Saat sambungan telepon tertutup, akhirnya Alca masuk ke kamar. Tepat saat itu Ale yang sedang bersiap-siap merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Menyalakan televisi sebelum tidur. Ale memilih ke kamar mandi lebih dulu. Baru setelah itu dia melakukan hal yang sama dengan Ale. Merebahkan tubuhnya. “Berikan bantal itu padaku.” Alca memilih meminta bantal Ale untuk membawanya ke sofa.“Kak Alca mau tidur di mana?” tanya Ale. Aku akan tidur di sofa.“Sofa,” jawab Alca. Ale mengalihkan pandangan pada sofa. Tampak sofa itu cukup keras. Jadi jika Alca tidur di sana, pasti akan sakit sekali. “Tempat tidur masih luas, Kak. Jika Kak Alca tidur di sini masih cukup juga. Lagi pula sofanya keras. Nanti Kak Alca sakit.” Ale memilih mengalah berbagi tempat tidur dengan Alca. Tidak mau Alca sakit gara-gara dirinya. “Tidak apa-apa jika aku tidur di tempat tidur?” tanya Alca memastikan. “Iya, tidur saja di sini.” Ale menepuk sisi ranjang yang kosong.“Baiklah, aku akan tidur di tempat tidur.”
Sepanjang malam Alca memeluk Ale. Di dalam pelukan Alca, Ale tidur begitu pulasnya.Saat merasa pegal, Ale berbalik. Memutar tubuhnya ke sisi lain. Alca yang merasa pelukannya merenggang, mencoba mengeratkannya lagi. Namun, perut Ale membuat pelukan itu tidak dapat dieratkan. Ale yang merasa perutnya teralu ditekan, segera membuka mata. Saat melihat perutnya menempel di tubuh Ale dan terasa sesak, dia sedikit memundurkan tubuhnya. Gerakkan tubuh Ale itu membuat Alca membuka matanya. Hal pertama yang dilihat Alca adalah wajah Ale. Tampak istrinya memberikan ruang di antare mereka. “Apa aku terlalu kencang memeluk?” Alca menatap Ale. Suaranya yang serak terdengar menggoda sekali. Ale mengalihkan pandangan pada Ale. Senyum tipis menghiasi wajahnya. “Iya, sedikit sesak,” jawabnya. “Maaf.” Alca tidak tahu jika pelukaannya membuat Ale terasa sesak. “Tidak apa-apa.” Ale mengulas senyumnya. Melihat Ale yang tersenyum membuat hati Alca berdegup kencang. Debarannya sama seperti pertama
“Jika kamu rasa perasaan itu hanya hadir padamu, itu salah. Aku merasakan hal yang sama.” Alca meraih tangan Ale. Mencoba meyakinkan istrinya itu. Alca merasa perasaannya tidak bisa dielak lagi. Jadi dia lebih memilih untuk jujur saja. Walaupun dia sadar jika perasaannya juga bercabang dua hati. Sama persis dengan Ale. Alca masih mencintai Zira, tapi memiliki perasaan dengan Ale. “Aku tahu ini sulit untukmu. Namun, perasaan ini jelas tidak bisa dielak lagi.” Alca sendiri merasakan hal itu. Semakin dia mengelak perasaannya, semakin perasaannya terasa. Belum lagi bagaimana interaksi antara mereka berdua semakin intens. Ale masih terdiam. Dia tidak tahu harus mengatakan apa. Namun, Ale membenarkan jika perasaan ini memang tidak bisa dielaknya.“Aku bingung memulai hubungan ini, Kak. Rasanya saat jatuh cinta saat menikah membuat aku justru bingung.” Ale merasakan hal yang berbeda sekali dengan apa yang dirasakan sewaktu dengan Dima. Alca mengulas senyumnya. Hal yang sama juga dirasakan
