Melisa terpaku dengan tatapan Jimmy yang sangat memabukkan. Ia pernah melihat itu, tapi … entah dimana, ia lupa.
“Tu-tuan, lepaskan saya. Saya janji untuk tidak—”“Jangan bersikap seperti para asisten rumah tangga di sini. Kamu milikku, kamu calon nyonya di rumah ini dan tak kuperkenankan kau melakukan aktivitas apa pun!” Begitu tegas ucapan Jimmy, sampai Melisa pun tak berani membantah.Gadis itu terdiam dan meneguk ludahnya. Rok tutu sepanjang mata kaki tersingkap sedikit ke atas kala terhempas di atas ranjang. Ia memaki lelaki semena-mena ini yang selalu saja bisa membuatnya luluh.“Cepat mandi dan berdandanlah di lantai atas! Kamarmu ada di sebelah kamarku, aku menunggumu setengah jam lagi,” perintah Jimmy yang sedikit uring-uringan dengan keadaan pada area intimnya. Tegak dan menantang, sementara makanan di hadapan belum dimasak dan tentunya kurang lezat disantap mentah.“Kita mau kemana, Tuan?” tanya Melisa sambil beringsut menjauh. Hampir saja dia diterkam Kembali.“Cerewet!” seru Jimmy. Karena tak tahan, ia langsung keluar dari kamar tamu dan mengumpat Kembali.“Shit! Kenapa harus begini lagi? Kau bangun tak tahu tempat! Kau tak lihat sarangmu belum selesai dibentuk itu? Ck! Kau tak boleh menunjukkan eksistensimu dulu. Kalau dia tahu bentukmu, pasti Melisa akan pingsan!” gerutunya.Sampai kapan ia harus menahan Hasrat biologis yang sejatinya meminta untuk disalurkan sejak semalam?Baru saja membuka pintu, Jimmy dikejutkan beberapa asisten rumah tangga yang berjejer di sana.“Mau apa?” hardiknya tak suka.“I-itu, Tuan. Nona Melisa tak apa-apa, kan?” Mereka yakin jika sang Tuan pasti akan bertindak buas. Pernah suatu saat Wanita yang dibawa ke rumah tak bisa berjalan sebab digempur semalaman dan Jimmy memilih tak peduli. Mereka sedikit khawatir jika Melisa mengalami hal yang serupa.“Kalau dia kenapa-napa, memangnya kenapa?” Ketus Jimmy menjawab. Tak ada yang bertanya Kembali, sebab mereka tahu jika Tuannya masih berpakaian lengkap dan tak berkeringat.Itu artinya … aman!*****Jimmy melirik waktu yang melingkar pada pergelangan tangan kanannya. Melisa Kembali telat satu menit dari waktu yang telah ditentukan.“Anak itu selalu saja telat dan lelet!” sungutnya. Kala Jimmy hendak beranjak, Melisa kemudian datang dari atas tangga. Mengenakan dress berwarna putih, dengan corak bunga lily yang indah.Jimmy tersenyum sekilas. Tak lama, sebab Melisa buru-buru menatapnya dengan lekat. Sejurus kemudian, ia melirik Melisa yang hanya mengenakan sandal slop biasa.“Kau yakin hanya menggunakan sandal begitu?” tanya Jimmy sambil menyongsong ke ujung tangga bawah.“Ganti!” protesnya.“Sa-saya harus pakai apa, Tuan?” Meneliti kembali penampilannya, Melisa berputar. Roknya mengembang dan sepertinya tak ada kesalahan dengan penampilan.Jadi, ia harus berganti apa?Jimmy tak banyak bicara, ia berlari menuju ke sebuah rak sepatu. Semalam didatangkan setelah ia menghubungi toko sepatu mahal di pusat kota. Ukuran kaki Melisa 38, itu saja baru diketahui olehnya sesaat setelah ia membawa Melisa ke atas ranjang.“Gunakan ini!” Jimmy menyodorkan sebuah high heels hitam ke bawah kaki Melisa.“Tapi, ….” Ingin menyanggah, namun nyatanya selalu kalah.“Kau harus beradaptasi dengan semuanya di sini. Sekali lagi kutegaskan, kamu calon Nyonya Saga Jimmy Anderson yang—”“Sa- Saga ... Jim-Jimmy Anderson?” gagu Melisa menatap dengan mengerjapkan matanya berulang kali.Jimmy memasang raut wajah datar. Kedua tangan masuk ke saku celana bahan Panjang, pandangannya dibuang ke sembarang arah. Ia salah menyebut nama tadi. Harusnya ini menjadi surprise. Eh, malah keceplosan.