Malam mulai merangkak naik. Baik Melisa dan Jimmy saling menatap lekat, mereka duduk di atas ranjang yang sama. Deru jantung mulai memesat, Melisa sangat ketakutan.
Jimmy mendekat setelah melepas jasnya dan membuang ke sembarang arah. Tatapannya buas pada Melisa. Seakan ia hendak menerkam gadis manis yang berada di hadapan dan mencabik-cabiknya menggunakan cumbuan panas.“Jangan sakiti aku, Tuan. Kumohon,” kata Melisa mengiba. Ia mendekap guling guna menutupi tubuh bagian depannya yang terekspose di bagian dada. Ia jijik menatap penampilannya sendiri yang bagaikan wanita malam, dengan baju kurang bahan serta dada terbuka.Mengutuk perbuatan sang mantan suami yang terang-terangan menjualnya pada lelaki hidung belang. Melisa takut dinodai pria asing yang sepertinya keturunan bule ini.Jimmy memangkas jarak. Ia menyentuh wajah Melisa yang sudah dibanjiri air mata menggunakan jemari kanannya. Mengusap pelan, namun membuat Melisa merinding bukan main."Jangaaan," lirih gadis itu ketakutan dan bergetar.“Aku tak akan menyakitimu, Baby. Bukankah sudah kukatakan kalau kita akan bersenang-senang, hum?" balas Jimmy semakin bergejolak. Gelora di dadanya membuncah, ia bagaikan tersengat aliran listrik kala bersentuhan dengan Melis.“Tidak! Jangan! Saya tidak memakai kontrasepsi, saya takut hamil, Tuan. Jangan!" tolak Melisa. Ia berkata jujur sebab sejak dulu tak pernah ber-KB.Kalau sampai lelaki ini memaksa berhubungan badan dan ia hamil, lalu akan diapakan anak itu? Melisa tahu, lelaki di hadapannya ini pasti akan meninggalkannya tanpa mau peduli. Secara, Melisa sudah ‘dibeli’."Hm, bagus dong! Kamu bisa langsung hamil nanti setelah kita kita menikah," beritahunya. Jimmy hanya ingin menggoda adik kecil yang dulu sempat ia asuh.Karena rambut Jimmy yang lumayan panjang serta terdapat banyak tato di lengannya, mungkin Melisa tak mengenali ia sejak tadi. Jimmy tersenyum, ia hanya ingin menggoda gadis polos tersebut. Meski sangat ingin bercinta, tapi Jimmy tak akan memaksa. Itu bukan gayanya.“Me-menikah? Dengan Tuan? Aku tidak mau!” tolak Melisa dengan telak. Ia saja baru diceraikan, mana bisa langsung menikah dengan lelaki yang tak dikenal.“Kenapa? Bukannya aku tampan? Harusnya kau bangga karrna memililiku, Melisa. Selain parasku yang rupawan, milikku juga besar. Kau tahu 'kan, berapa ukuran milik pria bule?” jelas Jimmy ingin tahu. Sepertinya, Melisa lupa pada dia sepenuhnya. Hm, sangat disayangkan sekali.“Kita tak saling mengenal, dan aku tak ingin dinikahi siapa pun,” jelas Melisa sambil menatap manik coklat almond yang begitu menggetarkan jiwa. Bulu mata lentik itu mengerjap. Dari jarak sedekat itu, dapat Melisa lihat jika wajah Jimmy rasanya tak asing bagi Melisa.Jimmy sedikit terkekeh. Melisa masih sama dengan yang dulu. Alis hitam nan lebat, irish mata berwarna hitam legam, pipi bersemburat merah jambu dengan hidung yang sangat pesek.Gadis incarannya telah tumbuh menjadi Wanita yang sangat cantik. Sayangnya, nasib buruk mempertemukan mereka dengan kondisi yang sudah sangat berbeda.“Aku tak menerima penolakan, Melisa. Kau akan menjadi pengantinku setelah resmi bercerai nanti.” Jimmy mengatakan dengan senyum tersungging di kedua sudut bibirnya.Pria itu gemas sekali, ia memandang ke arah bibir Melisa yang amat menggoda. Pria itu menggeleng, menepis pikirannya yang mulai mengembara liar dan menginginkan Melisa sepenuhnya.Dulu, Jimmy sering bersama Melisa, sejak usia gadis itu baru 7 tahun. Kebersamaan mereka menumbuhkan percikan cinta, tetapi Jimmy hanya diam dan menyimpan sendirian. Sebab, Melisa terlalu dini mengenai itu. Jimmy 24 tahun, sementara Melisa berusia 12 tahun kala itu.Karena keadaan yang mengharuskannya kembali ke Amerika, ia tak bertemu Kembali dengan Melisa sampai 8 tahun lamanya. Dan sekarang, gadis kecil itu sudah dinikahi oleh lelaki tak bertanggung jawab. Yang pada akhirnya, Melisa dipertemukan kembali dengan Jimmy dengan kondisi berbeda.