“Kamu tidak boleh makan banyak-banyak. Nanti kamu mual lagi.” Dima mencoba menjelaskan pada sang istri. Pengalaman yang sudah lalu menjelaskan jika Dira mual karena makan banyak. Dima tidak mau sampai terulang kembali.
Dira membenarkan ucapan Dima. Awal mula mual adalah karena makan banyak. Jadi wajar jika akhirnya Dima melarang.
“Baiklah, aku tidak akan makan banyak.” Dira akhirnya setuju dengan permintaan sang suami.
Dima merasa sedikit lega karena sang istri mau mendengarkannya.
“Dua piring spageti sudah cukup.” Dima menatap sang istri.
“Baiklah.” Dira mengangguk.
Setelah selesai makan, mereka kembali ke kamar. Dira menunggu dulu perutnya lebih nyaman. Bersama sang suami, dia menonton film. Beruntung mereka libur besok. Jadi besok tidak perlu harus susah-susah bangun pagi.
“Kapan kita bisa melihat jenis kelamin anak kita?” Dima membelai lembut perut sang istri.
Setelah waktu itu mendengarkan jenis kelamin anaknya, akhirnya Dima dan Dira memutuskan membeli barang-barang untuk keperluan anaknya. Sayangnya, barang-barang yang dibeli harus yang berwarna netral, karena ternyata jenis kelamin anak Dima dan Dira tidak kelihatan sewaktu diperiksa. Sepertinya anak mereka ingin memberikan kejutan. Bagi Dira dan Dima tidak masalah jenis kelamin anak mereka. Yang terpenting anaknya sehat. “Ini, Mama beli baju lagi.” Mama Ale yang ke rumah menunjukkan baju yang dibelinya tadi.“Ma, kenapa beli lagi. Baju bayi sudah banyak.” Dima melayangkan protes pada sang mama ketika sang mama membeli banyak sekali baju.“Biar saja. Ini bisa dipakai nanti buat ganti-ganti.” Mama Ale merasa jika tidak masalah membeli banyak baju. Lagi pula itu bagus.Dima hanya bisa pasrah. Sang mama selalu saja tidak mendengarnya.“Sudah biarkan saja.” Dira berbisik.Dira sadar jika mama mertuanya sedang sangat senang menyambut cucunya. Jadi wajar jika membeli banyak baju.“Iya.” Dim
Ruang operasi begitu dingin. Dokter memulai operasi caesar untuk melahirkan anak Dira. Dima senantiasa menemani Dira. Menggenggam tangan Dira erat.Dokter terus berupaya mengeluarkan anak di dalam kandungan. Sekitar lima belas menit berlangsung, suara tangis akhirnya terdengar.“Anak kita.” Dima mendaratkan kecupan di dahi Dira.Dira tak kuasa menahan air mata. Akhirnya anaknya terlahir juga.“Selamat, Pak, Bu. Anak kalian laki-laki.” Dokter memberitahu Dima dan Dira.Dima dan Dira semakin senang ketika ternyata anak mereka laki-laki. “Anak kita laki-laki.” Dima mendaratkan kecupan di dahi sang istri.Dira hanya mengangguk saja. Air matanya masih terus menetes di pipinya. Merasa ikut senang karena ternyata anaknya sudah lahir.Perawat memberikan anak mereka tepat di atas dada Dira. Bayi mungil itu tampak rampuh. Hingga membuat Dira memeluknya. Air mata Dira tak tertahankan. Merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Kini dia jadi seorang ibu.Dima begitu bahagia melihat anaknya. Dia mend
“Sepertinya, kita akan begadang.” Dira melihat anaknya yang melek.Dima melihat anaknya. Bayi kecil itu tampak membuka matanya. Walaupun baru seminggu, tetapi mata bulatnya sudah terlihat.“Sepertinya ini akan jadi pengalaman indah.” Dima tertawa.Mereka berdua melihat Baby Dylan yang tampak lucu sekali.“Lihat dia tampan sepertimu.” Dira melihat jelas wajah anaknya yang lebih mirip Dima.“Benar. Dia seperti aku.” Dima membenarkan apa yang dikatakan Dira.“Curang sekali. Aku yang mengandungnya selama sembilan bulan, tetapi wajahmu yang menempel sempurna di wajah anak kita.” Dira melemparkan protesnya pada sang suami.Dima langsung tersenyum. Jika dilihat saksama memang anak mereka lebih mirip Dima.“Jangan marah. Nanti kita buat yang mirip denganmu.” Dima merasa jika mereka masih punya kesempatan untuk membuatnya lagi.Dira langsung memukul lengan Dima lembut.“Baru saja aku melahirkan. Kamu sudah membahas anak lagi.” Dira merasa jika sang suami keterlaluan. Belum juga hilang rasa sak
“Kondisinya memburuk, Pak.”Mendengar apa yang dikatakan dokter membuat tubuh Arlo lemas. Dia tidak menyangka jika kepulangannya berlibur ke luar negeri justru mengantarkan istrinya sakit.Awalnya Arlo pikir Fazila hanya batuk biasa. Sampai beberapa hari batuknya tidak kunjung sembuh dan lambat laun batuknya membuat sesak napas. Dokter mengindikasi jika ada virus yang menyerang Fazila.Sudah tiga hari Fazila dirawat di rumah sakit. Sayangnya, dalam tiga hari ini tidak ada perubahan dari keadaan Fazila.Arlo yang keluar dari ruangan dokter langsung menghampiri adik iparnya yang berada di ruang tunggu.“Apa kata dokter, Kak?” tanya Almeta.Arlo duduk tepat di samping Almeta sambil mengusap wajahnya. Dia benar-benar bingung saat ini. Tidak tahu harus berbuat apa.“Kak ....” Almeta panik ketika Arlo tidak menjawab ucapannya.Tangis Arlo justru pecah ketika ketakutan-ketakutan menghantuinya.