Alca dan Ale bersiap untuk ke pesta. Alca memakai setelah jas dengan kemeja warna merah, sedangkan Ale memakai gaun panjang berwarna merah. “Kenapa bisa sama?” Ale yang keluar dari kamar mandi melihat Alca yang memakai kemeja warna merah. Tentu saja itu membuatnya terkejut. Karena tanpa direncana, mereka memakai baju yang senada. Alca menatap gaun yang dipakai Ale dan segera beralih pada kemejanya. Tentu saja itu membuatnya merasa lucu. Karena tanpa sengaja mereka memakai warna yang sama. Alca menarik Ale ke dalam pelukannya. “Sepertinya apa yang ada di hatimu sama dengan yang ada di hatiku.” Ale tersipu malu mendengar ucapan Alca tersebut. Hati Ale berbunga-bunga. Apa yang dilakukan Ale adalah hal yang membuatnya bahagia. Sudah lama sekali Ale tidak merasakan hal semacam ini. Setelah kesedihan yang cukup lama menghampiri, akhirnya Ale merasakan kebahagiaan ini. “Ayo, kita berangkat.” Alca melepaskan pelukannya dan beralih meraih tangan Ale. Tanpa penolakan Ale ikut dengan Alca
Seusai acara pesta, Alca mengajak Ale untuk ke hotel lagi. Namun, alih-alih ke kamar mereka, Alca mengajak ke restorannya. Restoran yang kebetulan berada di lantai atas membuat mereka dapat melihat pemandangan dari atas. Langit sore yang kala itu menyapa, tampak indah. Semilir angin sore yang menerpa pun membuat rambut Ale sedikit beterbangan. “Wah ... pemandangan dari atas sini cantik sekali.” Ale merasa senang karena sejak menginap kemarin, baru kali ini Ale melihat pemandangan ini. Alca mengajak Ale duduk di pinggir restoran. Agar lebih jelas melihat pemandangan dari atas. Melihat Ale yang terus mengulas senyum tentu saja membuat Alca senang. Sejak hubungannya membaik, dia sering melihat senyum Ale. “Pemandangan dari sini terlihat jelas. Ada gunung juga di sana.” Ale menunjuk pemandangan yang ada di depannya itu. “Apa kamu senang?” tanya Alca. “Iya, aku senang. Karena bisa melihat pemandangan seperti ini.” Senyum Ale masih terus menghiasi wajahnya.“Ke mana senyummu selama in
Pergi untuk berkunjung ke pabrik sekaligus berlibur mengantarkan Alca dan Ale kini semakin dekat. Keputusan untuk saling mengenal satu dengan yang lain, membuat mereka akhirnya menjalin hubungan. Entah sebutan apa yang pas ketika mereka sendiri sebenarnya sudah menikah. “Aku harus pergi dulu sebentar. Kamu sebaiknya istirahat dulu.” Alca membelai lembut wajah Ale.Ale tidak suka ikut campur dengan apa yang dilakukan Alca. Jadi dia tidak bertanya ke mana Alca pergi. “Iya.” Ale mengangguk. “Aku akan cepat pulang.” Satu kecupan mendarat di dahi Ale. Hanya anggukan yang diberikan oleh Ale. Setelah berpamitan, Alca segera berlalu pergi. Dia menuju ke apartemen Zira untuk menemui kekasihnya itu. Perjalanan yang ditempuh hanya sekitar setengah jam. Akhirnya Alca sampai di apartemen Zira. Karena sudah tahu kode apartemen, tentu saja dia dapat masuk dengan segera. Saat masuk ternyata Zira sedang duduk di kursi tamu. Alca menghampiri Zira. Duduk tepat di depan Zira. “Ayo, aku antar ke r
“Ra, apa yang kamu lakukan?” Alca segera meraih pisau yang dibawa oleh Zira. “Untuk apa aku hidup jika semua orang yang aku cintai pergi meninggalkan aku.” Zira tidak mau melepaskan sama sekali pisau yang berada di tangannya. Tentu saja yang dilakukan Zira membuat Alca harus segera menenangkannya. “Siapa yang mau meninggalkan kamu? Aku tidak berniat meninggalkan kamu.” “Jangan mencoba membohongi aku! Aku mengenalmu cukup lama. Jelas aku tahu kamu sedang berusaha untuk menenangkan aku saja.” Zira berusaha mengarahkan pisau ke tangannya. “Sayang, aku mohon jangan melakukan ini. Aku tahu aku salah membatalkan rencana kita, tapi aku tidak berniat meninggalkan kamu. Maafkan aku.” Alca tidak punya pilihan lain selain membujuk Zira. Zira menatap Alca. Mencari kebohongan di mata Alca. “Maafkan aku. Jangan lakukan ini!” Alca menatap Zira lekat. ada ketakutan dari sorot matanya. Jelas dia tidak mau sampai Zira terluka karenanya.Zira melihat ketakutan dari sorot mata Alca. Itu membuatnya
