Seusai acara pesta, Alca mengajak Ale untuk ke hotel lagi. Namun, alih-alih ke kamar mereka, Alca mengajak ke restorannya. Restoran yang kebetulan berada di lantai atas membuat mereka dapat melihat pemandangan dari atas. Langit sore yang kala itu menyapa, tampak indah. Semilir angin sore yang menerpa pun membuat rambut Ale sedikit beterbangan. “Wah ... pemandangan dari atas sini cantik sekali.” Ale merasa senang karena sejak menginap kemarin, baru kali ini Ale melihat pemandangan ini. Alca mengajak Ale duduk di pinggir restoran. Agar lebih jelas melihat pemandangan dari atas. Melihat Ale yang terus mengulas senyum tentu saja membuat Alca senang. Sejak hubungannya membaik, dia sering melihat senyum Ale. “Pemandangan dari sini terlihat jelas. Ada gunung juga di sana.” Ale menunjuk pemandangan yang ada di depannya itu. “Apa kamu senang?” tanya Alca. “Iya, aku senang. Karena bisa melihat pemandangan seperti ini.” Senyum Ale masih terus menghiasi wajahnya.“Ke mana senyummu selama in
Pergi untuk berkunjung ke pabrik sekaligus berlibur mengantarkan Alca dan Ale kini semakin dekat. Keputusan untuk saling mengenal satu dengan yang lain, membuat mereka akhirnya menjalin hubungan. Entah sebutan apa yang pas ketika mereka sendiri sebenarnya sudah menikah. “Aku harus pergi dulu sebentar. Kamu sebaiknya istirahat dulu.” Alca membelai lembut wajah Ale.Ale tidak suka ikut campur dengan apa yang dilakukan Alca. Jadi dia tidak bertanya ke mana Alca pergi. “Iya.” Ale mengangguk. “Aku akan cepat pulang.” Satu kecupan mendarat di dahi Ale. Hanya anggukan yang diberikan oleh Ale. Setelah berpamitan, Alca segera berlalu pergi. Dia menuju ke apartemen Zira untuk menemui kekasihnya itu. Perjalanan yang ditempuh hanya sekitar setengah jam. Akhirnya Alca sampai di apartemen Zira. Karena sudah tahu kode apartemen, tentu saja dia dapat masuk dengan segera. Saat masuk ternyata Zira sedang duduk di kursi tamu. Alca menghampiri Zira. Duduk tepat di depan Zira. “Ayo, aku antar ke r
“Ra, apa yang kamu lakukan?” Alca segera meraih pisau yang dibawa oleh Zira. “Untuk apa aku hidup jika semua orang yang aku cintai pergi meninggalkan aku.” Zira tidak mau melepaskan sama sekali pisau yang berada di tangannya. Tentu saja yang dilakukan Zira membuat Alca harus segera menenangkannya. “Siapa yang mau meninggalkan kamu? Aku tidak berniat meninggalkan kamu.” “Jangan mencoba membohongi aku! Aku mengenalmu cukup lama. Jelas aku tahu kamu sedang berusaha untuk menenangkan aku saja.” Zira berusaha mengarahkan pisau ke tangannya. “Sayang, aku mohon jangan melakukan ini. Aku tahu aku salah membatalkan rencana kita, tapi aku tidak berniat meninggalkan kamu. Maafkan aku.” Alca tidak punya pilihan lain selain membujuk Zira. Zira menatap Alca. Mencari kebohongan di mata Alca. “Maafkan aku. Jangan lakukan ini!” Alca menatap Zira lekat. ada ketakutan dari sorot matanya. Jelas dia tidak mau sampai Zira terluka karenanya.Zira melihat ketakutan dari sorot mata Alca. Itu membuatnya
Setelah drama yang dilakukan Zira selesai. Alca akhirnya mengantarkan Ale ke rumah mamanya sesuai janjinya. “Apa kamu berubah karena pekerjaanmu?” Zira menoleh pada Alca yang sedang sibuk menyetir mobilnya. Alca tidak menyangka jika ternyata Zira berpikir seperti itu. Padahal perubahan yang terjadi padanya disebabkan oleh Ale. Perasaan cintanya pada Ale yang mengubah semuanya. “Sayang, kenapa jawabnya lama sekali?” tanya Zira. “Iya, aku berubah karena pekerjaanku yang cukup banyak.” Alca membenarkan apa yang ditanyakan Zira. Tak mau Zira tahu alasan sebenarnya. Tak mau sampai Zira mengakhiri hidupnya seperti ancaman yang diberikan. “Tebakanku selalu benar. Kamu tidak pernah berubah denganku. Yang ada hanyalah karena kesibukanmu.” Zira mengulas senyumnya. Alca tidak mau mengomentari apa yang dilakukan Zira. Dia sedang malas harus berdebat. “Apalagi sampai berkhianat. Tentu saja itu tidak akan mungkin.” Zira tertawa. Dia merasa jika Alca tidak akan melakukan hal itu. Apalagi mer
