangkan posisinya denganku."Saya baru tahu, selain kurang hati-hati, kamu juga kurang bisa mendengar."Apa katanya? Kurang bisa mendengar?Baik akan saya layani segala keinginanmu, Dokter."Maksud Dokter apa? Apa kurang cukup mempermalukan saya di depan pasien tadi pagi? Saya ini manusia, punya hati, Dok."Lelaki itu terdiam."Jadi selain yang dua tadi, kamu juga mudah tersinggung."Aku mengeram di hadapannya. Kehentakkan dua tangan, lalu berlari menuju tempat parkiran. Dia hanya termanggu di tempatnya berdiri. Tanpa usaha untuk mengejar apalagi meminta maaf. Ingat, sampai kapanpun saya tidak a

  • Istri Yang Kau Ceraikan   8. Perasaan Yang Berbeda

    Tak ingin peduli pada pesan terakhir yang dikirimkan dokter Adam ke ponselku. Aku kembali menapak kaki hingga ke kantin. Suasana di tempat itu masih lenggang dari pengunjung. Hanya beberapa bangku yang terisi. Kupilih duduk di kursi dekat taman. Ingatan ini sejenak terlempar pada dokter paru yang baru berdinas di rumah sakit sekitar enam bulan lalu. Selama ini memang kami jarang bertemu. Sesekali hanya berpas-pasan di koridor atau di ruangan rawatan saat aku mengantar pasien untuk rawat inap. Selebihnya pernah dua kali berada dalam satu ruang rapat. Artinya aku dan dia memang tidak pernah terlibat pertikaian, tapi kenapa sikapnya seolah sangat tidak menyukaiku?Apa benar cuma karena salah pasang infus kemarin? Masak iya sampai ngatain diri ini tidak beradap.Aneh! Bikin pusing.Saat kedua tangan baru membuka bungkusan nasi gurih di atas meja, seketika pandangan teralih pada beberapa meter ke depan.Yang baru saja menjadi topik dalam benak melangkah mendekat bersama beberapa staf UGD

  • Istri Yang Kau Ceraikan   9. Kedatangan Istri Mas Radit

    Dulu aku mengikhlaskan Mas Radit untuk dimadu dengannya, tapi apa balasan yang kuterima? Dia mencampakkanku sedemikian lihai!"Alya.***Aku menangis sejadi-jadinya di dalam kamar. Kubiarkan air mata yang selama ini hanya boleh menetes tersebab mengingat dosa, kali ini berderai mengingat mantan. Enam tahun kugunakan seluruh usiaku untuk melupakan masa-masa indah bersamanya, tapi sungguh aku tak bisa. Tak pernah dalam hidup dia menyakitiku melainkan oleh fitnah yang ditimbulkan oleh ibunya. Dan hari ini, aku sudah membiarkan tanganku menyentuhnya kembali. Aku bersalah ya Allah. Dia yang tak boleh lagi kusentuh!Allah ...Harusnya memang tak kubiarkan dia terlalu jauh kembali.Kejadian ini semakin menyadarkanku, bahwa setegar apapun diri ini. Aku tetaplah wanita.Satu jam kubiarkan menangis tanpa ada seorangpun yang mengusik. Memasuki menit di jam kedua, kamarku diketuk pelan. Lalu Akbar muncul di sebaliknya.Kubalikkan tubuh menghadap tembok, menutupi sisa-sisa air mata dari pengliha

  • Istri Yang Kau Ceraikan   10. Surat Untuk Radit

    POV RaditBagi dunia, kamu mungkin hanya satu orang.Tapi bagiku, kamu adalah dunia.Enam tahun tanpamu, aku kehilangan duniaku, Al.Kembalilah, aku butuh kamu sebagai tempatku berpijak.***Kubaringkan kepala sembari menatap langit-langit kamar, bayang Alya menari-nari di sana. Ah, andai waktu bisa kembali, aku ingin menarik ulang kata-kataku. Sungguh aku masih sangat mencintainya. Sedikitpun tidak ada yang berubah.Enam tahun, jika ia beri sedikit saja kesempatan untuk kujelaskan semuanya. Tentu hidup kami tidak akan seperti ini, tentu tidak ada rindu yang tersia-siakan tanpa bisa berbagi. Semua bahkan terlewati dengan terus membawa duka. Ibarat kata, kami berada di dua dunia. Hanya tau tanpa pernah bertemu.Kulirik surat wasiat Mama sebelum beliau menutup mata. Harusnya mama meminta agar aku membacanya bersama Alya. Huh, apakah Alya sudah membaca surat miliknya, kira-kira apa yang Mama tuliskan?Aku hanya bisa membayangkan, mungkin lebih baik kubaca surat ini terlebih dahulu. Kub

