“Ayo buruan cek! Palingan juga negatif lagi! Wanita mandul aja sok pake cek kehamilan segala!” seru Mama Tami mendorong punggung Melisa supaya segera mengecek kehamilan.
Melisa menatap sekilas dan membela diri dengan lembut. “Mama jangan suudzon dulu, Ma! Ya siapa tahu kali ini hasilnya positif!” ucapnya. Bukankah ucapan adalah doa? Ia harus mengucap yang baik-baik.“Alah, kalau mandul ya mandul aja! Jangan sok bilang suudzon suudzon. Udah berapa kali kamu beli testpack, tapi nggak guna? Noh lihat, Mel! Ratusan di kardus itu. Berapa duit Rehan yang kamu buang? Berapa? Udah tahu mandul, eh malah bolak balik cek!” Mama Tami membentak Melisa sampai wanita berusia delapan bellas tahun itu berjingkit kaget.“Mana beli yang mahal lagi. Nggak ngotak kamu ya? Harusnya tuh beli yang lima ribuan, jadi nggak kebuang percuma. Buat nyelup air kencing aja gaya pake yang mahal. Orang mandul aja kok sok beli tes kehamilan segala. Nggak malu apa ama Mbak-Mbak apotekernya, beli test pack mulu tapi nggak ada hasilnya?” cibir Mama Tami dengan bersedekap di bawah dada."Aku beli online, Ma. Diskon," kata Melisa membela diri.“Nah, itu Mama juga tahu kan. Dia emang horos banget! Jadi, dia kemaren minta uang cuma buat beli ini? Astaga!” Rehan menyahut Pagi ini dengan tatapan suntuk pada Melisa.Tak ada pembelaan lagi dari sang suami yang semakin membuat Melisa sangat rapuh serta merasa dikucilkan. Ingin pergi, namun Melisa tak bisa kabur.Tak ada pegangan uang sama sekali. Jatah bulanan hanya diberikan 300 ribu. Semua gaji suaminya, Mama Tami yang pegang dan mengaturnya. Melisa tak berhak sama sekali.“Padahal, aku udah nyuruh Melisa beli yang murah. Dasarnya si dia aja gengsi. Udah buruan cek, awas kamu ya kalau negatif lagi! Kau harus aku hukum!” ujar Rehan menunjuk wajah sang istri.“I— iya, Mas.” Melisa hanya menggeleng lemah, ia menggigit bibir bawah dan menjawab tergagu. Ucapan ibu mertuanya yang menggelegar seperti sambaran petir itu kian menyayat hati.“Buruan! Buang-buang waktu aja! Kamu belum masak, belum ngerjain tugas rumah. Suami kamu ini mau berangkat kerja! Jangan lelet! Ini udah bangun kesiangan, malah pake sok ngatain telat seminggu. Pake acara tes kehamilan segala! Hasilnya tuh udah pasti negatif!” sungut Mama Tami menatap sinis.“Iya, iya. Aku cek dulu, Ma.” Dia segera mencelupkan test pack ke arah urine yang sudah ditampung dalam sebuah wadah kecil bening di kamar mandi dapur.Dengan jantung yang berdebar, Melisa dan juga Rehan menunggu hasil test pack yang baru saja dicelupkan selama beberapa detik.Setelahnya, Melisa mengangkat dan menyembunyikan di balik tubuh. Sambil harap harap cemas, dia melangitkan doa tulus.“Ya Allah, berilah hamba amanah tahun ini. Hamba juga ingin mempunyai keturunan.”Melisa menatap wajah-wajah menakutkan di hadapannya yang mulai tak ramah. Takut saja jika hasilnya tak sesuai harapan.Satu detik, satu menit hingga lima menit menunggu, Rehan yang tak sabar lantas merebut hasil tes pack Melisa.“Alah! Lama banget! Nungguin beginian aku jadi nggak mandi. Membuang waktu sepuluh menit. Siniin!” sergah Rehan merebut paksa terst pack itu dari tangan Melisa.Segera dia membawa ke dekat meja makan, menyalakan lampu di atas dan melihat dengan seksama. Takut saja jika hasilnya tak jelas.Satu, dua, dan ... tiga!Melisa menutup mulutnya. "Allah, kenapa hanya satu garis?" keluhnya merepih. Hatinya sakit sekali. Dia melirik gurat kekecewaan dari wajah suami serta ibu mertuanya.“Nah kan, negatif lagi. Apa Mama bilang? Kamu itu wanita mandul! Udah jelas hasilnya negatif lagi, pake tes tes segala! Udah, ini pokoknya yang terakhir! Awas kamu tes tes lagi nggak guna!” seru Mama Tami mengejek dan memukul belakang kepala menantunya.