“Jimmy, ….” Menggeleng dan tak percaya, Melisa mendekat sambil memegangi kedua lengan pria itu sambil menatap wajah yang nyatanya sangat tidak asing.“Om Jimmy! Anaknya Om Erick Anderson, bukan?”Tanpa sadar, Melisa memeluk pria itu sebentar. “Om Jimmy, Om pernah tinggal di dekat panti asuhan Kasih Bunda, ‘kan?” terkanya girang.“Bukan!” bantah Jimmy singkat.“Bohong!” Melisa langsung memegangi lengan kiri pria itu dan membuka kancing kemeja, menggulung lengan kemeja sampai je siku.“Ini apa? Om mau mengelak jika Om adalah Om ku?”Sebuah tato di lengan tak dapat membuat Jimmy mengelak. “Kalau sudah tahu, cepat kenakan sepatumu dan kita harus segera pergi!”Melisa sedikit heran. “Pergi? Pergi ke mana sih? Dari tadi Om—”“Pelaminan!"“Hah?”“Berisik! Cepat pakai sepatumu!”“Iya!” Melisa sudah tak merasa sungkan. Ia tersenyum dan segera berjongkok. Sementara Jimmy masih menormalkan deru napas yang tak beraturan.“Santai, Jim Junior. Kita sergap saat waktunya tiba!” Sudah ditidurkan, namun karena sentuhan Melisa, benda serupa tabung di pangkal paha itu Kembali tegak dan membuat sang pemuda dirundung nestapa. Sebab, lahan suburnya belum bisa dibajak dan ditanami benih unggulnya.Melisa menurut. Selepas mengenakan sepatu hak tinggi yang membuatnya tak nyaman, ia kemudian diajak keluar, masuk ke dalam mobil mewah dan diajak ke suatu tempat.Melisa terkejut sesampainya ke sana. “Om, kok kita ke sini?”Hem, kemana agaknya mereka pergi?“Ah, akhirnya satu masalah selesai. Inget kamu, Mas! Jangan pernah lagi terjerat judi online. Kalau sampai kamu masih nekat melakukannya karena tak enak dengan teman-temanku, aku ogah lagi bantuin kamu," ucap Rina sambil menasehati sang suami di ruang tamu. Rehan terlihat enggan menjawab. Sejak pagi tadi, telinganya panas mendengar ocehan Rina. Namun untuk menghargai ibu hamil muda itu, ia menjawab iya saja dengan anggukan. “Rin, bantuin ibu masak, dong!” ajak Mama Tami yang kala itu mendekat ke ruang tamu. Rina melirik sekilas, memasang wajah enggan. “Ma, aku tuh nyium bawang mual banget. Mama masak aja sendirian,” jawabnya setengah berbohong. “Memangnya aku pembentu apa? Kalian yang setuju Melisa dijual, ya jangan salahkan aku kalau tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah. Di rumah orang tuaku saja, aku diratukan. Dan di sini, kalian mau menganggapku babu? Oh, tidak semudah itu, Ferguso!” batinnya menatap sengit pada sang ibu mertua. “Aduh, Rin. Kamu kan dari tadi nggak ngapa-ngap
Semua pasang mata yang berada di ruang tamu Rumah Rehan tampak menatap Melisa dengan raut wajah tidak percaya. Terlebih, Rehan juga Mama Tami. Kedua orang itu melongo dengan mulut terbuka lebar serupa huruf O besar."Apa saya tadi tidak salah dengar?" Mama Tami tampak bertanya terlebih dahulu di tengah rasa keheranannya.Seperti biasa, Jimmy akan bertanya dan mengatakan seadanya saja. Dia sudah melakukan briefing saat berada di dalam mobil tadi, supaya Melisa tidak berkata apapun dan membiarkan dia menjawab semuanya."Mengenai?" Tatapan Jimmy penuh cinta pada Melisa kini berganti menyorot ketiga orang tak tahu diri itu."Melisa yang akan segera menjadi istri Anda. Bagaimana bisa wanita udik seperti dia akan menjadi calon istri dari Anda?" Mama Tami jelas saja bisa melihat, kalau laki-laki yang berada di samping Melisa bukan lelaki sembarangan.Hanya sekedar sekilas saja, Mama Tami sudah dapat menduga kalau selera pria itu tentu saja bukan wanita rendahan seperti Melisa.Apa itu hanya s