Bab terbaru

  • Istri Yang Kau Ceraikan   56. Merindu dan Dirindui

    "Ayo meneran Mbak, sedikit lagi. Tarik napasnya, yuk. Bismillah."Sekuat tenaga kukumpulkan kekuatan untuk meneran. Untuk ketiga kali, akhirnya rasa ini kembali menghampiri. Rasanya mustahil manusia sanggup terbiasa dengan penderitaan sepedih ini. Namun, dengan sang kekasih di sisi yang terus menyemangati, mengusap peluh di kening, menggosok punggung yang terasa sakit, semua akan terlewati dengan mudah. Ya, kali ini ada Mas Radit yang menemaniku melewati semuanya.Dia yang sedari awal mulai kontraksi terus menjadi tempat tangan ini menggenggam. Dia yang sedari awal bahkan rela meninggalkan segalanya demi mendampingiku. Aku sangat bersyukur di persalinan ketiga ini, Allah memberi kesempatan merasakan dampingan seorang suami dalam bertarung antara hidup dan mati. Demi melahirkan seorang bayi ke dunia."Ayo Mbak, sedikit lagi.""Bismillah."Doa dan zikir menggema hingga akhirnya, tangisan bayi terdengar membelah kesunyian malam kala itu. Bidan yang menolong segera mengikat tali pusat l

  • Istri Yang Kau Ceraikan   55. Engkau Yang Terbaik

    [Saya sudah dapat informasi siapa yang membawamu pulang malam itu, Al]Sebuah pesan dari Nina berhasil membuat dada ini bergemuruh hebat. Segera aku melakukan panggilan ke nomor sahabatku itu.[Hallo, Nin.][Iya, Al.][Siapa Nin orangnya?][Resty, mantan pacarnya Tama dulu, pas masih di Poltekkes.][Hah? Benarkah, Nin?][Iya, benaran. Suamiku yang lihat. Ni aku kirim alamat rumahnya ya. Biar kamu bisa langsung samperin orangnya.][Oh iya, Nin. Makasih ya.][Sama-sama.]Setelah menutup telpon, langsung saja kulakukan panggilan pada ponselnya Mas Radit, siapa tahu Mas Radit sedang tidak ada kegiatan dan bisa mengantarkanku ke sana.[Iya, Sayang?][Mas, barusan Nina hubungi Alya, katanya yang bawa saya malam itu mantan pacarnya Mas Tama.][Benar, Yank?][Iya, Mas. Nina juga kasih alamat rumah, supaya kita bisa tanyakan langsung sama orang itu.][Hm, tapi Mas masih ada pasien ni. Setengah jam lagi Mas pulang, ya.][Iya, Mas. Alya tunggu.]*Seperti ucapannya, setengah jam dari kumenutup t

  • Istri Yang Kau Ceraikan   54. Surat Yang Ditulis Radit Sebelum Meninggal

    "Yah, aku rindu sama Ayah Radit."Ucapan Akbar membuat mulut ini terhenti dari membacakan sirah nabi. Kututup buku serta merespon apa yang sedang dirasakan anak sambungku itu."Kalau Akbar rindu sama Almarhum Ayah, berarti Akbar harus ngirim doa. Minimal Alfatihah. Biar Ayah merasa bahagia karena sudah meninggalkan anak yang shaleh di dunia ini."Akbar mengangguk lalu mengangkat kedua tangan. Pelan lafaz surat Al-Fatihah mengalun dari bibirnya."Yah, apa ayah Radit bisa melihatku di sana?"Lagi-lagi aku dibuat bergetar dengan pertanyaan Akbar. Sekian lama menikahi ibunya, baru malam ini dia bercerita tentang almarhum sang ayah. Ternyata benar seperti kata Alya, Akbar adalah bocah yang sangat pintar memanage perasaan."Tentu bisa Sayang, makanya Akbar harus jadi anak baik, rajin shalat dan mengaji serta sayang sama Mama dan Dedek Maryam.""Aku udah ngelakuin semuanya, Yah.""Kalau gitu, pasti Ayah Radit sangat bangga pada Akbar.""Benar, Yah?""Iya, Sayang.""Akbar mau ngomong sama Mam