“Aku bukan mandul, Ma. Cuma belum dikasih keturunan aja. Intinya Allah masih nyuruh kami berusaha dan berdoa. Allah belum mempercayai kami mempunyai anak. Karena Allah ngerasa jika kami belum mampu merawatnya,” sanggah Melisa.Melisa masih berpositif thinking. Toh, keduanya juga belum pernah melakukan program apa pun. Jadi, tak ada salahnya mencoba dulu, bukan? Bukankah semua bisa diusahakan. Meski Melisa lulusan eSeMPe, tetapi dia juga tak kudet.Melihat raut wajah murung dari Rehan, Melisa kemudian menatap wajah suaminya, bergelayut manja dan berkata, “Mas, bagaimana kalau nanti kita coba program hamil dulu. Kita bisa lakukan bayi tabung dan—”“Nggak perlu, Mel!” sentak Rehan kasar sambil menghempas tangan Melisa dari pundak kirinya.“Itu hanya buang-buang uang dan waktu tahu, nggak? Biaya program hamil itu juga nggak sedikit. Kalau sampai udah nyebur, nggak cuma dua ratus juta sekali program. Iya kalau berhasil, kalau enggak? Buang-buang duit dan hasilnya malah nggak ada. Rugi bandar, you know?” Rehan menyentak kasar lagi tangan istrinya yang berada di lengan.“Belum juga cuti kerjaku yang sering diambil. Uang gajiku nanti juga dipotong terus. Kamu tahu kan jika sering absen nanti aku akan dipecat? Kamu lupa, gajiku sebulan itu cuma berapa, ha?!” imbuh Rehan lagi. Dia sudah buntu ide kali ini.Melisa masih berusaha meluluhkan hati sang ibu mertua. “Tapi, Mas. Setidaknya sekali aja kita periksa dulu sama-sama, dan coba—”“Sama aja. Kalau kamu yang mandul, mana bisa hamil? Ya bener kata Rehan, buang-buang waktu dan uang!” sahut Mama Tami dengan ketua.Melisa menyanggah lagi. “Tapi kalau bukan aku yang—”“Kamu meragukanku, Mel? Aku nggak mungkin mandul, lah!” sangkal Rehan agak tersinggung. Dia menatap Melisa dengan tatapan tak suka.“Udah deh, Han. Mama nggak mau nunggu lama lagi. Kita sepertinya harus memberitahu Melisa hari ini!” bisik Mama Tami tepat di dekat telinga sang anak sulung.Rehan tampak menimang sesuatu, sebelum akhirnya memutuskan, “Mama benar. Dan untuk kamu, Mel. Kamu pokoknya harus rela dimadu! Aku pengen punya keturunan dari wanita lain,” terangnya dengan telak.Rehan terdiam sejenak. Ia juga bimbang, haruskah mengatakan ini pada Melisa? Tetapi kalau tidak, maka Rehan tak akan mempunyai keturunan sama sekali.Mama Tami sudah tak bisa menahan rahasia ini lebih lama lagi. “Dan asal kamu tahu, Melisa. Rehan harus mempunyai anak. Meski dari rahim wanita lain!"Melisa terbelalak. “Apa? Nggak mau, Mas! Kamu nggak bisa giniin aku! Kamu janji mau setia, kan? Kita nikah juga baru dua tahun, Mas! Ayolah, jangan patah semangat dulu. Seenggaknya kita bisa mencoba untuk—”“Apa katamu? Baru dua tahun?” sela Rehan dengan tatapan murka. Ia menggebrak meja dan membuat Melisa melonjak kaget.“Iya memang baru dua tahun! Tapi aku butuh anak secepatnya, Mel! Aku butuh anak untuk penerusku! Aku ini anak pertama, pemegang kekuasaan di rumah ini! Kalau aku nggak segera punya anak, tahta anak emasku itu bisa direbut sama Revan, adikku! Revan kerjanya cuma begajulan nggak jelas, otak atik motor dan nggak tahu kerja yang bener. Kamu paham nggak sih? Aku nggak bisa sesabar orang-orang yang harus nunggu belasan tahun, Mel! Enggak! Kamu itu kalau mandul, ya harus terima dong kalau di madu! Atau, kamu mau kita cerai aja?” sentak Rehan dengan kasar.Deg!Melisa menangis dengan dada yang berdebar bak dihantam godam. Kenapa mereka sudah memutuskan seperti itu? Padahal, cek kesehatan si Rehan nya saja belum pernah dilakukan selama ini.Melisa menggeleng. Kalau pun dicerai, lantas