Alan terpekur ketika sepasang matanya menemukan cincin di laci meja kerjanya. Alan mengambilnya dan mengamati cincin perak itu. Alan memandangnya lekat dan menemukan ukiran nama Ana di lingkaran cincin itu. "Aku dan kamu bagaikan langit dan bumi. Apa kamu tidak malu memiliki istri seperti ku? Gadis kampungan dan juga yatim piatu." Alan menggeleng. "Aku yakin bahwa kamu adalah orangnya. Wanita yang ditakdirkan Tuhan untukku." Yakinnya tidak menyerah."Sebaiknya kamu pikirkan dulu. Aku takut kalau itu hanya perasaan sesaat kamu. Euforia kamu karena menemukan wanita yang memiliki paras hampir sama dengan wanita yang kamu cintai." Alan menggeleng. "Aku yakin bahwa hati ini seratus persen telah menjadi milikmu. Kalau tidak, bagaimana mungkin aku berani mengajakmu ke jenjang yang lebih serius? Ayana Nashwa Zia, will you marry me?" Wanita itu merogoh tas selempangnya. Mengambil handphonenya dan mengirimkan sebuah pesan untuk Alan."Pemakaman? Untuk apa?" tanya Alan bingung."Kamu akan se
Malam kian larut tetapi mata Ana enggan terpejam. Sepi kian menemani wanita itu. Ana rindu Alan yang selalu mendekap hangat tubuhnya. Ia rindu wangi tubuh lelaki itu, wangi yang selama ini menemani tidurnya. Mungkinkah ini yang dinamakan hormon ibu hamil? Bisa jadi."Baby, salahkah jika mama merindukan papa kalian? Mama tahu ini tidak benar tapi mama benar-benar merindukannya. Apakah kalian juga merasakannya? Atau jangan-jangan kalian yang ingin bertemu papa?..." "...Maaf. Mama tidak bisa memberikan keluarga yang utuh untuk kalian. Mama juga merasa sedih, tapi mama tidak bisa berbuat apa-apa selain melepas papa kalian. Mama tidak ingin kalian merasakan apa yang mama rasakan. Mama tidak ingin kalian menjadi kesekian untuk papa kalian. Mama tidak ingin kalian diabaikan papa kalian. Tidak apa-apa kan kalau mama sekaligus ayah buat kalian?" Dug! "Baby?" Ana terkejut dan meletakkan tangannya di bagian pergerakan yang ia rasakan. "Iya, mama tidak akan sedih lagi. Kalian tidak mau mama se
Ana tersenyum senang ketika janin dalam kandungannya lagi-lagi memberikan tendangan. "Hayo, tendangan siapa ini?" ucapnya sambil mengusap-usap perut buncitnya. Dug! "Aduh! Pelan-pelan sayang!" Ana mengaduh membuat Bima yang kebetulan melewati kamar Ana berlari menghampiri. Laki-laki itu baru saja pulang dari tempat kerjanya. "Ana, kenapa?" Tanya Bima khawatir membuat Ana tertawa melihat ekspresi laki-laki itu. "Ana jangan bercanda!" Ana menghentikan tawanya, kasihan juga melihat wajah panik Bima. Padahal dia dan bayinya baik-baik saja. "Sini deh tangan kamu." pinta Ana dan meletakkan tangan Bima di atas perutnya. "Baby, ayo sapa om Bima." Tidak berapa lama Bima merasakan tendangan itu. Dug! Bima menatap tangannya takjub. "Ana, mereka menendang?" tanyanya dan meletakkan tangannya di atas perut Ana lagi. "Babby, ayo sapa om Bima lagi." ucapnya sangat antusias. Dug! Untuk kedua kalinya Bima dapat merasakan pergerakan bayi dalam kandungan Ana. Rasanya sangat luar biasa. Dalam hat
Alan tahu tidak akan mudah mengembalikan kepercayaan sang mama. Tapi bagaimana pun caranya ia ingin mengembalikan hubungan manis antara ia dan sang mama. Sudah cukup Ami-mamanya mendiamkannya. "Ma..." panggilnya sembari mendekati mamanya. Ami menoleh tanpa membalas dan kembali menekuni kegiatan menyiram tanamannya. "Ma, mulai hari ini Alan akan tinggal lagi bersama mama dan papa." lanjutnya berharap sang mama memberi respon. Ami meletakkan selang yang dipegangnya dan menyuruh pak Parjo melanjutkan kegiatannya. Setelah itu ia pergi meninggalkan Alan tanpa berkata sepatah kata pun. Alan menghela napas. Ternyata tidak semudah yang ia pikirkan. Laki-laki itu berjalan memasuki rumah dan melihat bahwa dinding ruang tamu rumahnya sudah bersih dari foto-foto pernikahannya. "Bi, foto-foto yang dari sini disimpan dimana?" tanya Alan ke bi Narti yang ketepatan sedang membersihkan ruang tamu itu. "Saya kurang tahu den karena bukan saya yang membantu ibu melepasnya." Alan mengangguk kemudian