  • Istri Yang Kau Ceraikan   53. Flek

    "Mas, ada flek ini." Alya berlari dari dalam kamar mandi sambil menunjuk sesuatu. Jantungku berdegup kuat menatap apa yang ada di tangan Alya. Fleknya lumayan banyak. Apakah ini efek dari berturut-turut bercocok tanam? Astaghfirullah! "Mas sih, lasak. Alya 'kan sudah ingatin." Dia merengut sambil merebahkan kepalanya di atas pundakku. Entah bagaimana jika istriku ini sedang menaruh kesal. Sebab yang aku tahu, saat kesal, Alya selalu menempel di tubuh ini. "Maaf ya, Mas janji nggak akan melakukannya lagi," ucapku terbata sambil mengelus pipinya Masih dengan rasa khawatir yang memenuhi rongga dada. Alya terlonjak dan menatapku seketika. Kenapa? Apa aku salah bicara? "Benar, Mas nggak akan melakukannya lagi? Sampai sembilan bulan?" Mataku berkedip cepat, melakukan apa? Sejenak kepala dengan cepat berpikir. Ketika sudah paham yang Alya maksud, jiwa ini malah bergidik ngeri. Tidak melakukan selama sembilan bulan? Hmm, lumayan lama. "Maksud Mas, nggak akan lasak lagi jika kita sed

  • Istri Yang Kau Ceraikan   52. Ngidam Kerang Rebus

    POV Radit***Oooeekkk!Oooeekkk!Sudah beberapa kali aku keluar masuk kamar mandi. Tiba-tiba perut ini terasa mulas, dan ingin mengeluarkan isinya. Tapi hingga berkali-kali kumuntahkan, tak ada satupun yang keluar dari lambung.Alya mengurut punggungku sambil membaluri dengan minyak telon. Eh, bau minyak itu malah membuatku kembali mual."Mas ...."Istriku menyentuh lengan ini saat diri sudah kembali rebah di atas ranjang. Jam baru menunjukkan pukul lima subuh."Iya, Yank."Aku memandanginya sambil mengelus pipi. Seharusnya dimana-mana kalau istri sedang hamil, dia akan muntah-muntah di pagi hari. Lalu seperti suami siaga lain, aku ada di sisinya untuk menyemangati dan mengurangi segala keluhan. Tapi yang terjadi pada kami? Alya malah yang harus melayaniku."Kayaknya Mas mengalami morning sickness deh."Dua bola mataku membelalak mendengar ucapannya."Masak iya kamu yang hamil Mas yang morning sickness?"Kedua sudut bibirnya kembali tertarik menjauh. Lalu dia memelukku."'Kan emang a

  • Istri Yang Kau Ceraikan   51. Selamat Mas, Kamu Akan Jadi Ayah

    Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Mata belum juga mau terpejam. Kulangkahkan kaki perlahan menuju kamar Akbar, rasa menuntun diri untuk kembali melihatnya. Pelan, aku membuka pintu. Tampak di mata, suamiku sedang duduk bersandar pada kepala ranjang. Di tangannya sebuah buku biografi Buya Hamka menemani.Tak berani masuk, aku menutup pintu dan memilih kembali ke kamar. Entah untuk pukul berapa, mata ini akhirnya terpejam juga.*Sebelum subuh, diri ini sudah lebih dahulu terjaga. Dapur masih sepi, bahkan kamar ART saja masih tertutup rapat. Kusiapkan sarapan istimewa untuk Mas Radit, hari ini dia harus mau berbicara. Akan kuberi perhatian lebih, dimulai dari segala persiapannya kerja, lanjut sarapan.Tepat saat azan berkumandang, aku menyerahkan sisa pekerjaan pada ART dan bergegas ke kamar Akbar. Pelan aku membuka pintu kamar anakku itu. Sesuai rencana, Mas Radit masih berbalut selimut. Aku mendekati ranjang lalu duduk di sisi suamiku tertidur.Pelan, kukecup keningnya sam