Setelah drama yang dilakukan Zira selesai. Alca akhirnya mengantarkan Ale ke rumah mamanya sesuai janjinya. “Apa kamu berubah karena pekerjaanmu?” Zira menoleh pada Alca yang sedang sibuk menyetir mobilnya. Alca tidak menyangka jika ternyata Zira berpikir seperti itu. Padahal perubahan yang terjadi padanya disebabkan oleh Ale. Perasaan cintanya pada Ale yang mengubah semuanya. “Sayang, kenapa jawabnya lama sekali?” tanya Zira. “Iya, aku berubah karena pekerjaanku yang cukup banyak.” Alca membenarkan apa yang ditanyakan Zira. Tak mau Zira tahu alasan sebenarnya. Tak mau sampai Zira mengakhiri hidupnya seperti ancaman yang diberikan. “Tebakanku selalu benar. Kamu tidak pernah berubah denganku. Yang ada hanyalah karena kesibukanmu.” Zira mengulas senyumnya. Alca tidak mau mengomentari apa yang dilakukan Zira. Dia sedang malas harus berdebat. “Apalagi sampai berkhianat. Tentu saja itu tidak akan mungkin.” Zira tertawa. Dia merasa jika Alca tidak akan melakukan hal itu. Apalagi mer
Pembawa acara memanggil Alcander Janitra dan Alegra Cecilia pemilik Janitra Grup untuk memberikan sambutan pada para tamu undangan. Mereka memperkenalkan penerus dari Janitra Grup tersebut. Ada Dima Janitra berserta istri dan anaknya. Ada Arlo Alcander Janitra bersama sang istri.Semua orang akhirnya tahu jika Almeta adalah istri dari Arlo. Apalagi nama Almeta disebut dengan jelas oleh pembawa acara.Rafael yang melihat hal itu akhirnya pasrah. Dia sepertinya memang sudah harus merelakan Almeta untuk selamanya karena Almeta benar-benar sudah menjadi istri Arlo seutuhnya.Pesta begitu mewah sekali. Dihadiri oleh para tamu undangan yang didominasi oleh pengusaha-pengusaha kelas atas.“Mama senang melihat kalian sekarang sudah dekat.” Mama Ale tersenyum ketika melihat Almeta dan Arlo. Apalagi sejak tadi mereka berdua saling bergandengan tangan.“Doakan kami bisa seperti mama dan papa.” Arlo berharap jika pernikahan dengan Almeta akan berlangsung lama sampai kakek dan nenek seperti orang
Rafael begitu terkejut ketika mendengar suara Arlo yang tiba-tiba terdengar.“Pak Arlo.” Rafael menyapa Arlo.Arlo hanya menatap sejenak pada Arlo, sebelum akhirnya kembali pada mama Rafael. “Anda bilang siapa yang mau dengan Meta?” tanya Arlo menatap mama Rafael. “Itu saya. Saya yang menerima Almeta untuk dijadikan istri.” Arlo menegaskan pada mama Rafael.“Ma, sudah.” Rafael menegur sang mama.“Oh ... jadi ini orang yang menerima wanita ini.” Mama Rafael tidak mendengarkan anaknya sama sekali. Masih terus menghina Almeta dan Arlo.“Iya, kenalkan saya Arlo Alcander Janitra, manajer Janitra Grup sekaligus putra pemilik Janitra Grup.” Arlo mengulurkan tangannya pada mama Rafael. Mama Rafael begitu terkejut mendengar ucapan Arlo. Dia langsung melihat ke arah Rafael.“Dia atasanmu?” tanya sang mama.“Iya, Ma. Dia atasanku.” Rafael membenarkan ucapan sang mama.Mama Rafael terkejut ketika ternyata Arlo adalah atasan Rafael. Dia juga tidak menyangka jika Almeta menikah dengan atasan
