Langkah kaki terdengar menggema di lantai marmer mahal. Sorot kamera terpancar begitu rapi tatkala wanita cantik dengan gaun hitam melangkah memasuki ruangan yang sudah dihias dengan begitu indahnya.Delima menoleh dengan senyum kaku, begitu pun dengan Luna yang langsung menampilkan senyum cerah tatkala wanita yang ia tunggu akhirnya berjalan ke arahnya.“Selamat siang, Ibu.” Alice memeluk ibu dan ibu mertuanya bergantian. Menatap beberapa orang yang kebetulan mendekat ke arah mereka dengan sapaan yang begitu sopan.“Kenapa telat? Di mana Leonardo, kamu bersamanya?” tanya Delima melihat ke arah luar, tetapi tak melihat siapa pun yang mengekor putrinya.Alice menggeleng kecil dengan senyum yang masih terpatri indah. “Aku datang sendiri, Bu.”Senyum Luna yang tadi sempat terbit kini tertahan, mendengar jawaban Alice—menantunya. Bukan karena ia ingin menyalahkan putranya, tetapi lebih karena tempat ini—begitu ramai, begitu terbuka. Alice yang peka terhadap perubahan ekspresi di wajah me
Dari jarak jauh, Delima melihat interaksi Alice dan wanita yang ia tahu putri dari seseorang yang dikenalnya. Namun, bukan itu yang menjadi gelisah Delima kali ini. Jelas ia tahu wanita itu sangat menginginkan Arsen seperti Silvia yang juga begitu menginginkan pria itu.“Nyonya, silakan Anda nikmati yang Ada. Aku ingin ke belakang dulu,” kata Delima pada Luna dan para tamu wanita lainnya. Mereka duduk disatukan pada meja panjang yang besar dengan hidangan yang mewah.Luna mengangguk dan melanjutkan obrolan dengan wanita kalangan atas. Ia pun tak ketinggalan mengabadikan beberapa momen penting untuk diabadikan di sosial media miliknya..“Nyonya, Anda sangat beruntung karena berbesan dengan nyonya Delima,” celetuk salah seorang wanita di antara mereka.Senyum bangga Luna terlihat sangat jelas, ia pun sangat bangga dengan pencapaian yang Leonardo berikan kali ini. Berbesan dengan Oscar adalah impian semua orang, apalagi yang putranya nikahi adalah ahli waris yang sah.“Anda sangat baik h
Luna bernapas lega tatkala Alice kembali duduk di sebelahnya. Karena begitu penasaran ia menoleh dan berbisik, “Yang tadi siapa?”Tersenyum kecil dan ramah, Alice menyapa beberapa orang yang tersenyum ke arahnya, setelah itu barulah fokus pada Luna. “Dia temanku, Bu.”Alice bahkan belum mengingat betul kapan terakhir kali dia dan Vita bertemu, sungguh dia tidak pernah tahu tentang Vita selama ini. Namun, ketika ia ingat kesibukannya di masa lalu, wajar saja jika dia tak ingat siapa yang berada di sekelilingnya.“Teman,” kata Luna mengulang dengan nada ragu. Selama ini, ia tidak tahu bahwa Alice memiliki teman selain para pelayan di rumahnya. Ada keheningan singkat, dan Luna merasakan dadanya berdesir tak nyaman, “maafkan Ibu karena tidak tahu banyak hal darimu,” katanya dengan nada suara yang dikecilkan.Alice mengangguk pelan dan mengusap lengan Caterine dengan lembut, mencoba menenangkan ibu mertuanya yang tiba-tiba bersikap lebih hangat dari biasanya. Sentuhan itu terasa asing, te
Leonardo menatap datar pada wanita seksi di hadapannya, ia bahkan tak percaya jika Dara benar-benar diluar dari perkiraannya.“Apa ini Dara?” tanya Leonardo dengan aura yang semakin dingin. Ia tidak suka jika ada yang berkata berlawanan dari apa yang dikatakan sebelumnya.“Pak, ini kejutan untuk Anda,” katanya dengan senyum yang manis, gigi putih dan rapi semakin menambah aura kecantikan dari sekretaris Leonardo itu.Leonardo sudah akan berbalik. Tidak suka dipermainkan seperti ini karena membuatnya seperti orang bodoh yang mudah ditipu. Namun, dengan cepat Dara berhambur dalam pelukan si pria, mengeratkan tangan di pinggang alot dan tubuh yang kekar.Leonardo menunduk menatap.lengan halus yang semakin erat di pinggangnya. “Lepaskan tanganmu Dara!”Dara menggeleng, ia menempelkan wajahnya di pundak Leonardo, bahkan sudah menempelkan pemerah bibirnya sebagai hiasan di sana.“Maafkan saya karena berbohong, Pak. Namun, inilah satu-satunya cara agar Anda datang menemui saya,” katanya deng
