Dima yang ketakutan langsung beralih ke sisi tempat duduk Dira. Memeluk sang istri erat.“Sayang jika kamu ke sini, ini tidak akan seimbang.” Dira mendorong tubuh Dima.“Aku sudah bilang jangan naik seperti ini, tapi kamu tetap tidak mendengarkan aku.” Dima mencoba memberitahu apa yang dilakukan suaminya.“Ini tidak akan lama. Hal seperti ini biasa.” Dira mencoba meyakinkan Dima.“Tapi, aku takut.” Dima tidak mau melepaskan tubuh sang istri.“Duduk di tempatmu. Nanti kita akan jatuh jika hanya berat sebelah.” Dira terus mendorong Dima.Dengan segera Dima berpindah. Tak mau sampai jatuh karena berat sebelah.Selang beberapa saat kemudian biang lala kembali menyala. Kembali bergerak memutar.“Lihatlah hanya sebentar ‘kan.” Dira menatap sang suami.Dima bernapas lega karena biang lala kembali berputar. Dia tidak mau sampai terjebak di dalam biang lala.“Lihatlah pemandangan dari atas tampak indah.” Dira menunjuk ke arah luar.Dima sejak tadi tidak mau melihat ke arah luar. Dia benar-bena
Dira membulatkan matanya. Dia tidak menyangka jika ternyata Dima memperlihatkan pengaman.“Kapan kamu beli?” tanya Dira memastikan. Kemarin dia tidak melihat Dima membeli. Jadi dia begitu penasaran sekali.“Kemarin saat kita di minimarket. Karena ada di kasir. Aku langsung membelinya.” Dima mencoba menjelaskan.“Kenapa aku tidak lihat.” Dira merasa Dima mencuri-curi darinya.Dima hanya tersenyum. “Mau coba?” tanyanya.“Apa benar itu bisa mencegah kehamilan?” Dira memastikan lebih dulu.“Harusnya aman jika tidak ada kebocoran. Lagi pula klaimnya aman.” Dima mencoba meyakinkan sang istri.Dira tersipu malu. “Ayo, coba.”Mendapati persetujuan sang istri, Dima langsung memutar tubuh sang istri. Membalikkan tubuh sang istri berada di dalam kungkungannya. Sambil mendaratkan ciuman, tangan Dima membuka satu per satu pakaian yang melekat di tubuh sang istri. Dima menggigit bungkus alat pengaman yang dibawanya. Membuka bungkus alat pengaman tersebut, kemudian mengeluarkan isinya.Dira sering
“Kenapa bertanya seperti itu?” Dima langsung menghampiri Dira. “Kedewasaan seseorang tidak dilihat dari wajahnya atau umurnya. Jadi jangan berpikir jika kamu tidak dewasa. Kamu bisa mandiri adalah sebuah kedewasaan. Dengan memutuskan sesuatu yang berat dengan tenang adalah sebuah kedewasaan.” Dima mencoba memberikan pengertian pada Dira.Dira tidak menyangka jika di mata Dima, dirinya tidak dianggap anak kecil.“Aku justru bangga padamu. Di usia muda kamu harus mengurus mamamu. Saat mamamu meninggal kamu berani ke sini sendiri. Awal di sini saja kamu minta perkerjaan apa saja. Itu adalah hal menakjubkan yang aku lihat darimu. Tidak semua orang bisa menjalani seperti yang kamu jalani. Belum tentu yang umurnya lebih tua darimu juga bisa melakukannya.”Dira berkaca-kaca. Dia langsung memeluk Dima. Merasa begitu bahagia karena Dima tidak memikirkan hal seburuk yang dipikirkannya.“Dengan kamu memutuskan untuk tidak punya anak lebih dulu adalah sebuah kedewasaan juga. Karena artinya, kamu
“Dira datang bulan, Ma. Jadi aku akan berangkat sedikit siang, menunggu keadaan Dira lebih baik.” Dima mencoba menjelaskan pada sang mama.Mama Ale cukup terkejut dengan yang didengarnya. Artinya Dira tidak hamil. Menantunya itu tidak akan memberikannya cucu. Sepertinya Mama Ale harus lebih bersabar lagi. Karena Dira harus menyelesaikan kuliahnya dulu.Dima melanjutkan langkahnya ke dapur. Dengan segera dia membuat teh hangat. Secangkir teh yang tersaji pun akhirnya jadi. Dima segera membawa ke kamarnya untuk diberikan pada Dira.Di kamar, Dira sudah menegakkan kembali tubuhnya. Bersandar ke tempat tidur. Perutnya sudah tidak sesakit tadi. Kompres yang diberikan Dima benar-benar memberikan dampak yang luar biasa.Pintu yang terbuka membuat Dira mengalihkan pandangan pada pintu. Dari balik pintu, Dira melihat Dima yang membawa cangkir di tengannya. Suaminya itu benar-benar perhatian sekali.“Kamu sudah bangun?” Dima mengulas senyum ketika melihat sang istri.“Sudah sedikit lebih baik.