  • Istri Yang Kau Ceraikan   50. Keraguan di Hati Mas Radit

    Tanpa mengulur waktu, lekas aku menelpon Mas Radit. Jantung sudah tidak bisa kugambarkan lagi dentumannya. Panggilan pertamaku direject.Tak putus asa, aku kembali menelpon. Direject lagi.Ya Allah ...Kucoba ketiga kali, tetap direject. Tak lagi menelpon, kini aku mengetik sebuah pesan.[Tolong angkat telponnya, Mas. Alya bisa jelaskan semua ini.]Tak ada balasan. Kini ponselnya malah tidak lagi aktif. Semua terlambat. Andai dari semalam aku jujur, tentu tak akan seperti ini kejadiannya.Tubuhku terduduk lemah di atas ranjang. Sejenak, anganku terlempar pada kejadian enam tahun silam. Seperti ada yang menghunus jantung ini. Sakitnya terasa hingga ke sekujur tubuh. Ya Allah, tolong beri kesempatan bagi hamba untuk menjelaskan semuanya pada Mas Radit.*Akbar turun di depan gerbang sekolah. Meski tak ingin melakukan kegiatan apapun tersebab hati masih dipenuhi kekhawatiran, tapi aktifitas tidak boleh berhenti. Akbar harus tetap ke sekolah. Masalah yang sedang kuhadapi dengan Mas Radit

  • Istri Yang Kau Ceraikan   49. Ternyata Dia Tak Seburuk Itu

    Mata kami bertemu sejenak hingga aku lepas kontrol dan berlari menuju pintu. Kugedor-gedor pintu kamar sambil berteriak minta tolong."Tolong! Buka pintunya!"Seperti kesurupan, aku berlari mencari celah agar bisa keluar. Tapi gerakanku tak mendapat cegahan. Sedang biasa, jika seorang lelaki hendak memperkosa, pasti dia akan langsung menyerang. Kenapa Mas Tama justru tidak begitu?Lelah berlari, akhirnya aku memilih berhenti, duduk kembali di atas ranjang dengan terengah-engah.Kumenoleh menatap Mas Tama yang ... sudah selesai berpakaian."Udah lari-larinya? Kamu lucu, Al."Dia terkekeh-kekeh menahan tawa. Sedang di sini, aku masih dengan emosi yang tak terkendali."Kenapa saya ada di sini? Mas Tama udah apain saya?"Dia menoleh, membuat degup jantung ini kian menyentak."Saat kamu keluar dari rumah Nina, saya ngikuti. Terus kamu dibawa oleh seorang wanita yang saya nggak kenal siapa. Dan di tengah jalan, mobilmu diberhentikan. Dia keluar untuk kemudian menaiki taksi."Dua bola matak

  • Istri Yang Kau Ceraikan   48. Pertemuan Berbuah Petaka

    Selepas kepergian Mas Radit, meski tak bergairah aku tetap harus menjalani semua aktivitas seperti biasa. Mengurus dua anak serta membantu di rumah ibu mertua sebisa mungkin. Juga tak lupa mengawasi rumah almarhum Mas Radit yang kini ditempati oleh Ina beserta seorang sanak keluarganya. Hingga malam tiba, aku sangat terkejut dengan mampirnya sebuah nomor yang tak lain adalah nomor ponsel Nina, sahabat karibku semasa kuliah dahulu.[Assalamualaikum, Al.][Waalaikum salam.][Apa kabar, Al?][Alhamdulillah sehat, Nin. Kamu sekeluarga gimana?][Alhamdulillah, kami semua sehat. Al, besok malam ada kegiatan apa?][Kegiatan? Kalau malam sih nggak pernah ada kegiatan.][Datang ke acara syukuran kecil-kecilan di rumahku ya, Al. Acaranya habis isya, ajak suami dan anak-anakmu juga. Biar bisa saling kenal.][Suamiku lagi tugas luar kota, Nin.][Yah, padahal pengen sekali ketemu sama kamu, Al. Kemarin di acara reuni kampus juga kamu nggak datang.]Suara Nina di ujung telpon terdengar pilu. Seben

DMCA.com Protection Status