Mendapati permintaan itu Arlo terdiam. Dia tidak menyangka sang istri masih meminta hal itu.“Apa kamu akan bahagia jika aku menikah dengan adikmu?” tanya Alca.Fazila mengangguk.Mendapati anggukan itu, membuat Arlo tidak punya pilihan. “Aku akan menikahinya, tetapi berjanjilah jika kamu akan bertahan.” Arlo ingin ganti sesuatu yang sebanding dengan apa yang dilakukannya.Fazila hanya tersenyum. Dia sendiri tidak yakin bisa bertahan atau tidak. Mengingat begitu sesak sekali.Arlo tidak bisa mengartikan senyuman itu. Rasanya masih berat menuruti apa yang diinginkan istrinya itu.Setelah puas berbicara dengan Fazila, Arlo segera keluar. Dia harus bergantian dengan Almeta. Karena Almeta juga ingin bertemu dengan kakaknya.Almeta segera masuk. Dia duduk di samping sang kakak. Menggenggam erat tangan kakaknya.“Menikahlah dengan Arlo.” Fazila bersusah payah untuk mengatakan hal itu.Almeta hanya terpaku mendengar permintaan sang kakak. Permintaan itu pernah diucapkan Fazila, tetapi Almeta
“Saya terima nikah dan kawinnya Almeta Annora binti Hendra Setiawan dengan mas kawin tersebut tunai.” Arlo mengucapkan kalimat sakral itu dalam tarikan napas. Di dalam ruang ICU yang dingin Arlo dan Almeta menikah di depan Fazila yang saat ini sedang dalam keadaan kritis. Mereka sepakat melakukan apa yang diinginkan oleh Fazila. Mereka berpikir jika hanya ini yang diharapkan oleh Fazila. Jadi mereka ingin menuruti apa yang diinginkan Fazila. Arlo dan Almeta hanya menikah secara agama. Hal itu mengingat kondisi Fazila yang masih kritis. Jadi mereka memilih jalan cepat. Yang terpenting mereka dapat segera menikah dan sah menjadi sepasang suami dan istri. “Apa sah?” tanya pemuka agama pada saksi. “Sah.” Papa Alca mengangguk. “Sah.” Dima juga mengangguk. Papa Alca dan Dima yang menjadi saksi dari pernikahan Arlo dan Almeta. Pemuka agama langsung mengucap syukur dan melanjutkan membaca doa. Papa Alca, Dima, Arlo, dan Almeta menengadahkan tangan ketika pemuka agama mengucapkan doa. A
“Kakak.” Almeta terus memanggil kakaknya. Tak rela berpisah dari kakaknya. Jenazah Fazila sudah dimakamkan. Arlo ikut turun memakamkan istrinya. Ini sebagai bukti cintanya untuk terakhir kali. Saat tanah menutup jenazah Fazila, Almeta terus menangis. Mama Ale berusaha untuk menenangkan wanita yang kini jadi menantunya itu. “Sabar, kamu harus ikhlas.” Mama Ale berusaha untuk menenangkan Almeta. Kesedihan keluarga begitu teramat dalam ketika Fazila meninggal. Walaupun baru sebentar menjadi anggota keluarga Janitra, Fazila begitu dekat dengan mereka semua. Almeta terus memandangi foto kakaknya yang berada di atas makam. Kini dia tidak punya siapa-siapa lagi. Kakak dan orang tuanya kini sudah pergi semua. Almeta tidak bisa bayangkan akan seperti apa kehidupannya kelak tanpa kakaknya. Arlo pun terus memandangi foto istrinya. Dia sudah berjuang sebisa mungkin untuk menyelamatkan Fazila. Namun, Tuhan berkata lain. Pemakaman berakhir juga. Satu per satu pelayat meninggalkan makam. Tersi
Mendapati pertanyaan itu membuat Arlo terdiam. Berpikir jika tentu saja Rafael datang ke sini untuk menemui Almeta. Dia juga tahu jika Rafael pastinya belum tahu jika dia sudah menikah dengan Almeta.“Masuklah, aku akan panggilkan Meta.” Arlo melebarkan pintu rumahnya.Rafael segera masuk ke rumah. Duduk di ruang tamu menunggu Arlo yang memanggil Meta.Arlo mengetuk kamar Meta. Memanggil gadis yang sekarang menjadi istrinya itu. Tepat saat pintu dibuka, Arlo melihat Meta yang baru saja mandi. Rambutnya basah karena baru saja keramas. Aroma sabun dan shampo tercium manis sekali.“Ada Rafael mencarimu.” Arlo memberitahu Almeta.Untuk sesaat Almeta terdiam. Dia tampak terkejut ketika mengetahui jika Rafael datang ke rumah. Sejenak Almeta mengingat jika mereka belum berkomunikasi sejak kematian kakaknya. Hanya bertemu di makam, itu pun hanya sebentar.“Aku akan temui.”Mendapati jawaban Almeta, Arlo segera berbalik. Dia ingin melanjutkan niatnya ke taman belakang untuk menikmati kopi.“Ka