“Sudahlah, jangan menangis. Mandi sana dan ganti pakaianmu. Kalau sampai kamu menggunakan baju itu lagi, bukan tak mungkin aku akan menerkammu dengan brutal,” katanya sambil terkekeh.Paras cantik Melisa membuat pikirannya mengelana. Sebagai pria dewasa, ia menyukai Melisa yang imut dan sangat menggemaskan. Ya, tak dipungkiri. Jimmy tertarik dengan gadis itu sejak usia 24 tahun. Sementara Melisa dulu masih berusia 12 tahun.“Tidak! Aku tak membawa baju ganti,” jawabnya. Melisa menggeleng, jangan sampai dia harus mandi dan berganti pakaian, sementara pria asing itu ada di sini.“Jangan membuatku marah. Mandilah dan aku menunggumu di bawah. Kamu belum makan, ‘kan?” terka Jimmy yang melirik tubuh kurus itu sekali lagi yang tampak ... seksi.“Aku tidak lapar, Tuan!” Bibir Melisa mengatakan tidak, namun sejak tadi perutnya terus berbunyi serta membuat Jimmy terkekeh pelan.“Nah, apa kataku? Kau lapar. Ya sudah, jangan banyak protes, Melisa Indriyani!""Tuan, tahu namaku?""Tahu. Sudahlah, itu tidak penting. Lapar atau tidak, aku menunggumu di bawah sepuluh menit lagi. Bersihkan tubuh dan wajahmu yang memakai make up tebal itu. Aku suka penampilanmu yang natural. Pakaianmu akan diantarkan pelayan nanti,” ujarnya. Jimmy bangkit dari tempat tidur dengan kondisi pangkal paha yang menggembung.Fix! Ia sedang terangsang kali ini."Dasar pemaksa! Duh, siapa sih dia? Kok aku lupa?" gerutu Melisa yang segera beranjak dari atas ranjang.****Melisa usai membersihkan tubuh dan menghapus make up. Tapi sampai dua menit menunggu, pakaiannya tak kunjung diantarkan."Ck! Kemana gadis itu?" Jimmy mendesah sebal. Ia lantas bangkit dari tempat duduknya dan berlarian menuju ke lantai atas.Ceklek!"Aaaa! Kenapa tidak ketuk pintu dulu?" teriak Melisa menutup dada bagian atasnya saat Jimmy mendekat dengan tatapan menguliti atas dan bawah.Jimmy terdiam sesaat. Kedua bahu putih mulus itu terpampang di hadapan. Ia bagaikan singa kelaparan yang ingin sekali menerkam mangsanya. Jakunnya bergerak naik turun. Ia melirik AC di ruangan ini yang menunjukkan angka 18° Celcius, namun tidak serta merta menambah suasana sejuk. Malah terkesan semakin panas saja.Namun untuk menormalkan ekspresi di wajahnya, pria itu menggeleng serta menatap biasa saja. "Kenapa kamu tidak kunjung memakai pakaianmu?" tanyanya dengan raut wajah dingin."Tidak ada pakaian, Tuan! Saya harus memakai apa? Di lemari hanya ada baju Anda." Melisa tadi sudah mencari beberapa pakaian di lemari, namun tidak ada. Hanya setumpuk pakaian pria itu yang tersusun rapi di sana."Hm, tidak usah memakai pakaian juga lebih bagus," kata Jimmy dengan pelan. Namun sayangnya, Melisa mendengar perkataan itu."Apa yang Tuan katakan tadi?""Tidak. Cepat pakai pakaianmu yang ada di atas ranjang itu. Apa matamu rabun sampai tidak dapat melihat kalau di atas kasur sudah ada gaun yang harus kamu kenakan?" tanya Jimmy resah sambil menunjuk ranjangnya. Ia membuka dua kancing kemeja di bagian atas karena dirasa hawa yang tiba-tiba memanas."Ya sudah, Anda keluar dulu, Tuan. Saya nanti akan