Melisa harus tinggal di mana? Sementara ia tak mungkin kembali ke panti asuhan. Tak enak jika merepotkan, serta membuat ibu panti kepikiran lagi akan rumah tangganya yang tak sehat.Melisa hanya lulusan SMP, mencari pekerjaan pun juga sulit dengan ijazah rendah. Dan selama ini, Melisa hanya diberikan uang terbatas oleh Rehan. Belum ada pegangan uang jika nantinya diceraikan.Saat Rehan hendak beranjak, Melisa berinisiatif memegangi kengan dan mencegah Rehan supaya tak pergi dari hadapan. Berusaha memperbaiki semuanya dan berusaha lebih lagi supaya dapat mempunyai keturunan.Melisa berusaha menyergah. Dia tak mau gagal berumah tangga. “Mas, dengerin aku lebih dulu. Bicarakan ini dengan kepala dingin, Mas,” kata Melisa.“Tidak ada yang perlu dibicarakan, Mel! Kita sudah tidak bisa diselamatkan! Kamu tidak bisa memberiku keturunan. Lalu, apa yang kuharapkan darimu? Harapan semu? Mimpi saja, tanpa kenyataannya apa? Sampai kapan, Mel?" Rehan melempar gelas yang ada di hadapan.Melisa tak menyerah. Dia tetap berusaha mempertahankan rumah tangganya saat ini. "Mas, dengerin aku dulu. Kita baru dua tahun menikah, dan kamu malah mau nikah lagi, Mas? Kenapa kamu nggak sabar aja dulu. Siapa tahu dengan sabar lagi, kita bisa—”“Siapa tahu kamu yang mandul selamanya dan nggak bisa punya anak?” potong Mama Tami sengit. Ia enggan melirik Melisa lagi kali ini.“Jadi, rugi dong Rehan mempertahankan kamu? Lebih baik terima aja, madumu akan datang sebentar lagi. Kamu masih bisa tinggal di sini nanti seperti biasa. Kalau cerai, kamu mau tinggal di mana? Ibu pantimu aja ngebuang kamu sejak dulu!” Mama Tami membeberkan semuanya."Ma, baru dua tahun. Paling nggak beri aku setahun lagi. Aku bisa buktiin kalau aku nggak mandul, Ma, Mas. Please, dengerin aku dulu. Hanya setahun, setelah nggak behasil, kita bisa ...." Melisa tak melanjutkan ucapannya. Ia ingin menikah sekali seumur hidup.Tapi, kenapa malah seperti ini?"Setahun terlalu lama digunakan untuk wanita yang salah!" ungkap Rehan yang membuat kepingan lara pada hati Melisa semakin berserak.Dada Melisa kembang kempis. Kata-kata ‘wanita yang salah’ tadi membuat air matanya mengalir deras."Wanita yang salah katamu, Mas? Apa kamu tidak mengerti, aku mengabdi padamu sebagai istri yang patuh dan taat. Inikah balasanmu, Mas?" Melisa memukul dadanya sendiri. Oksigen di sekitarnya direnggut paksa. Ia bagaikan diajak terbang ke awan dan dihempaskan paksa."Itu sudah kewajibanmu, Mel!" kata Rehan sambil mencebikkan bibir.“Lagian, istri keduanya Rehan mungkin udah OTW hamil! Dia juga udah telat seminggu!” imbuh Mama Tami memberitahu yang sontak membuat Melisa melotot tak karuan.Melisa terkejut bukan main. “Apa? Istri kedua? Ha— hamil? Mas, kamu selingkuh?”Bagai di sambar petir di pagi hari. Kenyataan yang diungkapkan Mama Tami membuat Melisa terkejut bukan main. Dia menodong suaminya yang hendak beranjak, seolah tak mempunyai salah sedikit pun.“Mas, jawab aku! Jadi, kamu selingkuh, Mas? Kenapa kamu giniin aku?” tanya Melisa sambil mencegah kepergian sang suami yang hendak bekerja.Melisa menggeleng dan tak percaya mendengar yang dikatakan ibu mertua serta suami terkasihinya tersebut.Rehan mendekat sambil menatap istrinya dengan raut wajah marah. Mencengkeram kuat dagu Melisa dengan keji.Tatapan Rehan membuat sang wanita membeku di tempatnya. Melisa yang saat itu sedang mati-matian menahan luka menganga dalam dada, hanya bisa meringis pelan melihat perlakuan sang suami.Dulu sangat baik bak malaikat pada Melisa. Tetapi 6 bulan belakangan, Rehan dan Mmaa Tami berubah menjadi iblis mengerikan.