Jimmy terdiam saat menyadari jika itu semua adalah bualan mantan mertua Melisa. Dia yakin, Melisa tidak seperti yang dikatakan oleh Mama Tami itu. Karena nantinya sebelum memutuskan menjalin hubungan yang serius dengan Melisa— gadis incarannya, Jimmy tentu akan memastikan kesehatan gadis tersebut.“Saya tidak butuh ceramah dari Anda. Karena yang saya butuhkan saat ini adalah surat menyurat mengenai pernikahan Melisa. Itu saja,” tandasnya. Jimmy tidak suka berbasa basi.Rina langsung saja menyela. "Tapi, Tuan. Apakah Anda tidak akan menyesal kalau—"Ceklek! Klek!Jimmy menodongkan senjata ke arah 3 orang yang berada di hadapannya dan sontak membuat ke tiga-tiganya mengangkat kedua tangan ke atas kepala.“Aaaa!”“Jangan tembak kami!” ujar Rehan berteriak. Ia teramat takut dengan senjata yang diarahkan tepat ke wajahnya. Takut saja kalau laki-laki bernama Jimmy itu nekat dan menembaknya saat itu juga.Jimmy hanya tersenyum
Waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi saat keduanya sampai di pelataran parkir rumah sakit internasional. Tanpa menjawab pertanyaan dari Melisa, Jimmy langsung turun begitu saja dan membukakan pintu untuk gadis itu.Mengapa Jimmy masih menganggap Melisa gadis meskipun status wanita itu sudah janda? Itu dikarenakan umur mereka yang terpaut 12 tahun. Bagaimanapun, Jimmy masih menganggap Melisa sebagai gadis beliia yang menggemaskan."Om, aku tidak mau ke sana! Kita pulang aja!" sergah Melisa. Lengan kanannya memegang lengan kekar Jimmy dan berusaha mencegah laki-laki itu , supaya tidak menyeretnya di dalam sana. Ia takut saja jika hasil pemeriksaan itu mengecewakan. Bukan mengecewakan Jimmy, melainkan mengecewakan diri sendiri tentunya. Andaikan Melisa mandul, toh bukan urusan Jimmy, kan? Lebih baik mereka segera berpisah rumah dan jangan merencanakan apa-apa lagi setelah ini. dunia mereka jelas berbeda."Kamu harus ikut ke dalam sana! Aku tidak ma
Detik berganti menit, Jimmy masih diam tanpa bersuara. Sekalipun dia tidak menjawab ucapan terakhir yang keluar dari bibir Melisa.Memang perbedaan itu terlalu kentara. Ia juga sudah memikirkan ini sejak kemarin. Perbedaan itulah yang masih membuatnya sedikit ragu, apakah Melisa mau diajak masuk ke dalam agamanya atau tidak.Tetapi mendengar pernyataan tadi, Jimmy yakin Melisa tidak mau diajak menuruti agamanya. Sedangkan kalau ia memilih untuk mengikuti agama calon istrinya, ia tidak yakin bisa memahami agama itu dengan baik.“Ya sudah. Kita pikirkan nanti lagi.”Hanya itu yang diucapkan oleh sang pemuda. Sampai menunggu satu jam lamanya, Melisa dipanggil oleh perawat melalui pengeras suara.****Serangkaian pemeriksaan dijalani oleh wanita tersebut. Setengah satu kemudian, pemeriksaan selesai dijalani dan dokter mengatakan kalau Melisa sehat dan tidak ada masalah pada organ reproduksinya.Dan sekarang yang menjadi pert
"Enak saja di suruh berbagi. Aku menikah dengan Mas Rehan untuk menguasai semua gajinya. Aku bisa seneng-seneng, beli ini dan itu semau ku. Kalau harus nhurus Mama juga, bisa gak dapat apa-apa aku nanti! dapat capeknya doang!" Rina menggerutu.Rina tak habis pikir, kenapa suaminya selalu tunduk pada Mamanya? Rina tidak tahu saja jika anak laki-laki memang bertanggung jawab penuh atas kehidupan orang tuanya.Mama Tami menghela napas berulang-ulang. Sepertinya dia harus sedikit lebih tegas dengan menantu keduanya itu. Dia pikir, Rina wanita yang lemah lembut. Baru saja tinggal selama kurang lebih 2 bulan, wanita itu sudah ketahuan belangnya."Rin, Coba sekali-kali kamu yang ada di dapur. Mengurus semuanya, mulai dari mencuci membersihkan rumah dan juga memasak. Biar kamu tahu kemana larinya uang itu dan tidak banyak protes!" balasnya dengan telak. Mama Tami menatap sengit dan sudah ilfeel dengan tingkah laku Rina yang terkesan malas."Cih! Aku tidak