menghampiri di meja makan," jawab Melisa ketakutan. Ia dapat melihat jika pria itu sedang menatap ingin padanya. Melisa bukan gadis polos yang tidak bisa menangkap apa arti pandangan itu."Oh, oke!" Jimmy berlalu sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal.Lalu, berbalik badan lagi sambil berkata, “Bagaimana kalau keluar di dalam?” Jimmy sudah dapat membayangkan bagaimana halusnya kulit putih itu.Ingin rasanya melepas kaitan handuk di bagian bawah ketiak Melisa. Melemparkan kain putih itu ke lantai, membawa gadisnya ke atas ranjang dan ...."Shit! Aku bisa gila kalau lama-lama seperti ini! Melisa terlalu menggoda," umpatnya dalam hati.Bisakah Jimmy menahan hasratnya kali ini?Jimmy langsung keluar saat merasa atmosfer di ruangan ini sedikit memanas. Ia turun ke lantai bawah dengan dada yang berdebar-debar. “Buah jambu incaranku sudah berubah menjadi buah melon ternyata. Pasti segar,” katanya dalam hati. Pikiran kotor Jimmy datang kala menatap belahan dada yang sangat menggairahkan. Karena perut yang sudah sangat lapar, ia duduk di meja makan. Berusaha mengabaikan tongkat sakti yang meminta kepuasan. Menahan sampai waktunya tiba. Menuruni anak tangga dengan Langkah penuh kehati-hatian. Penampilan Melisa yang mengenakan gaun biru muda menghipnotis pria berusia 30 tahun itu. Langkah demi Langkah sang gadis membuat Jimmy terpaku tanpa suara. Satu kata yang mewakili semuanya. Cantik! Melisa sangat menawan. Ini melebihi ekspektasi Jimmy sebelumnya. Melisa hanya butuh uang untuk tampil glow up. Wajah yang sejatinya sudah sangat cantik itu tinggal dipoles sedikit. Jimmy tak hentinya menyunggingkan senyuman dan bersiap menyambut kedatangan Melisa. Jimmy bangkit
Melisa terpaku dengan tatapan Jimmy yang sangat memabukkan. Ia pernah melihat itu, tapi … entah dimana, ia lupa.“Tu-tuan, lepaskan saya. Saya janji untuk tidak—”“Jangan bersikap seperti para asisten rumah tangga di sini. Kamu milikku, kamu calon nyonya di rumah ini dan tak kuperkenankan kau melakukan aktivitas apa pun!” Begitu tegas ucapan Jimmy, sampai Melisa pun tak berani membantah.Gadis itu terdiam dan meneguk ludahnya. Rok tutu sepanjang mata kaki tersingkap sedikit ke atas kala terhempas di atas ranjang. Ia memaki lelaki semena-mena ini yang selalu saja bisa membuatnya luluh.“Cepat mandi dan berdandanlah di lantai atas! Kamarmu ada di sebelah kamarku, aku menunggumu setengah jam lagi,” perintah Jimmy yang sedikit uring-uringan dengan keadaan pada area intimnya. Tegak dan menantang, sementara makanan di hadapan belum dimasak dan tentunya kurang lezat disantap mentah.“Kita mau kemana, Tuan?” tanya Melisa sambil beringsut menjauh. Hampir saja dia diterkam Kembali.“Cerewet!” se
“Ah, akhirnya satu masalah selesai. Inget kamu, Mas! Jangan pernah lagi terjerat judi online. Kalau sampai kamu masih nekat melakukannya karena tak enak dengan teman-temanku, aku ogah lagi bantuin kamu," ucap Rina sambil menasehati sang suami di ruang tamu. Rehan terlihat enggan menjawab. Sejak pagi tadi, telinganya panas mendengar ocehan Rina. Namun untuk menghargai ibu hamil muda itu, ia menjawab iya saja dengan anggukan. “Rin, bantuin ibu masak, dong!” ajak Mama Tami yang kala itu mendekat ke ruang tamu. Rina melirik sekilas, memasang wajah enggan. “Ma, aku tuh nyium bawang mual banget. Mama masak aja sendirian,” jawabnya setengah berbohong. “Memangnya aku pembentu apa? Kalian yang setuju Melisa dijual, ya jangan salahkan aku kalau tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah. Di rumah orang tuaku saja, aku diratukan. Dan di sini, kalian mau menganggapku babu? Oh, tidak semudah itu, Ferguso!” batinnya menatap sengit pada sang ibu mertua. “Aduh, Rin. Kamu kan dari tadi nggak ngapa-ngap