“Jaga bicaramu itu, Mel! Aku tidak berselingkuh!” sanggah Rehan dengan menghempas wajah istrinya sampai Melisa hampir terjerembab jatuh.“Kamu nggak dengar apa yang dikatakan Mama tadi? Aku sudah menikah! Menikah! Jadi, aku tidak berselingkuh dengan Rina.” Rehan menjelaskan sekali lagi sambil membentak.“Apa telingamu udah nggak berfungsi sampai kata-kata sekencang tadi nggak dengar, ha?” bentak Rehan sambil melirik sinis istrinya yang masih mengenakan piyama.“Sejak kapan Mas menikah? Mana sah jika menikah tanpa ijin dari istri pertama, Mas?” selak Melisa lagi menggoyangkan lengan suaminya yang memakai kemeja biru muda.“Buktinya, kami bisa menikah sah,” kata Rehan yang mengikis jarak ke arah istrinya.“Dan Rina itu sekarang sudah sah menjadi istri keduaku. Kami sudah menjadi sepasang suami istri. Tahu nggak?” bentaknya lagi lebih menyakitkan. Rehan semakin mengetatkan rahang dan juga membentak Melisa tanpa ampun lagi.Melisa hanya bisa menciutkan nyali sambil tergugu. Netranya mengabut dan dia tak kuasa menahan air mata. Yang sejak tadi ditahan Melisa supaya tak luluh lantak serta membuatnya lemah.Haruskah dia pergi sekarang dari rumah ini?Melisa tersentak dari lamunannya. Sudah sejak 5 menit lalu, ia menatap getir pada sesosok pasangan muda yang tengah memadu kasih di ruang tamu. Dua manusia itu benar-benar tidak memperdulikan perasaannya sama sekali. Ya, ... Sudah sejak 2 bulan yang lalu, ia dimadu. Sakit dan juga perih. Setiap titik air mata yang menemaninya selama dua bulan belakangan menjadi saksi perjuangannya seorang diri. Istri pertama, namun diperlakukan bagai pembantu. Melisa memilih untuk kembali kedalam kamarnya dan tidak ingin menatap kebersamaan yang selalu membuat hatinya terluka. Rina yang melihatnya lantas kemudian dengan sang suami. "Mas, kita sepertinya harus memanfaatkan Melisa, deh. Kita tidak mungkin lama-lama terus-terusan kekurangan uang seperti ini." "Hum?" "Kamu sih, harus ikut-ikutan judi online segala. Kalau sudah begini, gimana jadinya? Tabungan sudah habis, TV, almari, mobil dan juga beberapa uang tabunganku raib oleh perbuatanmu itu," dengkus Rina. Niat hati ingin hidup berkecukupan, s
Malam mulai merangkak naik. Baik Melisa dan Jimmy saling menatap lekat, mereka duduk di atas ranjang yang sama. Deru jantung mulai memesat, Melisa sangat ketakutan. Jimmy mendekat setelah melepas jasnya dan membuang ke sembarang arah. Tatapannya buas pada Melisa. Seakan ia hendak menerkam gadis manis yang berada di hadapan dan mencabik-cabiknya menggunakan cumbuan panas. “Jangan sakiti aku, Tuan. Kumohon,” kata Melisa mengiba. Ia mendekap guling guna menutupi tubuh bagian depannya yang terekspose di bagian dada. Ia jijik menatap penampilannya sendiri yang bagaikan wanita malam, dengan baju kurang bahan serta dada terbuka. Mengutuk perbuatan sang mantan suami yang terang-terangan menjualnya pada lelaki hidung belang. Melisa takut dinodai pria asing yang sepertinya keturunan bule ini. Jimmy memangkas jarak. Ia menyentuh wajah Melisa yang sudah dibanjiri air mata menggunakan jemari kanannya. Mengusap pelan, namun membuat Melisa merinding bukan main. "Jangaaan," lirih gadis itu ketaku
