"Ana, mari kita bercerai." Adalah awal percakapan mereka malam ini.
Deg! Tubuh Ana menegang seketika tidak menduga waktunya telah tiba. Secepat inikah? Tapi mengapa? Pertanyaan yang seharusnya tidak perlu ditanyakan lagi. Ana tahu karena dia bukanlah wanita yang dicintai Alan sampai mati. Jelasnya hanya cinta sesaat. Dan Ana tidak tahu alasan Alan yang begitu gencar mendekatinya dulu. Ana merasa terbodohi bahkan memilih bertahan setelah tahu segalanya.Butuh proses panjang hingga mereka sampai tahap ini. Salah satunya terbentur restu orang tua. Ana sadar dari segi apapun ia jauh dibandingkan dengan Alan. Bisa dibilang Alan sosok yang mendekati laki-laki sempurna tidak seperti ia yang berasal dari keluarga kurang mampu, apalagi dengan keadaannya yang yatim piatu. Membuat orangtua Alan enggan menerimanya. Tapi nyatanya alasan itu tidak menjadikan Alan goyah dengan keputusannya.Ana menarik napas dalam lalu menghembuskannya."Ya, mari berpisah, Alan. Mari akhiri semua ini. " Jawab Ana menahan sesak di dada.Tersentak, "Ana?" Alan tidak menduga Ana menerimanya begitu saja. Semudah itukah? Padahal dalam benaknya Ana akan memakinya dan mencercanya dengan beribu pertanyaan. Setidaknya itu akan mengurangi rasa bersalahnya. Tapi...! Lihatlah begitu tegarnya wanita di hadapannya ini."Ana?"Ana menghela napas sekali lagi. "Aku tidak ingin membuang energi untuk hal yang sia-sia. Aku tahu keputusanmu sudah bulat. Mana surat yang akan kutandatangani?" Alan terdiam dan butuh beberapa detik hingga ia tersadar."oh, tunggu sebentar." Jawabnya dan bergegas mengambil surat yang telah disediakannya.***"Maafkan mama! Mama tahu ini tidak akan mudah, mama tahu ini tidak adil bagimu, tapi mama tidak punya pilihan. Sudah cukup selama ini mama bertahan dan ini saatnya mama melepas papamu." Ucapnya sambil memegang perutnya."Mama janji walau tanpa papa kita pasti bahagia. Bantu mama ya, sayang dan maafkan mama yang tidak bisa memberi keluarga yang utuh untuk kamu padahal mama tahu bagaimana rasanya tidak memiliki orang tua." Ana mendongak menghalau air mata yang mencoba terjatuh. "Ana... " Ana menghirup napas lalu melepasnya secara perlahan. Tersenyumlah Ana!"Aku baik-baik saja." sahut Ana dan melihat sebuah map dalam genggaman Alan. Ana tertohok,ternyata Alan benar-benar sudah menyiapkan segalanya. Ternyata waktunya benar-benar tiba. Pupus sudah semua angan dan cita-cita Ana."Alan..." Ana menatap Alan intens. Mungkin ini waktunya. Kesempatan terakhir sebelum benar-benar berakhir."Sebelum aku menandatanganinya boleh aku bertanya?" Alan mengangguk."Silahkan?" katanya."Seandainya kita memiliki seorang anak, apakah kamu akan bertahan?" Alan menghembuskan napas, sedangkan Ana menahan napas menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut Alan."Maaf, aku tidak akan bertahan walaupun ada anak diantara kita. Keputusanku bulat. Kita berpisah. Maafkan aku, Ana." Ana memejamkan mata, merasa bodoh menanyakan hal yang ia tahu akan menambah rasa sakitnya."Untuk mama dan papa biar aku yang mengatakannya, kamu tidak usah khawatir. Mama dan papa pasti mengerti."Ana mengangguk, lalu menerima map yang disodorkan Alan dan langsung membubuhkan tandatangan di atas namanya. Berakhir!"Ana, terima kasih tidak menyulitkanku, aku tahu kamu wanita yang baik." Alan mengacak rambut Ana membuat wanita itu terpaku menerima perlakuan seperti itu, rasanya Ana ingin menghentikan waktu dan tetap melihat Alan yang seperti ini. Dan sepertinya bayinya juga senang. Tuhan, sudahkah benar keputusan ini?Hap! "Ana?" Langkah Alan terhenti saat setelah merasakan