Suara telepon terdengar ketika Rafael melajukan mobilnya. Dia melihat ponselnya yang diletakan di layar spedometer. Tertera nama sang mama yang menghubungi.“Siapa?” tanya Almeta.“Mama.” Rafael mengambaikanRafael mengabaikan panggilan itu dan melanjutkan kembali melajukan mobilnya.“Kenapa tidak diangkat?” tanya Almeta.“Malas.” Rafael sudah tahu alasan mamanya menghubunginya. Kemarin mamanya mengajaknya untuk makan bersama temannya. Rafael sudah menebak jika mamanya ingin mengajaknya bertemu dengan anak temannya.“Angkatlah. Jangan mengabaikannya.” Almeta menegur Rafael.Mendengar permintaan Almeta, Rafael menepikan mobilnya. Kemudian mengangkat sambungan telepon dari sang mama.“Ada apa, Ma?” tanya Rafael.“Kamu ini ke mana? Kenapa belum datang?” Sang mama menegur Rafael.“Aku tidak bisa ke sana.” Rafael menolak tegas.“Mama tidak mau tahu. Kamu harus ke sini.”Sambungan telepon langsung terhenti. Hal itu membuat Rafael terkesiap. Mamanya sesuka hatinya mematikan telepon.“Kenapa?
“Belum.” Almeta menggeleng.Arlo hanya terdiam saja ketika Almeta belum mengatakan apa-apa pada sang kekasih.“Tadi aku mau bicara, tetapi dia sibuk. Jadi aku belum sempat.” Almeta menjelaskan pada suaminya itu. “Berikan aku waktu, Kak. Aku harus mengatakan di waktu yang tepat. Karena ini pasti akan jadi pukulan berat untuknya.” Almeta menatap Arlo. Dia sadar jika memang harus segera memberitahu Rafael. Namun, memang tidak semudah itu. Dia harus mengatakan di waktu yang pas.“Baiklah.” Arlo mengangguk. Lagi pula dia tidak merasa harus terburu-buru untuk Rafael tahu. “Tapi, jangan terlalu lama untuk mengatakannya. Aku takut ini akan jadi masalah nanti.” Arlo tidak mau sampai ada drama antara Rafael dan Almeta.“Baik, Kak, aku akan selesaikan secepatnya.” Almeta mengangguk.Mereka kembali menikmati makan bersama. Tidak ada yang bicara lagi. Keduanya hanya memilih fokus pada makan saja.Keadaan dingin dan sepi ini memang begitu menyiksa. Mereka sejujurnya sulit menerima kenyataan ini. Na
Kelas berakhir, Almeta segera keluar dari kelas. Saat baru saja keluar kelas, dia sudah disambut oleh Rafael. Melihat Rafael saat baru keluar membuat hati Almeta terasa sakit sekali. Bayangan perpisahan sudah berada di depan mata. Rasanya begitu berat untuk dilalui Almeta. Rafael menyambut Almeta dengan senyum di wajahnya. Dia selalu senang ketika bisa bertemu dengan Almeta.“Ayo.” Rafael mengulurkan tangannya.Almeta hanya terpaku melihat Rafael yang mengulurkan tangan. Merasa antara pantas tidak pantas melakukannya.‘Jika ini adalah terakhir kali aku menggenggam tangannya, maka biarkan aku menggenggamnya untuk terakhir kali.’Kalimat itu yang akhirnya mengantarkan Almeta menerima uluran tangan Rafael. Dia menggenggam erat tangan Rafael.Rafael senang ketika Almeta mau menerima uluran tangannya. Dia menggenggam erat tangannya agar tak pernah terlepas.Mereka berdua langsung ke mobil. Rafael melajukan mo
Rafael masih membeku mendengar penjelasan dari Almeta. Dia masih bingung dengan yang dikatakan oleh Almeta.“Meta, jangan bercanda. Coba jelaskan padaku dengan benar.” Rafael benar-benar dibuat pusing dengan apa yang dikatakan oleh Almeta. Dia memegangi bahu Almeta agar Almeta mau melihat ke arahnya.Almeta masih terus menangis. “Aku sudah menikah dengan Kak Arlo. Waktu itu Kak Zila meminta kami menikah di saat-saat terakhirnya, dan akhirnya kami memutuskan untuk menikah.” Almeta berusaha untuk menjelaskan pada Rafael.Tangan Rafael yang memegangi bahu Almeta langsung terlepas. Apa yang dikatakan Almeta benar-benar membuatnya terkejut sekali.“Kamu sedang bercanda ‘kan?” Rafael masih belum percaya.“Aku tidak bercanda, aku benar-benar sudah menikah dengan Kak Arlo.” Almeta hanya bisa menangis.“Kenapa kamu harus menikah dengannya? Bukankah kita sudah sepakat untuk menikah jika nanti sudah bekerja.” Rafael menatap Almeta. Banyak mimpi yang dibangun bersama Almeta. Namun, sepertinya sem
