“Kenapa harus mengatakan itu pada oma?”Saat sampai di kamar, Dima langsung melemparkan pertanyaan itu pada istrinya. Dia merasa jika sang istri terlalu berlebihan menjawab ucapan omanya. Lagi pula, dia sedang berusaha keras untuk pelan-pelan mengatakan hal itu pada omanya. Karena dia sadar nenek-nenek terkadang lebih susah dibanding anak kecil. Jadi harus mengambil momen yang pas. “Aku mengatakan apa adanya. Apa yang salah. Anak adalah tanggung jawab kita. Jadi kita yang bertanggung jawab menjaga. Bukan mama atau oma.” Dira merasa jika itulah yang dilakukan sang mama dulu. Neneknya tidak pernah campur tangan sama sekali. Dia benar-benar diasuh oleh sang mama.“Iya, aku tahu. Anak adalah tanggung jawab penuh kita. Jadi kita yang berhak untuk menentukan semua, tapi orang tua jaman dulu tidak memahami itu. Mereka lebih cenderung masih berpikir kolot. Jadi kita harus memberikan penjelasan pelan-pelan.” Dima mencoba menjelaskan pada Dira.“Tapi, jika kita tidak tegas. Mereka akan mengatu
Pemandangan pertama yang dilihat Dira adalah Dima. Suaminya itu berada tepat di depannya. Kemarin, Dira benar-benar kecewa sebenarnya. Karena jelas-jelas Dima menyalahkan apa yang lakukannya. Dira merasa tindakan tegas yang dilakukan agar tidak terus didesak untuk memiliki anak. Sayangnya dianggap berbeda oleh Oma Mauren.Jika ditanya suka tidak Dira berdebat, jawabannya tentu tidak. Dira tidak suka bertengkar dengan Dima. Namun, pertengkaran itu terjadi begitu saja.Tepat saat sedang memandangi Dima, tiba-tiba Dima membuka mata. Hal itu membuat Dira langsung berbalik. Menghindari tatapan mata dengan Dima.Dima cukup terkejut ketika membuka mata, ternyata sang istri sedang melihat ke arahnya. Namun, sayangnya Dima harus kehilangan pemandangan indah itu. Karena Dira langsung berbalik menghindarinya.Dima mengangsur tubuhnya. Kemudian memeluk Dira dari belakang. Saat pelukan itu diberikan, Dira hanya memilih diam.“Apa kita bisa bicara dari hati ke hati?” Dima berbisik.Dira merasa jika
“Kenapa ke sini?” Arlo melemparkan protes ketika melihat kekasihnya datang.“Kenapa tidak boleh?” tanya Fazila polos. Selama ini Arlo belum mengenalkan Fazila pada keluarganya dan sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk memperkenalkannya Fazila pada keluarganya. “Arlo, siapa yang datang?” Mama Ale menghampiri anak bungsunya. Saat sampai di depan pintu, dia melihat seorang wanita di sana.“Siang, Tante.” Fazila menyapa Mama Ale. Senyum manis menghiasi wajahnya.“Siang.” Mama Ale menyapa balik. Dia yakin itu adalah kekasih Arlo. Selama ini, Mama Ale tahu jika Arlo punya kekasih, tetapi anaknya memang belum pernah mengenalkan kekasihnya itu. “Suruh masuk. Jangan biarkan tamu di depan pintu.” Mama Ale menegur Arlo.“Iya, Ma.” Arlo tidak ada pilihan. Karena itu dia mempersilakan Fazila masuk. “Ayo, masuk,” ajaknya.Fazila segera masuk. Dengan sopan dia mencium tangan Mama Ale. Sikap Fazila ini menarik perhatian Mama Ale. Kesan pertama yang cukup baik.“Ini ada sedikit kue, Tante.” Fa
“Untuk apa kamu ikut?” tanya Oma Mauren.“Ikut saja.” Dima masih tetap dengan pendiriannya.“Kalau kamu ikut, Oma tidak jadi berangkat.” Oma Mauren langsung berubah pikiran. Tadinya dia ingin menghindari Dima dan Dira, tapi justru cucunya itu mau ikut. “Kalau begitu aku akan makan di sini saja.” Dima tersenyum.“Terserah.” Oma Mauren masuk ke dalam rumah. Mengabaikan Dima dan Dira.Dima hanya tersenyum melihat sang nenek berlalu begitu saja. Tidak mempermasalahkan sikap neneknya itu.“Bagaimana ini? Oma masih tidak mau bicara dengan aku.” Dira begitu takut sekali. Dia merasa jika Oma Mauren benar-benar marah dengannya.“Tenang saja. Nanti juga oma akan luluh.” Dima meyakinkan sang istri. “Ayo.” Dima segera mengajak sang istri untuk masuk ke rumah.Mereka berdua masuk ke rumah. Saat masuk ke dalam rumah tampak Opa David keluar dari kamar.“Kalian di sini?” Opa David menatap cucu dan cucu mantunya itu.“Iya, Opa, mau makan siang di sini.” Dima menjawab apa adanya.“Kebetulan, Oma sedan
