Bima menuntun Ana hingga sampai ke kamar wanita itu. Namun, tak seorang pun dari keduanya mengeluarkan suara. Bima menyodorkan segelas air putih untuk Ana dan dengan sekejab Ana sudah menandaskan isi gelas itu."Bim, mengapa takdir begitu jahat mempermainkan hidupku? Aku capek Bim. Aku merasa hidupku hanyalah kesia-siaan belaka. Aku benar-benar capek Bim," kata Ana dengan sedih dan terdengar frustasi."Hei, jangan seperti ini. Kamu memiliki mereka. Kalau kamu seperti ini, mereka akan sedih." Ana menggeleng."Aku merasa Tuhan sangat tidak adil dalam hidupku, Bim. Aku merasa kalau aku dilahirkan hanya untuk merasakan sakit selama-lamanya." "Na, jangan seperti ini. Ada kami yang menemani kamu. Sekarang kamu tidur, ya. Tidak usah pikirkan yang aneh-aneh." Ana membaringkan tubuhnya dan Bima menyelimuti wanita hamil itu. Bima menatap sendu wajah Ana merasa prihatin dengan wanita hamil itu. Seharusnya masa sekarang adalah masa paling membahagiakan bagi setiap wanita. Masa menanti-nantikan
Drttt... Drrrrt...Lagi dan lagi bunyi panggilan masuk menyapa pendengaran Alan. Namun, laki-laki itu tetap bergeming, enggan menerima panggilan itu. Kalau dihitung, itu adalah panggilan ke sepuluh dalam jangka satu jam. Orang yang menghubunginya adalah orang yang sama, yaitu Melani. Alan tahu perbuatannya ini akan menimbulkan masalah yang baru, tapi laki-laki itu tidak peduli. Saat ini yang ada di kepalanya hanyalah tentang Ana dan calon anak mereka. Alan bangkit dari perebahannya dan merasakan sakit luar biasa pada kepalanya. Memprihatinkan mungkin itu gambaran yang pantas untuk keadaan Alan saat ini didukung dengan lebam pada wajahnya yang kini sudah membiru. Tapi dia tidak peduli itu. Dia akan bertahan demi menyusun rencana untuk bisa menemui Ana. Bum! Dalam sekejab tubuh Alan terjatuh, tidak bisa bertahan dengan denyutan kepala yang menyerangnya. Laki-laki itu terkapar tak berdaya di lantai ruang tengah rumah yang dulu ia tempati dengan Ana. Tidak ada pilihan lain. Ia mengambil
Alan terkekeh ketika menerima pukulan dari asistennya. Sedangkan Ferdi sudah siap siaga jika akan kehilangan pekerjaannya. Tapi tangannya spontan saja memukul sang bos ketika telinganya mendengar bahwa ibu bosnya diceraikan dalam keadaan hamil."Aku laki-laki brengsek Fer. Bahkan secara tidak langsung aku telah menolak kehadiran anakku Fer. Aku sudah menyakiti Ana begitu dalam Fer. Padahal dulu aku yang menjanjikan kebahagiaan kepadanya. Aku yang berjanji akan membahagiakannya sampai rambut kami memutih di depan makam kedua orang tuanya Fer. Menurutmu apa mungkin Ana mau memaafkan aku?" Ferdi terdiam bahkan terkejut mendengar ungkapan penyesalan bosnya itu."Bu bos baik Pak. Jadi menurutku bu bos pasti mau memaafkan bapak kalau bapak memang benar-benar tulus ingin memperbaikinya." Alan menggeleng. "Nggak Fer, bahkan untuk menemuiku saja Ana gak mau. Tapi aku tidak masalah dengan itu Fer. Aku akan berjuang demi Ana dan anak kami. Aku rela menukarkan nyawaku jika memang itu dibutuhkan
Dari jarak tiga meter Alan memerhatikan Ana yang sedang menunggu antrean pemeriksaan kandungan. Dia duduk bersisian dengan Bima, tangannya tak hentinya mengelus perutnya yang sudah membesar itu. Sesekali ia melihat Bima melakukan hal yang sama. Dia ingin marah tapi ia sadar ia tidak memiliki hak untuk melakukan itu. Dia yang bodoh telah membuang Ana dan calon anak mereka. Seandainya dia mendengarkan perkataan Bima, maka bisa dipastikan bahwa dialah yang berada disisi Ana saat ini. Menemani Ana memeriksakan kandungan bahkan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Bima. Mengelus perut Ana dan merasakan tendangan calon anaknya dari dalam perut Ana. "Bagaimana? Apa kamu sudah menyesal sekarang?" Suara laki-laki yang seketika membuat Alan tersadar dari khayalannya. Bima? Sejak kapan laki-laki ini berdiri di hadapannya."Gue cukup prihatin dengan keadaan lo sekarang. Tapi itu yang lo inginkan kan? Jadi silakan nikmati penyesalanmu bro." Ejek Bima dan berlalu meninggalkan Alan. Alan m