Semua pasang mata yang berada di ruang tamu Rumah Rehan tampak menatap Melisa dengan raut wajah tidak percaya. Terlebih, Rehan juga Mama Tami. Kedua orang itu melongo dengan mulut terbuka lebar serupa huruf O besar."Apa saya tadi tidak salah dengar?" Mama Tami tampak bertanya terlebih dahulu di tengah rasa keheranannya.Seperti biasa, Jimmy akan bertanya dan mengatakan seadanya saja. Dia sudah melakukan briefing saat berada di dalam mobil tadi, supaya Melisa tidak berkata apapun dan membiarkan dia menjawab semuanya."Mengenai?" Tatapan Jimmy penuh cinta pada Melisa kini berganti menyorot ketiga orang tak tahu diri itu."Melisa yang akan segera menjadi istri Anda. Bagaimana bisa wanita udik seperti dia akan menjadi calon istri dari Anda?" Mama Tami jelas saja bisa melihat, kalau laki-laki yang berada di samping Melisa bukan lelaki sembarangan.Hanya sekedar sekilas saja, Mama Tami sudah dapat menduga kalau selera pria itu tentu saja bukan wanita rendahan seperti Melisa.Apa itu hanya s
Jimmy terdiam saat menyadari jika itu semua adalah bualan mantan mertua Melisa. Dia yakin, Melisa tidak seperti yang dikatakan oleh Mama Tami itu. Karena nantinya sebelum memutuskan menjalin hubungan yang serius dengan Melisa— gadis incarannya, Jimmy tentu akan memastikan kesehatan gadis tersebut.“Saya tidak butuh ceramah dari Anda. Karena yang saya butuhkan saat ini adalah surat menyurat mengenai pernikahan Melisa. Itu saja,” tandasnya. Jimmy tidak suka berbasa basi.Rina langsung saja menyela. "Tapi, Tuan. Apakah Anda tidak akan menyesal kalau—"Ceklek! Klek!Jimmy menodongkan senjata ke arah 3 orang yang berada di hadapannya dan sontak membuat ke tiga-tiganya mengangkat kedua tangan ke atas kepala.“Aaaa!”“Jangan tembak kami!” ujar Rehan berteriak. Ia teramat takut dengan senjata yang diarahkan tepat ke wajahnya. Takut saja kalau laki-laki bernama Jimmy itu nekat dan menembaknya saat itu juga.Jimmy hanya tersenyum
Waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi saat keduanya sampai di pelataran parkir rumah sakit internasional. Tanpa menjawab pertanyaan dari Melisa, Jimmy langsung turun begitu saja dan membukakan pintu untuk gadis itu.Mengapa Jimmy masih menganggap Melisa gadis meskipun status wanita itu sudah janda? Itu dikarenakan umur mereka yang terpaut 12 tahun. Bagaimanapun, Jimmy masih menganggap Melisa sebagai gadis beliia yang menggemaskan."Om, aku tidak mau ke sana! Kita pulang aja!" sergah Melisa. Lengan kanannya memegang lengan kekar Jimmy dan berusaha mencegah laki-laki itu , supaya tidak menyeretnya di dalam sana. Ia takut saja jika hasil pemeriksaan itu mengecewakan. Bukan mengecewakan Jimmy, melainkan mengecewakan diri sendiri tentunya. Andaikan Melisa mandul, toh bukan urusan Jimmy, kan? Lebih baik mereka segera berpisah rumah dan jangan merencanakan apa-apa lagi setelah ini. dunia mereka jelas berbeda."Kamu harus ikut ke dalam sana! Aku tidak ma