Arlo membulatkan matanya ketika mendengar pertanyaan Almeta itu. Tidak menyangka Almeta bertanya seperti itu. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanya Arlo.“Kak Arlo suka aku yang berambut keriting seperti Kak Zila. Kak Arlo juga meminta aku memakai semua pakaian Kak Zila.” Almeta menjelaskan apa yang membuatnya berpikir seperti itu.Arlo akhirnya tahu apa yang membuat Almeta berpikir seperti itu.“Aku memintamu mengeriting rambut karena merasa kamu cantik saat dengan rambut bergelombang. Rambutmu lebih bervolume. Aku memintamu memakai baju Zila karena merasa sayang baju itu ada di lemari. Apalagi badanmu setipe dengan Zila. Jadi tidak ada salahnya ketika kamu memakai itu. Tidak bermaksud membuatmu menjadi Zila. Aku menyukaimu karena memang kamu bukan karena kamu mirip Zila.” Arlo mencoba menjelaskan pada Almeta. Perasaannya ada bukan karena Almeta yang mirip Zila, tetapi lebih karena memang dia adalah Almeta.Almeta menatap Arlo. Mencari kebohongan dari sorot matanya.“Jika kamu
“Kak Arlo bilang jika istri Kak Arlo yang sekarang memakaikan dasi?” Almeta langsung melemparkan pertanyaan itu saat masuk ke mobil.“Iya.” Dengan entengnya Arlo menjawab.“Kenapa Kak Arlo mengatakan hal itu?” Almeta masih tidak habis pikir. Kenapa suaminya mengatakan seperti itu.“Bukankah kamu sendiri yang bilang. Biarkan mereka tahu pelan-pelan. Aku sedang memberitahu pelan-pelan.” Arlo menyeringai. Dia memang sengaja mengatakan hal itu pada Rina-sang sekretaris karena tahu berita itu akan menyebar dengan cepat. Terbukti Almeta saja sudah dengar.Almeta hanya bisa pasrah ketika mengetahui alasan Arlo itu. Memang benar adanya jika orang perlahan harus tahu.Melihat Almeta yang sudah tidak melayangkan protes, Arlo segera melajukan mobilnya untuk segera pulang.Almeta menikmati perjalanan bersama sang suami. Namun, tiba-tiba saja Almeta teringat sesuatu.“Tadi Kak Rina bilang, Kak Arlo pesan bunga untuk istri, bunga apa?” tanya Almeta penasaran.“Lihat saja di rumah.” Arlo tidak mau m
Saat tautan bibir terlepas keduanya saling malu. Ini adalah kali pertama mereka berciuman sebagai suami dan istri.“Berapa bulan kita menikah?” tanya Arlo menatap sang istri.“Enam bulan.”“Dalam enam bulan baru ini aku menciummu.” Arlo tersenyum ketika menyadari berapa lama bertahan tanpa saling menyentuh.“Tapi, aku merasa seperti mengkhianati Kak Zila.” Almeta menundukkan kepalanya. Merasa bersalah sekali ketika baru saja melakukan ciuman.“Zila justru senang jika kita mulai membuka hati.” Arlo meyakinkan Almeta.Almeta membenarkan ucapan Arlo. Memang bisa jadi kakaknya justru senang ketika melihat dirinya dan Arlo bisa membuka hati.“Bersiaplah, kita makan malam di luar.” Arlo membelai lembut wajah Almeta.“Baiklah.” Almeta mengangguk. Dia segera berlalu keluar dari kamar Arlo. Menuju ke kamarnya.Almeta yang menutup pintu merasakan debaran yang begitu kencang di dadanya. Bayangan baru saja berciuman dengan Arlo pun menghiasi pikirannya.“Aku benar-benar jatuh cinta pada Kak Arlo
“Dasi Kak Arlo mana?” Almeta menadahkan tangannya.“Untuk apa?” tanya Arlo.“Sudah cepat mana?” Almeta terus memaksa.Arlo pun segera merogoh kantung celananya. Kemudian mengeluarkan dasi di dalam kantung celananya.Dengan segera Almeta langsung mengambil dasi yang berada di tangan Arlo. Kemudian melingkarkan ke leher Arlo.Apa yang dilakukan Almeta itu membuat Arlo terkejut.“Aku baru tahu jika Kak Arlo minta Kak Rina membuat simpul dasi. Kenapa tidak meminta padaku saja? Aku pikir selama ini Kak Arlo bisa melakukannya.” Almeta menegakkan kerah kemeja Arlo. Kemudian membuat simpul pada dasi itu.Arlo memandangi Almeta yang sedang sibuk membuat simpul. Karena dia lebih tinggi dibanding Almeta. Jadi dia tinggal menundukkan kepala saja ketika melihat Almeta. Entah debaran apa yang tiba-tiba dirasakannya itu. Dia bingung sendiri.“Aku memang tidak bisa memakai sendiri. Waktu sekolah mama yang memakaikan. Saat kuliah ada Zila. Sampai menikah pun Zila yang melakukannya.” Arlo berusaha tena