“Rasanya enak.” Dira baru mencicip sedikit. Kemudian menjawab pertanyaan Dima. Tak menunggu lama, dia kembali meminum minuman yang dibuatkan Mama Ale padanya.Dima melihat sang istri tampak menikmati. Hal itu membuatnya penasaran.“Apa aku boleh mencicip?” tanya Dima.“Kamu mau coba?” Dira menatap sang suami.“Mau.” Dima mengangguk.Akhirnya Dira memberikan minuman itu pada Dima. Dima segera mencoba minuman tersebut. Saat merasakan minuman tersebut, dia merasa begitu terkejut. Karena ternyata rasanya benar-benar enak. Jika begini rasanya, tidak datang bulan pun dia senang.“Ternyata enak.” Dima memberikan pada sang istri.“Bagaimana bisa mama membuat minuman seenak ini?” Dira tak habis pikir. Sang mertua benar-benar luar biasa.“Entah, mungkin itu keahlian tersembunyi mama. Karena di rumah tidak ada anak perempuan, jadinya tidak pernah tersalurkan.“Bisa jadi.” Dira membenarkan apa yang diucapkan sang suami.Setelah menunggu sebentar, akhirnya makanan yang dipesan Dima datang juga. Di
“Kenapa harus mengatakan itu pada oma?”Saat sampai di kamar, Dima langsung melemparkan pertanyaan itu pada istrinya. Dia merasa jika sang istri terlalu berlebihan menjawab ucapan omanya. Lagi pula, dia sedang berusaha keras untuk pelan-pelan mengatakan hal itu pada omanya. Karena dia sadar nenek-nenek terkadang lebih susah dibanding anak kecil. Jadi harus mengambil momen yang pas. “Aku mengatakan apa adanya. Apa yang salah. Anak adalah tanggung jawab kita. Jadi kita yang bertanggung jawab menjaga. Bukan mama atau oma.” Dira merasa jika itulah yang dilakukan sang mama dulu. Neneknya tidak pernah campur tangan sama sekali. Dia benar-benar diasuh oleh sang mama.“Iya, aku tahu. Anak adalah tanggung jawab penuh kita. Jadi kita yang berhak untuk menentukan semua, tapi orang tua jaman dulu tidak memahami itu. Mereka lebih cenderung masih berpikir kolot. Jadi kita harus memberikan penjelasan pelan-pelan.” Dima mencoba menjelaskan pada Dira.“Tapi, jika kita tidak tegas. Mereka akan mengatu
Pemandangan pertama yang dilihat Dira adalah Dima. Suaminya itu berada tepat di depannya. Kemarin, Dira benar-benar kecewa sebenarnya. Karena jelas-jelas Dima menyalahkan apa yang lakukannya. Dira merasa tindakan tegas yang dilakukan agar tidak terus didesak untuk memiliki anak. Sayangnya dianggap berbeda oleh Oma Mauren.Jika ditanya suka tidak Dira berdebat, jawabannya tentu tidak. Dira tidak suka bertengkar dengan Dima. Namun, pertengkaran itu terjadi begitu saja.Tepat saat sedang memandangi Dima, tiba-tiba Dima membuka mata. Hal itu membuat Dira langsung berbalik. Menghindari tatapan mata dengan Dima.Dima cukup terkejut ketika membuka mata, ternyata sang istri sedang melihat ke arahnya. Namun, sayangnya Dima harus kehilangan pemandangan indah itu. Karena Dira langsung berbalik menghindarinya.Dima mengangsur tubuhnya. Kemudian memeluk Dira dari belakang. Saat pelukan itu diberikan, Dira hanya memilih diam.“Apa kita bisa bicara dari hati ke hati?” Dima berbisik.Dira merasa jika