Detik berganti menit, Jimmy masih diam tanpa bersuara. Sekalipun dia tidak menjawab ucapan terakhir yang keluar dari bibir Melisa.Memang perbedaan itu terlalu kentara. Ia juga sudah memikirkan ini sejak kemarin. Perbedaan itulah yang masih membuatnya sedikit ragu, apakah Melisa mau diajak masuk ke dalam agamanya atau tidak.Tetapi mendengar pernyataan tadi, Jimmy yakin Melisa tidak mau diajak menuruti agamanya. Sedangkan kalau ia memilih untuk mengikuti agama calon istrinya, ia tidak yakin bisa memahami agama itu dengan baik.“Ya sudah. Kita pikirkan nanti lagi.”Hanya itu yang diucapkan oleh sang pemuda. Sampai menunggu satu jam lamanya, Melisa dipanggil oleh perawat melalui pengeras suara.****Serangkaian pemeriksaan dijalani oleh wanita tersebut. Setengah satu kemudian, pemeriksaan selesai dijalani dan dokter mengatakan kalau Melisa sehat dan tidak ada masalah pada organ reproduksinya.Dan sekarang yang menjadi pert
"Enak saja di suruh berbagi. Aku menikah dengan Mas Rehan untuk menguasai semua gajinya. Aku bisa seneng-seneng, beli ini dan itu semau ku. Kalau harus nhurus Mama juga, bisa gak dapat apa-apa aku nanti! dapat capeknya doang!" Rina menggerutu.Rina tak habis pikir, kenapa suaminya selalu tunduk pada Mamanya? Rina tidak tahu saja jika anak laki-laki memang bertanggung jawab penuh atas kehidupan orang tuanya.Mama Tami menghela napas berulang-ulang. Sepertinya dia harus sedikit lebih tegas dengan menantu keduanya itu. Dia pikir, Rina wanita yang lemah lembut. Baru saja tinggal selama kurang lebih 2 bulan, wanita itu sudah ketahuan belangnya."Rin, Coba sekali-kali kamu yang ada di dapur. Mengurus semuanya, mulai dari mencuci membersihkan rumah dan juga memasak. Biar kamu tahu kemana larinya uang itu dan tidak banyak protes!" balasnya dengan telak. Mama Tami menatap sengit dan sudah ilfeel dengan tingkah laku Rina yang terkesan malas."Cih! Aku tidak
Sang dokter, seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah, menatap Jimmy dengan penuh perhatian. Suasana di ruang tunggu bandara yang sibuk sedikit terasa teredam oleh kehadiran dokter yang tenang dan percaya diri. Melisa duduk di kursi dengan wajah pucat, tangan memegang perutnya yang terasa mual, sementara Jimmy berdiri cemas di sampingnya.“Tuan, ada yang bisa saya bantu?” tanya sang dokter dengan suara lembut, menatap Jimmy dan Melisa dengan penuh perhatian. Matanya yang tajam, namun penuh pengertian, menenangkan Jimmy sejenak.“Dokter, tolong periksa istri saya. Dia mual dan muntah terus. Saya khawatir dengan keadaannya dan sepertinya ada sesuatu yang tidak beres. Kami harus ke Amerika, tapi jika kondisinya tidak memungkinkan, saya terpaksa kembali ke Indonesia,” jawab Jimmy, suaranya terdengar penuh kecemasan.Dokter itu mengangguk perlahan, memahami ketegangan yang dirasakan oleh pasangan itu. “Baik, Tuan Jimmy. Tunggu sebentar, saya akan memeriksanya,” katanya tenang, lalu
Bunyi klik pintu kamar hotel bergema di ruangan luas yang remang-remang diterangi lampu tidur. Melisa masih berdiri di dekat pintu, tas tangannya digenggam erat. Ia menatap punggung Jimmy yang sedang memeriksa kamar. Presiden Suite Room, sungguh megah. Kamar yang jauh lebih besar dari yang pernah ia bayangkan, dengan pemandangan kota malam yang mempesona dari jendela besar di ujung ruangan. Tapi kemegahan itu tak mampu menghilangkan rasa canggung yang menyelimuti hatinya.Baru beberapa jam yang lalu, ia dan Jimmy masih berdiri di pelaminan, diiringi tepuk tangan dan ucapan selamat dari para tamu undangan. Pernikahan mereka di ballroom hotel yang sama, meriah dan penuh suk acita. Namun, kini, di ruangan pribadi ini, hanya ada mereka berdua, dikelilingi keheningan yang terasa berat.Melisa melangkah perlahan ke arah ranjang besar yang empuk, berhenti di ujungnya. Ia duduk di tepi, menatap Jimmy yang masih sibuk memeriksa fasilitas kamar. Kemewahan kamar presiden s