sepasang tangan melingkari perutnya. Ana memeluknya dan untuk pertama kalinya Ana bertindak agresif kepadanya. Entah karena bayinya atau hal lain yang jelas dia senang bisa mendekap laki-laki ini untuk yang terakhir kalinya."Alan, maafkan aku yang belum bisa menyempurnakan cintamu. Maaf karena aku yang belum bisa menjadi istri seperti keinginanmu. Emmm..., dan terima kasih telah memberi kesempatan untukku menjadi bagian dari hidupmu selama dua tahun ini. Terimakasih juga telah menjadi bagian dalam hidupku. Terimakasih pernah membuat aku menjadi wanita yang mendapingimu." Alan tertampar. Bagaiman bisa wanita ini berterima kasih kepadanya setelah begitu banyak kesakitan yang diberikannya? Sungguh wanita berhati malaikat, tapi mengapa sulit sekali baginya menjatuhkan hati. Alan menggelengkan kepalanya dan melepas ikatan tangan wanita itu. Tanpa kata Alan meninggalkan Ana di kamar itu dengan kesunyian yang menemani malam wanita hamil itu."Kamu tahu, walau hanya sebentar, tapi aku bahagia sempat menjadi bagian dari hidupmu. Biarlah dia menjadi milikku." Suaranya yang bahkan tidak bisa di dengar Alan lagi. Ia menatap sendu laki-laki itu. Memandang punggung lebar yang sempat menjadi miliknya.***Ana merasakan pening luar biasa saat terbangun dari tidurnya. Kepalanya berputar dan buru-buru berlari ke kamar mandi memuntahkan isi perutnya. Hoek...! Hoek...!"Kamu lapar ya, sayang? Tunggu sebentar lagi ya, mama mandi dulu dan kita langsung ke dapur. Mari nikmati hari terakhir kita di rumah papa ya sayang. Kita puas-puasi memandang wajah tampan papa kalian. Apa perlu kita membawa foto papa yang besar sekali itu?" Ana terkekeh merasa konyol telah mengajak bayinya yang masih seukuran biji kacang. "Sehat-sehat ya sayang mama akan selalu berusaha memberi yang terbaik untukmu.***"Selamat pagi, Alan." Sapa Ana saat kedua matanya mendapati Alan yang memperhatikannya. Wanita itu masih menampilkan senyum cerianya seolah-olah hubungan mereka baik-baik saja."Pagi, Ana." Jawabnya dan menarik kursi di sebelah kanan Ana.Laki-laki itu memandang Ana dan berkata, "Ana..., kamu boleh tinggal di rumah ini setelah perceraian kita. Kamu tidak perlu pindah. Kamu juga berhak atas rumah ini." Ana menggeleng tidak setuju dengan tawaran Alan."Alan kurasa itu bukan keputusan yang tepat. Aku akan pergi, aku tidak memiliki hak sama sekali dengan rumah ini. Aku tidak melahirkan seorang anak untukmu karena dia masih bersemayam di perutku. Lagi pula rumah dan segala isinya dibeli dengan uangmu. Aku hanya memilih dan tidak mengeluarkan uang sepeser pun." Ana mengambil sebuah piring lalu mengisinya dengan nasi beserta lauk pauk. Setelah itu memberikannya kepada Alan. Alan menerimanya."Alan, mungkin buat kamu kenangan kita tidak ada artinya, tapi tidak denganku. Kenangan kita berharga dan kalau aku memilih tetap tinggal disini kurasa aku tidak akan berhasil lepas darimu. Bisa saja aku berubah menjadi monster dan tidak akan membiarkan seorang wanita pun mendekatimu." Ana terkekeh walau tidak ada hal lucu di setiap kata-katanya. Ana menyimpan kepedihan di balik setiap senyuman yang diumbar. Ana bersembunyi di balik topeng senyum indahnya."Aku akan pergi," lanjutnya. Alan mendongak."Alan, aku tahu mungkin diawal pernikahan kita orangtua kamu terlihat kurang menyukai keberadaanku, tapi bagaimanapun juga itu sudah berlalu dan hubungan baik sudah terjalin diantara kami. Aku harap kamu dapat menjelaskannya, titip salam ya untuk mama dan papa. Hmm..., dan jika kamu kewalahan aku akan membantu menjelaskannya ke mama dan papa." Alan mengangguk. Dan