Jimmy langsung keluar saat merasa atmosfer di ruangan ini sedikit memanas. Ia turun ke lantai bawah dengan dada yang berdebar-debar. “Buah jambu incaranku sudah berubah menjadi buah melon ternyata. Pasti segar,” katanya dalam hati. Pikiran kotor Jimmy datang kala menatap belahan dada yang sangat menggairahkan. Karena perut yang sudah sangat lapar, ia duduk di meja makan. Berusaha mengabaikan tongkat sakti yang meminta kepuasan. Menahan sampai waktunya tiba. Menuruni anak tangga dengan Langkah penuh kehati-hatian. Penampilan Melisa yang mengenakan gaun biru muda menghipnotis pria berusia 30 tahun itu. Langkah demi Langkah sang gadis membuat Jimmy terpaku tanpa suara. Satu kata yang mewakili semuanya. Cantik! Melisa sangat menawan. Ini melebihi ekspektasi Jimmy sebelumnya. Melisa hanya butuh uang untuk tampil glow up. Wajah yang sejatinya sudah sangat cantik itu tinggal dipoles sedikit. Jimmy tak hentinya menyunggingkan senyuman dan bersiap menyambut kedatangan Melisa. Jimmy bangkit
Melisa terpaku dengan tatapan Jimmy yang sangat memabukkan. Ia pernah melihat itu, tapi … entah dimana, ia lupa.“Tu-tuan, lepaskan saya. Saya janji untuk tidak—”“Jangan bersikap seperti para asisten rumah tangga di sini. Kamu milikku, kamu calon nyonya di rumah ini dan tak kuperkenankan kau melakukan aktivitas apa pun!” Begitu tegas ucapan Jimmy, sampai Melisa pun tak berani membantah.Gadis itu terdiam dan meneguk ludahnya. Rok tutu sepanjang mata kaki tersingkap sedikit ke atas kala terhempas di atas ranjang. Ia memaki lelaki semena-mena ini yang selalu saja bisa membuatnya luluh.“Cepat mandi dan berdandanlah di lantai atas! Kamarmu ada di sebelah kamarku, aku menunggumu setengah jam lagi,” perintah Jimmy yang sedikit uring-uringan dengan keadaan pada area intimnya. Tegak dan menantang, sementara makanan di hadapan belum dimasak dan tentunya kurang lezat disantap mentah.“Kita mau kemana, Tuan?” tanya Melisa sambil beringsut menjauh. Hampir saja dia diterkam Kembali.“Cerewet!” se
“Ah, akhirnya satu masalah selesai. Inget kamu, Mas! Jangan pernah lagi terjerat judi online. Kalau sampai kamu masih nekat melakukannya karena tak enak dengan teman-temanku, aku ogah lagi bantuin kamu," ucap Rina sambil menasehati sang suami di ruang tamu. Rehan terlihat enggan menjawab. Sejak pagi tadi, telinganya panas mendengar ocehan Rina. Namun untuk menghargai ibu hamil muda itu, ia menjawab iya saja dengan anggukan. “Rin, bantuin ibu masak, dong!” ajak Mama Tami yang kala itu mendekat ke ruang tamu. Rina melirik sekilas, memasang wajah enggan. “Ma, aku tuh nyium bawang mual banget. Mama masak aja sendirian,” jawabnya setengah berbohong. “Memangnya aku pembentu apa? Kalian yang setuju Melisa dijual, ya jangan salahkan aku kalau tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah. Di rumah orang tuaku saja, aku diratukan. Dan di sini, kalian mau menganggapku babu? Oh, tidak semudah itu, Ferguso!” batinnya menatap sengit pada sang ibu mertua. “Aduh, Rin. Kamu kan dari tadi nggak ngapa-ngap
Semua pasang mata yang berada di ruang tamu Rumah Rehan tampak menatap Melisa dengan raut wajah tidak percaya. Terlebih, Rehan juga Mama Tami. Kedua orang itu melongo dengan mulut terbuka lebar serupa huruf O besar."Apa saya tadi tidak salah dengar?" Mama Tami tampak bertanya terlebih dahulu di tengah rasa keheranannya.Seperti biasa, Jimmy akan bertanya dan mengatakan seadanya saja. Dia sudah melakukan briefing saat berada di dalam mobil tadi, supaya Melisa tidak berkata apapun dan membiarkan dia menjawab semuanya."Mengenai?" Tatapan Jimmy penuh cinta pada Melisa kini berganti menyorot ketiga orang tak tahu diri itu."Melisa yang akan segera menjadi istri Anda. Bagaimana bisa wanita udik seperti dia akan menjadi calon istri dari Anda?" Mama Tami jelas saja bisa melihat, kalau laki-laki yang berada di samping Melisa bukan lelaki sembarangan.Hanya sekedar sekilas saja, Mama Tami sudah dapat menduga kalau selera pria itu tentu saja bukan wanita rendahan seperti Melisa.Apa itu hanya s
