“Kondisinya memburuk, Pak.”Mendengar apa yang dikatakan dokter membuat tubuh Arlo lemas. Dia tidak menyangka jika kepulangannya berlibur ke luar negeri justru mengantarkan istrinya sakit.Awalnya Arlo pikir Fazila hanya batuk biasa. Sampai beberapa hari batuknya tidak kunjung sembuh dan lambat laun batuknya membuat sesak napas. Dokter mengindikasi jika ada virus yang menyerang Fazila.Sudah tiga hari Fazila dirawat di rumah sakit. Sayangnya, dalam tiga hari ini tidak ada perubahan dari keadaan Fazila.Arlo yang keluar dari ruangan dokter langsung menghampiri adik iparnya yang berada di ruang tunggu.“Apa kata dokter, Kak?” tanya Almeta.Arlo duduk tepat di samping Almeta sambil mengusap wajahnya. Dia benar-benar bingung saat ini. Tidak tahu harus berbuat apa.“Kak ....” Almeta panik ketika Arlo tidak menjawab ucapannya.Tangis Arlo justru pecah ketika ketakutan-ketakutan menghantuinya.
Mendapati permintaan itu Arlo terdiam. Dia tidak menyangka sang istri masih meminta hal itu.“Apa kamu akan bahagia jika aku menikah dengan adikmu?” tanya Alca.Fazila mengangguk.Mendapati anggukan itu, membuat Arlo tidak punya pilihan. “Aku akan menikahinya, tetapi berjanjilah jika kamu akan bertahan.” Arlo ingin ganti sesuatu yang sebanding dengan apa yang dilakukannya.Fazila hanya tersenyum. Dia sendiri tidak yakin bisa bertahan atau tidak. Mengingat begitu sesak sekali.Arlo tidak bisa mengartikan senyuman itu. Rasanya masih berat menuruti apa yang diinginkan istrinya itu.Setelah puas berbicara dengan Fazila, Arlo segera keluar. Dia harus bergantian dengan Almeta. Karena Almeta juga ingin bertemu dengan kakaknya.Almeta segera masuk. Dia duduk di samping sang kakak. Menggenggam erat tangan kakaknya.“Menikahlah dengan Arlo.” Fazila bersusah payah untuk mengatakan hal itu.Almeta hanya terpaku mendengar permintaan sang kakak. Permintaan itu pernah diucapkan Fazila, tetapi Almeta
“Saya terima nikah dan kawinnya Almeta Annora binti Hendra Setiawan dengan mas kawin tersebut tunai.” Arlo mengucapkan kalimat sakral itu dalam tarikan napas. Di dalam ruang ICU yang dingin Arlo dan Almeta menikah di depan Fazila yang saat ini sedang dalam keadaan kritis. Mereka sepakat melakukan apa yang diinginkan oleh Fazila. Mereka berpikir jika hanya ini yang diharapkan oleh Fazila. Jadi mereka ingin menuruti apa yang diinginkan Fazila. Arlo dan Almeta hanya menikah secara agama. Hal itu mengingat kondisi Fazila yang masih kritis. Jadi mereka memilih jalan cepat. Yang terpenting mereka dapat segera menikah dan sah menjadi sepasang suami dan istri. “Apa sah?” tanya pemuka agama pada saksi. “Sah.” Papa Alca mengangguk. “Sah.” Dima juga mengangguk. Papa Alca dan Dima yang menjadi saksi dari pernikahan Arlo dan Almeta. Pemuka agama langsung mengucap syukur dan melanjutkan membaca doa. Papa Alca, Dima, Arlo, dan Almeta menengadahkan tangan ketika pemuka agama mengucapkan doa. A
“Kakak.” Almeta terus memanggil kakaknya. Tak rela berpisah dari kakaknya. Jenazah Fazila sudah dimakamkan. Arlo ikut turun memakamkan istrinya. Ini sebagai bukti cintanya untuk terakhir kali. Saat tanah menutup jenazah Fazila, Almeta terus menangis. Mama Ale berusaha untuk menenangkan wanita yang kini jadi menantunya itu. “Sabar, kamu harus ikhlas.” Mama Ale berusaha untuk menenangkan Almeta. Kesedihan keluarga begitu teramat dalam ketika Fazila meninggal. Walaupun baru sebentar menjadi anggota keluarga Janitra, Fazila begitu dekat dengan mereka semua. Almeta terus memandangi foto kakaknya yang berada di atas makam. Kini dia tidak punya siapa-siapa lagi. Kakak dan orang tuanya kini sudah pergi semua. Almeta tidak bisa bayangkan akan seperti apa kehidupannya kelak tanpa kakaknya. Arlo pun terus memandangi foto istrinya. Dia sudah berjuang sebisa mungkin untuk menyelamatkan Fazila. Namun, Tuhan berkata lain. Pemakaman berakhir juga. Satu per satu pelayat meninggalkan makam. Tersi