melanjutkan suapan makanannya yang sempat tertunda.Alan tahu ini tidak akan mudah, tapi bagaimanapun juga ini hidupnya dan dia berhak atas dirinya sendiri."Ana, jangan berubah tetaplah menjadi Ana yang kukenal." Ana mengangguk dengan senyuman yang tidak terlepas dari sudut bibirnya."Berubah jadi apa? Power rangers?" ucapnya terkekeh."Aku tahu tidak mudah bagimu berpura-pura di hadapan banyak orang. Aku juga tahu kalau ada seseorang yang sudah menunggumu. Alan berbahagialah!" Matanya berkaca-kaca. Rasanya sangat sakit saat Ana sadar bahwa ini adalah akhir dari kebersamaanya dengan Alan."Ana... " Ana menggeleng."Kamu memilih keputusan yang tepat, jangan merasa bersalah dari semua yang telah terjadi. Ini sudah takdir untuk kita berdua. Alan, bolehkah aku memelukmu untuk terakhir kalinya?" Alan menganguk dan saat itu juga Ana menerjang tubuh laki-laki itu."Alan..., aku mencintaimu!"BersambungManda mendengus, frustasi dengan kepolosan wanita di depannya. "Itu hak kamu, kamu memang tidak melahirkan anak untuk laki-laki bajingan itu, tapi dia sudah ada di rahim kamu. Astagaaaa!" Manda menjambak rambutnya frustasi. "Setidaknya kamu tuntut dia memberi kamu uang yang banyak dan setelah itu kamu pergi." "Manda, tanpa uang dari Alan pun aku bisa makan. Aku bisa menjamini kehidupanku bersama bayi ini." kata Ana. sambil memegang perutnya."Iya, aku tahu. Tapi setidaknya kamu terima rumah itu.""Itu sama saja dengan bunuh diri dan aku tidak mau itu terjadi." Manda berdecak."Kamu bisa menjualnya." Ana menggeleng."Sayangnya itu tidak ada dalam pilihan." jawab Ana terkekeh. Manda berdecak."Aku tahu maksud kamu baik. Tapi biarlah aku terlepas dari tekanan yang selama ini menjeratku. Aku ingin hidup damai tanpa ada bayang-bayang dari mereka. Aku ingin menikmati hidup ya sebagai diriku sendiri." Manda memandang Ana lekat dan detik itu juga wanita itu memeluk Ana."Kamu wanita baik, d
Baby, maafkan mama tidak bisa mewujudkan keinginan kalian. Bukan papa tapi ini om Bima ya sayang. kalian bahagiakan ada om Bima yang memberikan pelukan untuk kita, bisik Ana dalam hati."Aku tidak apa-apa, Bim." Ana berkata setelah Bima melepas pelukannya."Tidak apa-apa bagaimana? Kamu pingsan Ana. Bagaimana kalau Dinda tidak datang kesana? Aku tidak bisa membayangkannya, Ana." ungkap Bima melepas rasa khawatirnya."Aku mohon untuk sementara turuti aku, ya. Aku tidak ingin terjadi sesuatu pada kalian. Aku mohon untuk sementara tinggal dengan kami ya, seenggaknya sampai Manda kembali dari kampung." kata Bima membujuk Ana. "Tapi... ""Please! Aku akan sangat merasa bersalah jika terjadi sesuatu pada kalian. Di rumah ada mama, papa dan Dinda, kamu tidak perlu khawatir dengan omongan tetangga jika itu yang membuat kamu takut. Manda juga pasti setuju." Bima menyela ucapan Ana, tidak ingin mendengar penolakan lagi."Kamu harus tahu Ana, kami selalu peduli ke kamu. Kamu tidak usah berkecil
Mohon koreksinya ya guysSebulan telah berakhir setelah perceraian resmi Alan dan Ana. Keduanya kembali menjalani kehidupan masing-masing. Alan dengan kisah cinta yang baru dan Ana dengan kehamilan tanpa suami. Tidak terasa kandungannya kini sudah menginjak usia 12 minggu. Ana sangat tidak sabar menunggu momen tendangan pertama bayinya. Dokter bilang janinnya baru akan menendang setelah usia 18-21 minggu itu pun kalau anak pertama beda lagi kalau anak kedua atau ketiga si ibu baru akan merasakan tendangan setelah usia kandungan 15-16 minggu. Dan Perut buncitnya menjadi bukti bahwa bayi dalam kandungannya mengalami pertumbuhan.Sama seperti wanita hamil lainnya, Ana juga mengalami fase yang namanya mengidam dan dia selalu menikmati momen itu. Seperti saat ini, wanita itu sedang menyantap rujak mangga muda ala mama Rita. "Pokoknya apapun yang kamu inginkan jangan sungkan-sungkan memintanya." ucap Rita sambil memotong buahnya lagi. "Kamu tidak usah takut dan tidak perlu sungkan jika k
