Ale dan Alca sampai di hotel kembali. Ale begitu kenyang karena memakan banyak hal tadi. Sampai di kamar dia duduk di sofa dan bersandar di punggung sofa. “Aku kenyang sekali.” Ale memegangi perutnya yang besar. Alca yang melihat hal itu hanya bisa menahan tawa. Terlihat lucu sekali Ale mengelus perutnya yang kekenyanganAlca segera duduk di samping Ale. Kepalanya di arahan ke perut Ale. “Apa kamu juga sudah kenyang?” tanya Alca pada anak Ale. Ale menarik senyum tipis di sudut bibirnya. “Tentu saja kenyang Papa.” Ale menjawab pertanyaan Alca yang diberikan pada anaknya. Alca langsung mengalahkan pandangan pada Ale. Senyum Ale menghiasi wajah Ale membuat Alca terpesona. Mata mereka saling beradu pandang. Untuk sesaat mengagumi satu dengan yang lain. Baru saja Alca hendak mendekat ke arah Ale. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Hal itu membuat Alca salah tingkah. Dengan segera dia Alca menjauhkan tubuhnya. “Aku angkat telepon dulu.” Alca segera berdiri. Kemudian menuju ke balko
Saat sambungan telepon tertutup, akhirnya Alca masuk ke kamar. Tepat saat itu Ale yang sedang bersiap-siap merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Menyalakan televisi sebelum tidur. Ale memilih ke kamar mandi lebih dulu. Baru setelah itu dia melakukan hal yang sama dengan Ale. Merebahkan tubuhnya. “Berikan bantal itu padaku.” Alca memilih meminta bantal Ale untuk membawanya ke sofa.“Kak Alca mau tidur di mana?” tanya Ale. Aku akan tidur di sofa.“Sofa,” jawab Alca. Ale mengalihkan pandangan pada sofa. Tampak sofa itu cukup keras. Jadi jika Alca tidur di sana, pasti akan sakit sekali. “Tempat tidur masih luas, Kak. Jika Kak Alca tidur di sini masih cukup juga. Lagi pula sofanya keras. Nanti Kak Alca sakit.” Ale memilih mengalah berbagi tempat tidur dengan Alca. Tidak mau Alca sakit gara-gara dirinya. “Tidak apa-apa jika aku tidur di tempat tidur?” tanya Alca memastikan. “Iya, tidur saja di sini.” Ale menepuk sisi ranjang yang kosong.“Baiklah, aku akan tidur di tempat tidur.”
Sepanjang malam Alca memeluk Ale. Di dalam pelukan Alca, Ale tidur begitu pulasnya.Saat merasa pegal, Ale berbalik. Memutar tubuhnya ke sisi lain. Alca yang merasa pelukannya merenggang, mencoba mengeratkannya lagi. Namun, perut Ale membuat pelukan itu tidak dapat dieratkan. Ale yang merasa perutnya teralu ditekan, segera membuka mata. Saat melihat perutnya menempel di tubuh Ale dan terasa sesak, dia sedikit memundurkan tubuhnya. Gerakkan tubuh Ale itu membuat Alca membuka matanya. Hal pertama yang dilihat Alca adalah wajah Ale. Tampak istrinya memberikan ruang di antare mereka. “Apa aku terlalu kencang memeluk?” Alca menatap Ale. Suaranya yang serak terdengar menggoda sekali. Ale mengalihkan pandangan pada Ale. Senyum tipis menghiasi wajahnya. “Iya, sedikit sesak,” jawabnya. “Maaf.” Alca tidak tahu jika pelukaannya membuat Ale terasa sesak. “Tidak apa-apa.” Ale mengulas senyumnya. Melihat Ale yang tersenyum membuat hati Alca berdegup kencang. Debarannya sama seperti pertama
“Jika kamu rasa perasaan itu hanya hadir padamu, itu salah. Aku merasakan hal yang sama.” Alca meraih tangan Ale. Mencoba meyakinkan istrinya itu. Alca merasa perasaannya tidak bisa dielak lagi. Jadi dia lebih memilih untuk jujur saja. Walaupun dia sadar jika perasaannya juga bercabang dua hati. Sama persis dengan Ale. Alca masih mencintai Zira, tapi memiliki perasaan dengan Ale. “Aku tahu ini sulit untukmu. Namun, perasaan ini jelas tidak bisa dielak lagi.” Alca sendiri merasakan hal itu. Semakin dia mengelak perasaannya, semakin perasaannya terasa. Belum lagi bagaimana interaksi antara mereka berdua semakin intens. Ale masih terdiam. Dia tidak tahu harus mengatakan apa. Namun, Ale membenarkan jika perasaan ini memang tidak bisa dielaknya.“Aku bingung memulai hubungan ini, Kak. Rasanya saat jatuh cinta saat menikah membuat aku justru bingung.” Ale merasakan hal yang berbeda sekali dengan apa yang dirasakan sewaktu dengan Dima. Alca mengulas senyumnya. Hal yang sama juga dirasakan