Peribahasa penyesalan selalu datangnya belakangan adalah gambaran yang sesuai untuk keadaan Alan sekarang ini. Setelah perceraian dengan Ana, masalah bertubi-tubi datang menghantamnya. Belum lagi berhasil meluluhkan hati Ami-mamanya ia kembali diterpa keakitan berujung penyesalan akibat perasaan fana yang ia rasakan. Ia baru sadar bahwa ternyata hatinya telah dimiliki oleh Ana-mantan istrinya itu. Dan bodohnya ia menyadarinya setelah perceraian mereka. Ia pikir itu hanya perasaan bersalah karena telah menceraikan wanita itu. Ternyata tidak. Ia bahkan merasa lebih kehilangan ketika ia tidak bersama lagi dengan Ana daripada sekarang, ketika ia sudah memutuskan hubungannya dengan Melani. Bodoh! Umpatan yang sangat pantas disandingkan untuknya saat ini. "Fer, kau tahu aku akan menjadi ayah kan? Tapi mereka masih di perut ibunya Fer. Iya Fer, mereka masih di perut Ana, wanita yang sudah aku sakiti Fer. Kau mengenalnya kan Fer?" Racau Alan dan lagi-lagi meneguk minuman beralkohol itu. Ferd
Canggung. Mungkin itu yang saat ini dirasakan oleh sepasang mantan suami istri itu. Apalagi Ana, wanita itu begitu enggan untuk sekadar melihat mantan suaminya itu. Dia takut pertahanannya akan runtuh dan berakhir lemah di hadapan laki-laki itu."Na..." panggil Alan memecah kebisuan diantara mereka. Ingin rasanya Alan menerjang tubuh wanita itu, tapi dia tidak ingin berbuat ceroboh. Alan tidak ingin membuang kesempatan emas yang dia dapat hari ini. Untuk hari ini sudah cukup baginya hanya sebatas melihat dan tahu keadaan Ana - wanita yang kini sedang mengandung anaknya. Jantungnya seakan diremuk kala kedua matanya jatuh pada perut besar mantan istrinya itu. Ternyata benar kata mamanya bahwa dia adalah laki-laki brengsek."Na, maaf. Mungkin sudah terlambat, aku baru mengatakannya sekarang, tapi aku benar-benar minta maaf, Na. Aku tahu aku adalah laki-laki brengsek yang dulu berjanji tidak akan menyakiti kamu di hadapan kedua orang tuamu. Tapi nyatanya aku menyakitimu, memberimu kesakit
Alan menatap penuh takjub perut besar Ana tempat anak-anaknya berlindung selama sembilan bulan. Entah dorongan darimana tangannya ingin sekali berlabuh ke atas perut besar itu. Alan berpikir sejenak, 'kalau tidak sekarang, kapan lagi?' suara lain memberi pilihan kepadanya. Dan dengan keberanian penuh Alan memberanikan diri untuk bertanya pada Ana, kalau pun Ana tidak mengijinkannya setidaknya dia sudah mencoba."Ana, bolehkah aku memegangnya?" Alan menunggu penuh harap. Jujur ia sangat iri kala dihari itu melihat Bima bisa memegang perut Ana dengan raut yang sangat bahagia. Ia ingin merasakan hal yang sama berinteraksi dengan calon anaknya yang masih di dalam kandungan Ana. Alan ikhlas kalau memang Ana tidak membiarkannya sebab itu ganjaran yang setimpal untuknya yang sempat menolak kehadiran anaknya. Dan di luar dugaannya Ana mengangguk menyetujuinya. Alan bersorak bahagia dalam hati dan tanpa membuang waktu Alan segera melabuhkan telapak tangannya ke atas perut besar Ana. Alan terce
Perjalanan terasa sepi kala keduanya memilih untuk tidak membuka suara. Hingga keduanya sampai di rumah bercatkan putih itu dan barulah Alan membuka suaranya lagi."Na, kita sudah sampai?" ucapnya membuat Ana melihat sekelilingnya dan benar saja keduanya telah tiba. Dari dalam mobil Alan sudah melihat ada Bima di depan pintu menunggu kedatangan Ana. "Terima kasih, Alan. Sampai jumpa dilain waktu," ucapnya seraya bergegas untuk keluar dari dalam mobil."Na, adakah kesempatan bagiku untuk menebus semuanya?" tanya Alan menghentikan gerakan Ana yang hendak membuka pintu mobil."Aku tahu kesalahanku tidak termaafkan tapi ijinkan aku menebus semuanya, Na. Aku ingin memperbaiki semuanya." tuturnya menatap Ana penuh harap."Alan, kamu pasti tahu kalau gelas yang pecah tidak akan bisa kembali seperti semula lagi. Sama sepertiku Alan, luka itu masih menganga dan membekas di sini Alan. Dan aku tidak tahu kapan bekas itu akan hilang." Setelah berkata demikian Ana membuka pintu mobil dan keluar d