Sebulan telah berakhir setelah perceraian resmi Alan dan Ana. Keduanya kembali menjalani kehidupan masing-masing. Alan dengan kisah cinta yang baru dan Ana dengan kehamilan tanpa suami. Tidak terasa kandungannya kini sudah menginjak usia 12 minggu. Ana sangat tidak sabar menunggu momen tendangan pertama bayinya. Dokter bilang janinnya baru akan menendang setelah usia 18-21 minggu, itu pun kalau anak pertama. Beda lagi kalau anak kedua atau ketiga si ibu baru akan merasakan tendangan setelah usia kandungan 15-16 minggu. Dan Perut buncitnya menjadi bukti bahwa bayi dalam kandungannya mengalami pertumbuhan.Sama seperti wanita hamil lainnya, Ana juga mengalami fase yang namanya mengidam dan dia selalu menikmati momen itu. Seperti saat ini, wanita itu sedang menyantap rujak mangga muda ala mama Rita. "Pokoknya apapun yang kamu inginkan jangan sungkan-sungkan memintanya." ucap Rita sambil memotong buahnya lagi. "Kamu tidak usah takut dan tidak perlu sungkan jika kamu mau sesuatu. Di rum
Drrtttt Drrttt "Halo...""Ana..." Alan menjeda ucapannya. Laki-laki itu menarik napas dalam-dalam. Tidak ada cara lain, Alan memutuskan menghubungi wanita itu. "Maafkan aku. Aku sudah berusaha tidak melibatkanmu tapi mama dan papa memintamu datang." Ana terdiam. Sudah menduga hal ini akan terjadi."Ana.""Iya?""Apa kamu keberatan?""Kamu tenang saja. Aku akan datang. Karna sudah seharusnya kita memberi kejelasan untuk mama dan papa kan?""Kamu benar. Sampai ketemu besok Ana." Tut! bunyi sambungan terputus."Besok kita akan ketemu papa. Kalian baik-baik ya, jangan rewel di hadapan papa. Ini rahasia antara kita." ucapnya sambil mengusap perutnya. Berharap anak dalam kandungannya mengerti dan mau bekerja sama dengan dirinya.Ana menghapus air matanya dan memegang perutnya, "Maafkan mama. Mama terpaksa melakukannya. Mama tidak ingin kalian merasakan sakit sama seperti mama. Mama yakin walau tanpa papa kita tetap bisa bahagia."***"Kamu yakin akan ke sana?" Ana mengangguk walau sebagia
Sebulan telah berakhir setelah perceraian resmi Alan dan Ana. Keduanya kembali menjalani kehidupan masing-masing. Alan dengan kisah cinta yang baru dan Ana dengan kehamilan tanpa suami. Tidak terasa kandungannya kini sudah menginjak usia 12 minggu. Ana sangat tidak sabar menunggu momen tendangan pertama bayinya. Dokter bilang janinnya baru akan menendang setelah usia 18-21 minggu, itu pun kalau anak pertama. Beda lagi kalau anak kedua atau ketiga si ibu baru akan merasakan tendangan setelah usia kandungan 15-16 minggu. Dan Perut buncitnya menjadi bukti bahwa bayi dalam kandungannya mengalami pertumbuhan.Sama seperti wanita hamil lainnya, Ana juga mengalami fase yang namanya mengidam dan dia selalu menikmati momen itu. Seperti saat ini, wanita itu sedang menyantap rujak mangga muda ala mama Rita. "Pokoknya apapun yang kamu inginkan jangan sungkan-sungkan memintanya." ucap Rita sambil memotong buahnya lagi. "Kamu tidak usah takut dan tidak perlu sungkan jika kamu mau sesuatu. Di rum