Lampu-lampu dansa berputar-putar, menciptakan efek cahaya yang magis di lantai dansa. Melisa dan Jimmy berdansa dengan anggun, irama musik mengalun lembut di antara mereka. Gaun biru muda elegan yang dikenakan Melisa membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan kecantikan dan keanggunannya. Jimmy, dengan jasnya yang rapi, memeluk Melisa dengan erat, menikmati setiap detik kebersamaan mereka. Di tengah alunan musik yang syahdu, Jimmy mendekatkan wajahnya ke telinga Melisa, berbisik lembut, "Kau suka?" Melisa tersenyum, matanya berkaca-kaca. Ia bersandar pada dada Jimmy, merasakan detak jantungnya yang berdebar kencang. "Suka," jawabnya, suaranya sedikit bergetar. "Ini adalah pernikahan impianku. Sangat, sangat bagus. Kau… kau membuatku terharu." Jimmy tersenyum, mengusap lembut pipi Melisa. Ia melihat jejak air mata yang mulai membasahi pipinya. "Hei, jangan menangis," ucap Jimmy, suaranya penuh kelembutan. Ia mendekatkan Melisa lebih erat ke dadanya, mencoba menenan
Lampu-lampu kristal berkilauan, menerangi aula pernikahan yang megah. Suasana syahdu dan khidmat menyelimuti setiap sudut ruangan. Di pelaminan, berdirilah pasangan pengantin yang serasi: Melisa, dengan gaun pengantin putih yang elegan, dan Jimmy, bule bermata biru yang kini telah menjadi seorang mualaf. Senyum bahagia terpancar dari wajah mereka, mencerminkan kebahagiaan yang tengah mereka rasakan.Para tamu undangan memenuhi ruangan, semuanya tampak terpukau oleh keindahan dekorasi dan keanggunan pasangan pengantin. Jimmy, duda satu anak, tampak gagah dalam balutan jas berwarna gelap. Perubahannya begitu signifikan. Mata birunya yang khas kini berbinar dengan cahaya iman yang baru. Ia bukan sekadar mengikuti Melisa, tapi hijrahnya ke agama Islam adalah sebuah proses panjang yang dilalui dengan penuh kesadaran dan ketulusan. Selama empat bulan, ia tekun mempelajari ajaran Islam, hingga akhirnya mantap untuk memeluk agama tersebut.Prosesi akad nikah berjalan denga
Dengan wajah tanpa ekspresi, Jimmy memberikan perintah singkat, suaranya dingin dan tanpa emosi, "Bersihkan ini. Bawa dia pergi, jauh dari sini. Kubur dia." Anak buahnya, yang telah terbiasa dengan perintah-perintah kejam majikan mereka, mengerjakan tugas tanpa ragu. Mereka mendekati tubuh Rina yang tergeletak tak berdaya, mengangkatnya dengan kasar, seperti mengangkat karung berisi sampah. Tidak ada belas kasihan, tidak ada sedikitpun rasa simpati di wajah mereka. Hanya ada kepatuhan dan ketaatan buta.Mereka membawa tubuh Rina, menuju tempat yang jauh dan terpencil, tempat di mana rahasia gelap dapat terkubur dalam-dalam. Tanpa upacara, tanpa doa, mereka menggali lubang, lalu melemparkan tubuh Rina ke dalamnya. Tanah menutupi tubuhnya, menghilangkan jejak keberadaan Rina dari dunia ini. Hanya kesunyian dan tanah yang menjadi saksi bisu atas penguburan rahasia ini. Sebuah akhir yang sunyi dan tanpa ampun, menandai berakhirnya hidup seorang wanita muda ya