Tiba di kediaman Jimmy, Melisa hanya diam saja. Pria itu juga tak membukakan pintu untuknya, melenggang pergi begitu saja menuju ke dalam rumah.“Om,” panggil Melisa saat pria itu memijat pelipis.Jimmy menoleh ke arah belakang. Kepalanya sangat berat, banyaknya beban pikiran yang ada di kepala membuatnya ingin segera merebah. “Maaf, Melisa. Kepalaku pusing. Aku masuk dulu, ya,” jawabnya sambil berlalu.“Ya sudah. Mau kuambilkan obat nanti?” tanya Melisa sedikit takut. Raut wajah Jimmy sempat murung sejak tadi.“Tidak usah. Beristirahatlah, karena malam nanti aku akan mengajakmu ke suatu tempat,” beritahunya sambil menekan bel rumah, sembari menyorotkan manik mata birunya pada Melisa yang mungkin sedang menahan napas. Takut dengannya mungkin.Melisa mengangguk. Ia mengekori Jimmya masuk ke dalam rumah setelah pria itu berlalu lebih dulu.**Sore hingga malam menjelang, Melisa tak sekali pun mendapati Jimmy keluar da
Jimmy berlarian menuruni anak tangga setelah menggunakan pakaiannya kembali. Ia beberapa jam lalu sempat hancur karena kembali mengingat masa kelam yang menimpa beberapa waktu lalu.Saat membuka mata untuk pertama kali, yang ada di hadapannya terlihat seperti Emily. Wanita yang telah dinikahinya beberapa tahun lalu dan memilih untuk berkhianat serta meninggalkan dia dengan Austyn, demi mengejar karir.Jimmy hanya refleks memeluk dan ... Ah, sudahlah. Kalau diingat-ingat kembali rasanya dia memang sangat malu. Bagaimana bisa membayangkan Emily, padahal yang ada di hadapannya adalah sosok lain?Dia benar-benar bodoh! Bisa-bisanya teringat dengan masa lalu, saat dirinya sudah menginginkan orang baru. Jimmy merutuki kebodohannya sampai membuat Melisa trauma."Melisa! Melisa buka pintunya! Aku ingin bicara padamu sebentar!" Jimmy berteriak seperti orang gila. Laki-laki itu terus-terusan menggedor pintu tanpa henti, meski asisten rumah tangga tertua di
Teriakan itu langsung menggema, nyaring banget. "Copet! Copet!" Suaranya nyelip di tengah hiruk-pikuk keramaian yang ada di sekitar. Melisa yang lagi duduk di sebuah foodcourt, langsung menoleh ke samping, mencari sumber suara itu. "Ada apa, Om?" tanyanya, ngeliat Jimmy yang kelihatannya nggak terlalu panik, malah cuma angkat bahu dengan ekspresi acuh."Copet katanya," jawab Jimmy sambil tetap melangkah, seolah nggak ada yang spesial."Copetnya yang mana?" tanya Melisa, penasaran, sambil matanya mencari-cari orang yang dimaksud."Sepertinya baju ijo, yang mamu tunjuk tadi," jawab Jimmy lagi dengan santai."Apa iya?" Melisa mulai nggak yakin, tapi tetap waspada. Pikirannya mungkin masih ragu apakah benar itu copet atau hanya salah paham."Iya. Gelagatnya kan udah mencurigakan," seloroh Jimmy dengan nada nggak terlalu serius, malah kayak bercanda. Tapi itu justru bikin Melisa semakin cepat bergerak, nggak mau ketinggalan kalau benar ada yang mencurigakan.Melisa langsung berlari ke ar
Jimmy dan Melisa tiba di sebuah gallery berlian yang mewah. Pintu kaca besar terbuka dengan lembut, menyambut mereka dengan nuansa elegan. Dalam ruangan yang penuh kilauan berlian, mereka merasa seolah-olah melangkah ke dunia lain, penuh kemewahan dan keindahan."Wow, tempat ini luar biasa," kata Melisa, matanya berkilau melihat koleksi berlian yang terpajang di etalase.Maklum jika kelihatannya sedikit norak, ya karena Melisa memang tidak pernah diajak ke tempat tempat seperti ini. Apalagi mereka bertiga kali ini diarahkan menuju ruang VIP yang tentunya membuat Melisa cukup melongo dengan fasilitas yang didapatkan.Seketika, Jimmy tersenyum dan mengangguk. "Aku tahu kamu suka barang barang indah. Hari ini aku ingin memastikan kita mendapatkan yang terbaik."Dan kini, Melisa menoleh ke arah Jimmy, terkejut. "Apa maksudmu?"Tersenyum lembut, Jimmy tidak langsung menjawab. Mereka berjalan lebih dalam, menuju sebuah etalase di sudut ruangan VIP. Di sana, terletak sebuah cincin pernikaha