Jimmy terdiam saat menyadari jika itu semua adalah bualan mantan mertua Melisa. Dia yakin, Melisa tidak seperti yang dikatakan oleh Mama Tami itu. Karena nantinya sebelum memutuskan menjalin hubungan yang serius dengan Melisa— gadis incarannya, Jimmy tentu akan memastikan kesehatan gadis tersebut.“Saya tidak butuh ceramah dari Anda. Karena yang saya butuhkan saat ini adalah surat menyurat mengenai pernikahan Melisa. Itu saja,” tandasnya. Jimmy tidak suka berbasa basi.Rina langsung saja menyela. "Tapi, Tuan. Apakah Anda tidak akan menyesal kalau—"Ceklek! Klek!Jimmy menodongkan senjata ke arah 3 orang yang berada di hadapannya dan sontak membuat ke tiga-tiganya mengangkat kedua tangan ke atas kepala.“Aaaa!”“Jangan tembak kami!” ujar Rehan berteriak. Ia teramat takut dengan senjata yang diarahkan tepat ke wajahnya. Takut saja kalau laki-laki bernama Jimmy itu nekat dan menembaknya saat itu juga.Jimmy hanya tersenyum
Waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi saat keduanya sampai di pelataran parkir rumah sakit internasional. Tanpa menjawab pertanyaan dari Melisa, Jimmy langsung turun begitu saja dan membukakan pintu untuk gadis itu.Mengapa Jimmy masih menganggap Melisa gadis meskipun status wanita itu sudah janda? Itu dikarenakan umur mereka yang terpaut 12 tahun. Bagaimanapun, Jimmy masih menganggap Melisa sebagai gadis beliia yang menggemaskan."Om, aku tidak mau ke sana! Kita pulang aja!" sergah Melisa. Lengan kanannya memegang lengan kekar Jimmy dan berusaha mencegah laki-laki itu , supaya tidak menyeretnya di dalam sana. Ia takut saja jika hasil pemeriksaan itu mengecewakan. Bukan mengecewakan Jimmy, melainkan mengecewakan diri sendiri tentunya. Andaikan Melisa mandul, toh bukan urusan Jimmy, kan? Lebih baik mereka segera berpisah rumah dan jangan merencanakan apa-apa lagi setelah ini. dunia mereka jelas berbeda."Kamu harus ikut ke dalam sana! Aku tidak ma
Kembali dari toilet, Jimmy melangkah menuju sofa yang diduduki oleh Melisa tadi. Suara dentuman musik bertalu-talu di dalam kepala miliknya. Udara dipenuhi dengan keseruan muda-mudi yang merayakan pesta ulang tahun sang sahabat.Ada yang berpasangan, ada pula yang datang sendirian sambil mencari pasangan di sini. Hal itu sudah lumrah terjadi. Sama seperti dirinya yang hari ini hanya datang berdua bersama Melisa. Tanpa tahu sama sekali, ada bahaya yang mengintai yang ada di sekitar sini.Kala matanya menangkap potret Melisa di sana, Jimmy mengernyit. "Kenapa wanita itu membuka jaket di sini?" gumamnya.Jimmy tidak rela jika kulit mulus Melisa yang selalu melakukan perawatan mahal itu dilihat pria hidung belang. Hanya dirinya yang boleh menikmati keindahan itu, nanti ... Ya, nanti saja saat waktunya sudah tiba."Melisa, apa yang kamu lakukan? Bukankah sudah peringatkan jika —""Om, ini gerah!" Melisa merengek melihat Jimmy yang datang dengan tangan kosong. Libidonya seakan meningkat pes
Malam itu pula, keduanya meninggalkan Jimmy di rumah bersama sang pengasuh. Masuk ke dalam sebuah klub malam, Jimmy menjadi pusat perhatian dari beberapa pengunjung.Pasalnya, paras rupawan yang kebule-bule an ini menjadi magnet tersendiri bagi kaum wanita yang melihat mereka."Cantik!""Tampan!"Banyak juga yang menggoda dengan manja. Menawarkan diri untuk dinikmati oleh Jimmy. Membelai jambang tipis yang menghiasi rahang kokoh. Meski tidak diberikan uang sepeserpun, mereka rela naik ke atas ranjang Tuannya dan pasrah jika harus diperlakukan apa pun."Lihatlah, kau membuat mereka semua patah hati!" bisik Jimmy. Namun, sepertinya sang gadis masih ngelag."Apa maksudmu, Om?" Pandangan gadis itu bertemu dengan sang pemuda. Ia tidak paham makna makna seperti itu. Melissa memilih untuk mengerutkan kening sesaat."Maksudnya, kau membuat mereka iri. Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan ku," jelas Jimmy sedikit membuat suasana semakin panas. Ia sengaja mengatakan seperti itu supaya Melis