Alan terpekur ketika sepasang matanya menemukan cincin di laci meja kerjanya. Alan mengambilnya dan mengamati cincin perak itu. Alan memandangnya lekat dan menemukan ukiran nama Ana di lingkaran cincin itu. "Aku dan kamu bagaikan langit dan bumi. Apa kamu tidak malu memiliki istri seperti ku? Gadis kampungan dan juga yatim piatu." Alan menggeleng. "Aku yakin bahwa kamu adalah orangnya. Wanita yang ditakdirkan Tuhan untukku." Yakinnya tidak menyerah."Sebaiknya kamu pikirkan dulu. Aku takut kalau itu hanya perasaan sesaat kamu. Euforia kamu karena menemukan wanita yang memiliki paras hampir sama dengan wanita yang kamu cintai." Alan menggeleng. "Aku yakin bahwa hati ini seratus persen telah menjadi milikmu. Kalau tidak, bagaimana mungkin aku berani mengajakmu ke jenjang yang lebih serius? Ayana Nashwa Zia, will you marry me?" Wanita itu merogoh tas selempangnya. Mengambil handphonenya dan mengirimkan sebuah pesan untuk Alan."Pemakaman? Untuk apa?" tanya Alan bingung."Kamu akan se
Malam kian larut tetapi mata Ana enggan terpejam. Sepi kian menemani wanita itu. Ana rindu Alan yang selalu mendekap hangat tubuhnya. Ia rindu wangi tubuh lelaki itu, wangi yang selama ini menemani tidurnya. Mungkinkah ini yang dinamakan hormon ibu hamil? Bisa jadi."Baby, salahkah jika mama merindukan papa kalian? Mama tahu ini tidak benar tapi mama benar-benar merindukannya. Apakah kalian juga merasakannya? Atau jangan-jangan kalian yang ingin bertemu papa?..." "...Maaf. Mama tidak bisa memberikan keluarga yang utuh untuk kalian. Mama juga merasa sedih, tapi mama tidak bisa berbuat apa-apa selain melepas papa kalian. Mama tidak ingin kalian merasakan apa yang mama rasakan. Mama tidak ingin kalian menjadi kesekian untuk papa kalian. Mama tidak ingin kalian diabaikan papa kalian. Tidak apa-apa kan kalau mama sekaligus ayah buat kalian?" Dug! "Baby?" Ana terkejut dan meletakkan tangannya di bagian pergerakan yang ia rasakan. "Iya, mama tidak akan sedih lagi. Kalian tidak mau mama se
Dengan telaten perawat itu menuntun Ana untuk menyusui kedu bayi kembarnya. Terlihat kalau Ana masih sangat kaku, tapi suster mengatakan bahwa itu adalah hal wajar bagi wanita yang baru saja melahirkan. Ana terharu, bayinya ternyata bisa mengkoordinasikan refleks mengisap dan menelan. Tanpa sadar wanita itu menitikkan bulir bening dari kelopak matanya karena kebanyakan bayi prematur tidak bisa mengkoordinasi refleks mengisap dan menelan. "Suster, kira-kira berapa lama mereka akan berada di sini?" "Tidak bisa dipastikan Ibu, tapi kalau bayi-bayi Ibu perkembangannya sudah stabil, seperti kenaikan berat badan bayi sudah dinyatakan baik dan stabil oleh dokter, suhu tubuh stabil tanpa bantuan inkubator, maka bayi-bayi Ibu sudah boleh pulang." terang suster sambil mengambil bayi dalam gendongan Ana dan meletakkannnya ke dalam inkubator lagi. Setelah itu, bayi yang kedua ia letakkan lagi ke dalam gendongan Ana. "Tapi sepertinya mereka akan cepat pulang karena mereka adalah bayi-bayi pint
Blam!Suara pintu tertutup dengan keras. Melani ketakutan. Masih sangat jelas dalam bayangannya bagaimana wanita itu terjatuh dan ada darah yang mengalir dari sela-sela pahanya. Melani mengunci pintu, mematikan lampu, dan memblokir akses masuknya cahaya dengan menutup rapat jendela dan gorden. Drrrrt! Drrrrt!Handphonenya berdering, tapi secepat kilat benda itu sudah tak berbentuk lagi. Melani memastikan bahwa benda itu sudah tidak berfungsi lagi. Dalam ruangan gelap gulita, ia terduduk dan memeluk erat kedua lututnya. Samar-samar mulutnya bergumam, "tidak! tidak! tidak! argghhh!" Melani menjambak rambutnya akibat frustasi. Sang Surya telah tenggelam ditelan malam yang kian menguasai bumi, tapi wanita itu masih diam tak bergeming. Rupanya sang putri kian ketakutan dengan ilusi-ilusi yang kini merajai pikirannya. Tok! Tok! Bahkan mendengar suara ketukan pintu saja dia merasa sangat ketakutan. Kedua tangannya memeluk erat kedua lututnya. Kakinya gemetar."Mel, ini mama. Kamu kenapa