Suasana foto prewedding antara Jimmy dan Melisa berlangsung dengan nuansa yang cukup dramatis, meskipun tak terlepas dari sedikit ketegangan. Jimmy, yang dikenal sebagai sosok pria yang kaku dan tidak terlalu luwes dalam berpose, tampak canggung mengikuti arahan fotografer. Hal ini jelas terlihat ketika sang fotografer meminta Jimmy untuk sedikit bergeser."Ehm, Tuan Anderson. Bisakah Anda sedikit geser ke kanan?" kata sang fotografer dengan suara lembut namun tegas, berusaha menjaga kesan profesionalisme di tengah ketegangan yang mulai terasa.Jimmy yang terkesan bingung dengan permintaan tersebut, segera mengatur langkahnya, namun ekspresinya tetap terlihat tegang. "Begini?" tanyanya, suaranya mengandung sedikit kebingungan, sambil mengubah posisinya, berusaha mengikuti instruksi yang diberikan.Fotografer itu mengamati sejenak, mencoba menangkap setiap detail dalam frame. "Iya, tapi senyum Anda juga kurang tulus," ujarnya, kali ini dengan nada yang lebih lembut namun tetap penuh
"Alhamdulillah, Om udah bener-bener tulus sama aku. Jadi, kita menikah, kan?" Melisa memeluk Jimmy dengan penuh kebahagiaan. Dengan senyum lebar, ia menatap dalam-dalam mata biru Jimmy, merasakan kedamaian yang datang bersama janji itu. Pada akhirnya, semua yang ia harapkan tercapai: mereka berdua, bersama, menuju masa depan yang penuh harapan. Jimmy tersenyum lembut, matanya menyiratkan rasa syukur dan cinta yang mendalam. "Hum, kita akan menikah," jawabnya, suaranya dipenuhi keyakinan. "Dan sesuai janjiku, aku telah merancang semuanya. Kita akan fitting baju, sekaligus foto prewedding. Mau?" Melisa mengangguk cepat, wajahnya berseri-seri. "Mau! Apa anak kita ikut?" "Tentu," jawab Jimmy dengan tegas. "Andrew sudah menunggu. Go!" Kebahagiaan meluap di hati Jimmy. Sejak ia memutuskan untuk memeluk Islam dan memulai perjalanan spiritual bersama anaknya, Andrew, serta Melisa, hidupnya berubah total. Tidak hanya hatinya yang merasa damai, tetapi juga keluarganya. Kini, setelah semua k
Jimmy Anderson, seorang CEO sukses yang dikenal karismatik dan penuh ambisi, tidak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan berubah drastis dalam waktu yang begitu singkat. Sejak kecil, ia dibesarkan dalam keluarga yang tidak terlalu mementingkan agama. Ayahnya seorang agnostik, sementara ibunya lebih mengutamakan pendidikan dan kesuksesan duniawi daripada kehidupan spiritual. Namun, di balik kesuksesan karirnya, ada rasa hampa yang tak terjelaskan. Meski hidupnya tampak sempurna—dengan perusahaan besar yang dipimpinnya, rumah mewah, dan kendaraan yang selalu ia inginkan—ia merasakan adanya kekosongan dalam dirinya.Semua itu berubah ketika ia bertemu dengan Hasan, seorang pengusaha muslim yang ia kenal dalam salah satu pertemuan bisnis. Hasan bukan hanya sukses dalam dunia usaha, tetapi juga terlihat tenang dan penuh kedamaian. Kepribadian Hasan yang hangat dan penuh keyakinan menarik perhatian Jimmy. Mereka sering berbicara tentang berbagai hal, dan Hasan selalu menyelipkan pesan-