Setelah kemarin Oma Mauren mengabaikan Dima dan Dira. Kali ini, Dima dan Dira datang lagi. Dima dan Dira sengaja datang saat sore. Kebetulan dosen tidak ada. Jadi Dira pulang setelah absen.Saat sampai, ternyata Oma sedang masak untuk makan malam. Dira yang melihat hal itu langsung bergegas untuk membantu. Dia sudah bertekad untuk membantu oma agar dapat mengambil hati oma.“Oma, ini mau dipotong bagaimana?” Dira menatap sang oma.“Bi, tolong suruh potong kecil-kecil saja.” Oma Mauren bicara pada asisten rumah tangga.“Kata ibu—““Baik, Bi. Sudah tahu.” Dira langsung memotong ayam sesuai dengan yang diminta oleh Oma Mauren.Oma Mauren melirik ke arah Dira. Cucu menantunya itu tampak kebal ketika tetap diabaikan.“Sudah siap semua, Oma. Apa lagi yang belum?” Dira menatap sang oma lagi.Oma Mauren sampai bingung karena pekerjaan Dira begitu cepat. Sejak tadi dia memberikan pekerjaan, tetapi selalu saja bisa dikerjakan oleh Dira.“Suruh siapkan piring saji, Bi.” Oma Mauren masih berbicar
“Harusnya kalian ke sini setiap hari. Jangan hanya sekali dua kali. Oma menunggu kalian.” Oma Mauren berkaca-kaca. Merasa sedih karena dia menunggu cucunya.Dima dan Dira saling pandang. Mereka menyimpulkan jika sebenarnya Oma Mauren mau memaafkan mereka. Namun, belum mengatakannya.Dima segera memberikan kode pada Dira. Meminta sang istri untuk mendekat. Dengan segera Dira mendekat. Bersamaan dengan sang istri, Dima juga ikut mendekat. Dira duduk di sisi kiri, dan Dima duduk di sisi kanan. Mengapit oma.“Oma, maafkan kami. Kami kemarin memang mau ke sini, tetapi karena sibuk, kami tidak bisa.” Dira meraih tangan Oma Mauren. Menggenggamnya erat.“Oma, maafkan kami. Kami janji akan datang lagi ke sini. Bukan untuk minta maaf, tapi benar-benar menemani Oma.” Dima ikut meraih tangan Oma.Melihat dua cucunya yang meminta maaf begitu besarnya, membuat Oma Mauren menangis. Dia langsung memeluk Dima dan Dira.Dima dan Dira yang dipeluk saling pandang. Ternyata akhirnya Oma Mauren mau memaafk
Hari ini Dima dan Dira pergi ke rumah sakit. Mereka rencananya akan berkonsultasi tentang pencegahan kehamilan. Sesuai dengan rencana mereka, Dira ingin hamil setelah lulus kuliah.“Aku berdebar-debar sekali. Apakah akan ada efek samping jika dilakukan pencegahan kehamilan?” Dira menatap sang suami yang sedang sibuk menyetir.Dima menoleh sejenak. Membagi konsentrasinya pada jalanan. “Aku tidak tahu ada efek sampingnya atau tidak. Sebaiknya kita tanya dokter saja nanti. Coba kamu list apa saja yang ingin kamu tanyakan.” Dia berusaha menenangkan sang istri. Dima tahu pasti jika sang istri begitu takut sekali dengan ini.“Baiklah.” Dira mengangguk. Dia berpikir untuk menanyakan langsung pada dokter nanti.Akhirnya mobil sampai di rumah sakit. Mereka segera turun dan masuk ke rumah sakit. Walaupun sudah membuat janji secara online, mereka tetap hari mengonfirmasi pendaftaran. Saat nama Dira sudah terdaftar, mereka berdua segera menuju ke bagian kandungan.Saat mereka datang, ternyata sud
“Biasa spam.” Dima mengabaikan pesan itu. Dia tidak menganggap Alia ada. Lagi pula pilihan untuk tidak mengundang Alia adalah hal yang tepat. Tidak mau terganggu dengan kehadiran Alia.Dira mengangguk. Dia juga sering mendapatkan spam chat. Mulai bank sampai pinjaman online. Itu benar-benar mengganggu sekali.Mereka kembali bekerja kembali. Mereka hanya akan bekerja beberapa hari ke depan saja karena sebentar lagi mereka akan menikah. Mereka akan libur dua hari sebelum pernikahan. Mama Ale meminta untuk mereka beristirahat lebih dulu.***Hari ini Dima dan Dira ke hotel. Pernikahan mereka akan dilaksanakan besok. Jadi mereka sudah ke hotel. Semua saudara juga sudah tinggal di hotel untuk persiapan pernikahan besok.“Ingat, kalian tidak boleh terlalu lelah. Harus banyak istirahat.” Mama Ale menatap Dima dan Dira secara bergantian.“Iya, Ma.” Dima dan Dira mengangguk. Mereka berdua pun memang tidak berniat untuk melakukan apa pun.“Sudah pergilah ke kamar kalian.”“Baiklah” Mereka menja