Rina menatap Jimmy dengan pandangan penuh amarah dan keputusasaan. Kecamuk yang luar biasa memenuhi hatinya. Ia melirik ke bawah, memandang jurang yang menganga di bawah kakinya. Tinggi gedung itu membuatnya menyadari betapa rapuhnya nyawanya."Jika aku mati," gumamnya dalam hati, suaranya hampir tak terdengar, "maka mereka akan berbahagia. Sialan!" Rasa takut yang luar biasa menguasainya. Ia menyadari betapa bodohnya ancamannya tadi. Ia tidak ingin mati, tapi ia juga merasa tidak punya tempat lagi di dunia ini.Dengan hati-hati, ia mencoba menjaga keseimbangannya. Tangannya gemetar, kaki-kaki kecilnya terasa lemah. Ia berusaha keras agar tidak jatuh, agar tidak mengakhiri hidupnya di tempat itu. Ketakutan yang luar biasa menguasainya.Jimmy, yang berdiri hanya dua meter darinya, semakin memperkeruh suasana. "Ayo terjun! Buktikan ucapanmu tadi! Kau merasa dirimu tak berguna karena tertular HIV, kan? Maka kenapa kau tunda? Silakan pergi! Jangan ditunda! Atau, ma
Mata Melisa menyipit, tajam seperti pisau. Udara di antara mereka berdua menegang, beratnya terasa mencekik. Rina, yang selama ini hanya berbisik-bisik provokatif, terdiam. Bibirnya masih bergerak-gerak, seakan-akan masih ingin melontarkan kata-kata beracun, tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Kini, Melisa tak bodoh lagi. Dia bisa melihatnya, niat jahat yang terpancar dari sorot mata Rina yang penuh dendam.Jari telunjuk Melisa menusuk dada Rina, gerakannya tegas dan penuh amarah yang terpendam. Bukan amarah yang meledak-ledak, melainkan amarah yang terkontrol, dingin dan mematikan. "Dulu," suara Melisa terdengar pelan, tapi setiap kata menusuk hati, "sudah kubiarkan kau mendekati suamiku. Kubiarkan kau bermanis-manis dengan Jimmy. Setelah aku bahagia, setelah aku dan Jimmy membangun kehidupan kami, kau berani mengusiknya lagi?"Saat Rina terdiam dengan ketakutannya, Melisa menarik napas dalam-dalam, menahan gejolak emosi yang hampir meluap. Ia menatap Rina dengan pand
Detik-detik menuju hari pernikahan Jimmy dan Melisa terasa begitu dekat. Sembilan puluh lima persen persiapan telah rampung, meninggalkan aroma harum antisipasi di udara. Ballroom megah di jantung ibu kota, tempat janji suci akan diucapkan, kini dipenuhi kesibukan. Jimmy, gagah dalam balutan jasnya, dan Melisa, menawan dalam gaun pengantinnya yang berkilauan, memimpin gladi resik bersama tim WO yang cekatan. Langkah kaki mereka beriringan, menelusuri alur acara, dari prosesi masuk hingga sesi pelepasan balon—setiap detail diperiksa, setiap gerakan dirapikan. Senyum tegang namun bahagia terukir di wajah mereka, mencerminkan debaran jantung yang berdetak kencang. Di sekeliling mereka, para WO berkoordinasi, memastikan tata cahaya, tata suara, dan dekorasi sempurna. Udara bergema dengan bisikan instruksi dan tawa ringan, menciptakan simfoni persiapan yang dramatis namun penuh kegembiraan. Gladi resik ini bukan sekadar latihan, melainkan sebuah ritual penyempurnaan, sebu
Teriakan itu langsung menggema, nyaring banget. "Copet! Copet!" Suaranya nyelip di tengah hiruk-pikuk keramaian yang ada di sekitar. Melisa yang lagi duduk di sebuah foodcourt, langsung menoleh ke samping, mencari sumber suara itu. "Ada apa, Om?" tanyanya, ngeliat Jimmy yang kelihatannya nggak terlalu panik, malah cuma angkat bahu dengan ekspresi acuh. "Copet katanya," jawab Jimmy sambil tetap melangkah, seolah nggak ada yang spesial. "Copetnya yang mana?" tanya Melisa, penasaran, sambil matanya mencari-cari orang yang dimaksud. "Sepertinya baju ijo, yang mamu tunjuk tadi," jawab Jimmy lagi dengan santai. "Apa iya?" Melisa mulai nggak yakin, tapi tetap waspada. Pikirannya mungkin masih ragu apakah benar itu copet atau hanya salah paham. "Iya. Gelagatnya kan udah mencurigakan," seloroh Jimmy dengan nada nggak terlalu serius, malah kayak bercanda. Tapi itu justru bikin Melisa semakin cepat bergerak, nggak mau ketinggalan kalau benar ada yang mencurigakan. Melisa langsun