Melisa membeli banyak barang di Mall tersebut. Ia juga menikmati beberapa makanan yang berada di sebuah food court. Pun masih harus menuruti kemauan Austyn yang ingin bermain di sebuah wahana mandi bola."Mommy, ayo ikut aku ke sana!" Austyn mengajak dirinya untuk masuk ke dalam wahana mandi bola.Melisa melirik sekilas ke arah asisten pribadi Jimmy. Pria itu malah menertawakan dirinya."Kamu sedang mengejekku?" tukasnya pada Kenan dengan tatapan yang sengit.Kenan mengulum bibir. "Mana mungkin saya berani mengejek Anda, Nona Melisa."Berani dia mengejek game membuat wanita bosnya itu murka, maka Kenan agen dihabisi oleh pria tersebut. Ia tidak mau mengambil resiko. Tetapi saat melihat pemandangan indah yang tersaji di hadapannya, hatinya merasa tergelitik."Tapi kau sedang menertawakan ku," ujar Melisa memberengutkan bibir."Tidak. Saya hanya tersenyum saja. Sepertinya anda masih cocok untuk bermain di wahana sana," jelasnya. Ia lantas beralih memperhatikan mereka dari kejauhan."Ya s
Sepanjang perjalanan menuju ke mall, bocah kecil berusia empat setengah tahun tersebut tidak henti-hentinya menarik perhatian dari Melisa. Meski terkesan berisik dan banyak omong, tetapi tidak sekali pun Melisa memgeluh. Justru, ia berusaha untuk mencari tahu apa yang disukai oleh Austyn.Mulai dari makanan kesukaan, minuman, dan juga mainan favorite. Seperti halnya saat ini, ia rela mengantri di sebuah kedai es krim yang tengah viral, sebelum masuk ke dalam bangunan mall tersebut. Kedai es krim ini terletak 100 meter dari mall tersebut.Membutuhkan waktu 20 menit lamanya, sampai es krim yang diminta oleh Austyn sampai ke tangan bocah itu. Melisa datang membawa 2 cup es krim. Satu untuknya dan satu untuk calon putra sambungnya."Makasih, Mom." Austyn memberikan senyum terbaiknya. "Mom juga suka es krim?""Suka." Melisa menjawab singkat. Seumur umur, ia baru memakan es krim seperti ini satu kali. Karena keterbatasan uang yang dimiliki, selama lebih dari 20 tahun dia hanya mencicip es
Rehan dibawa ke rumah sebuah klinik oleh ayah mertuanya. Tetapi sesampainya di sana, pria itu langsung meninggalkan Rehan dan kembali ke rumah."Semua yang ku gunakan untukmemukul Rehan tadi tolong singkirkan. Bapak tidak mau barang-barang tersebut menjadi barang bukti saat aku melukai Rehan," perintah ayahnya Rina.Wanita yang sedang hamil muda tersebut mengangguk tanpa menjawab sepatah kata pun. Sedikit bersalah tetapi sebuah kelegaan juga muncul dalam dadanya. Setidaknya untuk saat ini, masalahnya dengan Rehan telah selesai.Tetapi, ada satu yang mengganjal dalam hatinya. Bagaimana mengatakan pada kedua orang tuanya bahwa anak yang sedang dikandung oleh nya ini tidak memiliki seorang ayah?Entahlah, Rina tidak ambil pusing untuk sekarang. Yang terpenting, ia harus menjaga ke arah syamil dan menghindari Rehan kembali supaya tidak lagi di celakai oleh pria tersebut.Karena merasa sangat suntuk, Rina memilih untuk berjalan-jalan sebentar. Ia butuh me-refresh pikiran supaya lebih tenan