Alca dan Ale bersiap untuk ke pesta. Alca memakai setelah jas dengan kemeja warna merah, sedangkan Ale memakai gaun panjang berwarna merah. “Kenapa bisa sama?” Ale yang keluar dari kamar mandi melihat Alca yang memakai kemeja warna merah. Tentu saja itu membuatnya terkejut. Karena tanpa direncana, mereka memakai baju yang senada. Alca menatap gaun yang dipakai Ale dan segera beralih pada kemejanya. Tentu saja itu membuatnya merasa lucu. Karena tanpa sengaja mereka memakai warna yang sama. Alca menarik Ale ke dalam pelukannya. “Sepertinya apa yang ada di hatimu sama dengan yang ada di hatiku.” Ale tersipu malu mendengar ucapan Alca tersebut. Hati Ale berbunga-bunga. Apa yang dilakukan Ale adalah hal yang membuatnya bahagia. Sudah lama sekali Ale tidak merasakan hal semacam ini. Setelah kesedihan yang cukup lama menghampiri, akhirnya Ale merasakan kebahagiaan ini. “Ayo, kita berangkat.” Alca melepaskan pelukannya dan beralih meraih tangan Ale. Tanpa penolakan Ale ikut dengan Alca
Seusai acara pesta, Alca mengajak Ale untuk ke hotel lagi. Namun, alih-alih ke kamar mereka, Alca mengajak ke restorannya. Restoran yang kebetulan berada di lantai atas membuat mereka dapat melihat pemandangan dari atas. Langit sore yang kala itu menyapa, tampak indah. Semilir angin sore yang menerpa pun membuat rambut Ale sedikit beterbangan. “Wah ... pemandangan dari atas sini cantik sekali.” Ale merasa senang karena sejak menginap kemarin, baru kali ini Ale melihat pemandangan ini. Alca mengajak Ale duduk di pinggir restoran. Agar lebih jelas melihat pemandangan dari atas. Melihat Ale yang terus mengulas senyum tentu saja membuat Alca senang. Sejak hubungannya membaik, dia sering melihat senyum Ale. “Pemandangan dari sini terlihat jelas. Ada gunung juga di sana.” Ale menunjuk pemandangan yang ada di depannya itu. “Apa kamu senang?” tanya Alca. “Iya, aku senang. Karena bisa melihat pemandangan seperti ini.” Senyum Ale masih terus menghiasi wajahnya.“Ke mana senyummu selama in
Pergi untuk berkunjung ke pabrik sekaligus berlibur mengantarkan Alca dan Ale kini semakin dekat. Keputusan untuk saling mengenal satu dengan yang lain, membuat mereka akhirnya menjalin hubungan. Entah sebutan apa yang pas ketika mereka sendiri sebenarnya sudah menikah. “Aku harus pergi dulu sebentar. Kamu sebaiknya istirahat dulu.” Alca membelai lembut wajah Ale.Ale tidak suka ikut campur dengan apa yang dilakukan Alca. Jadi dia tidak bertanya ke mana Alca pergi. “Iya.” Ale mengangguk. “Aku akan cepat pulang.” Satu kecupan mendarat di dahi Ale. Hanya anggukan yang diberikan oleh Ale. Setelah berpamitan, Alca segera berlalu pergi. Dia menuju ke apartemen Zira untuk menemui kekasihnya itu. Perjalanan yang ditempuh hanya sekitar setengah jam. Akhirnya Alca sampai di apartemen Zira. Karena sudah tahu kode apartemen, tentu saja dia dapat masuk dengan segera. Saat masuk ternyata Zira sedang duduk di kursi tamu. Alca menghampiri Zira. Duduk tepat di depan Zira. “Ayo, aku antar ke r
“Ra, apa yang kamu lakukan?” Alca segera meraih pisau yang dibawa oleh Zira. “Untuk apa aku hidup jika semua orang yang aku cintai pergi meninggalkan aku.” Zira tidak mau melepaskan sama sekali pisau yang berada di tangannya. Tentu saja yang dilakukan Zira membuat Alca harus segera menenangkannya. “Siapa yang mau meninggalkan kamu? Aku tidak berniat meninggalkan kamu.” “Jangan mencoba membohongi aku! Aku mengenalmu cukup lama. Jelas aku tahu kamu sedang berusaha untuk menenangkan aku saja.” Zira berusaha mengarahkan pisau ke tangannya. “Sayang, aku mohon jangan melakukan ini. Aku tahu aku salah membatalkan rencana kita, tapi aku tidak berniat meninggalkan kamu. Maafkan aku.” Alca tidak punya pilihan lain selain membujuk Zira. Zira menatap Alca. Mencari kebohongan di mata Alca. “Maafkan aku. Jangan lakukan ini!” Alca menatap Zira lekat. ada ketakutan dari sorot matanya. Jelas dia tidak mau sampai Zira terluka karenanya.Zira melihat ketakutan dari sorot mata Alca. Itu membuatnya