“Kenapa ke sini?” Arlo melemparkan protes ketika melihat kekasihnya datang.“Kenapa tidak boleh?” tanya Fazila polos. Selama ini Arlo belum mengenalkan Fazila pada keluarganya dan sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk memperkenalkannya Fazila pada keluarganya. “Arlo, siapa yang datang?” Mama Ale menghampiri anak bungsunya. Saat sampai di depan pintu, dia melihat seorang wanita di sana.“Siang, Tante.” Fazila menyapa Mama Ale. Senyum manis menghiasi wajahnya.“Siang.” Mama Ale menyapa balik. Dia yakin itu adalah kekasih Arlo. Selama ini, Mama Ale tahu jika Arlo punya kekasih, tetapi anaknya memang belum pernah mengenalkan kekasihnya itu. “Suruh masuk. Jangan biarkan tamu di depan pintu.” Mama Ale menegur Arlo.“Iya, Ma.” Arlo tidak ada pilihan. Karena itu dia mempersilakan Fazila masuk. “Ayo, masuk,” ajaknya.Fazila segera masuk. Dengan sopan dia mencium tangan Mama Ale. Sikap Fazila ini menarik perhatian Mama Ale. Kesan pertama yang cukup baik.“Ini ada sedikit kue, Tante.” Fa
Pembawa acara memanggil Alcander Janitra dan Alegra Cecilia pemilik Janitra Grup untuk memberikan sambutan pada para tamu undangan. Mereka memperkenalkan penerus dari Janitra Grup tersebut. Ada Dima Janitra berserta istri dan anaknya. Ada Arlo Alcander Janitra bersama sang istri.Semua orang akhirnya tahu jika Almeta adalah istri dari Arlo. Apalagi nama Almeta disebut dengan jelas oleh pembawa acara.Rafael yang melihat hal itu akhirnya pasrah. Dia sepertinya memang sudah harus merelakan Almeta untuk selamanya karena Almeta benar-benar sudah menjadi istri Arlo seutuhnya.Pesta begitu mewah sekali. Dihadiri oleh para tamu undangan yang didominasi oleh pengusaha-pengusaha kelas atas.“Mama senang melihat kalian sekarang sudah dekat.” Mama Ale tersenyum ketika melihat Almeta dan Arlo. Apalagi sejak tadi mereka berdua saling bergandengan tangan.“Doakan kami bisa seperti mama dan papa.” Arlo berharap jika pernikahan dengan Almeta akan berlangsung lama sampai kakek dan nenek seperti orang
Rafael begitu terkejut ketika mendengar suara Arlo yang tiba-tiba terdengar.“Pak Arlo.” Rafael menyapa Arlo.Arlo hanya menatap sejenak pada Arlo, sebelum akhirnya kembali pada mama Rafael. “Anda bilang siapa yang mau dengan Meta?” tanya Arlo menatap mama Rafael. “Itu saya. Saya yang menerima Almeta untuk dijadikan istri.” Arlo menegaskan pada mama Rafael.“Ma, sudah.” Rafael menegur sang mama.“Oh ... jadi ini orang yang menerima wanita ini.” Mama Rafael tidak mendengarkan anaknya sama sekali. Masih terus menghina Almeta dan Arlo.“Iya, kenalkan saya Arlo Alcander Janitra, manajer Janitra Grup sekaligus putra pemilik Janitra Grup.” Arlo mengulurkan tangannya pada mama Rafael. Mama Rafael begitu terkejut mendengar ucapan Arlo. Dia langsung melihat ke arah Rafael.“Dia atasanmu?” tanya sang mama.“Iya, Ma. Dia atasanku.” Rafael membenarkan ucapan sang mama.Mama Rafael terkejut ketika ternyata Arlo adalah atasan Rafael. Dia juga tidak menyangka jika Almeta menikah dengan atasan