“Bagaimana rasanya?” Edgar berdiri dengan tangan memegang sandaran kursi, ia masih menunggu Alice untuk memberikan nilai atas masakannya. Dengan senyum yang manis dan mata yang berbinar, pria itu tidak lelah sedikit pun jika itu tentang Alice.“Ini enak,” jawab Alice jujur, “tangan saktimu memang tidak diragukan,” sambungnya dengan senyum tipis di bibirnya.Edgar bernapas lega, ia duduk di hadapan Alice dan menunaikan kembali makanan buatannya di atas piring Alice. Ia menunggu Alice sampai menghabiskan semua makan di piringnya.“Ingin lagi?” tanya Edgar sudah siap akan menyendok kembali, tetapi Alice menggeleng dan menjauhkan piring miliknya.“Berat badanku bisa bertambah, Ed. Ini sudah cukup,” tolaknya.Edgar terkekeh, “Baiklah. Sekarang habiskan makananmu. Karena setelah ini aku harus kembali.”Alice mengangkat wajah, tersenyum tipis tetapi matanya memancarkan sedikit rasa bersalah, "Ah, maafkan aku, kamu sampai lupa berkencan karena aku."Edgar tersenyum lembut, "Tidak apa-apa, Al
“Alice … aku, aku bisa jelaskan ini dengan baik padamu, tolong berbaliklah!” Saat ini keduanya telah berada di dalam lift. Leonardo membawa Alice dengan paksa tadi karena begitu khawatir dengan kelanjutan pernikahan mereka.Leonardo mendekat selangkah, mengangkat tangan dan ingin menyentuh pundak sang istri, tetapi ia ragu, merasa malu dan tak pantas.Menghela napas berat, setelah mengatur perasaannya, Alice pun berbalik. Menatap Leonardo dengan wajah tenang meski hatinya berkecamuk hancur.“Tidak perlu menjelaskan apa pun, Leon,” katanya lembut, teramat lembut hingga ia merasa nyeri di dalam hati.“Alice, kamu salah paham jika berpikir aku dan Dara–”Tersenyum kecut Alice menggeleng tanda bahwa dia tidak ingin mendengar penjelasan apa pun lagi. Leonardo menghela napas berat dan mencoba menjelaskan.“Alice, dengar, aku tidak bermaksud membuatmu merasa seperti ini. Aku …,” ucap Leonardo dengan suara gemetar, seolah mencari kata yang tepat, “aku dan Dara tidak seperti yang kamu pikirka
Luna berdiri di depan jendela kamarnya, menatap luar halaman belakang yang kini tampan tak menarik lagi. Hatinya berdesir antara rasa bersalah dan juga kebingungan.Ia tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya, bukankah ia sangat menginginkan Dara menjadi menantunya, lalu kenapa setelah kejadian ini dirinya merasa tak suka?Ia mantap ponselnya yang mendapatkan notifikasi, sebuah grup besar di mana di dalamnya ada wanita-wanita berkelas dan salah satu ada namanya di dalam.“Leo, apakah kamu kembali menguji ibu?” tanyanya dengan nada resah, pernikahan Leo dahulu membuatnya dikeluarkan dari grup yang tidak terlalu besar, tetapi siapa yang sangka bahwa kehadiran Alice justru memasukkan dirinya pada kelompok yang jauh lebih besar?Menghela napas berat, Luna kembali menatap keluar jendela, mengingat bagaimana sikap Alice yang seperti berusaha untuk menghindari pembahasan tentang Leonardo.“Apa yang terjadi? Apakan mereka memiliki masalah? Apakah Alice mulai sadar jika Leonardo tidak mencinta
Arsen mengerutkan kening menatap pria dengan paras tampan sudah berdiri di depan meja kerjanya. Menatapnya dengan tatapan tidak ramah sama sekali.Pria itu melirik ke arah Jhon yang merasa menyesal karena tidak bisa menghentikan Leonardo untuk masuk. Kemudian dengan isyarat, ia meminta Jhon untuk keluar dan menutup pintu lagi.Menghela napas berat, Arsen berdiri dan meletakkan kacamata miliknya di sebelah laptop yang masih menyala.“Ayo duduk dulu!” ajak Arsen pada tamu tak diundangnya.Satu gerakan, Hinggan membuat tubuh kekar Arsen tertarik ke belakang. Tidak hanya itu, wajah tampannya pun mendapat satu tinjuan hingga memar. Belum sempat Arsen membela diri, Leonardo kembali menyerang hingga lawan terjatuh ke sudut meja. “Di mana kamu sembunyikan istriku?” Leo menarik kerah kemeja Arsen dengan tangan siap meninju.Arsen merasakan wajah tampannya hancur, tidak hanya itu, perutnya terasa begitu sakit karena tujuan Leo yang begitu kuat.“Kenapa menanyakan istrimu padaku?” tanya Arsen