“Kalian mau ke mana?” tanya salah seorang karyawan senior.“Mau makan di kantin, Kak.” Almeta yang menjawab pertanyaan tersebut.“Kalian urungkan saja. Karena Pak Arlo mengajak kita semua untuk makan bersama. Jadi kalian ikut saja bersama untuk makan di restoran.” Karyawan senior itu memberitahu dengan penuh semangat.“Wah ... lumayan, aku bisa berhemat.” Dani begitu semangat mendengar hal itu.Almeta dan Rafael saling pandang sejenak. Sampai akhirnya Almeta membuang muka.“Kalau begitu ayo.” Karyawan senior itu menarik tangan Almeta.“Ayo, Rafael.” Dani pun menarik tangan Rafael.Almeta dan Rafael tidak punya pilihan. Mereka pun ikut bersama yang lain.Almeta dan teman-temannya pergi ke restoran di dekat kantor. Selang beberapa saat barulah Arlo datang.“Terima kasih, Pak Arlo untuk traktirannya.” Salah satu karyawan menatap Arlo.“Kalian belum makan. Kenapa berterima kasih?” Arlo tersenyum. “Sudah ayo duduk dan pesanlah apa yang kalian inginkan.” Arlo menatap para karyawannya. Terma
Keduanya dalam keadaan canggung sekali. Apalagi baru saja Arlo memeluk Fazila.“Maafkan aku.” Arlo benar merasa tidak enak.“Tidak apa-apa, Kak. Aku yang harusnya minta maaf karena memakai baju Kak Zila, jadi membuat Kak Arlo mengira aku Kak Zila.” Almeta sadar alasan apa yang membuat Arlo memeluknya.Arlo merasa lega karena Almeta tahu alasannya memeluk. “Jadi baju ini yang kamu pinjam?” Arlo langsung mengalihkan pembicaraan.“Iya, aku tidak punya baju kerja, jadi aku meminjam baju Kak Zila. Nanti jika aku gajian, aku akan membeli.” Almeta mencoba memberitahu.“Tidak perlu beli. Pakai saja baju kakakmu. Lagi pula juga sayang jika baju dibiarkan di lemari begitu saja.” Arlo merasa jika lebih baik baju Fazila dipakai Almeta, dibanding Almeta harus membeli.Almeta tidak menyangka jika Arlo akan justru mengizinkannya untuk memakai semua pakaian kakaknya.“Baiklah, nanti aku akan ambil pakaian seperlunya saja.” Almeta tidak mau aji mumpung. Karena itu di akan memakai pakaian seperlunya sa
“Dengan saudara Almeta Annora?” Seseorang dari sambungan telepon terdengar bertanya.“Iya, saya sendiri. Ini dari siapa?” Almeta penasaran dengan yang siap yang berada di sambungan tersebut.“Saya, bagian HRD dari Janitra Grup, ingin memberitahu jika Anda sudah diterima bekerja di Janitra Grup.”Mendengar kabar itu Almeta langsung berbinar. Dia benar-benar senang sekali akhirnya dapat kabar jika diterima bekerja.“Silakan datang besok untuk tanda tangan kontrak.”“Baik, saya akan datang.” Almeta benar-benar terkejut sekali. Akhirnya dapat diterima di Janitra. Dia benar-benar begitu senang sekali.Akhirnya sambungan telepon mati juga. Dia langsung bersorak senang ketika akhirnya di terima di Janitra Grup.Seharian Almeta mempersiapkan diri untuk besok datang ke Janitra. Dia memilih-milih baju kerja untuk dipakai besok. Almeta baru menyadari jika dia tidak punya banyak baju ker