Tanpa diduga oleh gadis itu sebelumnya, Jimmy lantas mengeluarkan sebuah kota kecil berbahan beludru yang berisikan cincin berlian mewah. Sangat berkilau di tempa cahaya yang bantul dari jendela di samping kanannya sebelah belakang.Tanpa kata, pria itu langsung mengambil dan memasangkan kepada jari manisnya. Melisa benar-benar tidak menduga bahwa pria yang berada dihadapannya yang sangat romantis.Padahal sebelumnya, mereka baru saja berdebat karena suatu hal yang tidak penting. Dan kini, pria yang terlihat sehari-hari sangat konyol tersebut mendadak membuat hatinya sangat melted."Om, ...." Melisa anda menarik tangannya yang sudah terpasang cincin indah. Akan tetapi laki-laki itu langsung membawa punggung tangan untuk di kecup pelan.Sangat lama gerakan tersebut terjadi sampai pada akhirnya, Jimmy menyuarakan kata hati yang sontak saja membuat Melisa terkejut bukan main."Be a my wife, please!" Jimmy menatap dengan pandangan sendu. Laki-laki itu benar-benar berharap supaya Melisa bis
Melisa menggeram marah di tempatnya. Bagaimana mungkin pria berusia 33 tahun itu mengatakan bahwa dirinya adalah wanita yang telah membuat Jimmy patah hati? Padahal yang sebenarnya, Melisa tidak tahu menahu bagaimana perasaan laki-laki itu sejak dulu kala.Kalau pun Jimmy menurunkan gengsi dan mengatakan perasaan sejak dulu, mungkin dirinya juga tidak akan dinikahi kan oleh ibu panti dengan pria yang tidak dikenal.Selepas kepergian pria bermanik biru terang itu, Melisa mulai melayangkan protes. "Om kenapa mengatakan kalau aku adalah penyebab Om sakit hati? Aku tidak ada kaitan nya dengan hati Om ya!" jelasnya. Melisa memilih duduk kembali di sofa panjang dan mengambil minuman kemasan yang tersedia di atas meja sana.Jimmy mendekat. Ia paling suka dengan bibir yang mengerucut seperti itu. Sembari duduk di dekat sang garis, ia terkekeh."Memangnya kenapa? Karena aku pergi ke luar negeri mengikuti kedua orang tuaku, aku malah kehilanganmu. Ah, bodoh sekali. Seharusnya aku dulu yang men
Setelah mengembalikan sepeda motor pinjaman nya, Rehan lantas menuju ke rumah istrinya. Pria itu ia menanyakan bagaimana kejadiannya sampai uang Rp500.000 tersebut berganti dengan daun nangka. Ia ingin meminta penjelasan kepada Rina. Merasa sangat dibodohi, Rehan memercepat langkah. Ia menggunakan buah yang tersisa pada kantong celananya menuju ke rumah sang istri.Sesampainya di sana, ia disambut kecut oleh sikap Rina yang menganggapnya tidak ada."Kenapa kamu datang lagi kesini? Ada urusan apa, Mas?" tanyanya dengan raut wajah yang tidak suka.Telapak tangan karena kemudian menyentuh lengan sang istri di bagian kiri. Ia menyeret Rina dengan sedikit kasar. Kalau mengingat kejadian beberapa menit yang lalu, rasanya masih sangat menyebalkan. Rehan tidak mempunyai ini kan di hadapan Gibran, sahabatnya. Sehingga kali ini, pria itu memilih untuk melampiaskan emosinya pada Rina."Aku hanya ingin minta penjelasan padamu. Apa yang kamu isi pada amplop itu?" cecar Rehan dengan nada yang penuh
Tidak hanya panas, telinga Jimmy rasanya hampir tuli karena harus mendengar ocehan yang keluar dari bibir Melisa sepanjang perjalanan menuju kantor. Sesampainya di sini, wanita itu juga masih ngomel-ngomel tidak jelas karena Jimmy kedapatan membohonginya."Kalau tahu begini caranya, aku juga tidak akan mau diajak ke kantor sepagi ini, Om! Iiih! Om tuh pokoknya nyebelin! Selalu saja mencari-cari alasan untuk deket-deket denganku!" Melisa meluapkan semua emosinya saat itu juga kepada ....Eh, siapa agaknya Jimmy untuk Melisa? Kekasih juga bukan, teman dekat juga bukan. Mereka hanya pernah kenal dan kemudian saat ini tinggal bersama. Itu saja, tidak lebih.Jimmy tidak mengindahkan semua ocehan Melisa. Bibir manis yang pernah tersebut masih saja ngomel-ngomel saat ia telah menarik lengan kiri menuju ke lantai 10.Sesampainya di ruangan tersebut, Melisa menolak dengan tegas saat diminta menemaninya bekerja."Ayo masuk, jangan lama-lama dan saran membuatku marah!" Jimmy sedikit memaksa. Laki