Arlo membulatkan matanya ketika mendengar pertanyaan Almeta itu. Tidak menyangka Almeta bertanya seperti itu. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanya Arlo.“Kak Arlo suka aku yang berambut keriting seperti Kak Zila. Kak Arlo juga meminta aku memakai semua pakaian Kak Zila.” Almeta menjelaskan apa yang membuatnya berpikir seperti itu.Arlo akhirnya tahu apa yang membuat Almeta berpikir seperti itu.“Aku memintamu mengeriting rambut karena merasa kamu cantik saat dengan rambut bergelombang. Rambutmu lebih bervolume. Aku memintamu memakai baju Zila karena merasa sayang baju itu ada di lemari. Apalagi badanmu setipe dengan Zila. Jadi tidak ada salahnya ketika kamu memakai itu. Tidak bermaksud membuatmu menjadi Zila. Aku menyukaimu karena memang kamu bukan karena kamu mirip Zila.” Arlo mencoba menjelaskan pada Almeta. Perasaannya ada bukan karena Almeta yang mirip Zila, tetapi lebih karena memang dia adalah Almeta.Almeta menatap Arlo. Mencari kebohongan dari sorot matanya.“Jika kamu
“Kak Arlo bilang jika istri Kak Arlo yang sekarang memakaikan dasi?” Almeta langsung melemparkan pertanyaan itu saat masuk ke mobil.“Iya.” Dengan entengnya Arlo menjawab.“Kenapa Kak Arlo mengatakan hal itu?” Almeta masih tidak habis pikir. Kenapa suaminya mengatakan seperti itu.“Bukankah kamu sendiri yang bilang. Biarkan mereka tahu pelan-pelan. Aku sedang memberitahu pelan-pelan.” Arlo menyeringai. Dia memang sengaja mengatakan hal itu pada Rina-sang sekretaris karena tahu berita itu akan menyebar dengan cepat. Terbukti Almeta saja sudah dengar.Almeta hanya bisa pasrah ketika mengetahui alasan Arlo itu. Memang benar adanya jika orang perlahan harus tahu.Melihat Almeta yang sudah tidak melayangkan protes, Arlo segera melajukan mobilnya untuk segera pulang.Almeta menikmati perjalanan bersama sang suami. Namun, tiba-tiba saja Almeta teringat sesuatu.“Tadi Kak Rina bilang, Kak Arlo pesan bunga untuk istri, bunga apa?” tanya Almeta penasaran.“Lihat saja di rumah.” Arlo tidak mau m
Saat tautan bibir terlepas keduanya saling malu. Ini adalah kali pertama mereka berciuman sebagai suami dan istri.“Berapa bulan kita menikah?” tanya Arlo menatap sang istri.“Enam bulan.”“Dalam enam bulan baru ini aku menciummu.” Arlo tersenyum ketika menyadari berapa lama bertahan tanpa saling menyentuh.“Tapi, aku merasa seperti mengkhianati Kak Zila.” Almeta menundukkan kepalanya. Merasa bersalah sekali ketika baru saja melakukan ciuman.“Zila justru senang jika kita mulai membuka hati.” Arlo meyakinkan Almeta.Almeta membenarkan ucapan Arlo. Memang bisa jadi kakaknya justru senang ketika melihat dirinya dan Arlo bisa membuka hati.“Bersiaplah, kita makan malam di luar.” Arlo membelai lembut wajah Almeta.“Baiklah.” Almeta mengangguk. Dia segera berlalu keluar dari kamar Arlo. Menuju ke kamarnya.Almeta yang menutup pintu merasakan debaran yang begitu kencang di dadanya. Bayangan baru saja berciuman dengan Arlo pun menghiasi pikirannya.“Aku benar-benar jatuh cinta pada Kak Arlo
“Dasi Kak Arlo mana?” Almeta menadahkan tangannya.“Untuk apa?” tanya Arlo.“Sudah cepat mana?” Almeta terus memaksa.Arlo pun segera merogoh kantung celananya. Kemudian mengeluarkan dasi di dalam kantung celananya.Dengan segera Almeta langsung mengambil dasi yang berada di tangan Arlo. Kemudian melingkarkan ke leher Arlo.Apa yang dilakukan Almeta itu membuat Arlo terkejut.“Aku baru tahu jika Kak Arlo minta Kak Rina membuat simpul dasi. Kenapa tidak meminta padaku saja? Aku pikir selama ini Kak Arlo bisa melakukannya.” Almeta menegakkan kerah kemeja Arlo. Kemudian membuat simpul pada dasi itu.Arlo memandangi Almeta yang sedang sibuk membuat simpul. Karena dia lebih tinggi dibanding Almeta. Jadi dia tinggal menundukkan kepala saja ketika melihat Almeta. Entah debaran apa yang tiba-tiba dirasakannya itu. Dia bingung sendiri.“Aku memang tidak bisa memakai sendiri. Waktu sekolah mama yang memakaikan. Saat kuliah ada Zila. Sampai menikah pun Zila yang melakukannya.” Arlo berusaha tena