"Oooom!" Jeritan Melisa menggema, suara primal yang melepaskan gelombang kenikmatan yang dahsyat. Bukan sekadar desahan, melainkan letusan emosi mentah yang mengguncang seluruh tubuhnya. Ia merasakan semburan hangat yang membanjiri rahimnya, sensasi yang begitu intens hingga membuatnya kehilangan kendali, tubuhnya ambruk lemas, tak berdaya. Jimmy masih menindihnya, berat tubuhnya seakan menjadi simbol dari kekuatan gairah yang baru saja mereka alami bersama. Mereka menyatu, dua tubuh yang terjalin dalam ikatan yang erat, namun juga rapuh."Kamu suka, Baby?" Jimmy membisikkan pertanyaan itu, suaranya berat, bergetar karena sisa sisa gairah yang masih membara. Bukan pertanyaan biasa, melainkan sebuah pernyataan yang ingin dikonfirmasi. Ia ingin memastikan bahwa Melisa merasakan hal yang sama, bahwa mereka telah berbagi sesuatu yang luar biasa dan tak terlupakan."Sakit, Om!" Melisa merintih, suaranya teredam oleh desahan napas yang masih tersengal-sengal. Ras
Gelombang dahsyat menerjang mereka, menghantam benteng pertahanan yang selama ini mereka bangun. Bukan sekadar gairah, melainkan badai emosi yang menggulung segalanya; ketakutan, keraguan, hasrat, dan cinta—semuanya bercampur menjadi satu pusaran dahsyat yang menyeret mereka ke dalam pusaran keinginan yang tak tertahankan.Tubuh-tubuh mereka bergetar, terhempas oleh gelombang yang tak terbendung, seakan dunia di sekitar mereka lenyap, hanya menyisikan mereka berdua dalam pusaran gairah yang menggelora. "Aaaah. Ommm."Dalam dekapan Jimmy yang hangat dan kuat, Melisa melepaskan jeritan yang tertahan, suara penuh gairah dan kepuasan yang melepaskan segala tekanan dan keraguan. Itu bukanlah jeritan kesakitan, melainkan ekspresi dari gelombang emosi yang melanda dirinya; kegembiraan, kepuasan, dan juga sedikit rasa takut yang masih tersisa. Lengannya melilit erat leher Jimmy, jari-jarinya menancap kuat di punggung tegap pria bule itu, menandai kepemilikan, menunjukkan
"Jadi... kita kemarin malam... apa yang sebenarnya terjadi, Om?" Melisa menatap Jimmy dengan ragu, kebingungannya jelas terlihat. Dia merasakan ada sesuatu yang tak beres, tapi tidak bisa mengingat apa yang sebenarnya terjadi."Kemarin malam, kamu mabuk, Melisa," jawab Jimmy, suaranya penuh penyesalan. "Kamu yang meminta untuk keluar bersama, untuk berbicara. Semua itu tidak direncanakan, dan aku merasa kita salah dalam banyak hal.""Om, jangan bercanda! Itu nggak lucu!" Melisa merasa perasaan campur aduk, bingung dan marah. "Apa yang terjadi dengan aku? Kenapa aku tidak ingat?""Aku tahu, kamu bingung dan marah. Itu salah kita berdua, tapi kita perlu menghadapi ini dengan kepala dingin. Coba lihat rekamannya." Jimmy menunjuk ke arah layar CCTV yang terpasang di sudut ruangan."Aku ... aku harus tahu ini semua." Suara Melisa bergetar, sedikit gemetar karena ketakutan dan kebingungannya yang semakin dalam.Sinar pagi menyelinap melalui celah tirai, menerangi wajah Melisa yang masih dip
Keringat mengucur deras di seluruh tubuh Jimmy, merasakan ketegangan yang menguasai dirinya. Nafasnya terengah-engah, seperti ada beban berat yang terus menekan dadanya. Suasana yang mencekam tadi seolah tidak pernah berhenti membebani pikirannya. "I'm so sorry, Melisa."Setelah keringatnya berkurang, dan dirasa pori pori telah menutup, dia bergegas menuju kamar mandi, mencari sedikit ketenangan, meskipun tahu bahwa tak ada yang bisa benar-benar menenangkan perasaannya sekarang.Pintu kamar mandi ditutup dengan tergesa-gesa, dan Jimmy membiarkan air mengalir deras di tubuhnya, mencoba untuk menghilangkan rasa sesak yang terus mengganggu. Suara tetesan air di lantai terasa kontras dengan kekacauan yang masih menggema di dalam dirinya.Dia memejamkan mata sejenak, membiarkan tubuhnya terlarut dalam aliran air. Namun, meski air menyegarkan tubuhnya, pikirannya tak bisa lepas dari situasi yang baru saja terjadi. Semua yang dia saksikan, semua yang dia dengar, terus berputar putar di kep