“Jika aku jadi mama, aku tidak akan biarkan wanita lain merebut apa yang menjadi milikku. Aku akan terus mempertahankan pria yang sudah bersamaku berpuluh-puluh tahun.” Zira melampiaskan kekesalannya itu saat perjalanan ke rumah. Dia merasa sang mama begitu lemahnya hingga membiarkan sang suami pergi. Alca menelan salivanya. Membayangkan apakah Zira akan melakukan semua itu jika tahu dirinya juga memilih wanita lain. Pikiran Alca benar-benar pusing sekali. “Kenapa pria harus memilih wanita lain, padahal sudah ada wanita yang bersamanya sejak lama?” Zira tidak habis pikir dengan yang dilakukan oleh papanya. Sungguh Zira benci sekali dengan papanya. Alca tidak bisa memberikan komentar karena posisinya sedang berada dalam situasi yang sama dengan papa Zira. Jika ditanya kenapa memilih Ale, dia juga tidak tahu alasannya apa. Mungkin karena perlahan rasa cinta di dalam hatinya bertambah setiap harinya. Zira melihat Alca sedari tadi diam saja. Tidak mau mengomentari apa yang dikatakan
Alca sampai di rumah. Saat sampai dia tidak menemukan Ale di ruang keluarga mau pun di dapur. Setelah menanyakan pada asisten rumah tangga, ternyata Ale berada di kamarnya. Alca pun segera menuju ke kamar Ale. Saat mengetuk pintu, tidak ada jawaban sama sekali. Alca yang panik pun segera menerobos masuk. Beruntung pintu kamar tidak terkunci. Jadi tentu saja itu membuat Alca dapat masuk ke kamar dengan mudah. Tidak ada Ale saat pintu kamar dibuka. Kamar tampak begitu kosong. Tepat saat Alca sedang mencari Ale, pintu kamar kamar mandi terbuka. Tampak Ale keluar dari kamar mandi. “Kak Alca.” Ale begitu terkejut sekali ketika melihat Alca berada di kamarnya. Ale yang hanya memakai handuk dan membungkus rambutnya dengan handuk, begitu terkejut dengan kehadiran Alca. Alca menelan salivanya. Bahu putih nan mulus milik istrinya. Sudah jelas itu membangkitkan gairahnya. Langkahnya diayunkan mendekat ke arah sang istri. “Aku mengetuk pintu, tapi tidak ada jawaban. Karena itu aku masuk ke
Besok Ale dan Alca akan hadir ke acara pembukaan toko milik Loveta. Ale memilih baju yang akan dipakainya besok di acara tersebut. Perut Ale sudah semakin besar. Jadi tentu saja itu membuatnya ingin terlihat nyaman ketika berada di pesta. Suara ketukan pintu terdengar. Ale yang mendengar itu segera membuka pintu. Tampak Alca berada di balik pintu. “Sedang apa kamu?” Alca tidak mendapati Ale keluar dari kamarnya. Jadi dia mencari istrinya itu ke kamar. “Aku sedang mencari gaun untuk dipakai besok.” Ale menjelaskan pada Alca. Alca memiringkan kepalanya untuk melihat kamar Ale. Tampak baju berada di atas tempat tidur. Alca yakin sang istri sedang kesulitan mencari baju untuk dipakai ke acara besok. “Butuh bantuan?” tanya Alca menatap sang istri. Ale menimbang-nimbang apa yang ditawarkan Alca. Dia sedikit kesulitan mencari gaun untuk besok. Jadi jika Alca membantu, mungkin akan lebih baik. “Jika Kak Alca tidak keberatan.” Ale melebarkan pintunya. Meminta Alca untuk masuk ke kamarny
“Baju itu tanpa lengan. Jadi memperlihatkan tubuhmu.” Alca merasakan kecemburuannya. Jadi dia harus melindungi sang istri dari mata pria. Ale melihat ke arah lengannya. Padahal lengannya biasa saja. Hanya terbuka, tapi Alca tidak mengizinkan sama sekali. “Tapi, ini bagus.” Ale memutar tubuhnya di depan kaca. “Tidak, aku tidak suka. Coba ganti gaun yang kedua saja.” Tadi Alca melihat jika gaun yang ditunjukkan oleh Ale ada dua, dan lagi gaun kedua tadi memiliki lengan yang panjang. “Baiklah.” Ale pasrah. Kemudian mengambil gaun kedua dan menggantinya. Sekitar lima menit Ale mengganti bajunya. Alca menunggu di kamar Ale. Sambil menunggu di kamar, Alca memerhatikan kamar. Barang-barang Dima masih berada di tempatnya. Foto-fotonya pun juga masih ada di terpanjang rapi. Alca merasa sepertinya memang dia akan benar-benar berdampingan dengan Dima. “Bagaimana yang ini?” Saat membuka pintu, Ale langsung melemparkan pertanyaan pada Alca.Alca mengalihkan pandangan pada Ale. Kali ini Ale