“Kalian mau ke mana?” tanya salah seorang karyawan senior.“Mau makan di kantin, Kak.” Almeta yang menjawab pertanyaan tersebut.“Kalian urungkan saja. Karena Pak Arlo mengajak kita semua untuk makan bersama. Jadi kalian ikut saja bersama untuk makan di restoran.” Karyawan senior itu memberitahu dengan penuh semangat.“Wah ... lumayan, aku bisa berhemat.” Dani begitu semangat mendengar hal itu.Almeta dan Rafael saling pandang sejenak. Sampai akhirnya Almeta membuang muka.“Kalau begitu ayo.” Karyawan senior itu menarik tangan Almeta.“Ayo, Rafael.” Dani pun menarik tangan Rafael.Almeta dan Rafael tidak punya pilihan. Mereka pun ikut bersama yang lain.Almeta dan teman-temannya pergi ke restoran di dekat kantor. Selang beberapa saat barulah Arlo datang.“Terima kasih, Pak Arlo untuk traktirannya.” Salah satu karyawan menatap Arlo.“Kalian belum makan. Kenapa berterima kasih?” Arlo tersenyum. “Sudah ayo duduk dan pesanlah apa yang kalian inginkan.” Arlo menatap para karyawannya. Terma
Keduanya dalam keadaan canggung sekali. Apalagi baru saja Arlo memeluk Fazila.“Maafkan aku.” Arlo benar merasa tidak enak.“Tidak apa-apa, Kak. Aku yang harusnya minta maaf karena memakai baju Kak Zila, jadi membuat Kak Arlo mengira aku Kak Zila.” Almeta sadar alasan apa yang membuat Arlo memeluknya.Arlo merasa lega karena Almeta tahu alasannya memeluk. “Jadi baju ini yang kamu pinjam?” Arlo langsung mengalihkan pembicaraan.“Iya, aku tidak punya baju kerja, jadi aku meminjam baju Kak Zila. Nanti jika aku gajian, aku akan membeli.” Almeta mencoba memberitahu.“Tidak perlu beli. Pakai saja baju kakakmu. Lagi pula juga sayang jika baju dibiarkan di lemari begitu saja.” Arlo merasa jika lebih baik baju Fazila dipakai Almeta, dibanding Almeta harus membeli.Almeta tidak menyangka jika Arlo akan justru mengizinkannya untuk memakai semua pakaian kakaknya.“Baiklah, nanti aku akan ambil pakaian seperlunya saja.” Almeta tidak mau aji mumpung. Karena itu di akan memakai pakaian seperlunya sa
“Dengan saudara Almeta Annora?” Seseorang dari sambungan telepon terdengar bertanya.“Iya, saya sendiri. Ini dari siapa?” Almeta penasaran dengan yang siap yang berada di sambungan tersebut.“Saya, bagian HRD dari Janitra Grup, ingin memberitahu jika Anda sudah diterima bekerja di Janitra Grup.”Mendengar kabar itu Almeta langsung berbinar. Dia benar-benar senang sekali akhirnya dapat kabar jika diterima bekerja.“Silakan datang besok untuk tanda tangan kontrak.”“Baik, saya akan datang.” Almeta benar-benar terkejut sekali. Akhirnya dapat diterima di Janitra. Dia benar-benar begitu senang sekali.Akhirnya sambungan telepon mati juga. Dia langsung bersorak senang ketika akhirnya di terima di Janitra Grup.Seharian Almeta mempersiapkan diri untuk besok datang ke Janitra. Dia memilih-milih baju kerja untuk dipakai besok. Almeta baru menyadari jika dia tidak punya banyak baju ker