Sesuai janjinya dengan Rafael tadi pagi, akhirnya Almeta menemui di tempat parkir setelah kelas berakhir. Almeta berharap jika ini akan jadi perpisahan yang baik untuk mereka.“Ayo masuk, aku antar pulang.” Rafael menatap Almeta yang baru datang. Meminta gadis yang masih dianggap sebagai kekasih itu untuk masuk ke mobilnya.Mengingat harus bicara dengan Rafael baik-baik untuk meninggalkan perpisahan yang baik, akhirnya Almeta setuju masuk ke mobil.Rafael segera menyusul Almeta masuk ke mobil. Kemudian melajukan mobilnya. Mengantarkan Almeta untuk pulang.Suasana masih sunyi. Tidak ada yang bicara sama sekali. Mereka masih berada di pikiran masing-masing.“Apa pernikahan kalian sudah sah secara hukum?” Akhirnya Rafael membuka suara juga.“Belum, Kak Arlo sedang akan mengurusnya.” Almeta menceritakan sedikit rencana Arlo.“Mintalah Kak Arlo menghentikannya.” Rafael berbicara tanpa menoleh sama sekali ke arah Almeta. Pandangannya lurus ke depan.Almeta membulatkan matanya. Dia benar-ben
Mendapati pertanyaan itu membuat Rafael bungkam. Selama ini orang tua Rafael memang tidak suka dengan Almeta. Menurut sang mama, Almeta tidak sederajat. Ditambah lagi Almeta tidak punya orang tua. Jika sang mama tahu jika Almeta kini sebatang kara, jelas sang mama tidak akan mengizinkan.“Mau tidaknya mamaku, bukan urusan Kak Arlo!” Rafael tidak mau Arlo ikut campur terlalu jauh.“Jelas itu urusanku. Sekarang Almeta adalah istriku. Dia sudah menjadi tanggung jawab penuhku. Jadi keadaan apa yang terjadi padanya, aku harus tahu pasti. Kamu pikir pernikahan hanya masalah dua orang saja? Pernikahan itu adalah milik keluarga juga. Kalian tidak akan bisa hidup hanya berdua saja tanpa keluarga.” Arlo mencoba menjelaskan pada Rafael.“Tapi, kami saling mencintai. Pasti kami akan dapat melalui semua.” Rafael merasa jika tidak masalah jika sang mama tidak merestui mereka. Yang pasti mereka akan bahagia karena saling mencintai.Arlo tersenyum tipis. Kehidupan rumah tangga bukanlah sekadar tentan
“Ada banyak buku di rumah mama. Siapa tahu ada yang kamu cari.” Arlo yang mendengar cerita Almeta pun langsung memberitahu.Almeta langsung berbinar merasa begitu senang ketika mendengar jika ada banyak buku milik Arlo. Siapa tahu dia bisa menemukan buku yang dicari.“Nanti kamu bisa lihat buku itu saat kita ke rumah mama sekalian makan malam.”“Baik, Kak.” Almeta mengangguk.Arlo segera pergi ke kamarnya. Membersihkan diri untuk segera pergi ke rumah mamanya.Almeta begitu senang mendengar jika di rumah Arlo banyak buku. Dia berharap mendapatkan buku yang dicarinya.Setelah bersiap, Arlo dan Almeta pergi ke rumah Mama Ale dan Papa Alca. Karena rumah memang dekat, jadi mereka tidak perlu waktu lama untuk sampai.“Halo, Meta. Apa kabarmu?” Mama Ale langsung memeluk Almeta.“Baik, Tante.” Almeta menerima pelukan Mama Ale.“Kamu masih belum bisa memanggil ‘mama’?” tanya Mama Ale.Almeta memang belum terbiasa memanggil ‘mama’ jadi dia selalu lupa.“Maaf, Ma.” Almeta berusaha untuk memangg
Tiga bulan sudah Almeta mengerjakan skripsi. Dia jarang-jarang ke kampus kecuali memang menemui dosen pembimbing. Hal itulah yang membuat dia tidak bertemu dengan Rafael juga. Alhasil kesedihan kehilangan Rafael pun tertutupi. Apalagi dia sudah sibuk dengan skripsinya.Selama tiga bulan ini, hubungan Almeta dengan Arlo biasa saja. Tidak ada yang berubah. Apalagi Almeta yang sibuk mengerjakan skripsi justru jarang bertemu Arlo. Saat Arlo berangkat bekerja, Almeta belum bangun karena semalam begadang. Alhasil tidak ada peningkatan hubungan mereka.Kesedihan atas meninggalnya Fazila pun sudah mulai berkurang. Aktivitas yang begitu padat membuat mereka lupa dengan kesedihan itu. Walaupun pastinya rindu masih terus terasa.Setelah skripsi selesai, Almeta langsung menjalani sidang. Beruntung semua berjalan dengan lancar. Skripsinya diterima dan dia akan mengikuti wisuda lima bulan lagi.Sambil menunggu wisuda, Almeta memutuskan untuk bekerja di Janitra Grup. Melamar sebagai staf keuangan di