Ana merasakan sakit luar biasa menjalar ke seluruh tubuhnya. Bukan seperti ini yang dia inginkan. Penyelesaian masalah dan kehidupan tenang bersama si kembar. Itulah harapan terbesarnya. Siapa sangka wanita jelmaan iblis itu sanggup memperlakukannya seperti ini. Ana memegang perutnya dan memohon kepada anak-anaknya untuk bertahan. Sungguh Ana tidak akan sanggup kalau sampai terjadi sesuatu pada anak-anaknya. Tuhan selamatkan kami! Handphonenya berdering. Namun sungguh ia sudah tak sanggup untuk sekadar mengangkatnya saja. Ana meminta tolong kepada orang yang ada di sana untuk mengambil handphonenya dari dalam tasnya dan Ana melihat bahwa orang yang menghubunginya adalah Dinda. Ana meminta orang itu untuk menjawab panggilan itu dan mengatakan keadaan Ana saat ini.Dinda terkejut. Dinda menyesal, tidak seharusnya ia meninggalkan Ana. Dalam keadaan panik dan menangis, ia menghubungi Bima dan mengatakan keadaan Ana. Bima juga terkejut. Setahunya Ana baik-baik saja. Kenapa tiba-tiba sepert
Hari ini Ana bersama Dinda pergi berbelanja untuk membeli baju bayi-bayinya. Karena jenis kelamin yang belum diketahui Ana sengaja memilih warna-warna yang bisa dipakai perempuan atau pun laki-laki. Sebenarnya dia sudah belanja kebutuhan anaknya, hanya saja dia merasa sedikit bosan di rumah dan mengajak Dinda untuk berbelanja. Ana memilih baju-baju dengan teliti dan memastikan bahwa baju-baju itu aman untuk kulit anak-anaknya kelak."Kak, lihat deh bajunya bagus banget. Dinda yakin baju ini akan sangat cocok untuk si kembar. Mereka pasti kelihatan sangat lucu kalau memakai ini," Ana tersenyum."Iya kamu benar, tapi ini baju untuk anak usia lima tahun," Ana menggelengkan kepalanya."Tapi bisa saja kalau si kembar memakai ini kak. Justru itu yang akan membuat mereka makin lucu. Pokoknya ini wajib beli ya, kak dan si kembar juga harus memakainya nanti. Ini mode zaman sekarang tahu kak," lagi-lagi Ana menggelengkan kepalanya. Tahu apa anak baru lahir tentang mode. Ada-ada saja memang an
Alan bernapas lega setelah mengatakan segalanya pada Melani. Tinggal selangkah lagi. Ia tahu bahwa ia telah menyakiti hati wanita itu. Tapi ini lebih baik daripada terus-terusan memberi harapan kosong pada wanita itu. Alan memandang foto USG yang diberikan Ana kepadanya. Terhitung dua hari semenjak pertemuan terakhir mereka dia tidak menemui wanita itu. Ia tersenyum, ternyata rindu setelah tidak memiliki itu sangat menyakitkan. Ya, ia merindukan wanita itu, apalagi perut besarnya yang berisi anak-anaknya. Dia mengelus foto itu,"tunggu papa, nak. Papa akan berusaha semaksimal mungkin untuk bisa kembali bersama dengan mama kalian. Papa ingin menebus semuanya. Bantu papa jaga mama dulu ya, nak." ***Ana tertawa senang melihat interaksi mantan ibu mertuanya dengan bayi di dalam kandungannya. Bayi-bayinya seolah mengerti dengan apa yang dikatakan oleh wanita paruh baya itu. Mereka selalu merespon setiap perkataan yang keluar dari mulut wanita itu."Mama semakin nggak sabar melihat merek