Mendapati pertanyaan itu membuat Arlo terdiam. Berpikir jika tentu saja Rafael datang ke sini untuk menemui Almeta. Dia juga tahu jika Rafael pastinya belum tahu jika dia sudah menikah dengan Almeta.“Masuklah, aku akan panggilkan Meta.” Arlo melebarkan pintu rumahnya.Rafael segera masuk ke rumah. Duduk di ruang tamu menunggu Arlo yang memanggil Meta.Arlo mengetuk kamar Meta. Memanggil gadis yang sekarang menjadi istrinya itu. Tepat saat pintu dibuka, Arlo melihat Meta yang baru saja mandi. Rambutnya basah karena baru saja keramas. Aroma sabun dan shampo tercium manis sekali.“Ada Rafael mencarimu.” Arlo memberitahu Almeta.Untuk sesaat Almeta terdiam. Dia tampak terkejut ketika mengetahui jika Rafael datang ke rumah. Sejenak Almeta mengingat jika mereka belum berkomunikasi sejak kematian kakaknya. Hanya bertemu di makam, itu pun hanya sebentar.“Aku akan temui.”Mendapati jawaban Almeta, Arlo segera berbalik. Dia ingin melanjutkan niatnya ke taman belakang untuk menikmati kopi.“Ka
Almeta mencari di lemari Arlo. Dia tahu persis di mana kakaknya menyimpan dasi. Beberapa kali dia diminta kakaknya membantu membawakan baju yang sudah digosok oleh asisten rumah tangga.Arlo melihat jika Almeta sedang mencari dasi miliknya. Entah kenapa dia merasa jika Almeta tahu tempat-tempat Fazila meletakkan bajunya.“Kamu tahu di mana tempat dasiku?” tanya Arlo.“Iya, aku tahu. Beberapa kali aku diminta Kak Zila membawakan baju dari tempat laundry room. Saat Kak Zila memasukkan baju, aku melihatnya. Jadi aku tahu di mana letak baju-baju Kak Arlo.” Almeta menjelaskan. Akhirnya dia menemukan dasi merah yang dicari Arlo. “Ini dasi yang dicari Kak Arlo.” Almeta memberikan dasi itu pada Arlo.“Terima kasih.” Arlo menerima dasi yang diberikan Almeta.“Kalau begitu aku keluar dulu.” Almeta segera keluar dari kamar Arlo.Arlo melihat dasi yang berada di tangannya. Dia tidak segera memakai dasi tersebut. Sejujurnya Arlo memang tidak bisa memakainya sendiri. Saat sekolah mamanya yang memak
Suara telepon terdengar ketika Rafael melajukan mobilnya. Dia melihat ponselnya yang diletakan di layar spedometer. Tertera nama sang mama yang menghubungi.“Siapa?” tanya Almeta.“Mama.” Rafael mengambaikanRafael mengabaikan panggilan itu dan melanjutkan kembali melajukan mobilnya.“Kenapa tidak diangkat?” tanya Almeta.“Malas.” Rafael sudah tahu alasan mamanya menghubunginya. Kemarin mamanya mengajaknya untuk makan bersama temannya. Rafael sudah menebak jika mamanya ingin mengajaknya bertemu dengan anak temannya.“Angkatlah. Jangan mengabaikannya.” Almeta menegur Rafael.Mendengar permintaan Almeta, Rafael menepikan mobilnya. Kemudian mengangkat sambungan telepon dari sang mama.“Ada apa, Ma?” tanya Rafael.“Kamu ini ke mana? Kenapa belum datang?” Sang mama menegur Rafael.“Aku tidak bisa ke sana.” Rafael menolak tegas.“Mama tidak mau tahu. Kamu harus ke sini.”Sambungan telepon langsung terhenti. Hal itu membuat Rafael terkesiap. Mamanya sesuka hatinya mematikan telepon.“Kenapa?
“Belum.” Almeta menggeleng.Arlo hanya terdiam saja ketika Almeta belum mengatakan apa-apa pada sang kekasih.“Tadi aku mau bicara, tetapi dia sibuk. Jadi aku belum sempat.” Almeta menjelaskan pada suaminya itu. “Berikan aku waktu, Kak. Aku harus mengatakan di waktu yang tepat. Karena ini pasti akan jadi pukulan berat untuknya.” Almeta menatap Arlo. Dia sadar jika memang harus segera memberitahu Rafael. Namun, memang tidak semudah itu. Dia harus mengatakan di waktu yang pas.“Baiklah.” Arlo mengangguk. Lagi pula dia tidak merasa harus terburu-buru untuk Rafael tahu. “Tapi, jangan terlalu lama untuk mengatakannya. Aku takut ini akan jadi masalah nanti.” Arlo tidak mau sampai ada drama antara Rafael dan Almeta.“Baik, Kak, aku akan selesaikan secepatnya.” Almeta mengangguk.Mereka kembali menikmati makan bersama. Tidak ada yang bicara lagi. Keduanya hanya memilih fokus pada makan saja.Keadaan dingin dan sepi ini memang begitu menyiksa. Mereka sejujurnya sulit menerima kenyataan ini. Na