Setelah pelukan penuh haru biru itu berakhir, kini mereka berada di ruang keluarga. Masih ada sisa tangis walau tidak sepilu semula. Situasi canggung terasa memenuhi ruangan itu. Entah apa yang terpikir oleh masing-masing mereka. Sampai akhirnya Rita selaku tuan rumah memecah keheningan."Mi, saya minta maaf. Saya sama sekali tidak berniat untuk menyembunyikannya. Sudah seharusnya saya mengatakan yang sebenarnya. Sekali lagi saya minta maaf, Mi," "Ya, saya kecewa. Sangat-sangat kecewa Rit. Saya pikir kita benar-benar sahabat. Tapi...," "Ma, Ana minta maaf, tapi ini semua murni permintaan Ana agar tante Rita dan juga lainnya merahasiakannya. Ana tidak siap memberitahu mama dan papa. Jadi cukup salahkan Ana, Ma, jangan keluarga ini." Ucap Ana memberi penjelasan. "Ya, kamu memang salah. Kamu menyembunyikan keberadaan cucu yang kami nantikan selama ini. Kamu tahu kan kalau mama dan papa sangat menanti kehadirannya," balas Ami."Ma, cukup. Jangan beri Ana tekanan yang berlebih. Ingat ke
Bima menuntun Ana hingga sampai ke kamar wanita itu. Namun, tak seorang pun dari keduanya mengeluarkan suara. Bima menyodorkan segelas air putih untuk Ana dan dengan sekejab Ana sudah menandaskan isi gelas itu."Bim, mengapa takdir begitu jahat mempermainkan hidupku? Aku capek Bim. Aku merasa hidupku hanyalah kesia-siaan belaka. Aku benar-benar capek Bim," kata Ana dengan sedih dan terdengar frustasi."Hei, jangan seperti ini. Kamu memiliki mereka. Kalau kamu seperti ini, mereka akan sedih." Ana menggeleng."Aku merasa Tuhan sangat tidak adil dalam hidupku, Bim. Aku merasa kalau aku dilahirkan hanya untuk merasakan sakit selama-lamanya." "Na, jangan seperti ini. Ada kami yang menemani kamu. Sekarang kamu tidur, ya. Tidak usah pikirkan yang aneh-aneh." Ana membaringkan tubuhnya dan Bima menyelimuti wanita hamil itu. Bima menatap sendu wajah Ana merasa prihatin dengan wanita hamil itu. Seharusnya masa sekarang adalah masa paling membahagiakan bagi setiap wanita. Masa menanti-nantikan
Drttt... Drrrrt...Lagi dan lagi bunyi panggilan masuk menyapa pendengaran Alan. Namun, laki-laki itu tetap bergeming, enggan menerima panggilan itu. Kalau dihitung, itu adalah panggilan ke sepuluh dalam jangka satu jam. Orang yang menghubunginya adalah orang yang sama, yaitu Melani. Alan tahu perbuatannya ini akan menimbulkan masalah yang baru, tapi laki-laki itu tidak peduli. Saat ini yang ada di kepalanya hanyalah tentang Ana dan calon anak mereka. Alan bangkit dari perebahannya dan merasakan sakit luar biasa pada kepalanya. Memprihatinkan mungkin itu gambaran yang pantas untuk keadaan Alan saat ini didukung dengan lebam pada wajahnya yang kini sudah membiru. Tapi dia tidak peduli itu. Dia akan bertahan demi menyusun rencana untuk bisa menemui Ana. Bum! Dalam sekejab tubuh Alan terjatuh, tidak bisa bertahan dengan denyutan kepala yang menyerangnya. Laki-laki itu terkapar tak berdaya di lantai ruang tengah rumah yang dulu ia tempati dengan Ana. Tidak ada pilihan lain. Ia mengambil
Alan terkekeh ketika menerima pukulan dari asistennya. Sedangkan Ferdi sudah siap siaga jika akan kehilangan pekerjaannya. Tapi tangannya spontan saja memukul sang bos ketika telinganya mendengar bahwa ibu bosnya diceraikan dalam keadaan hamil."Aku laki-laki brengsek Fer. Bahkan secara tidak langsung aku telah menolak kehadiran anakku Fer. Aku sudah menyakiti Ana begitu dalam Fer. Padahal dulu aku yang menjanjikan kebahagiaan kepadanya. Aku yang berjanji akan membahagiakannya sampai rambut kami memutih di depan makam kedua orang tuanya Fer. Menurutmu apa mungkin Ana mau memaafkan aku?" Ferdi terdiam bahkan terkejut mendengar ungkapan penyesalan bosnya itu."Bu bos baik Pak. Jadi menurutku bu bos pasti mau memaafkan bapak kalau bapak memang benar-benar tulus ingin memperbaikinya." Alan menggeleng. "Nggak Fer, bahkan untuk menemuiku saja Ana gak mau. Tapi aku tidak masalah dengan itu Fer. Aku akan berjuang demi Ana dan anak kami. Aku rela menukarkan nyawaku jika memang itu dibutuhkan