Alan masih merenung menyesali segala pesakitan yang telah ia berikan untuk Ana. Rasa malu seketika muncul dalam dirinya. Setelah Ana menyeselesaikan ungkapan sakit hatinya, ia sadar betul betapa berengseknya seorang Alan. Bahkan ketika Bima membawa Ana pulang secara tiba-tiba pun, ia tidak berani menahan karena ia sadar Ana butuh ketenangan setelah apa yang telah terjadi.Tidak percaya diri, itulah yang ia rasakan saat ini. Hatinya terasa terkoyak kala mengingat air mata Ana yang berjatuhan membasahi kedua belah pipinya. Masih sanggupkah ia menampakkan diri ke hadapan wanita itu. Wanita yang selama ini hanya menerima penderitaan selama hidup bersamanya. Ya, dari semua perkataan Ana, Alan berkesimpulan bahwa selama ini ia belum pernah memberikan kebahagiaan untuk Ana. Rasa sakit yang bertubi-tubilah yang ia berikan untuk wanita yang sedang mengandung anaknya itu. Alan tersenyum lagi. Lebih tepatnya senyuman yang mengejek dirinya sendiri. Bahkan dengan teganya ia sempat berpikiran bah
Alan menghentikan langkahnya dan memerhatikan langkah demi langkah Ana dan Bima. Sudah hampir sepuluh menit mereka berjalan bersama, tapi tak sepatah kata pun menjurus ke arahnya. Dia bagaikan angin lalu yang tidak kelihatan sama sekali. Ana dan Bima sama sekali tidak melibatkannya. Syukurnya dia memakai pakaian kasual kalau tidak, bisa saja orang-orang beranggapan jika dia adalah pengawal Ana dan Bima.Alan menengadah seraya memejamkan mata. Beberapa detik laki-laki itu masih berdiam dengan posisi itu hingga akhirnya ia membuang napas pelan. Setelahnya Alan kembali melangkahkan kedua kakinya untuk menyusul kedua manusia yang sedari tadi mengabaikannya. Dari kejauhan Alan melihat bahwa sekali-kali obrolan keduanya diiring dengan tawa. Entah apa yang sedang mereka bicarakan hingga bisa membuat Ana bahkan tanpa malu mengeluarkan suara tawanya. ***"Jangan menoleh, Na," tegur Bima ketika Ana hendak menoleh ke belakang."Ingat, kamu harus tegas dan jangan bersikap lembek pada Alan. Beri
Ana termenung kala teringat dengan ucapan Alan disore tadi. Ana menghela napas pelan. Merasa lelah dengan lika-liku perjalanan hidupnya. Baru beberapa bulan yang lalu laki-laki itu dengan tegas meminta perpisahan dari dirinya. Tapi sekarang laki-laki itu meminta untuk kembali.Bohong jika Ana mengatakan bahwa ia sudah move on dari laki-laki itu. Masih ada rasa yang tersisa untuk Alan. Tapi..., Ana memegang dadanya. Rasa sakit juga masih terasa jelas menusuk relung hatinya. Ana sempat berpikir bahwa ia adalah wanita yang paling beruntung di dunia ini. Dia, gadis yatim-piatu bisa menikah dengan laki-laki seperti Alan. Laki-laki mapan dan tentunya memiliki segudang prestasi dalam karirnya. Jika dibandingkan dengan dirinya, mereka bagaikan langit dan bumi. Makanya Amanda mengatakan kalau Ana adalah Cinderella versi dunia nyata. Tapi dengan sekejap semua hancur. Asa dalam angan Ana sirna begitu saja. Dia hancur sampai rasanya dia ingin menyerah.Ana menghela napas lagi. Takdir memang suli
Perjalanan terasa sepi kala keduanya memilih untuk tidak membuka suara. Hingga keduanya sampai di rumah bercatkan putih itu dan barulah Alan membuka suaranya lagi."Na, kita sudah sampai?" ucapnya membuat Ana melihat sekelilingnya dan benar saja keduanya telah tiba. Dari dalam mobil Alan sudah melihat ada Bima di depan pintu menunggu kedatangan Ana. "Terima kasih, Alan. Sampai jumpa dilain waktu," ucapnya seraya bergegas untuk keluar dari dalam mobil."Na, adakah kesempatan bagiku untuk menebus semuanya?" tanya Alan menghentikan gerakan Ana yang hendak membuka pintu mobil."Aku tahu kesalahanku tidak termaafkan tapi ijinkan aku menebus semuanya, Na. Aku ingin memperbaiki semuanya." tuturnya menatap Ana penuh harap."Alan, kamu pasti tahu kalau gelas yang pecah tidak akan bisa kembali seperti semula lagi. Sama sepertiku Alan, luka itu masih menganga dan membekas di sini Alan. Dan aku tidak tahu kapan bekas itu akan hilang." Setelah berkata demikian Ana membuka pintu mobil dan keluar d